Cari Berita

Dari PP 9/1975 ke Era e-Court: Membaca Arah Baru Pemanggilan Ghaib

Thaifur Rasyid - Dandapala Contributor 2025-11-05 16:00:23
Dok. Penulis.

Di banyak laman resmi pengadilan agama, kini kita bisa menemukan sesuatu yang dulu hanya mungkin terbaca di koran daerah: daftar “panggilan ghaib”. Nama-nama pihak tergugat terpampang, lengkap dengan nomor perkara dan jadwal sidang. Tak ada lagi selebaran di masjid atau pengumuman di papan kelurahan. Semuanya kini berada di ruang digital, satu klik di situs pengadilan.

Inilah wajah baru hukum acara kita. Pemanggilan yang dulu berwujud kertas kini menjelma notifikasi di layar. Di balik perubahan ini, tersimpan pelajaran penting tentang bagaimana hukum dan teknologi berpacu, bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk bersama-sama menghadirkan keadilan.

Sejumlah pengadilan agama di Indonesia telah melangkah lebih jauh dari sekadar digitalisasi administrasi. Pengadilan Agama Tarakan, misalnya, menampilkan daftar enam perkara panggilan ghaib tahun 2025 di laman resminya. PA Banjarmasin juga memublikasikan daftar serupa, termasuk perkara 663/Pdt.G/2025/PA.Bjm. Sementara PA Magetan menayangkan puluhan nama panggilan ghaib 2024-2025.

Baca Juga: Membaca Buku adalah “Hinokami Kagura”

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa digitalisasi bukan lagi konsep, melainkan kenyataan yang bekerja di akar sistem hukum. Pemanggilan ghaib - yang diatur dalam Pasal 27 dan 28 PP No. 9 Tahun 1975 - kini menemukan bentuk baru yang “bernapas digital”. Namun yang menarik, semangat yang dibawa bukan sekadar efisiensi, melainkan keterbukaan.

Melalui publikasi daring, masyarakat bisa mengawasi proses hukum dengan lebih mudah. Transparansi yang dulu hanya menjadi jargon, kini mulai menemukan wadahnya. Publik dapat menelusuri perkara, memastikan bahwa sidang benar-benar berjalan, dan bahwa tidak ada yang disembunyikan di balik meja peradilan. Inilah bentuk baru public accountability di era digital.

Menemukan Tafsir Baru atas Keadilan

Mahkamah Agung sebenarnya telah menggariskan arah pembaruan hukum ini jauh sebelumnya. Dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, termaktub visi besar: membangun peradilan modern yang transparan, akuntabel, dan berbasis teknologi informasi. Pemanggilan digital adalah bagian kecil dari visi itu, meski belum sepenuhnya memiliki pijakan normatif yang eksplisit.

Pasal-pasal pemanggilan dalam peraturan lama memang masih menggunakan istilah media massa cetak. Namun, ketika masyarakat sudah bertransformasi menjadi masyarakat digital, hukum pun harus mampu menyesuaikan diri dengan semangat zaman. Dalam konteks inilah, pengadilan berperan bukan hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi juga sebagai penafsir progresif - mencari bentuk baru dari nilai lama: menghadirkan keadilan bagi semua.

Prinsip dasarnya tetap sama: audi et alteram partem  setiap pihak berhak untuk didengar. Hanya medianya yang berubah. Dan perubahan ini, jika dikelola dengan etika dan kesadaran, justru memperluas jangkauan keadilan.

Memang benar, di tengah kemajuan teknologi, masih ada jurang digital yang memisahkan sebagian warga dari akses informasi. Namun justru di sinilah ruang kebijaksanaan hukum diperlukan: agar digitalisasi tidak sekadar mengejar kecepatan, tetapi juga menguatkan kehadiran keadilan yang bisa dirasakan semua lapisan masyarakat.

Kita tidak perlu melihat transformasi ini sebagai ancaman. Sebaliknya, ini adalah peluang besar untuk membangun kesadaran hukum digital di masyarakat. Pengadilan dapat menjadi motor literasi hukum baru - melalui sosialisasi, edukasi daring, dan pelatihan bagi aparat maupun masyarakat tentang cara mengakses informasi hukum secara mandiri.

