Selain
profesi Hakim, Notaris adalah sebuah profesi yang dikenal dengan
“officium nobile” karena profesi ini memiliki hubungan erat dengan
kemanusiaan. Notaris sudah dikenal pada sekitar abad ke-2 sampai ke-3
pada masa romawi kuno, dimana mereka dikenal sebagai scribae, tabellius
atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan orang yang mencatat
pidato.
Istilah
notaris diambil dari nama pengabdinya, notarius, yang kemudian menjadi
istilah atau titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer.
Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di
dunia.
Menurut
Pasal 1868 KUHPerdata, Notaris adalah lembaga sosial yang ada sebagai
kebutuhan untuk komunikasi antarpribadi, yang hendak memberikan
kesaksian kepada orang-orang yang berkepentingan dengan Hukum Perdata.
Badan tersebut diberi kuasa umum (openbaar gezag) untuk memberikan bukti
tertulis yang mengandung kuasa asli, mengikuti kehendak persyaratan
Hukum masyarakat. Lembaga sosial yang dikenal dengan sebutan “Notaris”
ini muncul karena adanya kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat yang
ingin memberikan pembuktian tentang hubungan Hukum Keperdataan melalui
suatu badan yang ditunjuk oleh pejabat publik (openbaar gezag). Sehingga
jabatan notaris tidak ditempatkan di lembaga eksekutif, legislatif,
ataupun yudikatif.
Dikutip
dari G.H.S Lumban Tobing (1983), sejarah perkembangan lembaga
kenotariatan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan lembaga
kenotariatan di seluruh negara Eropa, khususnya Belanda. Hal ini karena
di Indonesia, Undang-Undang tentang jabatan Notaris berasal dari
“Notariswet” (Ned. Stbl. no. 20) dari Belanda pada tanggal 9 Juli 1842,
sedangkan isi “Notariswet” sebagian besar berasal dari Hukum Notaris
Perancis dari 25 Ventose an Xl (16 Maret 1803) meskipun bukan terjemahan
yang lengkap. "Notariswet" diakui dan digunakan di Belanda.
Di
masa itu Belanda seolah-olah memonopoli lembaga Notariat yang ada di
Indonesia. Lembaga Notariat juga menduduki kota-kota besar, sehingga
hanya mudah dijangkau oleh orang-orang yang tinggal di sana. Hanya
orang-orang Timur asing, Cina, Eropa, dan bangsa asing lain yang
memiliki kesempatan untuk tinggal di kota-kota besar. Beberapa orang
Indonesia dengan golongan tertentu yang memiliki kesempatan untuk
tinggal di kota-kota besar, sedangkan sebagian besarnya menduduki
pemukiman di kota kecil dan desa-desa.
Dikutip
Dandapala (1/5) dari buku Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim
(2015), tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1620, Notaris pertama yang
diangkat di Indonesia yaitu Melchior Kelchem, sekretaris dari College
van Schenpenen di Jakarta pada tanggal 27 agustus 1620. Setelah itu
berturut ikut diangkat sebagian notaris yang lain, yang umumnya
merupakan keturunan Belanda atau timur asing yang lain.
Setelah
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia
tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu : “Segala peraturan
perundang-undangan yang masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut undang-undang dasar ini””. Dengan berdasar kepada Pasal II
Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het
Notarisambt in Nederlands Indie.“
Kemudian,
sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh Menteri
Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 1948 Nomor 60,
tanggal 30 Oktober 1948 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan,
dan Tugas Kewajiban Kementerian Kehakiman. Selanjutnya pada tahun 1954,
diadakan kursus-kursus independen di Universitas Indonesia. Dilanjutkan
kursus notariat dengan menempel di fakultas hukum, sampai tahun 1970
diadakan program studi spesialis notariat, sebuah program yang
mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, kontrak dan sebagainya)
yang memberikan gelar sarjana hukum (bukan CN singkatan dari Candidate
Notaris) pada lulusannya.
Dalam perjalannya, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
- Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;
- Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
- Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
Dikarenakan
berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Hingga
pada akhirnya sebagai pengganti Staatsblad 1860 Nomor 30, di tahun 2004 lahir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan pada tahun 2014 UUJN telah diubah
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014. (EES/AL-LDR)
Baca Juga: Tok! PN Jaksel Batalkan Status Tersangka Notaris Senior Wahyudi Suyanto
Referensi :
-
G.H.S
Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga.
- Laurensius Arliman S, 2015. “Buku Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim. Sleman: Deepublish
- Edmon Makarin, 2020, Notaris dan Transaksi Elektronik. Depok: PT. Grafikindo Persada.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014.
Baca Juga: Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum