Akhir-akhir ini khususnya dalam perkara Permohonan sering para Hakim menemui dokumen Kartu Keluarga yang diajukan sebagai bukti dalam persidangan pada status perkawinan tertulis "kawin belum tercatat” hal tersebut merupakan sesuatu yang tergolong baru mengingat bahwa sebelumnya pada Kartu Keluarga (KK) di kolom status perkawinan yang sering ditemui hanya terdapat status “kawin” atau “belum kawin”.
Selain itu jika kita mengamati lebih lanjut terhadap KK yang berstatus "kawin belum tercatat” akan ditemui pada kolom status hubungan keluarga untuk yang laki-laki paling atas tertulis “kepala keluarga” sedangkan yang perempuan di bawahnya tertulis “istri” selanjutnya di bawahnya tertulis juga “anak”. Jika dibaca sekilas maka terasa adanya kontradiktif antara kolom status hubungan dalam keluarga (sudah tertulis kepala keluarga, istri, anak) dengan status perkawinan yang dinyatakan belum tercatat. Oleh karena itu menarik untuk dikaji bagaimana sebenarnya makna kawin belum tercatat tersebut agar Hakim di Pengadilan tidak salah menentukan hubungan hukum dan akibat hukum bagi pihak-pihak yang berstatus kawin belum tercatat.
Keabsahan Perkawinan menurut UU Perkawinan
Baca Juga: Perubahan Data Paspor : Haruskah Dengan Penetapan Pengadilan?
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut UU Perkawinan) menjelaskan bahwa “perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, ini berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan telah memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam agamanya maka perkawinan tersebut telah dianggap sah menurut agama dan kepercayaan yang bersangkutan.
Sedangkan Pada ayat (2) nya menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, Pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan harus dimaknai secara kumulatif, yang artinya komponen-komponen dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dari hal tersebut bisa disimpulkan meskipun pernikahan telah dilangsungkan secara sah berdasarkan hukum agama, tetapi jika belum dicatatkan maka instansi yang berwenang baik Kantor Urusan agama untuk yang beragama Islam atau kantor catatan sipil untuk non Islam, maka perkawinan tersebut belum bisa di akui oleh negara.
Sebenarnya pencatatan perkawinan itu tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi untuk menyatakan bahwa peristiwa perkawinan tersebut memang ada dan terjadi. Dalam penjelasan umum UU Perkawinan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian.
Pencatatan perkawinan memiliki tujuan sebagai memberikan kepastian dan perlindungan untuk para pihak yang melangsungkan perkawinan, yang dapat memberikan kekuatan buku otentik yang telah terjadi peristiwa pernikahan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan Hukum.
Sebaliknya tidak dicatatkannya perkawinan, jika pernikahan telah dilangsungkan oleh pihak maka mereka tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan perkawinan yang diakui oleh negara atau yang dianggap sah oleh negara adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan agama atau kepercayaannya dan telah dicatatkan.
Latar belakang dan Makna status “kawin belum tercatat”
Saat ini dokumen kependudukan menjadi sangat penting bagi masyarakat karena hampir setiap kegiatan membutuhkan dokumen kependudukan, setidaknya KTP yang selalu diminta atau dilihat untuk mengkonfirmasi identitas seseorang. Tidak hanya KTP dalam perbuatan seperti mendaftar sekolah, mendaftar pekerjaan, mendapatkan program bantuan pemerintah dan lain sebagainya dibutuhkan dokumen kependudukan yang lebih lengkap yaitu KTP, KK dan Akta Kelahiran. Tidak lengkapnya dokumen tersebut atau adanya kesalahan pada isi dokumen tersebut menjadikan yang bersangkutan akan kesusahan saat melakukan perbuatan tertentu. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Nomor 24 Tahun 2013 mendefinisikan Kartu keluarga selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.
Pada awalnya dalam KK untuk status perkawinan terbagi menjadi empat kategori yaitu “Kawin”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati” dan “Cerai Hidup”, kategori tersebut diatur dalam lampiran formulir-formulir pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Formulir Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, namun dalam perkembangannya setelah munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Permendagri Nomor 108 tahun 2019), dalam formulirnya status perkawinan berubah menjadi berubah dan terbagi menjadi enam kategori yaitu “Kawin Tercatat”, “Kawin Belum Tercatat”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati”, “Cerai Hidup dan “cerai hidup belum tercatat”.
Untuk mengetahui makna kategori kawin belum tercatat tersebut maka perlu di lihat pada Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 pada Pasal 10 ayat (2) menyatakan “Penerbitan KK Baru karena membentuk keluarga baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden mengenai persyaratan dan tata cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan dilengkapi dengan syarat lainnya berupa surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat”.
Sedangkan yang dimaksud surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) dijelaskan dalam Permendagri Nomor 109 tahun 2019 yaitu Formulir surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat sebagai salah satu persyaratan pencantuman status perkawinan/perceraian dalam KK bagi Penduduk yang tidak mempunyai dokumen perkawinan berupa buku nikah, akta perkawinan atau kutipan akta perceraian. Dalam format SPTJM tersebut dibuat dua pihak yang pada pokoknya mereka menyatakan sebagai suami isteri yang telah terikat perkawinan dengan mencantumkan tanggal perkawinannya dan mencantumkan juga nama anak-anaknya serta ditandatangani oleh 2 orang Saksi.
Uraian Pasal 10 ayat (2) Permendagri Nomor 108 tahun 2019 dihubungkan dengan penggunaan dan substansi SPTJM maka pada pokoknya aturan tersebut mengatakan bahwa pasangan suami istri yang sudah melangsungkan perkawinan namun belum tercatat atau tidak memiliki buku nikah dapat juga mendapatkan KK baru dengan melengkapi syarat-syarat pembuatan KK ditambah dengan menandatangani SPTJM Perkawinan Belum Tercatat. Dengan menambahkan SPTJM tersebut maka dapat diterbitkan KK dengan kalimat tambahan yang menerangkan status perkawinan yang bunyinya “Kawin belum tercatat”. Jadi status kawin belum tercatat tersebut pada intinya adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah dilakukan secara sah berdasarkan agamanya namun belum dicatatkan.
Lebih lanjut, berdasarkan status kawin belum tercatat tersebut berimplikasi juga dengan akta kelahiran anak dari pasangan tersebut, pada Akta kelahiran anak yang dilahirkan dari perkawinan yang belum tercatat tersebut, maka pada kutipan akta kelahiran akan tetap tertulis nama ibu kandung dan ayah kandung, dengan menambahkan frasa "yang perkawinannya belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan”, karena sebelumnya jika pasangan tidak memiliki buku nikah/akta perkawinan maka pada akta anak hanya tertulis nama ibunya saja.
Ketentuan adanya status “kawin belum tercatat” tersebut menurut Dirjen Dukcapil kementerian Dalam Negeri dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa ada lebih dari 34 juta pasangan suami istri yang sudah menikah namun masih belum tercatat dengan alasan tidak adanya bukti akta perkawinan atau buku nikah, sehingga mereka tidak membuat akta kelahiran dengan alasan kalau membuat akta kelahiran hanya ditulis sebagai anak ibu saja. Atas hal tersebut Dukcapil Kemendagri mencari solusi untuk melindungi istri-istri dan anak-anaknya agar mendapatkan kepastian hukum, Dukcapil tidak melegalkan perkawinan akan tetapi hanya mendata siapa yang nikah siri siapa yang nikah tercatat dan pendataan itu dimasukkan kedalam kartu keluarga dengan syarat melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) perkawinan belum tercatat.
