PEGAWAI Negeri Sipil (PNS) merupakan unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang dianggap harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan anggapan tersebut, maka Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 10/1983).
Sejak di awal kemunculan PP 10/1983, perdebatan dan kontroversi menyeruak. Dalam wawancara Majalah Tempo pada 7 Mei 1983, PP 10/1983 tersebut didukung oleh Ketua Dharma Wanita DKI Jakarta yang bernama Soeprapti Soeprapto. Ia menganggap perlindungan untuk istri pegawai negeri semakin kokoh. Memang setahun sebelum PP 10/1983 ini diterbitkan, Dharma Wanita mengusulkan kepada pemerintah agar masalah perkawinan dan perceraian di kalangan PNS harus diketahui dan diberi izin atasan. Alasannya karena sering terdapat keluhan bahwa suami kawin lagi, diam-diam punya simpanan atau menceraikan istrinya lalu kawin lagi. Dukungan juga datang dari Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama, HAS Wahid Hasyim, mengharapkan agar PP 10/1983 diberlakukan bagi semua orang.
Baca Juga: Memaknai Status “Kawin Belum Tercatat” pada Dokumen Kependudukan
Namun, dari sisi sebaliknya, dalam wawancara Majalah Tempo pada 14 Mei 1983, Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran saat itu, Prof. Sri Soemantri Martosoewigno menilai bahwa beberapa ketentuan dari PP 10/1983 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku. PP 10/1983 tersebut dianggap menerobos UU yang berlaku. Pemerintah ingin mengatasi kecenderungan Pegawai Negeri ini untuk berpoligami. Namun seharusnya hierarki peraturan perundang-undangan tetap harus ditaati. Senada dengan hal tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI Prof. Ismail Sunny menyatakan bahwa undang-undang dasar kita tidak pernah membedakan antara warga biasa dengan pegawai negeri. Contoh ketidakkonsistenan adalah misalnya izin bercerai tidak akan diberikan bila alasannya karena istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 hal tersebut diperbolehkan.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 45/1990) menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. Pasal 3 PP 45/1990 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. (2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis; (3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.
Pada perkembangannya, Lembaga Bantuan Hukum APIK yang kerap mendampingi perempuan yang berhadapan dengan hukum mengkritik PP 10/1983 tersebut. Dalam keterangan pers-nya tertanggal 20 Januari 2025 menyatakan bahwa PP 45/1990 yang mengubah PP 10/1983 merupakan peraturan yang minim kacamata gender dan cenderung mendiskriminasi perempuan.
Jangka waktu pada Pasal 5 ayat (2) PP 45/1990 menyatakan bahwa izin perceraian dapat diajukan kepada dan atasan tersebut wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. Kemudian Pasal 12 PP 45/1990 menyatakan bahwa pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut.
Hal ini yang dapat dinyatakan bahwa kacamata dalam pembuatan peraturan ini menggunakan kacamata yang bias gender. PNS perempuan yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tentunya membutuhkan waktu yang relatif cepat untuk mengajukan perceraian karena harus mengurus izin tersebut. Semakin lama proses perceraian, semakin lama juga ia menjalani proses pernikahan yang menyiksanya. Terlebih dalam catatan Komnas Perempuan dalam Refleksi Pendokumentasian Dan Tren Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 2024: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024 yang diterbitkan 17 Maret 2025 mencatat Kekerasan terhadap istri paling tinggi dilaporkan sebagaimana terjadi dalam semua laporan tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Komnas Perempuan menerima pengaduan kekerasan terhadap istri sebanyak 672 kasus dan ini merupakan jumlah kasus tertinggi. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa data pengaduan Mitra Laporan Tahunan 2024 juga menunjukkan kasus kekerasan terhadap istri merupakan jumlah kekerasan perempuan yang paling banyak yaitu berjumlah 5.950 kasus. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa korban masih menghadapi hambatan saat membawa kasusnya ke ranah hukum dan peradilan.
Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, staf pengajar Bidang Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam wawancara kepada DANDAPALA menyatakan bahwa sebetulnya konteks PP itu adalah untuk melakukan kontrol terhadap pendataan perkawinan PNS, yang ujungnya adalah dalam rangka menjamin supaya gaji dan tunjangan atau hak lain yang diberikan, tidak diterima oleh pihak yang tidak berhak. Atasan dianggap adalah representasi dari negara, artinya dalam hal ini PNS yang bercerai sebetulnya bukan minta izin tapi menginformasikan. Namun, pengaturan dalam PP tersebut, yang diterbitkan saat Orde Baru, kewajiban “menginfokan” perceraian, berubah menjadi permohonan izin. Jika pengertiannya adalah sebatas “menginformasikan” pun sebenarnya pelindungan perempuan sudah terpenuhi. Misalnya hak istri terpenuhi dalam hal pemberitahuan supaya agar istri si PNS tidak dicerai tanpa sepengetahuan istri, termasuk juga menjaga hak istri pasca perceraian.
Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo menambahkan bahwa ada pandangan lain yaitu aturan mengenai permohonan ijin bercerai itu bisa jadi merupakan intervensi negara pada keputusan ruang privat seseorang. Hal ini dapat menjadi lebih buruk jika atasan/pejabat yang berwenang memberikan izin tidak memiliki empati jika yang mengajukan permohonan cerai adalah PNS Perempuan dengan alasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menurutnya, campur tangan atasan bukan faktor yang menentukan mengenai izin perceraian. Apalagi jika dapat diduga atau ditemukan fakta terang bahwa kekerasan tersebut membahayakan keselamatan nyawa, kondisi fisik dan atau psikologis pihak yang mengajukan permohonan perceraian dan mengalami KDRT tersebut.
Mengenai proses izin cerai PNS ini, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan Mahkamah Agung yang memberikan tafsiran lain atau menyimpangi izin cerai PNS sebagaimana diatur dalam PP 10/1983 maupun PP 45/1990.
Pertama adalah Putusan Nomor 1178 K/Pdt/2016. Dalam perkara tersebut, Judex Facti menolak gugatan cerai karena menganggap izin cerai belum ditempuh secara benar. Namun, pada tingkat kasasi gugatan cerai tersebut dikabulkan. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa:
Bahwa Judex Facti telah menolak gugatan perceraian atas dasar izin atasan Penggugat berdasarkan bukti surat bertanda P-3, belum ditempuh secara benar;
Bahwa izin perceraian dari atasan soal administrasi saja tetapi yang perlu ditimbang dengan sungguh-sungguh adalah apakah rumah tangga tidak lagi harmonis atau sering terjadi percekcokan terus menerus;
Bahwa secara formal izin perceraian dari atasan Penggugat berdasarkan bukti surat bertanda P-3 telah ada tetapi Judex Facti ternyata menelusuri lebih jauh dengan mencari pembuktian apakah atasan telah berusaha mendamaikan, pertimbangan Judex Facti tersebut tidak tepat dan salah karena hal itu bukan prasyarat menentukan;
Menimbang bahwa fakta persidangan telah terungkap, Penggugat tidak lagi hidup bersama selama tiga tahun. Fakta ini membuktikan bahwa syarat untuk terjadinya perceraian yaitu ketidakharmonisan atas percekcokan terus menerus telah dipenuhi;
Putusan kedua adalah Putusan Nomor 384 K/Pdt/2014. Dalam memori kasasi perkara tersebut, Pemohon Kasasi menyatakan bahwa Tergugat belum pernah menerima surat ijin yang dimaksud oleh Penggugat dari Pejabat Departemen Kesehatan selaku atasan Penggugat. Namun, Mahkamah Agung menolak hal tersebut dan menyatakan bahwa putusan Judex Facti telah tepat. Pertimbangannya adalah sebagai berikut:
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 21 Maret 2013 dan jawaban memori tanggal 28 April 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
– Bahwa benar untuk dapat hidup rukun dalam satu rumah tangga maka kedua belah yaitu suami dan istri harus mempunyai keinginan kuat untuk mewujudkannya;
– Bahwa sesuai dengan fakta persidangan Penggugat dan Tergugat telah hidup pisah meja, ranjang dan tempat tinggal sejak tahun 2008 serta tidak ada keinginan dari pihak Penggugat untuk merajut kembali keutuhan rumah tangganya dengan Tergugat sehingga meskipun diinginkan oleh Tergugat maka sulit bagi Tergugat untuk hidup rukun kembali dalam satu rumah tangga yang bahagia dengan Penggugat sehingga terpenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975;
– Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya Putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
Perkara ketiga adalah Putusan Nomor 27 K/Pdt/2008. Dalam perkara tersebut, pada memori kasasi disebutkan bahwa Hakim Tingkat Banding telah mengabaikan fakta hukum yaitu alat bukti T.7 yang pada pokoknya dalam surat tersebut atasan tidak memberikan izin bagi Terbanding/Termohon Kasasi untuk melakukan perceraian.
Kemudian dalam perkara ini Mahkamah Agung juga menolak memori kasasi tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa alasan-alasan yang merupakan keberatan-keberatan dari Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi sudah tepat yaitu tidak salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tersebut harus ditolak;
Kemudian yang keempat adalah Putusan Nomor 2082 K/Pdt/2012. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Tergugat/Pemohon Kasasi juga mengajukan rekonvensi untuk bercerai. Pertimbangan lengkapnya adalah sebagai berikut:
– Bahwa gugatan Termohon Kasasi/Penggugat telah memenuhi Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;
– Bahwa adapun izin cerai yang dikemukakan Pemohon Kasasi/Tergugat dalam memorinya tidak diperlukan lagi, karena dengan diajukannya gugatan rekonvensi oleh Pemohon Kasasi/Tergugat, berarti Pemohon Kasasi/Tergugat juga menganjurkan perceraian;
– Bahwa para pihak sudah pisah meja dan tempat tidur, karena Pemohon Kasasi/Tergugat sejak tahun 2006 sudah meninggalkan rumah, oleh karena itu anak-anak ikut Pemohon Kasasi/Tergugat;
– Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
Yura P. Yudhistira
(Tim Litbang DANDAPALA)
Baca Juga: Simak! Ini 20 Alasan PT Pontianak Bebaskan WN China di Kasus Tambang Emas
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum