Cari Berita

Urgensi Reformulasi Peran dan Kedudukan Hakim dalam Revisi KUHAP 

article | Opini | 2025-05-05 15:30:23

SUDAH banyak diskusi mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan diperbaharui. Agenda pembaharuan sistem peradilan pidana (SPP) ini bukan hal yang baru, namun sudah diperbincangkan sejak tahun 2004. Urgensi pembaharuan SPP ini semakin kuat dikarenakan akan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Saat Rancangan KUHAP (RKUHAP) tengah dibahas di Komisi III DPR.Pembaharuan SPP harus dilakukan dalam semangat menjamin Hak Asasi Manusia (HAM), meskipun juga tidak dapat dihindari pembentukkan atau perubahan undang-undang merupakan proses politik. SPP harus dapat menyeimbangkan kepentingan penegakkan dan penjagaan ketertiban masyrakat dengan perlindungan HAM.Hal ini harus diwujudkan dengan adanya akuntabilitas yang efektif dalam SPP. Untuk terwujudnya hal tersebut pengadilan, baik secara kelembagaan sebagai pemangku kewenangan yudijatif maupun dilihat secara lebih spesifik sebagai hakim, memiliki peran yang krusial dan sentral. Kekuasaan yudisial yang hadir sebagai kekuasaan yang independen, objektif, dan imparsial diperlukan untuk dapat memperkuat pembentukan akuntabilitas dalam SPP yang efektif. Pengawasan yudisial juga dilakukan dalam hal menjaga keseimbangan kekuatan (equality of arms) antara negara dengan warga sipil.Hal ini tidak hanya diwujudkan oleh hakim dalam proses persidangan, namun seyogyanya juga pada tahap prapersidangan dan sesudah persidangan. Peran ini bukan hanya sekedar administrasi peradilan pidana, atau mengenai proses dari upaya hukum. Namun, perlu memastikan peran pengadilan yang bermakna  dan memegang peran krusial dikarenakan dalam setiap berkas pidana terdapat hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Hadirnya pengadilan dalam menjaga keseimbangan kekuatan dalam SPP dilakukan dalam pra-persidangan atau pra-penuntutan dikenal juga dengan judicial scrutiny. Ini merupakan pembahasan yang utama dan sangat penting dalam SPP. Dalam hal ini tentu sudah tidak asing bagi hakim denga apa yang disebut sebagai  Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dan Pra-Peradilan. Kedua hal ini merupakan salah satu contoh kontrol dari kekuasaan kehakiman dalam proses SPP untuk menjamin akuntabilitas dan perwujudan dari checks and balances. Misalnya, dengan adanya HPP maka restorative justice yang dilaksanakan oleh penyidik atau penuntut umum harus melalui proses judicial scrutiny oleh pengadilan. Dalam pra peradilan diperlukan kepastian terhadap apa saja objek dari pra peradilan ini, dan siapa saja yang dapat mengajukan. Jangan sampai kewenangan pra-peradilan terlalu sempit sehingga tidak mewujudkan judicial scrutiny tadi. Namun, juga jangan sampai terlalu luas sehingga membuka ruang diskresi dan monopoli yang terlalu besar tanpa akuntabilitas. Dalam draft yang didapat penulis terakhir kali, Penyeldikkan tidak termasuk dalam kewenangan Pra Peradilan. Tidak lupa juga pentingnya, pengaturan mengenai proses pra-peradilan ketika perkara telah dilimpahkan ke pengadilan.Dalam proses persidangan, peran pengadilan tidak perlu dipertanyakan lagi. Salah satu hal yang terpenting dalam proses persidangan adalah mengenai restorative justice, dan pembuktian. Pengadilan harus terlibat dalam pembahasan mengenai alat bukti dan proses pembuktian. Misalnya mengenai apa yang dimaksud dengan saksi mahkota, keabsahan alat bukti elektronik, dan kemandirian ahli dalam memberikan keterangan. Hakim akan memperkaya diskusi pengaturan hal ini dikarenakan pengalamannya yang secara langsung menerapkan aturan ini. Selain itu, diskusi yang tidak kalah penting adalah apakah contempt of court perlu diatur dalam RKUHAP. Hal-hal diatas adalah segelintir dari isu-isu penting lainnya yang perlu menjadi perhatian khusus dari kita semua.Dalam konteks sesudah persidangan, salah satu peran hakim yang penting adalah mengenai Hakim Pengawas dan Pengamatan (Hakim Wasmat). Hakim Wasmat diharapkan dapat mengawasi bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dan menjadu bahan penelitian yang bermanfaat untuk pemidanaan. Dalam konteks penerapan KUHP baru ke depan, peran Hakim Wasmat ini menjadi sangat penting. Mengingat pendekatan KUHP baru yang disebut-sebut menjauhkan hukum pidan dari warisan kolonial,  lebih seimbang, dan betul-betul menerapkan pidana sebagai sebuah ultimum remidium.Peran-peran sebagaimana disebutkan diatas tentu akan menjadikan tugas pengadilan, terutama hakim, menjadi lebih berat, dan menantang. Namun, hal ini merupakan hal yang seyogyanya dilakukan. Praktik di berbagai negara misalnya Amerika Serikat menunjukkan peran pengadilan yang sentral dalam SPP. Hal ini misalnya melalui preliminary hearing, arraignment, sampai pretrial conference yang dilakukan pra-persidangan.Bahkan di Kamboja, terdapat hakim penyidik, yang betugas bukan untuk mengintervensi pengumpulan bukti, namun memastikan proses didapatnya bukti sesuai aturan hukum. Diskusi-diskusi terhadap hal ini harus segera diadakan baik secara internal, maupun dengan pihak eksternal seperti lembaga terkait atau akademisi. Selain itu, untuk menyeimbangkan tugas tersebut, urgensi diaturnya jabatan hakim yang lebih layak dan aman perlu kembali digaungkan. Tentu semua ini didorong dengan terlihatnya profesionalitas dan kemampuan para hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengadil.Pengadilan adalah pemangku kekuasaan kehakiman, salah satu kekuasaan yang menopang berdirinya negara ini. Pengadilan bukanlah sekedar lembaga administrasi atau lembaga stempel dalam SPP.  Sehingga sudah sewajarnya, memiliki peran yang aktif dalam pembentukkan dan penegakkan hukum di Indonesia. Mahkamah Agung sudah memainkan peran penting dengan melakukan pembaharuan dan berbenah diri secara terus menerus. Misalnya dari berbagai Perma yang melengkapi hukun acara, penggunaan SIPP dan E-berpadu. Hal ini menunjukkan kita juga memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan terus meningkatkan diri. Tentu kita lebih dari mampu untuk menjaga keseimbangan dalam SPP Indonesia.Amelia Devina Putri, S.H., LL.M(Hakim Pengadilan Negeri Prabumulih)Referensi:https://icjr.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/https://www.hukumonline.com/berita/a/koalisi-minta-pembahasan-rkuhap-transparan-dan-melibatkan-partisipasi-publik-bermakna-lt67f62c42a6955/M. yahya Harahap, Pembahasan Permaslaahn dan Penerapan KIHAP: Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedia), Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 38.Audti KUHAP: Studi Evaluasi terhadap Keberlakuan Hukum Acara Pidana Indonesia. Hlm. 35.https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2022/10/Judicial-Scrutiny-melalui-Hakim-Pemeriksa-Pendahuluan-dalam-RKUHAP.pdfhttps://www.hukumonline.com/berita/a/begini-peran-hakim-penyidik-dalam-menjaga-keadilan-sebelum-persidangan-lt67b9d2b3a574d/

Diakui di KUHAP, Ternyata Autopsi Sudah Dikenal di Zaman Mesir Kuno

article | History Law | 2025-04-20 14:55:16

AUTOPSI menjadi salah satu sarana pembuktian adanya kejahatan. Hal itu juga diakui dalam KUHAP. Tapi tahukah Anda bila autopsi sudah dikenal sejak saman Romawi kuno?Autopsi di Indonesia diatur dalam Pasal 133 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat;Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Pasal tersebut dasar bagi penyidik utuk mendapatkan keterangan ahli dari dokter untuk menangani perkara pidana yang berhubungan dengan tubuh korban yang diakibatkan dari tindak pidana berbentuk keadaan luka ringan, luka berat atau korban yang sudah tidak bernyawa.Sebagaimana dikutip DANDAPALA dari buku Autopsi Medikolegal. karya Amir A, Minggu (20/4/2025), disebutkan berdasarkan catatan sejarah, autopsi sebenarnya sudah dipraktekan sejak lama. Bahkan telah berakar sejak zaman Era Kuno, Abad pencerahan, sampai pada Zaman modern. Berikut pembabakannya:Era KunoPraktik autopsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. peradaban pertama yang diketahui melakukan praktek ini adalah Mesir Kuno sekitar 3000 SM. Mesir kuno mempraktikan autopsi melalui proses mumifikasi, meskipun bukan bertujuan untuk menentukan penyebab kematian. Autopsi untuk mencari penyebab kematian baru dilakukan sekitar abad ke-3 SM oleh dua tokoh terkenal Erasistratus dan Herophilus dari Alexandria, walaupun praktik ini sangat jarang dilakukan. Adapun sejarah otopsi paling terkenal terjadi di zaman Roma, yang mana pembedahan mayat kala itu dilakukan untuk mengetahui penyebab kematan Julius Caesar. Pembunuhan Julius Caesar pada 15 Maret 44 SM adalah salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah Romawi. Julius Caesar diketahui tewas setelah menjadi korban konspirasi oleh para senatornya yang tidak suka  pada dirinya. Sejarah mencatat bahwa sebanyak 60 konspirator berkonspirasi untuk membunuh dirinya saat menghadiri pertemuan senat. Diktaktor itu tewas setelah mendapat 23 tusukan. Para konspirator awalnya berencana membuang tubuh Caesar ke Sungai Tiber, tapi mereka berubah pikiran dan meninggalkan tubuhnya yang berlumuran darah di teater Pompey. Hal ini memungkinkan dokter antistius untuk melakukan otopsi dan mencatat kondisi tubuh Caesar setelah serangan mematikan tersebut, hasil otopsi itu mencatat 23 luka yang terdapat di tubuh Caesar, termasuk di bagian wajah dan selangkangan.Abad PencerahanZaman masa Renaisans atau pencerahan menandai kemajuan besar dalam bidang anatomi dan kedokteran, termasuk otopsi yang mulai dilakukan secara teratur sejak abad ke-12,  di Eropa.  Giovanni Battista Morgagni (1682–1771) dianggap sebagai orang yang mendewasakan otopsi, yang kemudian disebut sebagai bapak patologi anatomi. Ia menulis De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis, karya besar yang membahas penyebab penyakit berdasarkan pengamatan anatomi. Andreas Vesalius juga merupakan tokoh penting pada abad ke-16 yang melakukan diseksi publik terhadap jenazah seorang kriminal.Pada abad ke 17, pakar hukum di negara-negara Eropa mulai berpikir bahwa ilmu autopsi sangat dibutuhkan untuk membuktikan penyebab hilangnya nyawa korban. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti oleh dokter dengan mengembangkangkan ilmu kedokteran untuk membuktikan kesalahan pelaku kejahatan melalui ilmu autopsi. Hasil pemeriksaan dokter tersebut akan dijadikan alat bukti melalui pemberian keterangan saksi ahli di sidang pengadilan. Penggunaan autopsi di pengadilan disebut dengan istilah Official Medicine, State Medicine, Medical Police dan Medical Jurisprudence. Dalam dunia praktisi hukum, ilmu kedokteran yang digunakan untuk keperluan penegak hukum di pengadilan disebut Medicolegal Science.Zaman Modern Pada abad ke-19, Carl von Rokitansky dan koleganya dari Second Vienna Medical School memperkenalkan otopsi sebagai metode untuk meningkatkan akurasi diagnosis medis. Rudolf Virchow, seorang peneliti medis terkenal, mengembangkan protokol autopsi yang terstandarisasi dan menciptakan konsep proses patologis yang masih dipakai hingga kini. Pada abad ke-20, Scotland Yard membentuk Kantor Ahli Patologi Forensik yang bertugas menyelidiki kematian tidak wajar, seperti akibat kecelakaan, pembunuhan, atau bunuh diri. (ees/asp)