Sebelumnya, jika seseorang yang telah menikah tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan maka pada saat pasangan tersebut memiliki anak dan bermaksud membuat kartu keluarga maka nama ayah dari anak tersebut tidak dapat dicantumkan pada kartu keluarga maupun pada akta kelahiran anak yang bersangkutan, sehingga yang tertulis hanya nama Ibu anak tersebut. Pasal 36 UU Nomor 23 tahun 2006 menyatakan “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan” sedangkan pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Dari kedua pasal tersebut dihubungkan dengan penerbitan KK maka apabila pasangan suami isteri tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan maka untuk mengesahkan perkawinannya harus mendapatkan penetapan terlebih dahulu dari Pengadilan, yaitu bagi muslim mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama sedangkan yang beragama selain islam memohon penetapan untuk mencatatkan perkawinan terlambat dicatatkan. Dengan penetapan tersebut barulah pada kartu keluarga bisa tertulis “kawin” dan nama ayah juga dapat ditulis pada KK.
Beberapa Konsekuensi dari Status “Kawin belum tercatat”
Khususnya sebagai Hakim yang terpenting adalah bagaimana secara hukum memahami status “kawin belum tercatat” tersebut, karena salah dalam memahami makna dari status tersebut maka akan salah dalam memahami hubungan hukum lainnya. Terhadap status kawin belum tercatat tersebut terdapat isu hukum dari segi perdata dan pidana yang perlu dibahas.
Meskipun dalam KK seorang laki-laki dan seorang perempuan pada kolom status hubungan dalam keluarga telah tertulis “kepala keluarga” sedangkan si perempuan tertulis “istri” serta pada status perkawinan telah tertulis “Kawin belum tercatat” namun sebagaimana telah diuraikan diatas arti dari kawin belum tercatat tersebut adalah pernikahan sah secara agama namun belum dicatatkan ke Negara sehingga perkawinan yang demikian tidak diakui oleh Negara atau dalam islam biasa disebut nikah sirri. Akibatnya juga akan berpengaruh terhadap anak yang dilahirkannya, Pasal 42 UU Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Berdasarkan pasal tersebut meskipun pada KK nama ayah dari anak tersebut tertulis begitupun juga pada akta kelahiran anak tersebut, namun karena pada dasarnya perkawinan yang demikian belum diakui negara maka anak yang dilahirkan tersebut bukan merupakan anak yang sah sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya. Bagitu juga mengenai kewarisan, karena anak yang dilahirkan pada perkawinan yang belum diakui oleh negara maka anak tersebut bukan merupakan ahli waris dari ayahnya.
Lebih jauh perlu dianalisis hubungan perkara Pidana dengan status perkawinan belum tercatat, dalam KUHP terdapat delik-delik yang menggantungkan unsurnya pada adanya perkawinan. Misalnya dalam pasal perzinahan yaitu Pasal 284 KUHP, apabila untuk membuktikan unsur adanya perkawinan dalam pasal tersebut menggunakan KK yang tertulis berstatus “kawin belum tercatat” maka sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa perkawinan yang demikian belum diakui oleh negara maka unsur adanya perkawinan menjadi tidak terbukti.
Kesimpulan
Baca Juga: PN Pelaihari Lakukan Scaling Up dan Hadirkan Pilanduk Langkar Masuk Desa
Status kawin belum tercatat tersebut pada intinya adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah dilakukan secara sah berdasarkan agamanya namun belum dicatatkan, sehingga perkawinan tersebut belum diakui Negara. Tujuan adanya status tersebut semata-mata agar seluruh penduduk yang menikah namun tidak dicatatkan (Nikah secara agama saja) memiliki KK dan juga Akta kelahiran bukan pengesahan sebuah perkawinan. Adapun konsekuensi dari kawin belum tercatat tersebut antara lain anak yang dilahirkan bukan merupakan anak yang sah dalam perkawinan sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, begitu juga dalam perkara pidana status “kawin belum tercatat” pada KK tidak dapat membuktikan unsur adanya suatu perkawinan dalam suatu pasal pidana.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum