Cari Berita

“Bahwa”: Kata Singkat Penata Keadilan

Muamar Azmar Mahmud Farig - Dandapala Contributor 2025-11-12 11:40:32
Dok. Penulis.

Dari Sekadar Konjungsi Menjadi Penanda Kebenaran

Dalam setiap putusan pengadilan, ada satu kata yang terus berulang tanpa banyak disadari pentingnya: “bahwa.” Ia tampak sederhana, hanya kata penghubung dalam tata bahasa Indonesia, tetapi sesungguhnya merupakan fondasi yang menopang cara berpikir hukum kita. Melalui kata ini, hakim tidak sekadar menulis kalimat, melainkan menegakkan otoritas. Di titik itulah bahwa berubah dari unsur bahasa menjadi simbol legitimasi kebenaran yuridis yang diakui negara.

Dalam tata bahasa Indonesia, bahwa dikenal sebagai konjungsi subordinatif komplementasi, yaitu kata penghubung yang menerangkan bahwa suatu klausa atau kalimat merupakan pelengkap dari klausa atau kalimat sebelumnya (Alwi dkk., 2003).

Baca Juga: Catat! Ini Aturan Kenaikan Pangkat Bagi Hakim Angkatan 9

Contoh sederhananya seperti, “Guru menjelaskan bahwa ujian akan diadakan besok.” Dalam konteks itu, fungsinya murni sintaktis. Namun, di tangan seorang hakim, bahwa melampaui fungsi gramatikalnya. Kata bahwa menjadi alat pengesahan, setiap kali hakim menulis “Menimbang bahwa…”, hakim tersebut tidak sekadar menyusun kalimat, melainkan mengesahkan realitas sosial menjadi realitas hukum.

Setiap bahwa dalam putusan berfungsi seperti meterai, begitu ditulis, fakta yang sebelumnya sekadar pernyataan berubah menjadi kebenaran hukum. Dalam kerangka teori tindakan tutur (speech act theory), J. L. Austin (1962) menyebut fenomena semacam ini sebagai performative utterance, ucapan yang bukan hanya menyampaikan makna, tetapi sekaligus melakukan tindakan. Maka, kata kecil ini sebenarnya adalah tindakan hukum dalam bentuk linguistik, yang menyatakan, menetapkan, dan mengikat.

“Bahwa” bukan sekadar kata penghubung, ia adalah gerbang antara fakta sosial dan kepastian hukum.

Perbedaan antara bahwa dalam kalimat biasa dan dalam putusan terletak pada daya kekuasaannya. Dalam kalimat umum, ia hanya menghubungkan ide. Dalam kalimat hukum, kata bahwa mengikat konsekuensi hukum. Sebelum kata itu, hakim menimbang dan menilai, sesudahnya, hakim menyatakan dan menetapkan. Inilah momen perubahan dari sein (apa yang ada) menuju sollen (apa yang seharusnya). Dengan satu kata, hakim menjembatani jurang antara realitas dan norma.

Bahasa sebagai Cermin Keadilan

Dalam konteks hukum, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah kekuasaan dan pengetahuan. Filsuf Michel Foucault (1977) menyebut bahwa kebenaran diproduksi melalui struktur wacana yang diatur oleh otoritas. Dalam pengadilan, struktur itu termanifestasi melalui bahasa hukum yang ketat, dengan bahwa sebagai salah satu simbol tertingginya. Hanya hakim yang berwenang mengucapkannya, dan sekali ia menulis kata itu, dunia sosial berubah status, perbuatan, peristiwa, dan keadaan menjadi fakta, fakta menjadi dasar, dan dasar menjadi keputusan yang mengikat.

Tetapi kekuasaan bahasa semacam ini membawa tanggung jawab moral. Bahasa hukum yang terlalu teknokratis sering kali membuat masyarakat merasa terasing dari proses keadilan. Padahal, sebagaimana diingatkan Ronald Dworkin dalam Law’s Empire (1986), hukum bukan sekadar sistem aturan, tetapi juga praktik interpretasi moral. Artinya, setiap bahwa seharusnya mengandung kesadaran etis: bahwa di balik logika hukum terdapat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam reformasi peradilan, kita sering menekankan aspek administratif, e-court, one day publish, dan digitalisasi. Semua itu penting, tetapi legitimasi peradilan tidak akan kokoh tanpa bahasa hukum yang menjelaskan keadilan dengan jernih. Sebab keadilan bukan hanya diputuskan, tetapi juga harus dituturkan. Putusan yang baik bukan hanya benar secara hukum, tetapi juga dapat dimengerti secara moral oleh masyarakat.

Hakim dapat memulainya dari hal kecil, menulis pertimbangan hukum dengan lebih komunikatif, tanpa kehilangan presisi. Misalnya, kalimat “Menimbang bahwa perbuatan terdakwa tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga melukai kepercayaan masyarakat” memperlihatkan bahwa hakim memahami dimensi moral di balik norma hukum. Bahasa yang demikian tidak mengurangi objektivitas, sebaliknya, menjadikan hukum terasa lebih manusiawi.

Bahasa hukum yang baik bukan yang rumit, melainkan yang mampu menjernihkan logika tanpa kehilangan rasa. Pendekatan ini penting karena setiap bahwa sejatinya adalah bentuk pertanggungjawaban intelektual hakim. Menulis kata itu berarti menyatakan keyakinan yang lahir dari proses menimbang bukti dan nurani. Di sinilah letak keindahan tersembunyi dari bahasa hukum, kekakuannya menyembunyikan kedalaman tanggung jawab moral. Ketika seorang hakim sadar makna kata itu, hakim tersebut tidak hanya menulis putusan, tetapi juga menulis sejarah kecil tentang bagaimana kebenaran ditegakkan melalui bahasa.

Kesimpulan: Keadilan yang Dituturkan

Kita mungkin menganggap kata bahwa hanya bagian dari rutinitas administrasi putusan, padahal di dalamnya tersimpan inti dari kekuasaan hukum itu sendiri, kemampuan untuk menjadikan kata sebagai hukum. Dari sinilah kita belajar bahwa hukum tidak hidup di ruang sunyi pasal-pasal, melainkan di dalam kalimat yang diucapkan dengan tanggung jawab.

Teknologi dan inovasi peradilan bisa mempercepat proses, tetapi keadilan tetap bergantung pada ketepatan bahasa. Setiap bahwa adalah jembatan kecil antara logika dan nurani, antara teks dan rasa, antara kekuasaan dan kemanusiaan. Kata itu kecil, tetapi ia menata dunia hukum yang besar dan di balik setiap bahwa tersimpan janji diam-diam bahwa hukum masih berbicara dalam bahasa manusia. (ldr)

Daftar Bacaan

Alwi, Hasan, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Austin, J. L. (1962). How to Do Things with Words. Oxford: Clarendon Press.

Dworkin, Ronald. (1986). Law’s Empire. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Foucault, Michel. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage Books.

Keraf, Gorys. (1991). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Baca Juga: Merangkai Paramater Pembuktian Sederhana dalam Pemeriksaan Singkat: Dari Asas Contante Justice hingga Beban Kerja Hakim

Kridalaksana, Harimurti. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…