Dari Sekadar
Konjungsi Menjadi Penanda Kebenaran
Dalam setiap putusan pengadilan, ada satu kata yang terus berulang
tanpa banyak disadari pentingnya: “bahwa.” Ia tampak sederhana, hanya
kata penghubung dalam tata bahasa Indonesia, tetapi sesungguhnya merupakan
fondasi yang menopang cara berpikir hukum kita. Melalui kata ini, hakim tidak
sekadar menulis kalimat, melainkan menegakkan otoritas. Di titik itulah bahwa
berubah dari unsur bahasa menjadi simbol legitimasi kebenaran yuridis yang
diakui negara.
Dalam tata bahasa Indonesia, bahwa dikenal sebagai konjungsi
subordinatif komplementasi, yaitu kata penghubung yang menerangkan bahwa suatu
klausa atau kalimat merupakan pelengkap dari klausa atau kalimat sebelumnya (Alwi
dkk., 2003).
Baca Juga: Catat! Ini Aturan Kenaikan Pangkat Bagi Hakim Angkatan 9
Contoh sederhananya seperti, “Guru menjelaskan bahwa ujian akan
diadakan besok.” Dalam konteks itu, fungsinya murni sintaktis. Namun, di
tangan seorang hakim, bahwa melampaui fungsi gramatikalnya. Kata bahwa
menjadi alat pengesahan, setiap kali hakim menulis “Menimbang bahwa…”, hakim
tersebut tidak sekadar menyusun kalimat, melainkan mengesahkan realitas sosial
menjadi realitas hukum.
Setiap bahwa dalam putusan berfungsi seperti meterai, begitu
ditulis, fakta yang sebelumnya sekadar pernyataan berubah menjadi kebenaran
hukum. Dalam kerangka teori tindakan tutur (speech act theory), J. L.
Austin (1962) menyebut fenomena semacam ini sebagai performative utterance,
ucapan yang bukan hanya menyampaikan makna, tetapi sekaligus melakukan
tindakan. Maka, kata kecil ini sebenarnya adalah tindakan hukum dalam bentuk
linguistik, yang menyatakan, menetapkan, dan mengikat.
“Bahwa” bukan sekadar kata penghubung, ia adalah gerbang antara
fakta sosial dan kepastian hukum.
Perbedaan antara bahwa dalam kalimat biasa dan dalam putusan
terletak pada daya kekuasaannya. Dalam kalimat umum, ia hanya menghubungkan
ide. Dalam kalimat hukum, kata bahwa mengikat konsekuensi hukum. Sebelum
kata itu, hakim menimbang dan menilai, sesudahnya, hakim menyatakan dan
menetapkan. Inilah momen perubahan dari sein (apa yang ada) menuju sollen
(apa yang seharusnya). Dengan satu kata, hakim menjembatani jurang antara
realitas dan norma.
Bahasa
sebagai Cermin Keadilan
Dalam konteks hukum, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan
wadah kekuasaan dan pengetahuan. Filsuf Michel Foucault (1977) menyebut bahwa
kebenaran diproduksi melalui struktur wacana yang diatur oleh otoritas. Dalam
pengadilan, struktur itu termanifestasi melalui bahasa hukum yang ketat, dengan
bahwa sebagai salah satu simbol tertingginya. Hanya hakim yang berwenang
mengucapkannya, dan sekali ia menulis kata itu, dunia sosial berubah status,
perbuatan, peristiwa, dan keadaan menjadi fakta, fakta menjadi dasar, dan dasar
menjadi keputusan yang mengikat.
Tetapi kekuasaan bahasa semacam ini membawa tanggung jawab moral.
Bahasa hukum yang terlalu teknokratis sering kali membuat masyarakat merasa
terasing dari proses keadilan. Padahal, sebagaimana diingatkan Ronald Dworkin
dalam Law’s Empire (1986), hukum bukan sekadar sistem aturan, tetapi
juga praktik interpretasi moral. Artinya, setiap bahwa seharusnya
mengandung kesadaran etis: bahwa di balik logika hukum terdapat manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam reformasi peradilan, kita sering menekankan aspek
administratif, e-court, one day publish, dan digitalisasi. Semua
itu penting, tetapi legitimasi peradilan tidak akan kokoh tanpa bahasa hukum
yang menjelaskan keadilan dengan jernih. Sebab keadilan bukan hanya diputuskan,
tetapi juga harus dituturkan. Putusan yang baik bukan hanya benar secara hukum,
tetapi juga dapat dimengerti secara moral oleh masyarakat.
Hakim dapat memulainya dari hal kecil, menulis pertimbangan hukum dengan
lebih komunikatif, tanpa kehilangan presisi. Misalnya, kalimat “Menimbang
bahwa perbuatan terdakwa tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga
melukai kepercayaan masyarakat” memperlihatkan bahwa hakim memahami dimensi
moral di balik norma hukum. Bahasa yang demikian tidak mengurangi objektivitas,
sebaliknya, menjadikan hukum terasa lebih manusiawi.
Bahasa hukum yang baik bukan yang rumit, melainkan yang mampu
menjernihkan logika tanpa kehilangan rasa. Pendekatan ini penting karena setiap
bahwa sejatinya adalah bentuk pertanggungjawaban intelektual hakim.
Menulis kata itu berarti menyatakan keyakinan yang lahir dari proses menimbang
bukti dan nurani. Di sinilah letak keindahan tersembunyi dari bahasa hukum,
kekakuannya menyembunyikan kedalaman tanggung jawab moral. Ketika seorang hakim
sadar makna kata itu, hakim tersebut tidak hanya menulis putusan, tetapi juga
menulis sejarah kecil tentang bagaimana kebenaran ditegakkan melalui bahasa.
Kesimpulan:
Keadilan yang Dituturkan
Kita mungkin menganggap kata bahwa hanya bagian dari
rutinitas administrasi putusan, padahal di dalamnya tersimpan inti dari
kekuasaan hukum itu sendiri, kemampuan untuk menjadikan kata sebagai hukum.
Dari sinilah kita belajar bahwa hukum tidak hidup di ruang sunyi pasal-pasal,
melainkan di dalam kalimat yang diucapkan dengan tanggung jawab.
Teknologi dan inovasi peradilan bisa mempercepat proses, tetapi
keadilan tetap bergantung pada ketepatan bahasa. Setiap bahwa adalah
jembatan kecil antara logika dan nurani, antara teks dan rasa, antara kekuasaan
dan kemanusiaan. Kata itu kecil, tetapi ia menata dunia hukum yang besar dan di
balik setiap bahwa tersimpan janji diam-diam bahwa hukum masih berbicara
dalam bahasa manusia. (ldr)
Daftar Bacaan
Alwi, Hasan,
dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Austin, J. L.
(1962). How to Do Things with Words. Oxford: Clarendon Press.
Dworkin, Ronald.
(1986). Law’s Empire. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Foucault,
Michel. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New
York: Vintage Books.
Keraf, Gorys.
(1991). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana,
Harimurti. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI