Cari Berita

Inkuisisi, Penyiksaan Atas Nama Hukum Abad Pertengahan di Eropa

article | History Law | 2025-07-28 14:45:20

INKUISISI merupakan institusi peradilan pada abad pertengahan yang dibentuk oleh otoritas keagamaan di Eropa. Inkuisisi bertujuan untuk memberantas aliran sesat, penistaan agama, bidah, hingga ilmu sihir. Lembaga ini mulai berkembang sejak abad ke-13 hingga ke-19, serta turut mempengaruhi perkembangan sistem hukum di berbagai negara modern.Inkuisisi (inquisition) berasal dari bahasa Latin inquisitio, yang berarti meminta informasi atau memeriksa (sumber: LSD.Law). Berbeda dari model accusatorial yang menempatkan seseorang sebagai subjek, sistem inkuisisi menggunakan metode inquisitorial yang berfokus pada efisiensi dan kecepatan. “Tertuduh ditempatkan sebagai objek, sedangkan inquisitor sebagai penyidik cum hakim memiliki peran yang dominan untuk melaksanakan proses investigasi,” demikian tulis lsd.law sebagaimana dikutip DANDAPALA, Senin (28/7/2025).Proses pemeriksaan inquisitorial berlangsung secara tertutup dan rahasia (secrecy). Kecurigaan atau kabar burung sudah cukup untuk membuat seseorang diperiksa atas dugaan kejahatan. Orang yang dipanggil tidak selalu tahu mengenai apa tuduhannya, siapa saksinya, atau bukti apa yang memberatkannya. Tertuduh juga dilarang didampingi pengacara. Jika masih nekat, si pembela bisa turut didakwa sebagai pendukung atau kaki tangan pelaku bidah.Tujuan dari pemeriksaan inkuisisi adalah untuk mencari pengakuan. Habemus optimum testem, confitentem reum; artinya saksi terbaik adalah orang yang mengaku. Melalui Ad extirpanda yang diterbitkan tahun 1252, pemeriksa (inquisitor) bahkan diperbolehkan melakukan penyiksaan (torture) untuk kasus-kasus bidah agar tertuduh mengaku (Kelly, 2023). Dalam proses inkuisisi, penyiksaan memiliki dua fungsi. Pertama, untuk memperoleh pengakuan selama proses pemeriksaan. Kedua, sebagai hukuman peringatan sebelum eksekusi dijalankan (sumber: Meaningss). Namun, terdapat pembatasan berupa citra membri diminutionem et mortis periculum. Artinya, penyiksaan tidak boleh menyebabkan hilangnya anggota tubuh atau membahayakan nyawa.Salah satu metode yang kerap digunakan adalah rak penyiksaan (the rack): korban diikat pada bingkai kayu dengan katrol di kedua ujungnya. Tubuh korban lalu diregangkan perlahan sehingga menimbulkan rasa sakit tak terperi, tanpa menyebabkan kematian. “Cara lainnya adalah strappado yaitu tangan korban diikat di belakang punggung, lalu tubuhnya digantung dengan tali. Kadang, korban dijatuhkan secara tiba-tiba dan dihentikan tepat sebelum menyentuh lantai. Bentuk penyiksaan lain dapat melibatkan pembakaran dengan besi panas (human branding) atau penyiksaan air (water torture),” ujarnya.Praktik inkuisisi perlahan mulai ditinggalkan pada abad ke-19. Pada sistem hukum kontemporer yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, PBB telah menetapkan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).Regulasi ini menegaskan bahwa penyiksaan dalam bentuk apa pun tidak dapat dibenarkan, bahkan saat keadaan perang, darurat nasional, atau ancaman terhadap keamanan luas. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, sebagai komitmen untuk menempatkan martabat manusia sebagai prinsip utama dalam penegakan hukum.

Buah Beracun dalam Sistem Peradilan Pidana itu Bernama Penyiksaan

article | Opini | 2025-03-22 12:20:51

PENYIKSAAN hanya buah dari sebab “fruit of the poisenous tree”. Selama “pohonnya” tidak disehatkan maka selama itu pula buah-buah beracun itu akan ada setiap saat. Hal tersebut disampaikan oleh Luhut MP Pangaribuan, Advokat Senior dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi Penyiksaan dalam Peradilan Pidana yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan REVISI, pada 21 Maret 2025. Luhut juga melanjutkan pernyataannya bahwa penyiksaan dan peradilan ini secara diametral saling bertentangan. Karena jika berbicara Peradilan maka seharusnya wujudnya adalah suatu pengayoman yang religius. Oleh karena itu adanya “penyiksaan” dalam peradilan, yang religius dan konstitusional di Indonesia, sungguh menjadi hal yang tidak masuk akal.Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 28 September 1998 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut mengedepankan sebuah definisi mengenai tindakan-tindakan yang merupakan “penyiksaan” yang disepakati secara internasional. Pasal ini menetapkan bahwa:istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.Dalam acara yang sama, Ichzan Zikry (Direktur Eksekutif REVISI) memaparkan bahwa dari 150 putusan yang diindeksasi, tercatat hanya 63 perkara yang klaim penyiksaannya diperiksa oleh Pengadilan. Dari 63 perkara hanya 19 perkara yang klaimnya diterima Pengadilan. Data ini didapatkan dari proses indeksasi dan analisa atas 313 putusan pada tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali dalam kurun waktu 2005-2021. Zikry memandang perbedaan sikap Pengadilan ini dalam memeriksa atau tidak memeriksa klaim tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa tidak adanya mekanisme yang jelas untuk memeriksa klaim penyiksaan bahwa keterangan pihak pengaku yang diperoleh merupakan dari tindakan kekerasan.Perihal klaim penyiksaan dan kekerasan yang dialami Terdakwa, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan yang menerima klaim tersebut dan berujung pada bebasnya Terdakwa.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/PID/2013, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:putusan Judex Facti telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar bahwa saksi kunci SUANTO Bin SAIFUL HAQ dan saksi ROBY SUGARA Bin SUMADEN telah mencabut keterangan mereka di muka penyidik karena unsur tertekan dan takut, pencabutan keterangan itu beralasan karena mereka ditembak di kaki dalam keadaan mata tertutup. Sedangkan di muka persidangan kedua orang saksi ini menerangkan tidak pernah mencuri dua sepeda motor tersebut dan tidak pernah menyerahkannya kepada Terdakwa untuk dijual, bahkan kedua orang saksi ini telah diadili selaku Terdakwa kasus pencurian dua sepeda motor tersebut dengan putusan bebasDalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menolak kasasi Penuntut Umum yang mengajukan permohonan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Negeri Surabaya. Selanjutnya adalah Putusan Nomor 109 K/Pid/2019, Mahkamah Agung menyatakan:Bahwa di persidangan Terdakwa menolak dan menyangkal dengan keras tidak pernah melakukan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum kepadanya, sewaktu pemeriksaan pendahuluan di penyidikan Terdakwa terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dilakukan oknum penyidik, Terdakwa dipukuli, ditendang dan bahkan direndam dalam bak mandi;Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Padang Sidempuan telah tepat membebaskan Terdakwa dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum. Putusan lainnya adalah Putusan Nomor 1905 K/Pid.Sus/2017. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:Saksi Afrizon telah mencabut keterangannya di Berita Acara Penyidikan Polisi (BAP Polisi), demikian juga Terdakwa juga telah mencabutkan keterangannya di BAP Polisi, karena baik Terdakwa maupun saksi Afrizon masih mengalami trauma karena setelah ditangkap Terdakwa dan saksi Afrizon telah dibawa ke suatu tempat dan dipukuli oleh Polisi yang menangkap sehingga pada saat pemeriksaan oleh Penyidik masih merasa tertekan dan ketakutan;Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang telah membebaskan Terdakwa. (YPY)