Di banyak laman resmi pengadilan agama,
kini kita bisa menemukan sesuatu yang dulu hanya mungkin terbaca di koran
daerah: daftar “panggilan ghaib”. Nama-nama pihak tergugat terpampang, lengkap
dengan nomor perkara dan jadwal sidang. Tak ada lagi selebaran di masjid atau
pengumuman di papan kelurahan. Semuanya kini berada di ruang digital, satu klik
di situs pengadilan.
Inilah wajah baru hukum acara kita. Pemanggilan yang dulu
berwujud kertas kini menjelma notifikasi di layar. Di balik perubahan ini,
tersimpan pelajaran penting tentang bagaimana hukum dan teknologi berpacu,
bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk bersama-sama menghadirkan
keadilan.
Sejumlah pengadilan agama di Indonesia telah melangkah
lebih jauh dari sekadar digitalisasi administrasi. Pengadilan Agama Tarakan,
misalnya, menampilkan daftar enam perkara panggilan ghaib tahun 2025 di laman
resminya. PA Banjarmasin juga memublikasikan daftar serupa, termasuk perkara
663/Pdt.G/2025/PA.Bjm. Sementara PA Magetan menayangkan puluhan nama panggilan
ghaib 2024-2025.
Baca Juga: Membaca Buku adalah “Hinokami Kagura”
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa digitalisasi bukan
lagi konsep, melainkan kenyataan yang bekerja di akar sistem hukum. Pemanggilan
ghaib - yang diatur dalam Pasal 27 dan 28 PP No. 9 Tahun 1975 - kini menemukan
bentuk baru yang “bernapas digital”. Namun yang menarik, semangat yang dibawa
bukan sekadar efisiensi, melainkan keterbukaan.
Melalui publikasi daring, masyarakat bisa mengawasi proses
hukum dengan lebih mudah. Transparansi yang dulu hanya menjadi jargon, kini
mulai menemukan wadahnya. Publik dapat menelusuri perkara, memastikan bahwa
sidang benar-benar berjalan, dan bahwa tidak ada yang disembunyikan di balik
meja peradilan. Inilah bentuk baru public accountability di era digital.
Menemukan
Tafsir Baru atas Keadilan
Mahkamah Agung sebenarnya telah menggariskan arah pembaruan
hukum ini jauh sebelumnya. Dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035,
termaktub visi besar: membangun peradilan modern yang transparan, akuntabel,
dan berbasis teknologi informasi. Pemanggilan digital adalah bagian kecil dari
visi itu, meski belum sepenuhnya memiliki pijakan normatif yang eksplisit.
Pasal-pasal pemanggilan dalam peraturan lama memang masih
menggunakan istilah media massa cetak. Namun, ketika masyarakat sudah
bertransformasi menjadi masyarakat digital, hukum pun harus mampu menyesuaikan
diri dengan semangat zaman. Dalam konteks inilah, pengadilan berperan bukan
hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi juga sebagai penafsir progresif - mencari
bentuk baru dari nilai lama: menghadirkan keadilan bagi semua.
Prinsip dasarnya tetap sama: audi et alteram partem setiap pihak berhak untuk didengar. Hanya
medianya yang berubah. Dan perubahan ini, jika dikelola dengan etika dan
kesadaran, justru memperluas jangkauan keadilan.
Memang benar, di tengah kemajuan teknologi, masih ada
jurang digital yang memisahkan sebagian warga dari akses informasi. Namun
justru di sinilah ruang kebijaksanaan hukum diperlukan: agar digitalisasi tidak
sekadar mengejar kecepatan, tetapi juga menguatkan kehadiran keadilan yang bisa
dirasakan semua lapisan masyarakat.
Kita tidak perlu melihat transformasi ini sebagai ancaman.
Sebaliknya, ini adalah peluang besar untuk membangun kesadaran hukum digital di
masyarakat. Pengadilan dapat menjadi motor literasi hukum baru - melalui
sosialisasi, edukasi daring, dan pelatihan bagi aparat maupun masyarakat
tentang cara mengakses informasi hukum secara mandiri.
Ketika masyarakat memahami bahwa pemanggilan bisa diumumkan
secara daring, mereka tidak lagi menjadi korban dari ketidaktahuan, tetapi
bagian aktif dari sistem peradilan. Dengan demikian, digitalisasi justru
memperluas makna keadilan: bukan hanya di ruang sidang, tetapi juga di ruang pengetahuan
publik.
Transformasi digital peradilan bukanlah proyek teknologi
semata, melainkan proyek peradaban. Ia berbicara tentang bagaimana negara
mengatur relasi antara hukum dan manusia, antara efisiensi dan empati. Politik
hukum di balik kebijakan digitalisasi seharusnya menempatkan manusia sebagai
pusatnya human-centered justice.
Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud memberi
peringatan lembut:
“Hakim yang salah dalam memutus karena
tidak tahu, maka dosanya sama dengan hakim yang tidak adil.”
Kalimat itu bukan ancaman, melainkan pesan moral: bahwa
keadilan tidak boleh dibangun di atas ketidaktahuan, termasuk ketidaktahuan
terhadap realitas sosial. Maka, ketika teknologi hadir, tugas hakim dan lembaga
peradilan adalah memastikan bahwa kemajuan digital tidak menutup ruang bagi
manusia yang belum sepenuhnya digital. Keadilan yang sejati bukanlah yang
tercepat, melainkan yang paling mengerti manusia.
Menata Masa Depan Pemanggilan Digital
Untuk menjadikan pemanggilan digital benar-benar kokoh
secara etik maupun yuridis, dibutuhkan kerja hukum yang lebih dari sekadar
teknis. Reformasi hukum acara menjadi keniscayaan, agar sistem hukum kita
secara eksplisit mengakui situs resmi pengadilan sebagai media pemanggilan yang
sah. Tanpa kejelasan itu, digitalisasi akan terus berjalan di atas tafsir yang
lentur, bukan kepastian yang tegak.
Di saat yang sama, perlu ada mekanisme pembuktian yang
seragam dan transparan. Catatan waktu tayang, log sistem, hingga bentuk
verifikasi elektronik harus diatur dengan prinsip akuntabilitas publik. Setiap
pengumuman digital semestinya dapat diverifikasi kembali-bukan sekadar tayang,
tetapi tercatat sebagai bagian dari proses hukum yang sah.
Lebih jauh dari itu, transformasi ini akan kehilangan
maknanya bila masyarakat pencari keadilan tidak ikut memahami cara kerjanya.
Literasi hukum digital menjadi jembatan utama agar warga tahu bahwa panggilan
pengadilan kini dapat diakses secara daring. Pengadilan bukan hanya tempat
memutus perkara, tetapi juga ruang pembelajaran hukum bagi publik.
Dan tentu saja, Mahkamah Agung sebagai pengendali sistem
peradilan perlu memastikan bahwa semangat modernisasi ini tidak menggerus
hak-hak dasar untuk didengar. Evaluasi dan pengawasan berkala dibutuhkan agar
teknologi tidak menggantikan empati, dan efisiensi tidak menyingkirkan keadilan
itu sendiri.
Sebab pada akhirnya, digitalisasi hukum bukanlah perlombaan
menuju kecepatan, melainkan perjalanan menuju pematangan keadilan. Ketika hukum
mampu beradaptasi tanpa kehilangan nuraninya, di situlah peradilan digital
benar-benar menemukan martabatnya.
Pemanggilan ghaib digital adalah simbol zaman - titik temu
antara hukum klasik dan teknologi modern. Namun, kemajuan sejati tidak hanya
diukur dari seberapa cepat sistem bekerja, tetapi dari seberapa luas keadilan
bisa dirasakan.
Mungkin di sebuah pulau kecil, di pelosok
nusantara, masih
ada seseorang yang namanya tercantum di laman pengadilan tanpa ia ketahui. Di
sinilah tugas hukum bukan hanya untuk “memanggil”, tetapi juga untuk
“mendengar”.
Keadilan tidak boleh menjadi ghaib bukan karena tergugat menghilang, tetapi karena hukum kehilangan empatinya. Maka, pembaruan hukum harus terus berjalan, namun dengan hati yang menyala. Karena sesungguhnya, kecepatan teknologi tidak akan berarti apa-apa tanpa kebijaksanaan nurani yang menuntunnya. (ldr/wi)
Baca Juga: Mengenal Contempt of Court
Thaifur Rasyid merupakan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI