article | Dirjen Menyapa | 2025-08-17 10:05:16
TEPAT hari ini, bangsa Indonesia memasuki usia ke-80. Kemerdekaan yang ditandai dengan pembacaan Proklamasi oleh Soekarno-Hatta itu diraih dengan derai air mata dan cucuran darah. Oleh sebab itu, kemerdekaan ini haruslah dipertahankan dan diisi dengan kerja-kerja positif sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.Maka, perlu kita ingat kembali tujuan Pemerintah Negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maka dari itu, Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya sebagai representasi negara wajib mewujudkannya. Dan kita, warga Peradilan Umum adalah alat negara dalam mencapai tujuan tersebut.Dalam meraih kemerdekaan itu, insan peradilan juga aktif dalam berbagai pergerakan maupun berjuang dalam sistem. Salah satunya kita memiliki tokoh yang layak diteladani, Susanto Tirtoprodjo. Pria kelahiran 3 Maret 1900 itu adalah siswa yang tekun sekolah sehingga bisa menimba ilmu sampai ke Universitas Leiden. Selama menjadi mahasiswa di Belanda, Susanto Tirtoprodjo aktif di gerakan mahasiswa yang mendorong kemerdekaan Indonesia yaitu Perhimpunan Indonesia (PI).Pada 1925 ia menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Sepulangnya ke Indonesia, Susanto Tirtoprodjo menjadi hakim. Selain sebagai hakim, Susanto juga aktif dalam gerakan pergerakan dalam meraih kemerdekaan. Yaitu menjadi Kepala Departemen Sosial Ekonomi Partai Indonesia Raya (Parindra), sebuah partai yang dipimpin Dr Sutomo dan merupakan gabungan Boedi Oetomo dan Perserikatan Bangsa Indonesia. Susanto Tirtoprodjo mendorong terbentuknya koperasi di berbagai pelosok desa di Jawa Timur dan memberantas lintah darat di desa-desa. Pada 1936, Parindra sudah membentuk serikat sopor, serikat kusir, serikat buruh pelabuhan dan serikat buruh percetakan di berbagai tempat.Setelah 8 tahun menjadi hakim, ia diminta pemerintah kala itu menjadi Wali Kota Madiun dan setelahnya Bupati Pacitan. Tak lama setelah Proklamasi dikumandangkan, Susanto langsung menyatakan setia ke Pemerintah Indonesia dan diminta menjadi Menteri Kehakiman.Namun menjaga kemerdekaan tidaklah mudah. Baru di bulan-bulan pertama, Belanda ingin kembali menjajah. Susanto tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan. Ia langsung memimpin sendiri perang gerilya di sekitaran Surakarta dengan siasat gerilya. Susanto dan pasukan keluar masuk hutan, menyerang Belanda, lalu menghilang. Hingga akhinya Belanda mau melakukan gencatan senjata pada 28 Januari 1949. Usai perang kemerdekaan selesai, Susanto menjadi Menteri Kehakiman, Gubernur Sunda Kecil, Dubes RI di Prancis hingga membuat Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (kini BPHN).Selain berjuang di garis terdepan, banyak juga aparat pengadilan hakim yang berjuang dari dalam sistem hukum. Sebab apabila Indonesia benar-benar Merdeka, maka bangsa Indonesia sudah siap mengisi pos-pos pemerintahan.Di antaranya hakim Satochid Kartanegara yang teguh menjaga integritasnya. Saat Satochid kuiliah di Laiden, Belanda, ia serius belajar dan tidak sempat untuk menikmati wisata di seputaran Belanda. Satochid sangat berhemat dan serius kuliah. Satochid tak pernah berpesta-pesta maupun pergi berlibur ke negeri tetangga seperti halnya yang dilakukan oleh kawan-kawan Indonesia lainnya.Tabungannya sebagai hakim hanya cukup membeli tiket kapal untuk berangkat ke Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, nilai-nilai luhur itu terus dipegangnya. Salah satu kisahnya saat ia menjadi Kepala Landraad (Pengadilan Negeri) Pontianak di zaman Belanda. Dengan jabatan tersebut di era Belanda, peluang melakukan perbuatan koruptif sangatlah besar. Satochid tidak luput dari cobaan dan godaan yang dapat dianggap menyelewengkan hukum. Seperti ditawari uang sogok, uang semir dan lain sebagainya.Namun, Satochid menolak semua sogokan tersebut. Salah satunya saat pulang kerja mendapati kiriman makanan dari orang, yang ternyata dari pihak berperkara. Satochid lalu memerintahkan istrinya untuk mengembalikan makanan itu.Usai Proklamasi, pengalamannya dalam sistem pemerintahan, membuatnya dipercaya membidani institusi pengadilan. Puncaknya yaitu Satochid Kartanegara menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA). Setelah purna tugas, ia memilih mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kini materi kuliahnya menjadi ‘kitab kuning’ berbagai kampus hukum di Indonesia.Sekelumit contoh di atas haruslah menjadi pengingat bagi kita semua agar kita tetap teguh memegang Pancasila dan UUD 1945 dalam mengisi kemerdekaan. Jangan khianati perjuangan para pahlawan dengan tindakan koruptif dan pelanggaran etik. Sekali Merdeka, tetap Merdeka!Bambang MyantoDirjen Badilum Mahkamah Agung RI