Ketika masyarakat memahami bahwa pemanggilan bisa diumumkan secara daring, mereka tidak lagi menjadi korban dari ketidaktahuan, tetapi bagian aktif dari sistem peradilan. Dengan demikian, digitalisasi justru memperluas makna keadilan: bukan hanya di ruang sidang, tetapi juga di ruang pengetahuan publik.

Transformasi digital peradilan bukanlah proyek teknologi semata, melainkan proyek peradaban. Ia berbicara tentang bagaimana negara mengatur relasi antara hukum dan manusia, antara efisiensi dan empati. Politik hukum di balik kebijakan digitalisasi seharusnya menempatkan manusia sebagai pusatnya  human-centered justice.

Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud memberi peringatan lembut:

“Hakim yang salah dalam memutus karena tidak tahu, maka dosanya sama dengan hakim yang tidak adil.”

Kalimat itu bukan ancaman, melainkan pesan moral: bahwa keadilan tidak boleh dibangun di atas ketidaktahuan, termasuk ketidaktahuan terhadap realitas sosial. Maka, ketika teknologi hadir, tugas hakim dan lembaga peradilan adalah memastikan bahwa kemajuan digital tidak menutup ruang bagi manusia yang belum sepenuhnya digital. Keadilan yang sejati bukanlah yang tercepat, melainkan yang paling mengerti manusia.

Menata Masa Depan Pemanggilan Digital

Untuk menjadikan pemanggilan digital benar-benar kokoh secara etik maupun yuridis, dibutuhkan kerja hukum yang lebih dari sekadar teknis. Reformasi hukum acara menjadi keniscayaan, agar sistem hukum kita secara eksplisit mengakui situs resmi pengadilan sebagai media pemanggilan yang sah. Tanpa kejelasan itu, digitalisasi akan terus berjalan di atas tafsir yang lentur, bukan kepastian yang tegak.

Di saat yang sama, perlu ada mekanisme pembuktian yang seragam dan transparan. Catatan waktu tayang, log sistem, hingga bentuk verifikasi elektronik harus diatur dengan prinsip akuntabilitas publik. Setiap pengumuman digital semestinya dapat diverifikasi kembali-bukan sekadar tayang, tetapi tercatat sebagai bagian dari proses hukum yang sah.

Lebih jauh dari itu, transformasi ini akan kehilangan maknanya bila masyarakat pencari keadilan tidak ikut memahami cara kerjanya. Literasi hukum digital menjadi jembatan utama agar warga tahu bahwa panggilan pengadilan kini dapat diakses secara daring. Pengadilan bukan hanya tempat memutus perkara, tetapi juga ruang pembelajaran hukum bagi publik.

Dan tentu saja, Mahkamah Agung sebagai pengendali sistem peradilan perlu memastikan bahwa semangat modernisasi ini tidak menggerus hak-hak dasar untuk didengar. Evaluasi dan pengawasan berkala dibutuhkan agar teknologi tidak menggantikan empati, dan efisiensi tidak menyingkirkan keadilan itu sendiri.

Sebab pada akhirnya, digitalisasi hukum bukanlah perlombaan menuju kecepatan, melainkan perjalanan menuju pematangan keadilan. Ketika hukum mampu beradaptasi tanpa kehilangan nuraninya, di situlah peradilan digital benar-benar menemukan martabatnya.

Pemanggilan ghaib digital adalah simbol zaman - titik temu antara hukum klasik dan teknologi modern. Namun, kemajuan sejati tidak hanya diukur dari seberapa cepat sistem bekerja, tetapi dari seberapa luas keadilan bisa dirasakan.

Mungkin di sebuah pulau kecil, di pelosok nusantara, masih ada seseorang yang namanya tercantum di laman pengadilan tanpa ia ketahui. Di sinilah tugas hukum bukan hanya untuk “memanggil”, tetapi juga untuk “mendengar”.

Keadilan tidak boleh menjadi ghaib  bukan karena tergugat menghilang, tetapi karena hukum kehilangan empatinya. Maka, pembaruan hukum harus terus berjalan, namun dengan hati yang menyala. Karena sesungguhnya, kecepatan teknologi tidak akan berarti apa-apa tanpa kebijaksanaan nurani yang menuntunnya. (ldr/wi)

Baca Juga: Mengenal Contempt of Court


Thaifur Rasyid merupakan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…