article | Serba-serbi
| 2025-07-17 16:50:02
Kita ini, apa sih? Cuma sebutir pasir di pantai
kehidupan. Setiap butir pasir punya mimpi, punya ingin, punya butuh. Mozaik
hidup kita ini kan dari jutaan mimpi kecil itu. Tapi ingat, pasir bukan cuma
sendiri. Dia berdampingan, bergesekan, saling memengaruhi. Jadilah dia
masyarakat. Di situlah, tiba-tiba, ada yang namanya kepentingan bersama. Bukan
cuma mauku, tapi mau kita semua. Mau punya lingkungan aman, sekolah bagus, rumah
sakit layak. Itu maunya.
Lalu, kalau mau ini sudah melibatkan hajat
hidup orang banyak, ia naik level jadi kepentingan umum. Ini bukan lagi sekadar
rembuk kampung. Ini soal jalan tol mulus yang menghubungkan provinsi, listrik
nyala terus biar pabrik jalan, atau bendungan kokoh biar sawah subur dan banjir
minggat. Nah, ini kan untuk kita semua. Tanggung jawab kita bersama. Biar hidup
tidak cuma hari ini, tapi anak cucu juga bisa menikmati.
Pembangunan untuk kepentingan umum itu memang
keniscayaan. Tak bisa ditawar. Jalan tol, bendungan, sekolah, rumah sakit,
semua itu pondasi negara. Fondasi hidup kita. Tapi, ya tahu sendiri,
proyek-proyek besar begitu, mau tidak mau, pasti butuh tanah.
Di sinilah sering muncul dilema klasik. Tanah
itu kan hak orang per orang. Dilindungi konstitusi. Tidak bisa semau-maunya.
Jadi, bagaimana caranya hak individu itu tetap terjamin? Negara kita punya
resepnya: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ini bukan cuma deretan pasal, ini pegangan.
Agar pengadaan tanah itu terang benderang, adil, dan tidak melukai hak pemilik
tanah. Intinya, mencari titik temu: antara hajat pembangunan dan keadilan.
UU Nomor 2 Tahun 2012 ini, begitu lugasnya,
mengakui dan melindungi yang namanya "Pihak Yang Berhak". Siapa
mereka? Ya, siapa saja yang sah menguasai atau punya objek tanah itu. Bisa
sertifikat di tangan, bisa ahli waris, bisa punya hak guna bangunan. Pokoknya,
yang punya dasar hukum kuat. Hak mereka tak boleh diabaikan.
Dan yang dimaksud objek pengadaan tanah itu,
jangan dikira cuma sepetak tanah kosong. Ini lebih kompleks. Ada tanah itu
sendiri, tentu saja. Tapi juga ruang di atas tanah, bayangkan kabel listrik
yang melintas, atau ruang di bawah tanah, pipa air misalnya. Lalu ada bangunan
di atasnya, tanaman yang tumbuh, sampai benda-benda lain yang terikat dengan
tanah, seperti pagar, sumur, atau apa saja yang punya nilai. Semua itu harus
dihitung. Teliti. Adil.
Pasal 5 UU Nomor 2 Tahun 2012 itu jelas.
Pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya untuk kepentingan umum. Tapi ada
tapinya. Hanya setelah dua syarat ini terpenuhi: Ganti Rugi sudah diberikan.
Artinya, uangnya sudah di tangan. Atau, kalau alot, harus ada putusan
pengadilan yang sudah inkrah. Final. Tidak bisa diganggu gugat.
Nah, bagaimana kalau nilai ganti rugi yang
ditawarkan itu terlalu kecil? Tidak sesuai harapan? Pemilik tanah, si Pihak
Yang Berhak, punya hak penuh untuk menolak. Itu wajar. Sering kejadian begitu.
Tapi ingat, penolakan ini bukan berarti jalan buntu.
Kalau musyawarah sudah mentok, pemilik tanah
punya senjata hukum. Mereka bisa mengajukan keberatan terhadap nilai ganti rugi
itu. Ajukannya ke pengadilan negeri setempat, tempat lokasi tanah berada. Tapi
ada batas waktunya: paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan
ganti rugi. Ini penting, jangan sampai terlewat.
Musyawarah itu sendiri, hasilnya pasti ada
Berita Acara Musyawarah. Dokumen ini sakti. Dia mencatat siapa saja Pihak Yang
Berhak yang hadir dan setuju. Siapa yang hadir tapi tidak setuju. Dan siapa
yang bahkan tidak hadir. Berita Acara Musyawarah ini adalah patokan. Dari
tanggal BA inilah, tenggat 14 hari itu dihitung, sesuai Pasal 75 Ayat (1) PP
Nomor 19 Tahun 2021. Lewat dari itu, ya gugur haknya.
Maka, jika Pemilik Tanah menolak nilai ganti
rugi tapi tidak mengajukan keberatan dalam 14 hari itu, mau tidak mau, dianggap
menerima. Begitu bunyi Pasal 39 UU Nomor 2 Tahun 2012. Diam itu berarti setuju,
di mata hukum.
Jadi, siapa yang jadi Pemohon Keberatan? Ya
pasti Pihak Yang Berhak, pemilik tanah yang merasa tidak adil. Lalu, siapa
Termohon Keberatan? Ada dua. Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dari Kantor
Pertanahan, yang mewakili pemerintah. Dan Instansi Yang Memerlukan Tanah itu
sendiri, misalnya PU untuk jalan tol, atau Kementerian Kesehatan untuk rumah
sakit. Mereka berdua yang digugat.
Bentuk keberatan ini? Cukup permohonan tertulis
atau elektronik, ditandatangani pemohon atau kuasanya. Itu kata Pasal 3 Perma
Nomor 3 Tahun 2016. Tapi permohonan itu harus lengkap. Pasal 6 Perma 3/2016
merinci: Identitas pemohon dan termohon, penetapan lokasi, waktu musyawarah
(kalau punya BA-nya, lampirkan), dasar keberatan harus jelas – dari bukti hak
milik, alasan kenapa masih dalam batas 14 hari, sampai detail kenapa ganti
ruginya tidak layak. Terakhir, apa yang diminta ke pengadilan: kabulkan
keberatan, tetapkan nilai yang lebih adil.
Selain permohonan itu, jangan lupa alat bukti
pendahuluan. Pasal 7 Perma 3/2016 mewajibkan ini. Kartu identitas dan bukti hak
atas objek tanah itu wajib ada. Sertifikat atau dokumen sah lainnya. Ini
penting, biar pengadilan langsung tahu duduk perkaranya.
Setelah berkas lengkap, bayar panjar biaya
perkara. Jangan lupa minta tanda terima dari Panitera. Itu bukti resmi
permohonan sudah terdaftar.
Pengadilan? Mereka juga gerak cepat.
Pemeriksaan keberatan ini cuma punya waktu 30 hari kalender. Dihitung sejak
tanda terima keluar, saat perkara resmi diregister. Begitu kata Pasal 13 Perma
3/2016 jo. Pasal 1 angka 13 Perma 2/2021. Waktu jalan terus.
Tapi kalau Pemohon Keberatan tidak hadir di
sidang pertama dan kedua, tanpa alasan jelas, hati-hati. Permohonan Keberatan
bisa dinyatakan gugur. Ini aturan tegas. Jangan main-main.
Dan sidangnya sendiri, didesain ngebut. Tidak
pakai lama. Agendanya fokus: Pembacaan Permohonan, lalu Jawaban Termohon,
langsung Pemeriksaan Bukti, dan tak lama kemudian, Putusan. Tidak ada itu
eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan yang
bertele-tele. Langsung gas.
Putusan sudah keluar? Belum tentu selesai.
Masih ada satu jalur: Kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi ini kesempatan terakhir.
Harus diajukan paling lama 14 hari setelah putusan diucapkan atau
diberitahukan.
Nah, kalau permohonan Kasasi itu sudah masuk
dan diregistrasi, Mahkamah Agung tak mau buang waktu. Mereka punya 30 hari saja
untuk menuntaskan pemeriksaan dan mengeluarkan putusan. Cepat, kan? Ini memang
sengaja dirancang begitu, biar prosesnya efisien, tidak bertele-tele. Kepastian
hukum itu penting, tidak bisa digantung lama-lama.
Begitu Putusan Kasasi keluar dari Mahkamah
Agung, tamat. Sifatnya final dan mengikat. Tidak ada lagi upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK) untuk kasus keberatan ganti rugi ini. Semua demi
kepastian hukum dan, tentu saja, agar pembangunan untuk kepentingan umum bisa
segera berjalan.
Dari kacamata keadilan, inilah arena perjuangan
sesungguhnya. Pemerintah, dengan dalih kepentingan umum—jalan tol, bendungan,
atau rumah sakit—punya kekuatan besar untuk "mengambil" tanah rakyat.
Di satu sisi, ini demi kemajuan. Di sisi lain, ada jeritan batin pemilik tanah
yang merasa asetnya terampas, apalagi jika ganti ruginya "tidak sesuai
harapan". Di sinilah UU/2/2012, PP/19/2021, PP/39/2023, Perma/3/2016, dan
Perma/2/2021 hadir sebagai "garis lurusnya" dan Hakim sebagai
“wasitnya”. (ldr)