Cari Berita

CHA Ennid Hasanuddin Usulkan Model Omnibus Law pada Dasar Hukum Perdata Nasional

article | Berita | 2025-09-12 16:15:10

Jakarta — Dalam uji kelayakan di Komisi III DPR RI (11/9/2025), Calon Hakim Agung (CHA) Ennid Hasanuddin memaparkan makalah berjudul “Urgensi Unifikasi dan Kodifikasi Hukum Perdata Nasional.”“Hukum perdata mengatur kehidupan manusia sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia, mulai dari hak waris anak dalam kandungan, pencatatan kelahiran, perjanjian, bisnis, hingga pewarisan setelah meninggal,” jelas Ennid. Menurutnya, kodifikasi dan unifikasi hukum perdata sangat mendesak guna menjawab fragmentasi dan pluralisme hukum di Indonesia.Ia memetakan empat sumber utama hukum perdata. “Kesatu, KUH Perdata (BW) warisan Belanda; kedua, Hukum Islam melalui Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1/1991); ketiga, Hukum Adat yang diakui Pasal 18B UUD 1945; dan keempat, hukum positif modern di luar KUHPerdata, seperti UU Perlindungan Data Pribadi, UU HAKI, serta UU Kepailitan.” Ennid menganalogikan, “Fragmentasi ini ibarat kapal induk hukum perdata yang membawa sekoci-sekoci, namun kini skocinya telah lepas dan berdiri sendiri.”Ennid juga menegaskan tujuan kodifikasi. “Kodifikasi diperlukan untuk menghadirkan kepastian dan kesatuan hukum, keadilan dan kesetaraan, efisiensi penegakan hukum, serta mendukung iklim investasi nasional.” Ia mengutip studi Bank Dunia Ease of Doing Business (EoDB) yang menempatkan law enforcement sebagai indikator utama investasi.Meski demikian, ia mengingatkan adanya tantangan. “Keberagaman sistem hukum, tarik-menarik sosial-politik, teknik penyusunan kodifikasi, hingga dampak globalisasi dan teknologi seperti cross-border transaction, e-commerce, kepailitan lintas negara, bahkan persoalan hukum baru akibat artificial intelligence, menjadi tantangan yang harus diantisipasi.”Untuk solusi, Ennid mendorong model Omnibus Law. “Omnibus Law dapat menjadi pilihan paling realistis agar berbagai norma hukum perdata dapat diintegrasikan, sebagaimana pada UU Cipta Kerja dan UU P2SK.” Ia juga menyinggung sejumlah kasus yang menunjukkan pentingnya unifikasi, mulai dari perceraian perkawinan tidak tercatat, hak waris perempuan dan anak luar kawin, unit usaha syariah dalam kepailitan, hingga sengketa kewenangan pertanahan antara PTUN dan pengadilan negeri.Dalam sesi tanya jawab, anggota Komisi III menyoroti isu KUHPerdata yang masih berbahasa Belanda, konflik antara kepastian hukum dan keadilan, mafia tanah, hambatan eksekusi putusan bernilai triliunan, hingga transparansi berkas perkara di Mahkamah Agung. Menanggapi hal ini, Ennid menyatakan, “Yurisprudensi harus konsisten, nilai perkara kasasi/PK perlu dibatasi, sistem e-court harus diperkuat, dan perlu ada Badan Eksekusi Nasional agar eksekusi tidak membebani ketua pengadilan. Negara juga harus hadir membantu biaya eksekusi, termasuk bagi masyarakat kecil.”Menutup paparannya, Ennid menegaskan urgensi kodifikasi. “Unifikasi dan kodifikasi hukum perdata adalah kebutuhan mendesak bagi Indonesia demi kepastian hukum, keadilan, dan daya saing global. Model Omnibus Law adalah pilihan paling realistis, sementara kekosongan hukum tetap dapat dijembatani hakim melalui judicial activism.” (ldr/al)