Miranda Rule ‘Anda Berhak Diam!’ dan Pasal 56 KUHAP

article | History Law | 2025-04-04 07:25:00

MIRANDA Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka atau terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat yang bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan dan atau dalam semua tingkat proses peradilan. Lalu bagaimana di Indonesia?Miranda Rule sendiri berawal dari sebuah kasus di Arizona, Amerika Serikat, 1963. Saat itu Arturo Ernesto Miranda, (23), ditangkap polisi atas dugaan kasus penculikan dan pemerkosaan. Setelah diinterogasi penyidik sekitar 2 jam, akhirnya Miranda mengaku sebagai pelaku. Lantas Miranda pun menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab pertanyaan penyidik dengan sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Lalu kasus pun memasuki tahap persidangan. Di pengadilan Arizona, Miranda diganjar 20 tahun hukuman penjara. Dia langsung banding.Kasus ini berlarut hingga naik ke Supreme Court of the United State (MA-nya Amerika Serikat). Di tingkat Supreme Court tersebut, sekitar tahun 1966, mayoritas hakim Supreme Court berpendapat hak-hak Miranda sebagai tersangka tidak dilindungi. Selain itu, saat pemeriksaan Miranda tidak didampingi pengacaraDi tingkat Supreme Court inilah, Miranda dihukum lebih ringan, 11 tahun penjara dengan suara juri 5 banding 4. Akhirnya, Miranda dibebaskan secara bersyarat pada 1973.Sekeluarnya dari penjara, Miranda malah tewas dalam perkelahian bersenjata tajam. Berbeda dengan saat Miranda ditangkap, kepada tersangka penusuk, polisi membacakan kalimat:”You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense,”.Kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia terjemahan bebas berarti:“Anda berhak diam. Apa pun yang Anda katakan bisa digunakan sebagai bukti di pengadilan. Anda berhak untuk menunjuk pengacara yang hadir saat diperiksa. Jika Anda tidak mampu menghadirkannya, seorang pengacara akan ditunjuk untuk Anda oleh pemerintah,”Nah, kini kalimat di atas kerap muncul dalam film-film Hollywood saat adegan penangkapan polisi terhadap penjahat.Bagaimana di Indonesia?Sebagaimana DANDAPALA kutip dari M Sofyan Lubis,Prinsip Miranda Rights Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan (Pustaka Yustisia 2010), Jumat (4/4/2025). Miranda Rule juga merupakan hak konstitusional yang bersifat universal di hampir semua negara yang berdasarkan hukum.Komitmen terhadap penerapan Miranda Rule telah dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ke dalam sistem Hukum Acara Pidana, yaitu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Secara umum prinsip Miranda Rule (Miranda Principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada dalam Bab VI  KUHAP, sedangkan secara khusus Prinsip Miranda Rule atau Miranda Principle terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP.Yang ingin ditegakkan dalam Prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair terhadap diri tersangka atau terdakwa. Sebab dengan hadirnya penasihat hukum untuk mendampingi dan membela hak-hak hukum bagi terdakwa dalam pemeriksaan di Pengadilan dimaksudkan untuk dapat berperan memberikan fungsi kontrol. Sehingga proses pemeriksaan terhindar dari adanya tindakan-tindakan yang tidak wajar yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di samping itu dimaksudkan agar adanya kontrol oleh penasihat hukum terhadap jalannya pemeriksaan selama dalam proses persidangan di pengadilan.Pada sisi lain Ketentuan yang di konstantir dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut bersifat imperatif, yang apabila diabaikan mengakibatkan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.Sejarah Diadopsinya Prinsip Miranda Rule dalam KUHAPBerawal dari kasus yang terjadi Miranda Rule di Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1966 di atas, sejak saat itu, Miranda Rule menjadi pijakan dalam sistem hukum Amerika Serikat, yang kemudian mengarah pada penerapan prinsip serupa di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.Hak-Hak yang Dilindungi dalam Miranda Rule meliputi penerapan dalam pasal 56 KUHAP  hak dasar yang wajib diberikan kepada tersangka sebelum dimulai pemeriksaan oleh penyidik, antara lain:1. Hak untuk diam: Segala hal yang diungkapkan oleh tersangka bisa digunakan untuk melawannya dalam pengadilan, sehingga hak untuk diam menjadi nilai krusial bagi tersangka.2. Hak untuk mendapatkan penasihat hukum: Tersangka berhak menghubungi atau didampingi oleh pengacara yang memiliki kewajiban untuk melindungi hak-haknya selama proses pemeriksaan.3. Hak atas bantuan hukum jika tidak mampu (Pro Bono): Jika tersangka tidak mampu menyediakan pengacara, penyidik harus menyediakan penasihat hukum yang akan dibiayai oleh negara.Dari hal hal tersebut karena diabaikanya hak tersangka maka Prinsip Miranda Rule melahirkan Miranda Rights, yang merinci hak-hak tersangka yang perlu diketahui sebelum pemeriksaan dimulai.Selain Miranda Rule dan Miranda Rights, dewasa ini ada pula yang dikenal sebagai Miranda Warning, yaitu peringatan yang wajib disampaikan oleh penyidik kepada tersangka pada saat penangkapan atau sebelum interogasi. Peringatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa tersangka memahami hak-haknya, yang selanjutnya demi kepentingan proses hukum yang adil.Adapun bunyi Pasal 56 penerapan dari Miranda Rule sebagai berikut:Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. (EES/asp).

Buah Beracun dalam Sistem Peradilan Pidana itu Bernama Penyiksaan

article | Opini | 2025-03-22 12:20:51

PENYIKSAAN hanya buah dari sebab “fruit of the poisenous tree”. Selama “pohonnya” tidak disehatkan maka selama itu pula buah-buah beracun itu akan ada setiap saat. Hal tersebut disampaikan oleh Luhut MP Pangaribuan, Advokat Senior dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi Penyiksaan dalam Peradilan Pidana yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan REVISI, pada 21 Maret 2025. Luhut juga melanjutkan pernyataannya bahwa penyiksaan dan peradilan ini secara diametral saling bertentangan. Karena jika berbicara Peradilan maka seharusnya wujudnya adalah suatu pengayoman yang religius. Oleh karena itu adanya “penyiksaan” dalam peradilan, yang religius dan konstitusional di Indonesia, sungguh menjadi hal yang tidak masuk akal.Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 28 September 1998 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut mengedepankan sebuah definisi mengenai tindakan-tindakan yang merupakan “penyiksaan” yang disepakati secara internasional. Pasal ini menetapkan bahwa:istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.Dalam acara yang sama, Ichzan Zikry (Direktur Eksekutif REVISI) memaparkan bahwa dari 150 putusan yang diindeksasi, tercatat hanya 63 perkara yang klaim penyiksaannya diperiksa oleh Pengadilan. Dari 63 perkara hanya 19 perkara yang klaimnya diterima Pengadilan. Data ini didapatkan dari proses indeksasi dan analisa atas 313 putusan pada tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali dalam kurun waktu 2005-2021. Zikry memandang perbedaan sikap Pengadilan ini dalam memeriksa atau tidak memeriksa klaim tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa tidak adanya mekanisme yang jelas untuk memeriksa klaim penyiksaan bahwa keterangan pihak pengaku yang diperoleh merupakan dari tindakan kekerasan.Perihal klaim penyiksaan dan kekerasan yang dialami Terdakwa, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan yang menerima klaim tersebut dan berujung pada bebasnya Terdakwa.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/PID/2013, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:putusan Judex Facti telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar bahwa saksi kunci SUANTO Bin SAIFUL HAQ dan saksi ROBY SUGARA Bin SUMADEN telah mencabut keterangan mereka di muka penyidik karena unsur tertekan dan takut, pencabutan keterangan itu beralasan karena mereka ditembak di kaki dalam keadaan mata tertutup. Sedangkan di muka persidangan kedua orang saksi ini menerangkan tidak pernah mencuri dua sepeda motor tersebut dan tidak pernah menyerahkannya kepada Terdakwa untuk dijual, bahkan kedua orang saksi ini telah diadili selaku Terdakwa kasus pencurian dua sepeda motor tersebut dengan putusan bebasDalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menolak kasasi Penuntut Umum yang mengajukan permohonan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Negeri Surabaya. Selanjutnya adalah Putusan Nomor 109 K/Pid/2019, Mahkamah Agung menyatakan:Bahwa di persidangan Terdakwa menolak dan menyangkal dengan keras tidak pernah melakukan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum kepadanya, sewaktu pemeriksaan pendahuluan di penyidikan Terdakwa terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dilakukan oknum penyidik, Terdakwa dipukuli, ditendang dan bahkan direndam dalam bak mandi;Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Padang Sidempuan telah tepat membebaskan Terdakwa dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum. Putusan lainnya adalah Putusan Nomor 1905 K/Pid.Sus/2017. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:Saksi Afrizon telah mencabut keterangannya di Berita Acara Penyidikan Polisi (BAP Polisi), demikian juga Terdakwa juga telah mencabutkan keterangannya di BAP Polisi, karena baik Terdakwa maupun saksi Afrizon masih mengalami trauma karena setelah ditangkap Terdakwa dan saksi Afrizon telah dibawa ke suatu tempat dan dipukuli oleh Polisi yang menangkap sehingga pada saat pemeriksaan oleh Penyidik masih merasa tertekan dan ketakutan;Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang telah membebaskan Terdakwa. (YPY)

43 Tahun Lahirnya KUHAP

article | History Law | 2025-01-11 21:25:54

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lahir tanggal 31 Desember 1981, saat ini sudah memasuki usia 43 tahun. Bilamana dibaratkan usia seorang manusia, maka telah tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa berkat kritik atau nasehat yang mewarnainya. Pembentukan KUHAP merupakan langkah progresif dalam menciptakan kesatuan hukum acara pidana nasional yang terkodifikasi. Bahkan KUHAP dinilai sebagai karya agung atau produk monumental era pemerintahan Presiden Soeharto. Hal ini dikarenakan pasca kemerdekaan Indonesia sampai akhir tahun 1981 pelaksanaan proses peradilan pidana masih menggunakan hukum acara warisan Kolonial yakni Herziene Inlandsche Reglement atau HIR. Secara historis pemberlakukan HIR dalam rangkaian peradilan pidana Indonesia diatur ketentuan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945, kemudian diperkuat orde lama melalui Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Maka pembentukan KUHAP  upaya negara membuat hukum acara pidananya sendiri yang sesuai dengan cita-cita hukum nasional. Bahkan perlindungan atas Hak Asasi Manusia diakui keberadaannya dan mendapatkan kedudukan layak pada proses peradilan pidana dalam KUHAP, dimana hal demikian tidak ditemukan pada HIR.Sebagai contoh, HIR mengadopsi sistem inkuisitur dengan menjadikan Tersangka/Terdakwa sebagai objek pemeriksaan sehingga memberikan ruang pemaksaan pengakuan bersalah atau kekerasan terhadap Tersangka/Terdakwa. Sedangkan KUHAP menggunakan pendekatan sistem akusator, dimana Tersangka/Terdakwa sebagai subjek dalam proses peradilan sehingga mendapatkan kesataraan dihadapan hukum dan terlindungi hak asasinya seperti berhak didampingi oleh penesehat hukum, hak mendapatkan kunjungan dari keluarganya seandainya dilakukan penahanan, hak untuk menguji upaya paksa terhadap dirinya melalui lembaga praperadilan dan hak dasar lainnya yang diatur KUHAP.Namun setelah 43 tahun timbul desakan dari berbagai kalangan untuk dilakukan perubahan atas KUHAP, baik dari kalangan akademisi ataupun praktisi hukum.Salah satu keinginan perubahan dalam KUHAP tersebut, perlu diadopsinya penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif  (restorative justice). Bahkan KUHAP telah tertinggal dari kebijakan Mahkamah Agung RI yang memberikan pedoman kepada Hakim dalam menyelesaikan perkara melalui pendekatan Keadilan Restoratif melalui Perma Nomor 1 Tahun 2024.Usia 43 tahun, KUHAP juga telah beberapa kali dilakukan yudisial review ke MK dengan putusan ada mengabulkan berbagai pasal di KUHAP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti Pasal 83 ayat (2) dan Pasal 263 ayat (3) KUHAP,  maupun konstitusional bersyarat seperti Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65 Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 184 ayat (1) huruf a, serta lainnya.