Integritas bukan hanya sekadar atribut moral, melainkan inti dari keadilan itu sendiri. Bagi seorang hakim, integritas adalah telos (tujuan akhir) dan prinsip penggerak dalam setiap putusan. Di tengah gelombang relativisme etika moral dan krisis legitimasi institusi, menjaga integritas tidak lagi cukup hanya dengan aturan melainkan integritas juga harus hidup sebagai keteladanan dalam sikap, keputusan, dan kehidupan sehari-hari.
Socrates, Imanuel Kant, dan Bauman memberikan pandangan tentang integritas. Socrates mengajarkan bahwa integritas adalah keutuhan antara pikiran, perkataan, dan Tindakan, sehingga ia lebih memilih kematian sebagai bagian dari integritasnya. Socrates menunjukkan bahwa integritas bukan kompromi seperti yang selalu dijaga dalam bahasa koordinasi antar instansi selama ini, tetapi integritas adalah kesetiaan pada kebenaran, bahkan saat semua orang menolak. Immanuel Kant menyatakan bahwa tindakan moral harus berlandaskan kesadaran universal, bukan karena pragmatisme, sehingga dalam pandangan Kant keputusan yang benar adalah Keputusan yang bisa diuji oleh nalar universal, bukan oleh tekanan politik, opini publik, atau keinginan tersembunyi.
Baca Juga: Mencapai Tipping Point dan Mendorong Perubahan di Pengadilan
Dalam dunia yang sarat heteronomi, integritas adalah kemampuan untuk tetap mandiri, namun, seperti kata Bauman, nilai-nilai seperti integritas menguap di tengah arus pragmatisme dan ketidakpastian. Di sinilah dilema besar muncul: bagaimana menjadi penjaga prinsip dalam masyarakat yang tak lagi percaya pada prinsip?
Keteladanan di Tengah Tantangan
Keteladanan bukan terletak pada pidato, ceramah atau simbol, tetapi ia adalah tapak-tapak pada keseharian. Apa yang diucapkan akan hilang menguap bersama gelombang udara, tetapi apa yang dicontohkan memberi pesan dan kesan yang lebih kuat pada siapapun.
Banyaknya perkara korupsi di Indonesia menjadi bukti bahwa integritas bukan asumsi, melainkan pertaruhan moral yang nyata, namun walupun begitu, tidak berarti pula bahwa semuanya telah gelap, masih banyak lilin-lilin keteladanan, di dunia peradilan dan penegakan hukum publik mengenal sosok seperti Artidjo Alkostar (mantan Ketua Muda Pidana MARI), Sunarto (Ketua MARI), Baharuddin Lopa (mantan Jaksa Agung RI), Jenderal Hoegeng (mantan Kapolri), serta tokoh lainnya di Mahkamah Agung yang memimpin dengan keteladanan. Mereka semua konsisten menolak intervensi dan berdiri pada nuraninya, bahkan di tengah badai pertaruhan wibawa lembaga sekalipun.
Empat Pertaruhan Besar Integritas Hakim
1. Integritas: Legal Positivisme dan keadilan substantif
Legal positivisme memisahkan hukum dari moralitas, sebagaimana dalam teori hukum murni Hans Kelsen. Keadaan ini kerap menjadi tameng untuk membenarkan putusan yang sah tapi tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam situasi ini integritas moral diuji: apakah hakim sekadar menjadi the speaker of law, atau menjadi the soul fo justice yang menghidupi teks-teks hukum yang mati dari nilai keadilan. Dalam konflik struktural, dalam sengketa yang melibatkan para aktor kuat dan terdidik, hakim yang berintegritas tidak melulu membatasi diri pada rumusan teks, tetapi lebih dari itu mampu memberi jiwa (tafsir) pada teks untuk bergerak menuju keadilan substantif.
2. Era Digital, Krisis Otoritas Moral, dan post truth
Sosial media yang massif, talk show di tv nasional yang melibatkan para ahli dan praktisi seolah telah menciptakan "pengadilan bayangan", yang membentuk persepsi publik seolah-olah bahwa itulah yang benar, sehingga mengakibatkan krisis kepercayaan pada proses dan putusan pengadilan.
Dalam situasi seperti ini integritas adalah ketenangan di tengah badai hujatan, tidak reaktif, dan tetap objektif. Ketika masyarakat sakau dengan agitasi keadilan berdasarkan opini semata, maka hakim yang berintegritas adalah penyeimbang yang tidak goyah pada halusinasi keadilan sosial tanpa basis data yang akurat.
3. Politik, Hukum dan Independensi Etis
Politik sering berusaha mempengaruhi atau mempunyai niat terselubung untuk menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan. Keterbatasan anggaran, fasilitas yang belum memadai serta sejumlah permasalahan yang timbul di lapangan yang harus diselesaikan melalui mekanisme koordinasi, menunjukkan bahwa kemungkinan tekanan terhadap hakim adalah nyata bahkan dari pimpinannya sendiri. Dalam situasi ini, integritas bukan hanya soal pribadi, tapi juga soal keberanian untuk berkata "tidak" demi menyelamatkan kemandirian.
4. Kepentingan aktual, uang dan social savety
Akhirnya juga kita harus realistis, Hakim dengan segela atribut mulia yang menyertainya adalah manusia, dengan semua kebutuhan dan tanggungjawabnya. Dalam konteks ini hakim tidak boleh dibiarkan serta tidak semestinya memperjuangkan sendiri kesejahteraannya, karenanya harus ada kesadaran untuk secara terus menerus meningkatkan kesejahteraan hakim, karena tanpa itu akan selalu ada helai demi helai dari dedaunan integritas yang gugur lalu pada akhirnya apapun yang menjadi cita-cita integritas akan sirna terbawa hembus angin kehidupan yang berlalu.
Merawat Integritas: Jalan Filosofis di Tengah Dunia yang Luka
Baca Juga: Syawalan dan Lopis Raksasa, Tradisi Dalam Perayaan Idul Fitri di Kota Pekalongan
Hakim hidup dalam paradoks sebagai manusia biasa yang bisa salah, namun karena jabatannya, hakim tetap dituntut untuk menjadi simbol moral yang sempurna. Dalam pengertian Ihsan sebagai suatu kesadaran transcendental, menekankan bahwa integritas adalah jalan spiritual yang menuntut kesadaran diri tiada henti. Tantangan eksistensial muncul ketika godaan dan tekanan sistemik dari baik dari internal maupun eksternal menguji komitmen tersebut. Oleh karena itu merawat integritas tidak akan cukup hanya secara individual, ia harus menjadi system dan keteladanan kolektif yang juga meliputi kepentingan actual hakim dalam realitas sosialnya.
Penutup
Albert Camus pernah berkata: “Integrity has no need of rules.” Integritas sejati adalah hukum batin, bukan sekadar kepatuhan pada norma tertulis. Artidjo Alkostar juga pernah mengatakan bahwa “kejujuran (integritas) tidak ada sekolahnya, kejujuran (integritas) tumbuh dari hati yang bersih”. Hakim berintegritas akan dikenang bukan karena jabatannya, melainkan karena jejak keteladanan moral yang ia torehkan dalam sejarah peradaban. Di tengah masyarakat yang tertutup kabut untuk melihat Cahaya integritas, hakim dengan berintegritas dan keteladanannya seperti lilin memberi petunjuk arah jalan yang benar. Hakim beritegritas berani menegaskan bahwa hukum bukan sekadar alat, tetapi refleksi keluhuran jiwa manusia yang terus mencari kesejatian yaitu keadilan dalam hidup. (LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum