Cari Berita

Hakim, Mengadili Bukan Menghakimi

article | Opini | 2025-06-16 16:15:52

SETELAH sekian lama menanti akhirnya dunia pengadilan bersorak. Para hakim baru akan meneruskan regenerasi para hakim senior sebagai ujung tombak penegakan hukum di Indonesia. Acara pengukuhan itu pun berlangsung dalam penuh sukacita dan haru. Istimewanya lagi, acara pengukuhan ini dihadiri langsung oleh Presiden RI, Prabowo Subianto. dan yang lebih membahagiakan para hakim, penghasilan mereka akan dinaikkan. Tak tanggung tanggung, kenaikannya sampai 280 persen. Lupakan soal matematika dalam sistem prosentase, tapi kenaikan ini menunjukkan betapa besar perhatian presiden terhadap nasib para hakim. Prabowo menaikkan penghasilan hakim bukan tanpa alasan. Meski di tengah anggaran pemerintah yang sebenarnya tidak sedang baik baik saja, tapi sebagai seorang visioner, Presiden memandang hilir segala sektor pembangunan di negeri ini adalah hukum dan di tangan seorang hakim lah, sektor ini akan menjadi penentu utama. Hukum adalah penglima dan hakim adalah para komando perangnya.Melalui kenaikan itu pesan presiden jelas. Hakim harus mampu menjalankan tugas utamanya dengan baik. Meski di masa sekarang, seorang hakim dalam lingkup pengadilan akan menjalankan banyak tugas, tapi tugas utama seorang hakim adalah membuat putusan yang adil dengan proses persidangan yang tidak memihak. bebas dari segala macam intervensi. Independensi selalu didengungkan sebagai harga mati bukan !?!.Lalu apakah tugas mengadili ini sederhana ? sama sekali tidak. Tugas mengadili bagi seorang hakim adalah tugas maha sulit yang berada di ruang sunyi persinggungan antara akal pikiran dan hati nurani. Bebas bias, bebas emosi, bebas dari kepentingan apa pun. Hakim, meskipun namanya hakim, tidak boleh menghakimi. menghakimi lekat dengan unsur subjektivitas penggunanya, sedangkan mengadili berkaitan langsung dengan keadilan. Ingatlah bahwa keadilan adalah salah satu “zat Tuhan” paling penting di muka bumi.  Sebagai orang yang membantu hakim dalam persidangan, saya sering membayangkan betapa sulitnya seorang hakim dalam menentukan nasib atau hak seseorang. Bagaimana riuhnya hingar bingar pikiran yang dilesakkan seorang hakim dalam membahasakan “keinginannya” dalam bahasa putusan yang dapat dimengerti sebanyak mungkin orang.Lalu tak terbayang perasaan dan nurani seorang hakim membayangkan konsekuensi kelak dihadapan-NYA. Benarkah putusan ini? benarkah pertimbangan saya? atau adakah yang saya lewatkan dalam memutuskan perkara tadi? pertanyaan yang tak akan datang sekali dua kali, tapi akan selalu hadir selama sang hakim mengenakan toga dan memukulkan palu.Memang benar saat ini nasib hakim secara materi sudah jauh lebih baik. Hakim adalah salah satu aparat hukum yang begitu diperhatikan oleh negara. Tapi sekali lagi, dibalik itu terselip tanggung jawab yang semakin besar.Hari ini pelantikan hakim di beberapa satuan kerja telah digelar. Acara ini bukan seremonial belaka tapi tonggak pertama kelahiran para hakim muda yang (seharusnya) punya integritas dan kapabilitas jauh diatas manusia biasa. Tapi entah hakim muda atau hakim yang beranjak uzur, entah hakim senior atau masih junior, entah mereka yang masih cupu atau mereka yang telah merasa menjadi suhu. Tak perlu khawatir, apapun jabatan anda, kita semua akan menjadi Terdakwa di Pengadilan-NYA. bedanya, bila di dunia standar tertinggi pembuktian adalah beyond reasonable doubt, maka di sana: No Doubt about Everything. Itu. .      

Titik Temu Sewagheian dalam Hukum Adat Lampung dan Keadilan Restoratif

article | Opini | 2025-06-15 13:00:44

Penerapan keadilan restoratif dalam sistem hukum modern semakin diakui sebagai alternatif untuk mengelola sengketa karena bertujuan untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan kerugian yang timbul akibat kejahatan, bukan hanya menghukum pelanggar. Konsep ini sejalan dengan kearifan lokal, terutama dalam Hukum Adat Lampung Sewagheian. Dalam bahasa lampung “Waghei” artinya “saudara”, secara makna “Sewagheian” atau “Pewagheian” atau “Mewagheian” atau “Angkon Mewaghei” berarti bermakna menganggap saudara atau bersaudara. Sebagaimana dikutip dari laman https://www.investigasimabes.com/berita/27142/muwaghei-adat-di-selagai-nyampir-tuan-suttan-pemimpin-negara/halaman/2. Menurut Suttan Pengiran Ratu Sebuay Subing, tradisi angkon mewaghei telah berlangsung sejak zaman dahulu dan biasanya dilakukan atas dasar tiga alasan utama. Pertama, karena kebaikan yang melebihi batas hubungan darah; kedua, karena kesetaraan ilmu atau kemampuan yang tidak dapat dikalahkan satu sama lain; dan ketiga, sebagai jalan damai setelah konflik atau pertikaian tanpa melibatkan hukum negara. Angkat saudara dilakukan bukan semata karena hubungan biologis, tetapi karena ada nilai kebaikan, kesetaraan, dan penyelesaian damai yang menjadi dasar kuat dalam adat. Hukum Adat Lampung “Angkon Mewaghei” atau dalam tulisan ini penulis menyebutnya “Sewagheian” yang bermakna “menganggap sebagai saudara”, menurut penulis sebagai seorang yang tumbuh dan dibesarkan dengan Adat Lampung, Sewagheian mengandung filosofi yang sangat menghargai nilai-nilai persaudaraan dan harmoni kebersamaan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Lampung yang berkaitan dengan resolusi konflik atau penyelesaian masalah yang ada dan terjadi di tengah masyarakat lampung. Hukum Adat Lampung Sewagheian berusaha untuk menyembuhkan ikatan yang terputus akibat konflik, yang sejalan dengan pendekatan keadilan restoratif yang berusaha mengembalikan hubungan antara korban, pelanggar, dan masyarakat. Kesungguhan pelaku untuk bertanggung jawab, dan keikhlasan korban adalah kunci terjadinya penyelesaian masalah melalui Hukum Adat Lampung Sewagheian dan sama-sama berikrar (bersumpah) sebagai saudara. Terdapat beberapa contoh penerapan Hukum Adat Lampung Sewagheian, misalkan ada seseorang pengendara mobil yang mengantuk kemudian menabrak seorang perempuan di salah satu wilayah yang menerapkan Hukum Adat Lampung, kemudian korbannya mengalami luka-luka dan perawatan di rumah sakit. Dalam Hukum Adat Lampung Sewagheian si pelaku akan bermusyawarah dengan pihak korban dan keluarga korban, dengan dipandu dan ditengahi oleh tokoh adat yang dituakan (penyimbang adat) dalam suatu proses mediasi bersama atau dikenal dengan istilah (rembuk pekon), permintaan maaf, ketulusan dan keseriusan pelaku juga akan dinilai bersama oleh masyarakat, tokoh adat serta korban dan keluarganya. Kemudian pelaku memberikan ganti kerugian dan biaya perawatan yang wajar dan disepakati bersama. Setelahnya maka akan diadakan semacam upacara dan makan bersama yang dihadiri oleh pelaku beserta korban dan keluarganya untuk sama-sama berikrar sebagai saudara yang akan saling tolong menolong dan membela; Persimpangan Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian dapat terjadi dalam beberapa elemen, di mana Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian dapat bertemu, karena keduanya berfokus pada Restorasi atau pemulihan kembali hak-hak orang yang menjadi korban. Baik Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian tidak memprioritaskan siapa yang salah dan apa hukuman yang tepat untuk dijatuhkan kepada pelaku. Sebagai gantinya, mereka hanya akan fokus pada upaya pemulihan untuk kerugian yang dialami oleh korban, sebagai peringatan dan koreksi terhadap perilaku pelanggar, dan pemulihan perdamaian bagi masyarakat. Peran Masyarakat dan Musyawarah Mufakat dalam Keadilan Restoratif dan Hukum Adat Lampung Sewagheian sama sama menjadi faktor yang menentukan, masyarakat memiliki peran aktif dalam penyelesaian konflik, yang paralel dengan Hukum Adat Sewagheian, di mana tokoh adat, tetua, dan anggota masyarakat berperan langsung baik pelaku maupun korban bersama-sama untuk mencari solusi damai. Mediator dan dialog menjadi inti keadilan restoratif. Hukum Adat Sewagheian juga menekankan pentingnya musyawarah mufakat untuk mencapai kesepakatan bersama sebagai metode utama dalam menyelesaikan sengketa. Melalui dialog yang mendalam, masing-masing pihak diajak untuk saling memahami perspektif mereka dan menemukan kesepakatan bersama. Hal ini memberikan penekanan pada Harmoni Sosial: Tujuan akhir “restorative justice” adalah mengembalikan harmoni sosial yang terganggu. Hukum Adat Lampung “Sewagheian” menekankan bahwa meskipun ada perselisihan, pihak-pihak yang terlibat tetap "saudara" yang hubungan nya perlu dijaga. Jika perselisihan dapat diselesaikan, status "saudara" tersebut akan semakin kuat. Mengintegrasikan pendekatan “restorative justice” dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Hukum Adat Lampung Sewagheian memberikan sejumlah manfaat penting, diantaranya  Penyelesaian Konflik yang Menyeluruh, Pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan masalah di permukaan, tetapi juga menuntaskan akar permasalahan dan memastikan pemulihan secara psikologis dan sosial bagi semua pihak, agar tidak ada lagi dendam dan justru menumbuhkan rasa persaudaraan yang tinggi yang akan dirasakan baik oleh pelaku maupun korban. Selain itu dengan mengedepankan prinsip "sewagheian", masyarakat didorong untuk menjaga dan bahkan memperkuat ikatan persaudaraan meskipun pernah mengalami konflik, sehingga keadilan menjadi lebih bermakna bagi korban, keadilan bukan hanya berarti hukuman bagi pelaku, tetapi juga pemulihan kerugian dan pengakuan atas penderitaan mereka. Sedangkan untuk pelaku, ada kesempatan untuk bertanggung jawab dan diterima kembali dalam masyarakat serta memiliki satu orang saudara baru dalam kehidupannya. Penerapan “restorative justice” dapat sejalan dengan Hukum Adat Lampung Sewagheian, yang juga berkontribusi dalam melestarikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Lampung yang relevan di tengah-tengah tantangan zaman di era modern yang semakin berkembang. Implementasi “restorative justice” dan semangat Hukum Adat Lampung Sewagheian merupakan model ideal untuk menyelesaikan sengketa. Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun sistem keadilan yang lebih manusiawi, berfokus pada pemulihan, dan selalu memperkuat kembali hubungan persaudaraan. Hukum Adat Lampung Sewagheian saat ini adalah masih berupa alternatif penyelesaian sengketa “non penal” atau diluar dari sarana “penal” yang berupa Sistem Peradilan Pidana, karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang ada pada saat ini masih belum mengakomodir adanya penyelesaian sengketa melalui hukum adat yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat adat di luar daripada hukum positif yang ada. Untuk itu Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan keadilan restoratif, menjawab kekosongan hukum yang belum terakomodir dalam peraturan perundang-undangan, tentunya dengan tujuan mengintegrasi keadilan restoratif dan hukum positif yang ada pada saat ini yang kriterianya diatur secara khusus dalam Pasal 6 PERMA tersebut. Sedangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), dalam Pasal 2 Ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Sementara dalam Ayat (2) menyatakan Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Ayat (3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Pasal 2 KUHP Baru yang akan mulai berlaku pada Tahun 2026 baru diperkenalkan prinsip penting mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat atau sering disebut juga dengan hukum adat dalam Sistem Peradilan Pidana. Namun, batasan yang jelas dan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah dan juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP Baru) yang baru agar dapat mengakomodir Hukum Adat termasuk Hukum Adat Lampung Sewagheian menjadi krusial untuk mencegah ketidakpastian hukum, mencegah terjadinya praktik koruptif dan memastikan penerapan yang sesuai dengan koridor HAM, koridor adat, dan ketahanan sosial serta nilai-nilai dasar negara. (LDR/YPY)

Histori dan Prinsip Representasi dalam Pengaturan Sanksi Pidana

article | Opini | 2025-06-15 08:00:01

Dalam kerangka historis, transformasi perkembangan hukum pidana memiliki afiliasi erat dengan sejarah peradaban bangsa Eropa. Setelah era kegelapan runtuh, maka tumbuhlah era pertengahan (rennaisance) yang ditandai dengan tumbuhnya budaya berpikir sekaligus muncul klise absolutisme raja. Pada era ini, peran dan kuasa seorang raja sangat dominan. Maka munculah yang dinamakan crimine extra ordinaria, yakni otoritas yang dimiliki oleh seorang raja untuk menentukan apa saja yang termasuk perbuatan jahat (crimina stellionatus) dimana raja bebas menentukan jenis sanksi apa yang dijatuhkan. Hal tersebut membuat raja cenderung menjadi sewenang-wenang. Ia bisa saja menghukum seseorang tanpa alasan yang rasional (subyektif), dan itulah yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Kondisi tersebut mendorong lahirnya pemikir-pemikir barat yang tumbuh dengan intelektualitasnya untuk menentang kultur absolutisme raja. Salah dua diantaranya, Mostesqiu dan J.J. Rousseau yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan raja. Titik balik hukum pidana di Eropa adalah pada kasus Jean Calas yang dituduh oleh pengadilan kerajaan Perancis telah membunuh anaknya sendiri Antoine Calas pada tahun 1762. Dalam kasus tersebut, Jean Calas akhirnya dijatuhi hukuman mati (gantung) karena dianggap telah membunuh anaknya, Antoine Calas. Proses peradilan terhadap Jean Calas sendiri jauh dari obyektifitas mengingat kekuasaan raja sangat dominan. Kemudian, 3 tahun setelahnya, Voltaire mengajukan upaya hukum untuk pemeriksaan ulang atas kasus tersebut, yang didapati fakta bahwa Antoine Calas meninggal dunia karena bunuh diri bukan dibunuh oleh Jean Calas, ayahnya. Jean Calas terbukti tidak bersalah dan harus diputus bebas, namun ia sudah terlanjur meregang nyawa (Eddy O. S. Hiariej: 2017). Atas peristiwa yang menimpa Jean Calas, ahli hukum asal Italia, Cessare Beccaria dalam bukunya yang berjudul Dei Delitti E Delle Pene mengungkapkan bahwa undang-undang pidana seharusnya dibentuk berdasarkan asas-asas yang bersifat rasional untuk menghindari subyektifitas dan kesewenang-wenangan penguasa sekaligus menjadi basis legitimasi sebelum menjatuhkan hukuman. Pendapat Beccaria ini kemudian mempengaruhi dicantumkannya prinsip pembatasan kekuasaan raja (penguasa) dan penghormatan hak individu (kerangka asas legalitas) dalam Deklarasi Perancis tahun 1789, yang merupakan puncak revolusi Perancis Pada tahun 1801, ilmuwan hukum asal Jerman, Johan Anselm Von Feurbach menjadi orang pertama yang merumuskan asas legalitas secara gamblang dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch Des Gemeinen in Deutschland Giiltigen Peinlichen Rechts. Menurut Von Feurbach, dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang (tindak pidana) juga harus disertai jenis sanksi apa yang dijatuhkan, sehingga penguasa tidak bisa semena-mena dalam menentukan dan menjatuhkan hukuman. Pandangan Von Feurbach ini dikenal dengan teori vom psycologischen zwang yang kemudian melahirkan postulat yang melegenda “Nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenalli”. (Romli Atmasasmita: 2013). Postulat tersebut kemudian terderivasi menjadi 3 bagian. Pertama, nulla poena sine lege (tiada hukuman pidana tanpa ketentuan menurut undang-undang). Kedua, nulla poena sine crimen (tiada hukuman pidana tanpa perbuatan pidana). Ketiga, nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang). Pemikiran Von Feurbach tersebut dikenal sebagai asas legalitas yang kemudian menjadi mailstone bagi internalisasi pembentukan hukum di berbagai negara, termasuk dalam KUHP positif kita yang merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan pada tahun 1888 di Belanda.  Prinsip nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang) merupakan pengejawantahan dari pandangan Feurbach bahwa dalam penentuan apa saja yang tergolong tindak pidana harus disertai juga dengan jenis sanksi yang dapt dijatuhkan. Dari pemaparan di atas, secara historis, asbabun nuzulnya asas legalitas dan pengaturan sanksi pidana dilatarbelakangi oleh dua kondisi. Pertama, adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absolutisme raja). Kedua, kesadaran kolektif untuk memperjuangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia melalui kontrak sosial antara rakyat dan penguasa sebagai rule untuk membangun peradaban yang lebih baik. Esensi Sanksi Pidana Sanksi pidana sering disebut sebagai sanksi spesial atau sanksi yang paling berat diantara sanksi pada lapangan hukum lainnya. Sanksi pidana core utamanya merupakan perampasan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana kurungan) bahkan hingga perampasan nyawa (pidana mati) meskipun dalam KUHP baru core retributif mulai diperlunak. Oleh sebab itu, pembuktian hukum pidana bernilai beyond reasonable of doubt. Artinya, bahwa harus benar-benar terpidanalah yang bersalah dan dijatuhi sanksi pidana tanpa keraguan sedikitpun. Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Maknanya bahwa penegakan hukum pidana harus dilaksanakan dengan prinsip due process of law yang ketat karena berkorelasi langsung dengan perlindungan hak asasi manusia. Secara teoritis, sanksi pidana pada prinsipnya memiliki 4 fungsi yakni reformation, restraint, retribution, dan detterance. Reformation, merupakan fungsi sanksi pidana dalam memperbaiki dan merehabilitasi seorang pelaku tindak pidana untuk menyadari kesalahannya, tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya lagi maupun melakukan tindak pidana yang lain. Restraint, merupakan fungsi sanksi pidana untuk mengasingkan pelaku dari masyarakat melalui sanksi perampasan kemerdekaan, tujuannya adalah untuk menghindari balas dendam dari pihak korban dan juga memberikan kententraman dalam masyarakat. Retribution, merupakan fungsi sanksi pidana sebagai reaksi timbal balik atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Detterance, merupakan fungsi sanksi pidana untuk memberikan efek jera kepada pelaku (prevensi khusus) dan juga memberikan rasa takut kepada masyarakat umum agar tidak melakukan tindak pidana (prevensi umum). Berdasarkan esensi sanksi pidana tersebut, mengejawantah bahwa sanksi hukum pidana harus diuat dan diatur dengan memperhatikan dua kepentingan yakni kepentingan penguasa juga kepentingan rakyat agar tercipta hukum yang akomodatif untuk mengatur kehidupan bersama (Wirjono: 2011). Asas Tiada Hukuman Tanpa Representasi Pengaturan sanksi pidana merupakan hal yang fundamental dalam penegakan hukum pidana, dimana sanksi pidana berkorelasi langsung dengan pembatasan hak asasi manusia (perampasan kemerdekaan dll). Oleh sebab itu, merujuk pada histori transformasi perkembangan hukum pidana, bahwa pengaturan sanksi pidana harus diatur berdasarkan kesepakatan antara penguasa dan rakyat. Hal ini merupakan contra balance terhadap tendensi absolutisme penguasa. Mengingat, jika tanpa representasi rakyat, maka penguasa akan cenderung mengorkestrasi hukum pidana berdasarkan otoritas kekuasaan dengan basis kesewenang-wenangan sebagaimana di era absolutisme raja di eropa. Maka dalam pengaturan sanksi pidana dikenal asas tiada hukuman tanpa representasi. Konkretnya, perumusan sanksi pidana harus memberikan ruang terhadap representasi rakyat dalam hal ini diwakili oleh legislatif (wakil rakyat). Oleh sebab itu, dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sanksi pidana hanya dapat dicantumkan dalam undang-undang dan peraturan daerah saja. Hal ini secara filosofis berakar pada teori kontrak sosial, bahwa hukum pidana maupun pembatasan hak asasi manusia harus diatur oleh hukum sebagai manifestasi kesepakatan bersama antara penguasa dan rakyat. Berdasarkan prinsip tersebut, maka secara empiris hanya undang-undang dan peraturan daerah sajalah, produk hukum yang dalam pembuatannya merupakan resultante dari penguasa dan rakyat (Presiden dan DPR atau kepala daerah dan DPRD). Produk hukum lain (peraturan presiden, peraturan pemerintah dll) tidak boleh memuat sanksi pidana, karena proses pembentukannya bersifat sektoral, tidak melibatkan entitas penguasa (eksekutif) dan rakyat (legislatif) secara bersama. (ZM/LDR) Referensi Eddy O. S. Hiariej, 2017, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka. Romli Atmasasmita, 2013, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana. Wirjono Prodjodikoro, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama.

Political Obligation: Rousseau and Hobbes perspective

article | Opini | 2025-06-15 05:00:58

For centuries, philosophers have debated the role of law in shaping political communities and institutions. Law is not merely a set of rules imposed on individuals, it is deeply intertwined with how societies conceive authority, order, justice and collective identity. Amongst the most influential thinkers in this domain are Thomas Hobbes and Jean-Jacques Rousseau. Both thinkers are key proponents of the social contract theory, a framework which posits that legitimate political authority arises from an implicit agreement among individuals to form a governed society. However, despite this shared foundation, they offer sharply contrasting perspectives on the nature of humanity, the necessity of government and the function of law within a society.Thomas Hobbes asserted that the natural state of humanity is one of unpredictability, characterised by perpetual insecurity and driven primarily by the instinct for self-preservation. He famously described life in this state as, “nasty, brutish and short”. This precarious condition fosters a pervasive sense of fear and the constant potential for violence. In such a state of nature, individuals possess a natural right or “right of nature”, to use any means necessary to protect their own lives. In order to move towards a more structured and secure society, Hobbes argued for a social contract where individuals rationally agree to submit to an absolute sovereign (typically in the form of a monarch). In his seminal work, Leviathan, Hobbes emphasises “the right of nature” as the liberty each person possesses to utilise their power for self-preservation. In the same stride, the “law of nature” is a set of principles that prohibits individuals from engaging in actions that would destroy their own lives. While the right to self-preservation remains inalienable, individuals in Hobbes social contract voluntarily relinquish the authority to judge threats or enact retributive justice, transferring this power to the sovereign.The sovereign's authority, therefore, becomes the sole arbiter of actions necessary for societal stability. Hobbes also emphasised that the laws of nature dictate the pursuit of peace, requiring individuals to surrender certain rights. In other words, everyone with reason should seek peace and be willing to give up their rights in order to achieve peace. The sovereign represents a unified “Leviathan” and is meant to ensure and safeguard peace, order and security by enforcing laws derived from reason. In fact, Hobbes justified the sovereignty of the ruler from their ability to protect the security of the political community.Hobbes advocated for a secular ruler (and state), prioritising obedience to the sovereign over religious doctrines, shifting away from the divine right of kings towards a system grounded in human agreement and the need for collective security. The primary purpose of the laws set by the sovereign is to prohibit actions that they deem problematic to peace and security. This means that even though the right to defend oneself is inalienable, in the scenario where a person poses a threat to the state and security, the sovereign can overrule the individual's right to life and liberty. In this sense, for Hobbes the essence of law lies in its being a command issued by a legitimate sovereign for its subjects, who are obligated to obey. He takes a positivist approach and distinguishes law from morality or justice. In fact he uses the term “right” or “just” to denote liberty and “law” or “lex” to indicate obedience that one owes to the state. Hobbes defines unjustice as the “not performance of a covenant” and justice as anything that is not unjust.Jean-Jacques Rousseau posited that humans are inherently good and altruistic in their natural state. However, societal structures and rules corrupt them, fostering selfishness and inequality. In his words “man is born free and he is everywhere in chains”. According to this, the formation of communities, tribes and states was driven by increasing population and interdependence. This led to the development of negative traits such as greed, envy, shame and pride. While acknowledging the necessity of a sovereign to maintain order, Rousseau critiqued how modern institutions such as law, property and the state have historically served to entrench class rule. In a sense, law and the state became an instrument to legitimize inequalities and allow the wealthy to oppress the poor. To deal with this, Rousseau insisted upon a social contract where people would collectively become the sovereign. His idea was quite similar to what we now know as ‘direct democracy’. The people would express their ideas through a general will that would aim for the common good, rather than individual good.According to Rousseau, since everyone participates in determining what is best for the whole, individual rights are surrendered to the sovereign. This is the maximum freedom attainable within a state and anyone with a dissenting opinion would be “forced to be free” by adhering to the collectively decided law. Laws and conventions are therefore needed to “join rights to duties and refer justice to its object”. Rousseau said that “in the state of nature, where everything is common, I owe nothing to him whom I have promised nothing; I recognize as belonging to others only what is of no use to me. In the state of society all rights are fixed by law, and the case becomes different.” The object of law is not personal, rather general. The law considers the mass its subject and can set up several classes of citizens but not nominate people into the said categories. Through this idea, Rousseau laid down the principle of equality, he emphasised that while the law can establish a monarchical government, it cannot choose a king or nominate a royal family. Legitimate laws arise from the general will and aim to create a most just society by ensuring that everyone is subject to the same rules. By obeying the laws that the people have themselves collectively willed, they achieve civic freedom and are protected from arbitrary rule. This makes the existence of a legislator or someone with much intelligence and connection to the people, incredibly vital in providing an objective and informed perspective on litigation in the political community.Hobbes and Rousseau both operate within the framework of social contract theory, believing that law and legitimate political authority are essential and arise from an agreement among individuals. They both also recognise the transition from a pre-political “state of nature” to a more structured political community governed by laws. However, a clearer comparison of both theorists indicates that the source and purpose of law differs for both. While Hobbes perceives law as an artificial construct that allows individuals to escape their perilous condition and establish structured society, for Rousseaulaw serves to restore and preserve equality and freedom within the modern social order. Hobbes also provides a bleak depiction of the natural state as a war of all against all driven by the inherent right to self-preservation. Rousseau is a lot more optimistic about the natural state and describes it as one of freedom and inherent goodness. Their ideas of society contrast greatly in this sense. While one sees society as a source of stability, the other insists that it is a corrupting force. Hobbes also views law as the absolute command of the sovereign. This means law is essential and an obligation for people to obey. In contrast, Rousseau sees law as the expression of general will, aiming to achieve liberty and the common good by reflecting the collective will of inherently good citizens.While Hobbes offers a pragmatic solution to the chaos of a lawless state, his emphasis on absolute sovereignty carries the risk of tyranny and the suppression of dissenting voices. Rousseau's concept of the general will, though complex, offers a more compelling vision of a political community. Law derives its legitimacy from the collective participation and consent of its citizens, aiming for the common good and fostering a sense of shared ownership over the rules that govern their lives. This focus on popular sovereignty and the pursuit of equality through law aligns more closely with modern democratic ideals. The practicality of actually achieving a representative “general will” is in fact debatable, especially in a context like ours. In Pakistan, many (most) people do not have access to education and information, which would make it difficult for them to contribute effectively to the narrative and legislative procedures. The underlying principle of law serving as an expression of collective autonomy and a tool for promoting everyone's rights, holds greater promise than Hobbes top-down approach. Rousseau's perspective is more ethically compelling and gives a more promising vision in terms of freedom, inclusivity and equality.*Mahnoor Kazmi - trainer of judges at the Punjab Judicial Academy Pakistan; and*Mahru Hasan Syed - Third Year Student of BA-LL.B Lahore University of Management Sciences, Pakistan (Edited by Maria Christine Natalia Barus - Research and Development)

Dilema Tindakan Konferensi Pers dalam Tingkatan Penyidikan Tindak Pidana

article | Opini | 2025-06-13 17:00:43

Investigation is a silent mission. Kalimat singkat itu, nampaknya cukup untuk melukiskan bagaimana idealnya suatu proses penyidikan itu dijalankan oleh Tim Penyidik. Berbagai kepustakaan asing tentang Criminal Procedure, menyebut konsep Penyidikan dengan kata: Investigation dan memberikan penjelasan bahwa In criminal procedure, investigation refers to the systematic process of gathering evidence and information to determine if a crime has been committed and if so, to identify the perpetrator. Berdasarkan penjelasan itu, akan dapat diterima pemikiran bahwa investigation itu seharusnya diklasifikasikan sebagai sebuah misi/operasi yang senyap dan harus sangat dibatasi peredaran informasinya dari publik. Pada suatu masa tatkala menjadi narasumber dalam seminar yang diselenggarakan oleh organisasi Asosiasi Advokat Indonesia, Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. bahkan tegas menyatakan: “Di KUHP Perancis, barangsiapa membeberkan perkembangan penyidikan, itu tindak pidana”. Di Indonesia, aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan, justru acapkali menggelar konferensi pers untuk membeberkan sendiri hasil dari penyidikannya. Materi konferensi pers biasanya juga mengungkapkan siapa Tersangka yang telah ditetapkan. Hasil temuan barang bukti yang disita dan siapa saja saksi-saksinya juga terkadang turut diungkap ke publik. Beberapa dampak negatif yang dapat terjadi jika proses penyidikan itu sengaja dijadikan konsumsi publik, diantaranya: 1.       Dapat memberikan kesempatan kepada orang lain memusnahkan barang bukti dan/atau melarikan diri Suatu tindak pidana bisa saja dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku. Di sisi lain, Penyidikan itu haruslah dipandang belum selesai sepanjang belum dinyatakan P-21 oleh pemegang dominus litis Penuntutan. Artinya, meskipun sudah menetapkan Tersangka, pendalaman/pengembangan perkara yang sedang disidik itu masih terus bisa dilakukan oleh penyidik. Dalam keadaan demikian, konferensi pers pengungkapan suatu Tindak Pidana oleh penyidik dapat menjadi blunder besar bagi penyidik itu sendiri. Mereka di luar sana yang masih terkait dengan tindak pidana yang sedang disidik, namun masih bebas berkeliaran dan dalam penguasaanya masih ada barang bukti yang terkait, akan dengan mudah memusnahkan barang bukti sekaligus melarikan diri tak lama setelah mengetahui konferensi pers dari Penyidik. Keadaan ini tentunya akan menyulitkan penyidik sendiri. 2.       Dapat mengganggu kejernihan nurani dan objektivitas hakim dalam memutus perkara Pemberitaan secara masif tentang suatu hal akan dapat mempengaruhi opini publik. Bahkan dalam teori “post truth” dikatakan bahwa suatu hal yang tidak benar sekalipun, jika dikemukakan secara masif dan terus-menerus, pada suatu titik akan dapat diterima sebagai suatu kebenaran oleh khalayak umum. Di sisi lain, Hakim yang dalam mata rantai integrated criminal justice system memiliki tugas untuk menguji kebenaran dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum dengan hati yang jernih, hanya boleh memutus perkara sesuai fakta persidangan, sehingganya harus senantiasa dijaga objektifitasnya dari bayang-bayang opini publik. Dalam suatu perkara pidana, bisa saja ada Permohonan Praperadilan untuk menguji Profesionalitas Penyidik. Betapapun pemberitaan telah disebarluaskan oleh Penyidik bahwa Si Tersangka itu salah dan menunjukkan temuan barang bukti yang disita. Tidaklah menghilangkan haknya untuk melakukan pengujian kepada lembaga praperadilan guna menilai tepat atau tidaknya Tindakan penyidik. Misalnya tentang sah atau tidaknya penangkapan, penetepan tersangka dan materi praperadilan lainnya. Dalam keadaan demikian, jika ternyata ada tahapan penyidikan yang secara formalitas hukum acara terbukti tidak tepat atau terbukti adanya Tindakan pencarian alat bukti  yang dilakukan dengan melawan hukum oleh penyidik yang berimplikasi pada keabsahan alat bukti untuk menetapkan Tersangka, sedangkan tekanan opini publik telah terlanjur terbentuk dengan deras bahwa si Pemohon Praperadilan adalah orang yang “wajib” dihukum, bisa saja akan menjadi dilema yang berat bagi Hakim yang akan mempengaruhi bathin dan alam pikirnya untuk memutus dengan jernih dan memenangkan Pemohon karena terbukti ada kinerja penyidik yang cacat prosedur. Padahal prinsipnya, tidaklah boleh mengorbankan keadilan prosedural secara begitu saja hanya untuk menggapai keadilan substantif. Begitu pula persidangan pokok perkaranya, jika perkara itu sudah menjadi konsumsi publik dan putusan akhirnya tidak sesuai dengan “selera publik” yang terlanjur terbentuk, tak jarang Hakim yang memeriksa perkara itu atau bahkan lembaga peradilan akan menuai berbagai macam cacian dan hujatan. Padahal, pembuktian yang lemah di persidangan, tidaklah mungkin menjadi dasar menjatuhkan pemidanaan. Keadaan seperti demikian, dapat berakibat pada adanya rasa keadilan yang harus terkorbankan dan tentu tidaklah ideal dalam suatu negara yang menjunjung supremasi hukum 3.       Bisa jadi akan bertentangan dengan azas “Presumption of innocence” Dalam Hukum Acara Pidana, betapapun jauhnya tahapan penyidikan sudah berjalan, tetap terbuka kemungkinan perkara itu tidak lanjut disidangkan ke Pengadilan. Meninggalnya Tersangka, tidak cukup alat bukti, telah lewat masa daluwarsa, perbuatannya ternyata bukan perbuatan pidana atau terdapat keadaan ne bis in idem, akan membuat penyidikan perkara pidana itu harus terhenti. Di titik inilah menjadi sangat beralasan, penetapan seorang Tersangka itu tidak sepatutnya diumbar menjadi konsumsi publik. Dapat dibayangkan, jika penyidik telah mengumumkan Si A sebagai tersangka dan ternyata kemudian ia meninggal dunia atau bahkan sampai ia meninggal dunia perkaranya belum pernah disidangkan, padahal bentuk kejahatannya versi penyidik telah diumbar dan diketahui jutaan Masyarakat, maka tidak ada jalan hukum untuk membersihkan namanya yang terlanjur cacat. Berbeda halnya, jika sampai ke tahap Persidangan di Pengadilan. Jika Terdakwa ternyata tidak terbukti bersalah melakukan kejahatan, masih bisa dipulihkan nama baik dan harkat martabatnya melalui Putusan Hakim. Penting untuk ditekankan, proses Hukum Acara Pidana tidak boleh mengorbankan nama baik, harkat dan martabat manusia. Jika ditautkan pada amanat Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”, maka konferensi pers yang mendahului tahap persidangan sungguhpun merupakan suatu ironi. Sejalan dengan pemikiran membatasai konferensi pers di tingkat penyidikan, karena salah satu dampaknya dapat membuat orang melarikan diri ataupun menghilangkan barang bukti yang dengan sendirinya dapat menghambat proses penyidikan. Penulis kemudian mentautkan hal ini dengan masalah keterbukaan informasi Publik. Haruslah dipahami ketentuan Pasal 17 huruf a angka 1 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), menjelaskan informasi yang apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penegakan hukum penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana, merupakan suatu informasi yang sifatnya dikecualikan. Di titik ini menjadi lebih jelas, bahwa materi penyidikan sejatinya tidak boleh diumbar sembarangan menjadi konsumsi publik. Masyarakat umum juga perlu menyadari bahwa tidak setiap permohonan informasi tentang proses penyidikan harus dikabulkan. Pembatasan penyebarluasan infromasi di Tingkat penyidikan, bukanlah merupakan sesuatu pelanggaran hukum terhadap hak mengakses keterbukaan informasi publik Pada akhirnya, dari amanat Pasal 18 ayat (3) UU KIP menjadi semakin jelas mensiratkan bahwa ruang publik yang paling tepat untuk mentransparansikan profesionalitas kinerja penyidik sejatinya adalah di forum persidangan pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan. Pasal tersebut terang menekankan bahwa terhadap informasi yang sifatnya dikecualikan sekalipun, jika itu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, maka penegak hukum dapat membuka informasi yang dikecualikan itu. Salah satu prinsip Umum Hukum Acara Pidana, megaskan bahwa Persidangan itu dinyatakan terbuka untuk umum. Walaupun berlaku pengecualian terhadap perkara tertentu yang sidangnya harus dinyatakan tertutup untuk umum, namun mayoritas perkara pidana akan disidangkan secara terbuka untuk umum. Jika semua alat bukti penuntut umum yang bersumber dari penyidikan itu dibuka di persidangan dan diterima oleh Hakim lalu dipandang dapat membentuk keyakinan hakim bahwa Terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pemidanaan, maka secara filosofis, itu telah menunjukkan bahwa kinerja penyidik dan penuntut umum telah professional, sehingganya harus diapresiasi. (LDR/AAR)Selain sebagai Hakim, Penulis juga merupakan Tim Pengajar Hukum Acara Pidana UNAIR tahun 2013 s/d 2017.

Meneroka Konfigurasi Rechterlijk Pardon dalam UU SPPA

article | Opini | 2025-06-13 15:05:56

Pendahuluan Menjelang berlakunya KUHP Nasional pada awal tahun 2026 mendatang, diskursus mengenai arah pembaruan sistem pemidanaan Indonesia kian mengemuka. KUHP Nasional memuat sejumlah terobosan normatif, termasuk pengakuan terhadap diskresi Hakim dalam keadaan tertentu untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan terhadap seseorang yang telah dinyatakan terbukti bersalah atau dikenal dengan istilah rechterlijk pardon (pemaafan Hakim). Pengaturan baru ini jelas menunjukkan bahwa pertimbangan kemanusiaan dan keadilan lebih diutamakan di atas rigiditas norma penghukuman (baca: kepastian hukum). Perlu dicatat, KUHP Nasional bukan merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang memperkenalkan konsep rechterlijk pardon (pemaafan Hakim), karena sebenarnya konsep serupa telah lebih dahulu diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sehingga menarik untuk meneroka (merupakan padanan kata dari meneropong, meninjau, menjelajahi) konfigurasi rechterlijk pardon dalam UU SPPA. Lantas bagaimana pengaturan mengenai pengaturan rechterlijk pardon itu sendiri dalam UU SPPA? Dan sejauh mana mengenai ketentuan rechterlijk pardon dalam UU SPPA telah diterapkan oleh Hakim dalam putusan perkara pidana anak?Konfigurasi Rechterlijk Pardon Dalam UU SPPA Konsep rechterlijk pardon atau pemaafan Hakim secara eksplisit diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menyatakan, "Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan". Jika dilihat, bunyi ketentuan Pasal 70 UU SPPA itu sangat mirip dengan ketentuan Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional yang mengatur mengenai pedoman pemidanaan berupa rechterlijk pardon (pemaafan Hakim). Norma ini memberikan ruang diskresi yang luas kepada Hakim untuk menilai konteks faktual dan personal yang mengiringi tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Substansi pasal tersebut memuat formulasi terbuka (open-ended clause) yang menekankan pada 3 (tiga) indikator utama, (1) ringannya perbuatan; (2) kondisi pribadi anak; dan (3) keadaan saat atau setelah tindak pidana dilakukan, yang menjadi dasar bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan, dengan keadilan dan kemanusiaan sebagai landasan utamanya. Pada dasarnya, rechterlijk pardon (pemaafan Hakim) juga merupakan pedoman pemidanaan yang bertumpu pada prinsip fleksibilitas untuk menghindari kekakuan dalam penerapan sanksi pidana. Hakim tidak semata-mata menerapkan norma secara mekanis seperti robot (baca: mesin), melainkan harus mempertimbangkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Konsep ini juga berfungsi sebagai klep pengaman (veiligheidsklep) atau pintu darurat (noodeur), terutama bagi perkara anak yang tidak memenuhi syarat diversi, namun terdapat kehendak perdamaian dari para pihak. Dalam situasi semacam ini, rechterlijk pardon dapat menjadi alternatif penyelesaian yang lebih adil tanpa melanggar ketentuan hukum yang berlaku.Penerapan Rechterlijk Pardon oleh Hakim Dalam Praktik Peradilan Pidana Anak Sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU SPPA, Hakim dengan mengedepankan nilai keadilan dan kemanusiaan diberikan kewenangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan kepada anak dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian. Dalam praktiknya, penerapan rechterlijk pardon terbilang sangat jarang. Alasan kenapa penerapan rechterlijk pardon dalam perkara pidana anak tidak banyak dilakukan oleh Hakim bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu ketidakjelasan pedoman penerapan mengenai pemaafan Hakim dalam UU SPPA sehingga menjadikan Hakim ragu untuk menerapkannya atau faktor lain karena dalam UU SPPA telah banyak memberikan alternatif penghukuman seperti penjatuhan pidana selain penjara atau tindakan. Berdasarkan hasil penelusuran para penulis melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung terkait penerapan rechterlijk pardon sebagaimana Pasal 70 UU SPPA dalam putusan Hakim, dalam praktik peradilan Penulis hanya ditemukan dua putusan yang telah menerapkan rechterlijk pardon, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2021/PN Rgt dan Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2025/PN Pts. Kedua putusan tersebut sama-sama berkaitan dengan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh Anak/Para Anak, dengan konstruksi amar putusan setelah Anak/Para Anak dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana, Hakim menyebutkan, “Meniadakan sanksi baik berupa penjatuhan pidana maupun pengenaan tindakan kepada Anak”. Dalam kedua putusan tersebut, Hakim telah menerapkan konsep rechterlijk pardon sebagaimana Pasal 70 UU SPPA dengan tidak menjatuhkan pidana ataupun memberikan tindakan kepada Anak meskipun Anak/Para Anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan. Salah satu pertimbangan penting dalam putusan-putusan tersebut adalah terkait dengan “keadaan yang terjadi kemudian”, di mana setelah terjadinya tindak pidana pencurian tersebut telah terjadi perdamaian antara keluarga anak dan korban bahkan ganti kerugian kepada korban. Dalam persidangan korban juga menyatakan secara tegas telah memberikan maaf kepada anak dan korban berniat untuk tidak lagi menuntut anak secara hukum. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, termasuk asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) dan prinsip restorative justice, Hakim menyatakan bahwa menjatuhkan pidana tidak lagi memberikan manfaat, baik bagi anak, korban, maupun masyarakat. Oleh karena itu, meskipun semua unsur tindak pidana telah terpenuhi, Hakim memutuskan untuk menerapkan Pasal 70 UU SPPA dengan tidak menjatuhkan pidana maupun tindakan terhadap anak. Putusan-putusan tersebut mencerminkan pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan restoratif, perlindungan anak, dan reintegrasi sosial dan mengesampingkan hukuman yang bersifat pembalasan (retributif). Meskipun Pasal yang didakwakan adalah pencurian dengan pemberatan dengan ancaman hukuman maksimal 7 (tujuh) tahun penjara dan termasuk dalam ketentuan yang dikecualikan untuk dilaksanakan diversi, namun demi mengedepankan nilai keadilan dan kemanusiaan dengan mendasarkan fakta persidangan, Hakim dalam putusannya memilih untuk menerapkan pemaafan Hakim sebagaimana pasal 70 UU SPPA dengan pertimbangan hukum yang konstruktif.Penutup Pasal 70 UU SPPA telah mengatur rechterlijk pardon, yang  memberikan kewenangan bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau tindakan kepada Anak dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Ada indikator yang perlu dipedomani, di antaranya, ringannya perbuatan, kondisi pribadi anak, dan keadaan saat atau setelah perbuatan dilakukan. Norma ini mencerminkan pendekatan hukum yang lebih fleksibel dan restoratif, dengan menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam penjatuhan sanksi pidana. Sayangnya, penerapan rechterlijk pardon oleh Hakim dalam perkara pidana anak masih sangat jarang. Hasil penelusuran hanya menemukan dua putusan pengadilan yang menerapkannya, yaitu Putusan PN Rengat (2021) dan PN Putussibau (2025). Hal ini menunjukkan adanya hambatan normatif dan kultural dalam penerapan rechterlijk pardon dalam UU SPPA. Padahal, ketika diterapkan secara tepat, rechterlijk pardon dapat menjadi solusi pemidanaan yang adil, proporsional, dan berorientasi pada masa depan anak. Untuk itu, dibutuhkan ikhtiar bersama berupa pedoman penerapan dan dukungan kelembagaan agar pendekatan ini dapat digunakan secara efektif dan bertanggung jawab dalam sistem peradilan pidana anak.[SNR/LDR] Penulis Merupakan Para Hakim pada PN Putussibau: Christa Yulianta Prabandana, Didik Nursetiawan, dan Radityo Muhammad Harseno.

Rumah Untuk Pensiunan Hakim: Sebuah Investasi Integritas

article | Opini | 2025-06-13 09:00:53

Dalam sistem hukum yang berlandaskan integritas, keberpihakan kepada nilai-nilai keadilan tidak hanya diwujudkan dalam putusan pengadilan, tetapi juga harus dikaji bagaimana negara memperlakukan para pelayan hukum itu sendiri. Di tengah kompleksnya tuntutan profesional terhadap seorang hakim, ada satu aspek mendasar yang luput dari perhatian: kepastian akan tempat tinggal setelah pensiun. Sudah saatnya negara hadir melalui kebijakan afirmatif yang memberi ruang hidup layak bagi para hakim purnabakti. Seorang hakim, sejak awal kariernya, telah menyadari bahwa hidupnya akan diwarnai oleh perpindahan dari satu pengadilan ke pengadilan lain, dari kota besar ke pelosok negeri, demi memenuhi panggilan tugas. Mobilitas tinggi ini, meskipun merupakan konsekuensi logis dari sistem rotasi dan kebutuhan pemerataan peradilan, pada kenyataannya sering kali menjadi penghalang bagi hakim untuk membangun kehidupan domestik yang stabil. Tidak sedikit hakim yang akhirnya menunda atau bahkan tidak sempat memiliki rumah pribadi hingga memasuki usia pensiun. Dalam sistem rotasi tersebut, hakim tidak hanya menghadapi tantangan profesional, tetapi juga tantangan personal dan keluarga. Anak-anak yang harus berpindah sekolah, pasangan yang mengorbankan karier, hingga sulitnya membangun ikatan sosial yang berkelanjutan di lingkungan tempat tinggal. Semua ini menjadi bagian dari pengabdian yang tidak terlihat, tetapi nyata dirasakan. Profesi hakim menuntut komitmen penuh terhadap nilai keadilan dan integritas. Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim dituntut untuk menjaga jarak dari segala bentuk kepentingan pribadi, termasuk ambisi kekayaan dan kedudukan. Dalam banyak hal, hakim bahkan dituntut untuk hidup dengan kesederhanaan, agar tidak tergoda oleh penyalahgunaan wewenang. Namun realitanya, kesederhanaan ini kerap berbenturan dengan kenyataan. Disinilah negara semestinya hadir memberikan jaminan bagi hakim untuk dapat memenuhi kebutuhan paling mendasar: yaitu tempat tinggal. Bukan sebagai bentuk hadiah atau tunjangan, melainkan sebagai bentuk kompensasi yang adil atas dedikasi tanpa cela selama puluhan tahun. Dalam perspektif perlindungan sosial, penyediaan rumah bagi hakim purnabakti adalah bagian dari upaya negara memberikan jaminan hidup layak bagi para penjaga keadilan. Negara sudah sejak lama memberikan jaminan pensiun kepada ASN, namun bagi hakim, kompleksitas tugas dan larangan tambahan yang melekat pada jabatannya, menempatkan kebutuhan akan tersedianya rumah saat pensiun adalah prioritas. Hakim tidak dapat membuka usaha. Tidak dapat berpraktik hukum. Tidak dapat menerima pekerjaan sampingan. Dalam sistem ini, hakim diberikan otoritas yang besar, namun juga dikurung oleh rambu-rambu ketat. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga netralitas dan kejujuran dalam menjalankan tugas. Namun, ketika masa pensiun datang, tidak semua hakim memiliki simpanan cukup untuk membangun atau membeli rumah. Penyediaan Tempat Tinggal Layak Bagi Hakim Purnabakti Melihat kompleksitas ini, muncul usulan yang patut dipertimbangkan secara serius: negara menyediakan tempat tinggal layak bagi hakim yang telah pensiun. Bukan dalam bentuk tunjangan uang tunai, melainkan dalam bentuk fisik rumah yang dibangun oleh negara melalui skema pembiayaan dan perencanaan yang akuntabel. Rumah ini tidak perlu mewah, asalkan layak dan representatif, dengan ukuran yang wajar yang disesuaikan dengan jenjang jabatan terakhir hakim sebelum pensiun. Penyesuaian juga dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan nilai tanah di daerah yang bersangkutan, agar kebijakan ini tetap efisien dan dapat diterapkan secara realistis. Untuk menghindari tumpang tindih dengan kebijakan lain, skema ini dapat diatur melalui penyusunan peraturan menteri keuangan (Permenkeu), yang mengakomodasi kebutuhan penyediaan rumah bagi pejabat negara dalam kategori khusus, dalam hal ini hakim. Alternatif lainnya adalah mendorong agar klausul ini dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim yang saat ini tengah digodok. Dengan adanya dasar hukum yang kuat, kebijakan ini dapat dikawal dengan transparan. Penunjukan lahan, pengadaan rumah, dan pendistribusian kepada hakim purnabakti dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk dengan pengawasan internal dan eksternal. Menjaga Marwah dan Menutup Celah Korupsi Salah satu alasan utama usulan ini adalah mencegah potensi penyimpangan wewenang. Ketika hakim merasakan ketidakpastian akan masa depannya setelah pensiun, godaan untuk menyalahgunakan jabatan bisa muncul, walaupun hal tersebut tentu saja tak diinginkan. Dengan menyediakan rumah sebagai bentuk jaminan masa tua, negara telah mengeliminasi salah satu faktor risiko dalam sistem integritas peradilan. Ini bukan semata-mata tentang kesejahteraan, melainkan juga tentang menjaga marwah jabatan hakim. Kebijakan ini juga akan menjadi sinyal kuat bahwa negara serius membangun sistem peradilan yang kuat dari hulu ke hilir. Hakim yang dihormati dan diberi jaminan hidup layak akan memiliki ketenangan batin yang berpengaruh langsung terhadap kualitas putusannya. Pada akhirnya, yang diuntungkan adalah masyarakat yang mencari keadilan. Jika selama ini diskursus tentang reformasi peradilan banyak berkutat pada aspek teknis seperti sistem peradilan elektronik atau kode etik, maka kini saatnya berbicara tentang dimensi manusiawi dari profesi kehakiman. Skema Pelaksanaan yang Adil dan Realistis Tentu, pelaksanaan program ini harus mempertimbangkan keberlanjutan anggaran. Karena itu, pendekatan yang bisa diambil adalah sebagai berikut: 1.    Pendataan awal terhadap hakim yang mendekati masa pensiun. 2.    Pembangunan bertahap berdasarkan prioritas usia pensiun dan kebutuhan. 3.    Pemanfaatan tanah milik negara untuk efisiensi biaya. 4.    Kemitraan dengan BUMN konstruksi untuk percepatan pembangunan dan kontrol mutu. 5.    Rumah diberikan dengan status hak milik sebagai bentuk penghargaan permanen atas pengabdian hakim.Kepemilikan ini memberi kepastian hukum dan menunjukkan komitmen negara dalam menjamin kesejahteraan jangka panjang, tanpa membatasi kelanjutan hak keluarga penerima. Model ini tidak memberatkan anggaran, karena dibangun secara bertahap dan didasarkan pada perencanaan jangka panjang. Tentu, sebagian kalangan masyarakat bisa saja menanggapi kebijakan ini dengan pertanyaan: mengapa hanya hakim? Di sinilah pentingnya komunikasi publik yang empatik. Bahwa hakim bukan sekadar ASN atau pejabat negara biasa, tetapi pilar keadilan yang tunduk pada batasan-batasan yang tidak dimiliki profesi lain. Mereka adalah ujung tombak negara dalam menegakkan hukum. Menjamin kesejahteraan dasar Hakim adalah investasi jangka panjang bagi negara. Bukan sekadar memberi tempat tinggal, tetapi menjaga agar benteng keadilan tetap kokoh dan bersih. Penutup: Menjawab Panggilan Keadilan Negara tidak akan pernah rugi ketika ia membalas pengabdian dengan keadilan. Memberikan tempat tinggal bagi hakim purnabakti bukanlah pengeluaran, melainkan suatu bentuk penghormatan. Ini bukan soal kemewahan, tetapi tentang memastikan bahwa mereka yang telah menjaga hukum, kini dijaga oleh hukum. Sudah saatnya negara melangkah berani. Bukan hanya menuntut integritas dari para hakim, tetapi juga memberi jaminan bahwa integritas itu akan terus terpelihara, bahkan setelah masa tugas usai. Sebab, keadilan tidak hanya hidup dalam ruang sidang, tetapi ia juga hidup dalam rumah-rumah sederhana para penjaganya. (AAR/LDR)

Dilema Antara Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Peradilan Indonesia

article | Opini | 2025-06-11 15:00:17

Regulasi peraturan hukum Pidana di Indonesia baik yang masih menganut pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (disebut KUHP) yang mengesahkan terjemahan dari Kitab Hukum Pidana peninggalan jajahan kolonial Belanda wetboek van strafrecht (Wvs)), maupun regulasi terbaru yakni dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yakni memiliki kesamaan berupa menerapkan Asas Legalitas sebagai acuan agar perlu mengedepankan kepastian hukum terhadap seluruh tindakan penegakan hukum pidana dalam hal terjadinya tindak pidana di Indonesia. Asas Legalitas yang dalam bahasa latin disebut yakni Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana dan tidak ada hukuman tanpa adanya ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu (vide Pasal 1 ayat (1) KUHP maupun dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional. Terhadap penerapan Asas Legalitas tersebut dalam dunia peradilan di Indonesia sering kali menjadi problematika yang mendasar, bahwasanya dalam hal aparat penegak hukum khususnya Hakim dalam menjalankan tugasnya menemukan benturan antara kepastian hukum dan keadilan, mana yang harus lebih diutamakan? Jika merujuk pada ketentuan dalam KUHP secara eksplisit atau secara tertulis dalam Pasal, tidak mengatur maupun menyebut dengan jelas bahwasanya dalam hal terdapat benturan antara kepastian hukum dan keadilan maka mana yang harus lebih diutamakan, namun menurut pendapat penulis semangat untuk mengedepankan keadilan substansial (substantive justice) ketimbang semata-mata menegakan keadilan prosedural (procedural justice) dapat tercermin dalam beberapa aspek, yakni terdapat pengaturan tentang alasan pemaaf dan alasan pembenar dalam KUHP. Begitupula dengan peluang Hakim yang mempertimbangkan alasan yang meringankan maupun yang memberatkan dari pelaku tindak pidana yang didapatkan selama proses persidangan di Pengadilan, dimana berangkat dari alasan-alasan tersebut Hakim dapat menjadikan dasar pertimbangan guna tercapainya unsur keadilan substansial (substantive justice) bagi pelaku tindak pidana terhadap suatu peristiwa hukum konkrit yang terjadi dalam KUHP, kemudian dilengkapi pula dengan dimungkinkannya dilakukan penafsiran hukum sebagai bentuk progresifitas hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum pidana yang melengkapi substansi dari KUHP      yang belum sempurna. Mengutip Bernadus Maria Taverne seorang anggota Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda (1874-1944) yang dikutip kembali oleh Wahyu Iswantoro menyampaikan bahwa: “Geef me een goede Rechter dus zelfs met slechte wet geving kan ik gerechtigheid brengen” artinya adalah “Beri saya Hakim yang baik, sehingga dengan Undang-Undang yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan” yang dimana terhadap pernyataan tersebut menuai kontroversi dikalangan ahli hukum Belanda kala itu, pasalnya Negara Belanda yang tergolong sebagai Negara penganut sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental), Hakimnya dapat memiliki pandangan hukum yang progresif dan tidak semata-mata menjadi corong undang-undang, hal ini kemudian menjadi tonggak sejarah baru bahwa apa yang disampaikan Taverne tersebut adalah motivasi dan dorongan bagi Hakim untuk tidak terjebak dan terbelenggu oleh konsekuensi logis atas diterapkannya sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) yang mengedepankan kepastian hukum atau Asas Legalitas terhadap keberadaan hukum tertulis peraturan perundang-undangan semata. Keberadaan Asas Summum Ius, Summa Iniuria, mengutip Wahyu Iswantoro yang mengutip Black’s Law Dictionary 2nd Edition yang dalam padanan Bahasa Inggris disebut “Eat Strict right; extreme right the extremity or rigor of the law. Extreme law (rigor of law) Is’ the greatest Injury; strict law is great punishment” artinya yakni “Hukum yang absolut (kepastian hukum) adalah hukuman terbesar; hukum yang kaku adalah hukuman yang besar” yang dapat disimpulkan bahwa Asas Summum Ius, Summa Iniuria adalah “Kepastian Hukum Yang Absolut Adalah Ketidak Adilan Yang Tertinggi”. Realitas yang terjadi di berbagai pengadilan di Indonesia, masih ditemui kalangan Hakim yang cenderung mengedepankan keadilan prosedural (procedural justice) dengan semata-mata menerapkan bunyi pasal dalam Undang-Undang sebagai bentuk tercapainya kepastian hukum dalam putusannya. Fenomena tersebut kemudian membuat masyarakat menilai putusan Hakim tersebut belum mampu memberikan keadilan substansial (substantive justice) bagi masyarakat pencari keadilan. Dr. Lilik Mulyadi, memberikan pandangan dalam sebuah forum sosialisasi melalui aplikasi zoom meeting yang diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri Tais dengan mengangkat topik ”Aspek Krusial, Implementatif dan Kebaruan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Dari Perspektif Hakim” pada hari Rabu, tanggal 12 Maret 2025 bahwasanya seorang Hakim dalam membuat suatu putusan harus bersifat menyelesaikan persengketaan pada suatu perkara (Litis finiri oportet) agar suatu perkara harus ada ujungnya/akhirnya, sehingga putusan yang dibuat tidak hanya menang diatas kertas namun juga harus dapat dieksekusi, dengan tetap mengikut sertakan hati nurani yang secara hakekat tidak terpisahkan dari putusan Hakim itu sendiri, agar tidak hanya semata-mata mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. Dr. Lilik Mulyadi juga menjelaskan tentang adanya Asas Summum Ius, Summa Iniuria, Summa Lex, Summa Crux yang artinya ”Kepastian hukum tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi, oleh karena itu hukum dapat melukai, namun hanya keadilan yang dapat menolongnya”, sehingga penulis memaknai bahwa khususnya Hakim di Peradilan Indonesia dalam hal menyelesaikan suatu peristiwa hukum konkrit yang menjadi persengketaan oleh masyarakat, harus berupaya untuk diselesaikan dengan tidak semata-mata mendasarkan pada kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan saja, namun juga harus tetap memperhatikan unsur keadilan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang secara hakekatnya melekat seperti hati nurani atau keyakinan Hakim, alasan pembenar atau alasan pemaaf, alasan yang meringankan atau alasan yang memberatkan yang muncul selama mengikuti jalannya pembuktian di persidangan, memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tanpa mengesampingkan alat bukti yang sah yang ditunjukan pada persidangan serta masih banyak lagi pertimbangan lain yang dapat digunakan Hakim sebagai pertimbangannya demi tercapainya keadilan substansial (substantive juctice) bagi masyarakat pencari keadilan.  Berangkat dari perdebatan tentang mana yang harus diutamakan dalam hal adanya benturan antara kepastian hukum dan keadilan, sejatinya telah diakomodir dengan pengaturan terkini yakni dalam KUHP Nasional yang menyebut bagi Hakim di Indonesia dalam mengadili suatu perkara Pidana, wajib menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 53 ayat (1) KUHP Nasional), apabila dalam jalannya menegakan hukum dan keadilan tersebut Hakim menemui adanya pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka Hakim wajib mengutamakan keadilan (vide Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan memperhatikan berbagai aspek yang mendukung atau yang berkaitan dengan proses Hakim dalam menyusun suatu pertimbangan guna menyelesaikan suatu peristiwa hukum konkrit yang dipersengketakan oleh masyarakat pada dasarnya telah terjawab dengan adanya Asas Summum Ius, Summa Iniuria, Summa Lex, Summa Crux serta didukung dengan kehadiran ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) KUHP Nasional, bahwasanya Hakim dalam menjalankan tugasnya menemui benturan antara kepastian hukum dan keadilan, maka wajib mengutamakan keadilan itu sendiri. (IKAW, LDR)   Referensi:  [1]      Wahyu Iswantoro, Summum Ius Summa Iniuria, diakses pada tanggal 22 Mei  2025, Pukul 10.16 WIB, https://pn-wamena.go.id/new/content/artikel.  [2]       Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, 2025, Anotasi KUHP Nasional, Depok, Rajawali Pers, PT. Raja Grafindo Persada.  [3]      Eddy O.S Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka. [4]      Pengadilan Negeri Tais, Aspek Krusial, Implementatif dan Kebaruan UU Nomor 1  Tahun 2023 Dari Perspektif Hakim Narasumber : Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. (Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu), diakses pada tanggal 12 Maret 2025 pukul 09.00 WIB, https://us02web.zoom.us/j/86536263171?pwd=c9KcXXt9Ovx6YrBGb8toVYRaiB0ex7.1.  

Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

article | Opini | 2025-06-11 13:30:40

TULISAN ini mengkritisi pendekatan reward and punishment dalam sistem lembaga peradilan di Indonesia dengan menawarkan integrasi strategi kindness sebagai kerangka etik dan operasional baru. Reward and punishment selama ini dipahami sebagai alat kendali perilaku aparatur pengadilan, namun belum cukup menyentuh ranah kesadaran moral dan integritas spiritual. Melalui pendekatan multidisipliner yang menggabungkan teori hukum, psikologi moral, dan etika kelembagaan, tulisan ini mendorong hibridisasi antara sistem disiplin (reward and punishment) dan pembinaan nilai (kindness) untuk menciptakan lembaga peradilan yang tidak hanya patuh hukum, tetapi juga menjunjung martabat dan keadilan substantif. Kajian ini merujuk pada sejumlah dasar hukum positif (UU Kekuasan Kehakiman, KEPPH, Peraturan MA), serta hasil penelitian dan praktik etik yudisial dari berbagai negara. Tulisan ini merekomendasikan pembentukan unit etik, revisi sistem reward berbasis nilai, dan penguatan pendidikan yudisial yang menyatu dengan nilai-nilai human-centered justice.Kata Kunci : reward and punishment, kindness, peradilan agung, integritas yudisial, etika kelembagaanPendahuluanLembaga peradilan merupakan pilar utama dalam menegakkan supremasi hukum dan keadilan. Namun, seiring kompleksitas tantangan sosial, tekanan politik, dan tuntutan publik yang semakin tinggi, integritas dan keagungan lembaga peradilan menghadapi ujian serius. Kasus pelanggaran etik, degradasi moral, serta jarak emosioanal antara aparat peradilan dengan masyarakat menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sistem reward dan punishment yang ada selama ini cukup untuk membentuk peradilan yang agung dan berwibawa?Sebagai praktisi hukum yang berada dalam sistem, penulis menyaksikan langsung bahwa pendekatan reward and punishment seringkali bersifat teknokratis dan administratif. Ia menekankan kepatuhan, tetapi belum tentu menumbuhkan keikhlasan. Ia menciptakan ketertiban, tetapi belum tentu menghadirkan kesadaran etik. Padahal, keagungan lembaga peradilan bukan hanya soal kepatuhan pada prosedur, tetapi juga tentang kepatuhan nilai, kejernihan hati, dan keberanian moral dalam menghadirkan keadilan sejati.Di tengah keterbatasan tersebut, pendekatan berbasis kindness atau kebaikan mulai muncul sebagai strategi alternatif yang relevan dan mendesak. Kindness Strategy bukanlah kelembutan yang lemah, melainkan keberanian untuk memanusiakan, mendidik, dan membina aparatur peradilan melalui empati, penghargaan, dan pendekatan yang berbasis hati nurani. Strategi ini membuka ruang bagi pembangunan karakter dan integritas yang tidak hanya berorientasi pada sanksi dan penghargaan, tetapi juga pada kesadaran batin dan tanggung jawab etis.Tulisan ini bertujuan untuk mengkritisi pendekatan rewand and punishment dalam sistem peradilan Indonesia, sekaligus mengusulkan integrasi strategi kindness sebagai pendekatan nilai yang melengkapi bahkan memperdalam efektivitas sistem tersebut. Dengan pendekatan interdisipliner (menggabungkan kerangka hukum, psikologi moral, dan etika kelembagaan), tulisan ini mendorong transformasi paradigma dalam pembinaan aparatur peradilan: dari sekedar mekanisme pengendalian, menuju sistem pembinaan yang memuliakan martabat manusia dan memperkuat rasa keadilan substantif.Dengan merujuk pada dasar hukum positif, prinsip etika yudisial, dan praktik internasional, penulis mengajak para pemangku kepentingan peradilan untuk merefleksikan ulang: bagaimana cara kita membina, menilai, dan mendisiplinkan aparat peradilan, tidak hanya dengan sanksi, tetapi juga dengan nilai-nilai kebaikan yang menginspirasi.1.      Konsep Reward and Punishment dalam Hukum dan Administrasi PublikDalam manajemen sumber daya manusia di sektor publik, konsep reward and punishment (ganjaran dan hukuman) telah lama digunakan sebagai instrumen untuk menjaga kedisiplinan, meningkatkan kinerja, serta menanamkan kepatuhan terhadap aturan. Pendekatan ini bertumpu pada asumsi bahwa individu akan terdorong untuk berperilaku sesuai harapan organisasi apabila diberi insentif atas perilaku positif (reward) dan dikenai sanksi atas perilaku negatif (punishment).Secara yuridis, sistem reward and punisment bagi aparatur negara, termasuk aparat peradilan, memiliki dasar hukum yang jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 20 menyebutkan bahwa setiap ASN berhak memperoleh penghargaan atas prestasi kerja yang luar biasa. Sementara itu, Pasal 23 mengatur bahwa ASN yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi administratif sesuai tingkat kesalahannya. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipi mengatur secara rinci jenis-jenis pelanggaran dan sanksinya, mulai dari teguran lisan hingga pemberhentian tidak dengan hormat.Dalam konteks lembaga peradilan, reward and punishment juga diatur dalam mekanisme kode etik dan pedoman perilaku. Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung melalui Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menetapkan prinsip-prinsip dasar integritas, independensi, dan profesionalitas, serta membuka ruang bagi pemberian sanksi etik apabila terdapat pelanggaran oleh hakim. Namun demikian, pendekatan reward and punishment memiliki keterbatasan mendasar. Pertama, ia bersifat eksternal dan transaksional, artinya perilaku yang baik dilakukan semata-mata karena adanya imbalan atau takut akan hukuman, bukan karena kesadaran moral internal. Kedua, pendekatan ini tidak cukup untuk menyentuh dimensi batiniah atau motivasi intrinsik para aparat peradilan yang justru menjadi fondasi utama dalam menjaga marwah institusi peradilan.Dalam praktiknya, sistem reward seringkali bersifat simbolik dan tidak proporsional terhadap tantangan kerja yang dihadapi aparat peradilan. Sementara sistem punishment, apabila diterapkan secara represif dan tanpa pendekatan edukatif, justru melahirkan ketakutan, budaya formalistik, bahkan manipulasi administratif untuk sekedar menghindari sanksi. Dalam konteks ini, reward and punishmentberisiko gagal membangun karakter, karena lebih menekankan kepatuhan daripada kesadaran.Kerenanya, muncul kebutuhan untuk merefleksikan ulang efektivitas sistem reward and punishment, khususnya dalam membentuk pribadi aparat peradilan yang unggul secara moral dan spiritual. Pendekatan alternatif seperti strategi kindness menjadi penting untuk dipertimbangkan sebagai pelengkap bahkan penyeimbang dari sistem yang ada.2.      Strategy Kindness: Apa dan Mengapa Penting?Strategi kindness atau pendekatan berbasis kebaikan merupakan paradigma alternatif dalam pengelolaan sumber daya manusia dan budaya organisasi, termasuk di lembaga peradilan. Dalam konteks ini, kindness tidak dimaknai secara sentimental atau permisif, melainkan sebagai pendekatan yang menempatkan penghormatan terhadap martabat manusia, penguatan nilai-nilai batiniah, serta empati dan kepedulian sebagai instrumen pembentukan integritas. Kindness juga mencerminkan cara kerja berbasis emotional intelligence dan ethical leadership.Kindness strategy mengandaikan bahwa perubahan perilaku yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika individu mengalami transformasi nilai dari dalam. Dalam konteks lembaga peradilan, strategi ini penting karena hakim dan aparat peradilan memikul beban moral yang tidak dapat diukur hanya dengan parameter kinerja formal. Mereka adalah penjaga nilai, bukan sekedar pelaksana prosedur.Dari sisi teoritik, pendekatan ini sejalan dengan teori motivasi intrinsik (Deci & Ryan, 1985) yang menekankan bahwa dorongan internal seperti rasa bermakna, keterhubungan, dan kompetensi lebih ampuh dalam membentuk perilaku etis jangka panjang dibanding motivasi ekstrinsik seperti hukuman dan imbalan. Penelitian oleh Cameron, Bright & Caza (2004) dalam jurnal The Jounal of Applied Behavioral Science menemukan bahwa organisasi yang mengedepankan praktik-praktik kebaikan (compassion, gratitude, forgiveness) menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi, tingkat stres yang lebih rendah, dan kelekatan emosional karyawan terhadap institusi yang lebih kuat.Hal ini diperkuat oleh studi dari Lilius et al. (2011) yang menyatakan bahwa compassionate organizations mendorong munculnya positive deviance, yaitu perilaku melebihi ekspektasi norma karena adanya komitmen dan kebanggaan moral, bukan karena tekanan aturan. Dalam konteks peradilan, ini sangat relevan mengingat hakim sering kali dihadapkan pada dilema etis yang tidak selalu bisa diselesaikan dengan peraturan tertulis semata.Dari sisi regulatif, strategi kindness memiliki landasan dalam Pancasila, terutama sila kedua dan kelima, serta dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28G ayat (1) tentang hak atas rasa aman, dan Pasal 28I ayat (1) tentang perlindungan harkat dan martabat manusia. dalam konteks peradilan, pendekatan ini juga bisa diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan dan pengawasan melalui regulasi internal lembaga peradilan. Misalnya:·        Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No.026/KMA/SK/II/2012 tentang Pedoman Perilaku Hakim.·        Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan di MA dan Badan Peradilan.Selain itu, nilai-nilai kindness juga sejalan dengan semangat pembinaan hakim yang tercantum dalam Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, khususnya Pilar Integritas dan Akuntabilitas, yang mendorong peradian modern berbasis nilai-nilai moral, spiritualitas, dan pelayanan manusiawi.Dalam praktiknya, strategi kindness dapat diwujudkan melalui beberapa hal :·        Mentoring etis dan coaching reflektif antara hakim senior dan yunior.·        Forum berbagi pengalaman batin seperti judicial retreat atau refleksi etik berkala.·        Penguatan psikologis dan kesejahteraan emosional, termasuk dukungan bagi hakim yang mengalami tekanan batin akibat menangani perkara berat.·        Penghargaan moral (moral recognition): misalnya publikasi integritas atau teladan, bukan hanya reward material.Dengan demikian, kindness bukan pendekatan yang lemah, tetapi justru memperkuat jati diri aparat peradilan sebagai manusia bermoral yang bekerja bukan karena iming-iming atau ketakutan, melainkan karena panggilan nurani.3.      Integrasi Strategi Kindness dalam Lembaga PeradilanLembaga peradilan merupakan pilar fundamental negara hukum (rechsstaat), yang tidak hanya menegakkan hukum secara prosedural, tetapi juga harus menjamin keadilan substantif, martabat manusia, dan kepercayaan publik.  Dalam kerangka ini, integritas personal para aktor peradilan menjadi aspek yang tak terpisahkan dari legitimasi institusional. Oleh karena itu, integrasi strategi kindness ke dalam sistem kerja lembaga peradilan adalah keniscayaan, bukan pelengkap.Kindness dalam konteks lembaga peradilan harus dimaknai sebagai etika kelembutan yang menguatkan nilai-nilai keadilan substantif, bukan sekedar keramahan administratif. Ini mencakup pendekatan yang menghargai keseimbangan antara ketegasan hukum  dan kepedulian terhadap manusia yang menjadi subjek hukum. Dalam konteks ini, hakim, panitera, dan aparatur peradilan lainnya dituntut untuk tidak hanya patuh terhadap aturan, tetapi juga menyadari dan merasakan tanggung jawab moral terhadap nasib para pencari keadilan. A.      Mengapa Strategi Kindness Relevan di Peradilan?1)      Beban Moral Tinggi. Hakim dan aparat peradilan sering dihadapkan pada persoalan yang tidak sekedar legal formal, melainkan dilema etis dan eksistensial, seperti kasus pidana anak, perkara keluarga, atau sengketa yang menyangkut hak hidup. Dalam situasi demikian, pendekatan berbasis empati dan nilai yang merupakan inti dari kindness membantu mereka menjaga kejernihan hati dan keadilan nurani.2)      Kritik terhadap Pendekatan Formalistik. Kritik akademik yang konsisten terhadap sistem hukum Indonesia menunjukkan bahwa penegakan hukum yang terlalu kaku dan prosedural cenderung menghasilkan ketidakadilan substantif. Strategi kindness menyeimbangkan pendekatan hukum formal dengan sensitivitas sosial dan kemanusiaan, sebagaimana dikembangkan oleh Mazlumder & Cavusoglu (2019) yang menekankan bahwa "compassion based justice" merupakan respons terhadap krisis kepercayaan terhadap sistem hukum modern.3)      Memperkuat Profesionalisme Spiritual. Dalam banyak negara dengan sistem hukum yang kuat, seperti Norwegia atau Selandia Baru, nilai-nilai etika personal, mindfulness, dan servant leadershipmenjadi bagian dari pelatihan hakim.  Di Indonesia, praktik ini sejalan dengan nilai-nilai lokal seperti "tepo seliro" dan "gotong royong" yang bisa menjadi dasar pembentukan karakter aparat peradilan yang humanis.B.      Contoh Implementasi Strategi Kindness di Lembaga Peradilan1)      Program Refleksi Etik Hakim·        Kegiatan ini dapat berupa ethical retreat tahunan bagi hakim untuk melakukan evaluasi diri, pembelajaran moral, dan penguatan spiritual.·        Dalam Blue Print Pembaharuan Peradilan 2010-2035, kegiatan ini sejalan dengan strategi pembinaan sumber daya manusia yang berintegritas.2)      Mentoring Berbasis Nilai·        Hakim senior membimbing yunior tidak hanya dalam aspek teknis, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan, empati terhadap pihak rentan, dan tanggung jawab moral terhadap putusan.·        Dapat dituangkan dalam SK Ketua MA sebagai bagian dari mekanisme pembinaan terpadu.3)      Penghargaan Moral, Bukan Sekedar Material·        Teladan integritas hakim (misalnya menolak suap, menyelesaikan perkara dengan penuh keadilan meski penuh tekanan) harus dipublikasikan dan dijadikan narasi resmi.·        Ini sejalan dengan prinsip reward berbasis nilai, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim.4)      Manajemen Kesejahteraan Emosional·        Menyediakan ruang psikologis untuk konsultasi batin, terutama bagi hakim yang mengalami tekanan tinggi, seperti dalam perkara yang berdampak besar secara sosial.·        Di banyak yurisdiksi, hal ini dimasukkan dalam sistem judicial well being (lihat: US National Judicial Stress Task Force, 2020).C.      Dasar Hukum dan Kebijakan PendukungBeberapa regulasi yang bisa menjadi landasan integrasi kindness strategy:·        Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan di Lingkungan Peradilan: membuka ruang pengawasan berbasis dialog dan pembinaan nilai.·        Peraturan Mahkamah Agung No. 7, 8, dan 9 Tahun 2016: memberikan kerangka pengawasan yang dapat dikembangkan dengan pendekatan edukatif dan humanis.·        Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH): mengandung prinsip-prinsip empati, kesabaran, dan keadilan hati sebagai dasar dari integritas.4.      Hibridisasi Reward and Punishment dengan Strategi KindnessPendekatan reward and punishment dan kindness strategy kerap dipandang sebagai dua kutub yang bertentangan: satu bersifat normatif instrumental, yang lain bersifat etis afektif. Namun konteks pembangunan lembaga peradilan yang agung yakni peradilan yang berintegritas, bermartabat, dan dipercaya publik keduanya justru perlu dikombinasikan secara strategis. Bukan sebagai dualisme, melainkan sebagai hibridisasi nilai dan sistem.A.      Mengapa Perlu Dihibridisasi?Reward and punishment dibutuhkan untuk menciptakan kepastian dan akuntabilitas. Ia bekerja sebagai sistem kendali (control mechanism) agar organisasi tidak menyimpang dari nilai dan tujuan. Sementara strategi kindness bekerja pada tingkat motivasi dan kesadaran. Ia membentuk karakter aparat secara berkelanjutan karena bertumpu pada nilai-nilai intrinsik, seperti keikhlasan, empati, dan tanggung jawab moral.Hibridisasi ini menegaskan bahwa peradilan tidak hanya membutuhkan sistem yang "keras terhadap pelanggaran", tetapi juga "lembut dalam pembinaan". Di sinilah muncul kebutuhan untuk menyandingkan disciplinary system dengan ethical cultivation.B.      Konsep Integratif: Tegas dalam Aturan, Lembut dalam NilaiDalam pendekatan hibrid ini:·        Punishment tetap diberlakukan atas pelanggaran berat yang mencederai integritas lembaga, seperti suap, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran etik.·        Namun, proses menuju punishment dapat melalui jalur edukatif, seperti konseling etik, peringatan reflektif, atau dialog moral yang melibatkan senior, rohaniawan, atau tokoh etik.·        Reward diberikan bukan hanya atas kinerja kuantitatif, tetapi juga atas teladan integritas, pengabdian sunyi, dan perlakuan humanis terhadap pencari keadilan.·        Praktik "restorative discipline" yang menekankan pemulihan nilai dan relasi antar rekan sejawat bisa menjadi pendekatan alternatif sebelum sanksi formal dijatuhkan.Model ini sejalan dengan pemikiran Etzioni (1995) tentang responsive communitarianism, yang menekankan bahwa regulasi yang efektif harus dikombinasikan dengan penumbuhan moralitas sosial. Dalam konteks peradilan, ini berarti memperkuat aturan disiplin dengan pembinaan integritas melalui kindness based mentoring.C.      Contoh Implementasi dalam Peradilan1.       Pusat Etika Yudisial: Sebuah unit internal yang tidak hanya menangani pelanggaran, tetapi juga membina nilai, mendampingi psikologis, dan mengadakan pelatihan reflektif.2.       Skema Reward Integratif: Pemberian penghargaan moral (misal : Satya Bhakti Yudisial) tidak hanya didasarkan pada masa kerja atau jumlah perkara, tetapi juga kualitas pertimbangan putusan, empati kepada pencari keadilan, dan kontribusi sosial hakim.3.       Forum Restoratif Internal: Dalam kasus pelanggaran ringan hingga sedang, pelanggar diberi kesempatan menyampaikan permintaan maaf dan mengikuti pelatihan nilai sebelum penjatuhan sanksi administratif.4.       Inklusi Nilai Kindness dalam Diklat Yudisial: Pelatihan calon hakim dan promosi jabatan menyertakan modul kesadaran etis, psikologi spiritual, serta komunikasi empatik.D.     LANDASAN HUKUM DAN ETIKAWalau tidak secara eksplisit disebutkan, prinsip hibridisasi ini konsisten dengan berbagai instrumen hukum:·        UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya pasal 3 ayat (1): Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.·        KEPPH, yang menyatakan bahwa "hakim hendaknya memiliki kesabaran dan kepekaan sosial."·        SK KMA No.109/KMA/SK/IV/2022 tentang Kurikulum dan Silabus Diklat Calon Hakim: membuka ruang integrasi nilai etika dan psikologi peradilan.·        Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) juga mendorong performance berbasis outcome, yang bisa mencakup integritas dan etika pelayanan.Dengan demikian, hibridisasi reward and punishment dan kindness bukan hanya memungkinkan, tetapi menjadi kebutuhan strategis untuk menciptakan sistem peradilan yang bukan hanya taat aturan, tetapi juga tumbuh secara etis dan spiritual. Strategi ini akan menghasilkan aparat peradilan yang tidak hanya patuh karena takut dihukum, tetapi bertindak benar karena merasa terpanggil untuk berlaku adil.5.      Rekomendasi dan Refleksi KritisGagasan tentang hibridisasi reward and punishment dengan strategi kindness dalam pembangunan lembaga peradilan yang agung tidak semata ideal normatif, melainkan kebutuhan strategis dalam menjawab krisis kepercayaan publik dan tantangan integritas aparat peradilan. Untuk itu, beberapa rekomendasi dan refleksi kritis berikut perlu dipertimbangkan:A.      Rekomendasi strategis1.       Revisi dan Pelembagaan Sistem Reward yang Berbasis Nilai·     Lembaga peradilan perlu mengembangkan skema penghargaan yang tidak hanya bersifat administratif (jumlah perkara diselesaikan, masa kerja), tetapi juga moral (integritas, sikap empatik, dan kontribusi etis dalam pengambilan keputusan).·     Bisa dikembangkan sistem Narrative Integrity Awards, di mana kisah-kisah nyata integritas hakim menjadi bagian dari rekam jejak institusi.2.       Pembentukan Unit Etika dan Refleksi dalam Setiap Pengadilan Tinggi·     Unit ini dapat menjadi garda depan pelaksanaan strategi kindness melalui kegiatan dialog etik, konsultasi moral, hingga psychological first aid bagi hakim yang mengalami tekanan.·     Ini dapat menjadi bagian dari optimalisasi Unit Pengawasan internal yang selama ini lebih dominan pada aspek teknis dan pelaporan.3.       Integrasi Kindness dalam Kurikulum Pendidikan Yudisial·     Mahkamah Agung dan Badan Litbang Diklat Kumdil MA perlu menyempurnakan kurikulum dengan pendekatan human centered justice, termasuk pelatihan tentang empati, kesadaran diri, dan pengelolaan stres dalam membuat putusan.·     Modul pelatihan dapat merujuk pada standar internasional seperti The Bangalore Principles of Judicial Conduct dan The UNODC Judicial Ethics Training Tools.4.       Implementasi Sistem Disiplin yang Restoratif·     Untuk pelanggaran ringan hingga sedang, sebelum dijatuhkan sanksi, pelanggar dapat diberi kesempatan untuk mengikuti dialog etik, permintaan maaf terbuka, dan rencana perbaikan pribadi.·     Ini memberikan ruang bagi pertobatan moral, bukan hanya penghukuman formal.5.       Penelitian dan Indikator Baru untuk Menilai Keagungan Peradilan·     Lembaga peradilan perlu membangun instrumen evaluasi internal yang menilai tidak hanya output kerja, tetapi juga integritas spiritual, kualitas moral pelayanan, dan kematangan etis para aparat peradilan.B.      Refleksi KritisMeski strategi kindness menawarkan pendekatan yang lebih humanis dan jangka panjang, penerapannya tidak bebas dari tantangan:·        Risiko Penerapan yang Salah Kaprah. Bila tidak dikawal dengan baik, kindness bisa disalahartikan sebagai kelunakan terhadap pelanggaran. Padahal esensi kindness adalah keberanian untuk menegakkan nilai dengan kasih, bukan kelemahan dalam disiplin.·        Perlu Perubahan Paradigma Pimpinan. Pimpinan lembaga peradilan harus menjadi teladan dan motor dari transformasi ini. Tanpa komitmen kuat dari atas, strategi ini akan berakhir sebagai jargon tanpa dampak.·        Keterbatasan Budaya Institusional. Budaya birokrasi peradilan yang masih sarat formalitas dan hirarki bisa menjadi penghalang masuknya pendekatan-pendekatan nilai. Diperlukan cultural shift yang progresif dan konsisten.·        Pengukuran Kualitatif yang Belum Terbangun. Kindness dan integritas adalah nilai yang sulit diukur dengan angka. Oleh karena itu, lembaga peradilan perlu mengembangkan alat ukur kualitatif (misalnya melalui studi naratif, wawancara mendalam, dan asesmen etika) sebagai bagian dari akuntabilitas yang bermakna. PenutupSebuah lembaga peradilan yang agung tidak hanya dibangun dengan undang-undang dan bangunan megah, tetapi melalui jiwa-jiwa besar yang mengabdi dalam diam, memutuskan dengan nurani, dan melayani dengan cinta. Reward and Punishment penting untuk mengatur perilaku, tetapi kindness adalah fondasi untuk membentuk karakter. Ketika keduanya diintegrasikan dalam satu sistem nilai dan manajemen kelembagaan, maka peradilan tidak hanya menjadi institusi hukum, tetapi rumah keadilan bagi rakyat dan cermin kebaikan dari negara.Dr Akhmad Fijiarsyah Joko Sutrisno(Ketua PN Malang) ------Daftar PustakaEtzioni, A. (1995), The Spirit of Community : The Reinvention of American Society, Simon and Schuster.Mazlumder, M. & Cavusoglu, D. (2016), Compassion-Bassed Justice : A Theoritical Model and Ethical Foundation, Journal of Human Values, 25 (3), 204-217.Mahkamah Agung RI (2010), Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, MA-RI.Mahkamah Agung RI (2016), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7,8, dan 9 Tahun 2016.Mahkamah Agung RI (2017), Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017.Mahkamah Agung RI (2022), SK KMA No. 109/KMA/SK/IV/2022 tentang Kurikulum dan Silabus Diklat Calon Hakim.Republik Indonesia, (2009), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), (2019), Judicial Ethics Training Manual. National Judicial Stress Task Force, (2020), Judicial Wellnest Report, National Center for State Courts.

Integritas: Tameng dan Pedang Bagi Seorang Hakim

article | Opini | 2025-06-11 11:00:54

Pendahuluan Dalam sistem peradilan, Hakim adalah simbol dari keadilan dan penjaga konstitusi. Ia duduk di kursi kehormatan dengan beban tanggung jawab yang sangat besar, yaitu menegakkan hukum dengan adil, tanpa memihak, dan tanpa gentar. Dalam mengemban tugas luhur ini, Hakim sejatinya memiliki satu senjata dan alat pertahanan utama yang tak tergantikan, yaitu integritas. Bagi seorang Hakim, integritas dapat digunakan sebagai tameng untuk melindungi diri dari godaan, sekaligus digunakan sebagai pedang yang dapat menebas segala bentuk ketidakadilan. Di tengah derasnya arus tantangan moral dan tekanan sosial-politik, integritas bukan lagi sekadar nilai abstrak, karena bagi seorang Hakim Integritas adalah jantung dari seluruh praktik penegakan hukum. Integritas sebagai tameng Hakim Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Sunarto., dalam berbagai arahannya secara konsisten menekankan agar Hakim di seluruh Indonesia menghindari pelayanan yang bersifat transaksional atau pelayanan yang mencemari proses hukum dengan “imbalan” atau kepentingan tertentu di luar hukum. Pelayanan yang bersifat transaksional sangat berpotensi besar mengakibatkan Hakim menyimpang dari kebenaran dan meyelewengkan nilai-nilai keadilan. Putusan yang semestinya hadir untuk menegakkan keadilan, justru dapat berubah menjadi alat legitimasi ketidakbenaran, menodai makna hukum, sebagai penjaga keseimbangan di dalam kehidupan, hingga pada akhirnya mengakibatkan marwah institusi akan semakin runtuh di mata publik. Dalam konteks ini, guna menghindari pelayanan yang bersifat transaksional, seorang Hakim harus benar-benar berpegang teguh pada integritas yang juga merupakan salah satu perilaku yang wajib diimplementasikan Hakim sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Integritas adalah tameng utama yang melindungi Hakim dari jebakan korupsi yang kerap kali menyusup dalam bentuk relasi tidak sah antara aparat peradilan dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap suatu perkara. Di tengah sorotan publik, integritas menjadi perisai kokoh bagi Hakim, karena tanpanya seorang Hakim akan mudah tergelincir dalam pusaran konflik kepentingan dan intervensi yang jelas akan mencederai indepedensi Hakim dalam memutus suatu perkara. Integritas bukan sekadar benteng pribadi seorang Hakim, namun juga sebagai pelindung kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan itu sendiri. Ketika Hakim bersikap adil, jujur, dan tidak berpihak, maka niscaya masyarakat percaya bahwa hukum benar-benar ditegakkan. Sebaliknya, ada satu saja noda terdapat dalam diri seorang Hakim, maka hal tersebut dapat meruntuhkan legitimasi keseluruhan sistem peradilan. Integritas sebagai pedang Hakim Tidak hanya menjadi sebuah tameng, Integritas juga dapat menjadi pedang bagi Hakim untuk menebas ketidakadilan. Ia adalah pedang tajam yang digunakan oleh Hakim untuk memotong ketidakbenaran dan melawan ketidakadilan. Dalam ruang sidang, integritas memandu Hakim untuk memutuskan perkara berdasarkan fakta dan hukum, bukan berdasarkan tekanan dan bukan juga karena suatu hal yang bertentangan dengan hukum. Ia memberi keberanian untuk menjatuhkan vonis terhadap pelanggar hukum tanpa pandang bulu, siapa pun mereka bahkan sesama penegak hukum sekalipun. Sedangkan, di luar ruang sidang, integritas digunakan untuk melawan budaya permisif dan penyalahgunaan wewenang. Kebijakan Mahkamah Agung dalam Memperkuat Benteng Integritas Hakim Menjadi seorang Hakim tidak hanya berarti menegakkan hukum dan keadilan, tetapi juga memikul tanggung jawab moral yang sangat besar, termasuk menjaga integritas dan nama baik, baik itu dalam kapasitas pribadi maupun sebagai simbol lembaga peradilan. Namun, dalam praktiknya, menjaga nama baik bagi seorang Hakim bukanlah perkara mudah. Meskipun telah berpegang teguh pada kode etik, prinsip-prinsip integritas, profesionalisme, dan netralitas, tantangan dari luar kerap kali datang tanpa diduga. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Hakim adalah adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mencatut atau mengatasnamakan dirinya demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dalam berbagai situasi, nama seorang Hakim bisa saja disalahgunakan untuk memberikan kesan seolah-olah suatu tindakan atau keputusan telah mendapat restu atau perlindungan hukum, padahal kenyataannya tidak demikian. Hal ini tidak hanya merusak nama baik Hakim, tetapi juga dapat mencoreng kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan secara keseluruhan. Guna menghindari pencatutan nama Hakim oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab yang berpotensi mencoreng nama baik Hakim dan lembaga, Hakim dapat mengimplementasikan kebijakan Mahkamah Agung untuk memperkuat banteng integritas. Salah satunya adalah menyatakan penolakan korupsi dan gratifikasi secara tegas pada setiap persidangan akan dimulai sebagaimana Surat Edaran Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Himbauan Pembuatan Audio Peringatan Perilaku Anti Gratifikasi. Di mana dalam lampiran I surat edaran tersebut terdapat format teks seruan anti suap dan gratifikasi bagi warga pengadilan yang di dalamnya memuat beberapa nomor pengaduan yang dapat Hakim bacakan di meja persidangan saat sidang akan dimulai. Dengan adanya seruan anti suap dan gratifikasi oleh Hakim di setiap awal sidang akan dimulai, maka setidaknya para pihak dapat mengetahui bilamana kemudian ada yang mengatasnamakan Hakim untuk menjanjikan sesuatu atau meminta imbalan, hal tersebut bukan berasal dari Hakim. Sebab, Hakim secara tegas dan terbuka telah menyatakan sikap anti suap dan anti gratifikasi di depan persidangan. Dengan cara ini, Hakim tidak hanya memperkuat citra integritas pribadi dan lembaga, tetapi juga melindungi diri dari kemungkinan fitnah serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya peradilan yang bersih. Penutup Integritas adalah fondasi utama yang melindungi dan membimbing Hakim dalam menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu. Sebagai tameng, integritas dapat mencegah penyimpangan dan menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Sedangkan sebagai pedang, Integritas dapat memberi keberanian bagi seorang Hakim untuk melawan ketidakadilan. Melalui beberapa kebijakan Mahkamah Agung, Integritas diperkuat demi menciptakan peradilan yang bersih, terpercaya, dan bebas dari pengaruh negatif maupun praktik transaksional. Membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan bukanlah perkara yang mudah karena menuntut konsistensi, keteladanan, dan keberanian moral. Namun, kepercayaan yang dibangun lama dan penuh perjuangan itu dapat runtuh sekejap hanya karena satu tindakan tercela dari seorang Hakim. Kepercayaan publik ibarat bangunan yang disusun dengan susah payah, namun bisa roboh hanya oleh “sentilan jari” yakni oleh satu bentuk pelanggaran etika atau integritas. Maka dari itu, menjaga integritas bukan hanya kewajiban profesional, melainkan syarat mutlak untuk mempertahankan legitimasi lembaga peradilan di mata masyarakat. Perlu juga menjadi catatan bahwa menegakkan integritas bagi seorang Hakim tidak cukup hanya sekadar tidak menerima suap atau menjauhi diri dari perbuatan korupsi, tapi termasuk bagaimana seorang Hakim menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan benar-benar mempedomani Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). (LDR)

Catatan Terakhir Seorang Mentor Untuk Calon Hakim

article | Opini | 2025-06-08 20:00:17

Jakarta - Alkisah bermula suatu pertanyaan kepada Penulis, “Pak Rizki tipe hakim seperti apa? Terima atau tidak?” Meski pertanyaan ini terjadi 12 tahun lalu namun masih membekas hingga kini. Pertanyaan ini ditanyakan salah seorang kolega hakim beberapa hari setelah Penulis dilantik. Jelas, Penulis sangat terkejut dan tidak menjawabnya. Setelahnya Penulis merenung apa jawaban yang harus Penulis pilih karena yakin hal ini akan ditanyakan lagi.Penulis langsung menghubungi mentornya dan bertanya mengenai apa yang harus dijawabnya. Seingatnya, Mentor Penulis meminta maaf tidak memberikan bekal mengenai pertanyaan ini sebelum para calon hakim (cakim) meninggalkan tempat magang. Beliau hanya menyampaikan “saya yakin dan percaya sama Mas Rizki”.Dalam periode tahun 2017-2020, Penulis ditunjuk sebagai mentor calon hakim. Jelang keberangkatan mereka ke tempat penugasan baru, Penulis mulai memikirkan perlukah Penulis memberikan bekal atas pertanyaan serupa di atas. Kami para mentor sepakat membahas ini di rapat terakhir kami dengan para mentee.Rapat tersebut berlangsung lebih serius dari biasanya. Kami menyampaikan kemungkinan akan ada pertanyaan tersebut dan kami berharap para calon hakim mempersiapkan jawabannya sejak awal. Penulis sampaikan “apapun jawaban yang anda pilih akan menentukan jalan hidup anda”. Waktu berlalu dan mereka diambil sumpahnya sebagai seorang hakim. Para mentee menghubungi dan menyampaikan benar adanya pertanyaan tersebut. Hingga saat ini Penulis tidak bertanya jawaban apa yang mereka pilih. Namun Penulis mendapatkan informasi valid, mereka memilih jawaban yang benar. Alhamdulillahirabbilalamin.Pertanyaan tersebut idealnya tidak boleh ada lagi. Kejadian terakhir memberi sinyal bahwa kita seperti tidak pernah kehilangan momentum membenahi peradilan. Jangan sampai Tuhan Yang Maha Kuasa mencabut momentum itu. Oleh karena itu, jika masih ada pertanyaan tersebut, Penulis berharap agar para calon hakim yang akan dilantik dalam waktu dekat akan juga memberikan jawaban yang benar. Dalam konteks Primus Inter Pares, tentunya Penulis juga berharap bahwa kita para seniornya kelak sungguh-sungguh memberi teladan tidak hanya pengalaman namun juga teladan moral dan integritas.Komitmen dan langkah Pimpinan Mahkamah Agung membenahi peradilan harus terus kita kawal. “Jangan ada lagi pelayanan transaksional” adalah amanah Ketua Mahkamah Agung yang harus terus terpatri dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Penulis ingin juga mengutip pernyataan mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan, I Gusti Agung Sumanatha, sewaktu beliau memberikan pembekalan kepada kami para calon hakim kala itu. “Bangun dan Pelihara Reputasimu sejak awal”, pesan pria yang kini menjabat sebagai Ketua Kamar Perdata MA. Selamat datang rekan sejawat, selamat bertugas! Kualitas dan kuantitas anda akan sangat mewarnai peradilan Indonesia ke depan. (RD/FAC)

Anticipatory Breach, A Missing Piece In Indonesian Contract Law

article | Opini | 2025-06-07 21:00:30

Have you ever had your contract partner suddenly say they won't meet their obligations before the work begins? How did you feel? Frustrated? Disappointed? Betrayed?Nowadays, the world recognizes a new concept of breach called anticipatory breach, a breach of contract that is anticipated due to one party’s indication or strong intention that they will not fulfill their obligations. This type of breach occurs when one party to the agreement explicitly or implicitly states that they refuse to fulfill their obligations before the contract performance date. Consequently, it grants the other party the rights to immediately terminate the contract and claim damages before the actual breach occurs. It is considered efficient because of preventing further harm and providing earlier legal certainty to the harmed party. This concept is widely acknowledged in common law systems, for example in the United States and the United Kingdom. This concept is gaining popularity in modern legal practice, where certainty and efficiency are prioritized. However, no explicit provision regulating anticipatory breach exists in the Indonesian civil law system, which is still based on the Dutch-inherited Civil Code or Burgerlijk Wetboek, also known as the Indonesian Civil Code (hereafter as “BW”). In spite of the absence of explicit regulation concerning anticipatory breach, this writing explores the potential application of anticipatory breach within the Indonesian legal framework through progressive interpretation of existing norms. Besides, it seeks to foster academic discourse on the possibility and urgency of adopting the anticipatory breach in Indonesia’s legal system.In order to understand the prospective legal use of anticipatory breach in indonesian legal system, we must first examine what the difference between breach of contract stated in the BW and anticipatory breach is. Breach of contract or wanprestasi in the BW is the failure to execute an obligation that has been confirmed in a contract. It, as stated in Article 1243 BW, can be expressed in three forms: 1) failure to perform the obligation, 2) performing the obligation late, or 3) performing the obligation in a manner that does not comply with the agreed terms. In other words, breach of contract in the BW is referred to as a violation of the obligations as established in the contract.Meanwhile, anticipatory breach is declared when one party indicates, either explicitly or through clear actions, that they will not fulfill their contractual obligations before the agreed time for performance. Signaling the other party that the contract will not be executed as agreed is enough to make it as evident that they have no intention of fulfilling the contract, thus violating the terms even before the time for performance has arrived.Even though both concepts emphasize the violation of contract terms, they have notable features in terms of manner and timing. Whereas wanprestasi in BW refers to a failure to perform, delayed performance, or improper performance, anticipatory breach only need indication, either explicitly or through actions, that they will not fulfill the contract. In the aspect of timing, anticipatory breach addresses the breach before the actual performance date arrives while wanprestasi is declared when the performance is due and the obligation is unfulfilled. In other words, anticipatory breach is not recognized as a form of breach of contract under the BW.This lack of regulation creates legal gap that could be detrimental to the party acting in good faith. This circumstance often put the harmed party in uncertainty, having to choose between waiting for the actual breach or filing a lawsuit at the risk of being considered as making a premature filing. While the signs of a breach are crystal clear, a solid legal foundation to take immediate action before the breach actually occurs is often lacked by a party anticipating a breach by its contractual partner. Considering that situation and the increasing complexity and pace of commercial transactions, the importance of recognizing anticipatory breach has become more relevant as a preventive legal protection instrument.In this context, Article 1338 paragraph 3 BW and Article 1339 BW has regulated general principle in civil law, such as good faith, propriety and fairness. It is reasonable to suggest that it can be used as an interpretative basis to implicitly allow the application of anticipatory breach, because as Satjipto Rahardjo said, principle is the heart of norm. Therefore, in my opinion, a progressive interpretation of these principles could be a key to open the door for more adaptive and responsive legal protection in this modern and complex contractual agreement.As it said, the principles of good faith, propriety, and fairness can be interpreted to support anticipatory breach. For instance, the principle of good faith, as mentioned in Article 1338 paragraph (3) BW, requires that contracts shall be performed with honesty and sincerity. Expressing not to perform the contract explicitly can be considered a violation of this principle, becuase it indicates bad intent and causes harm to the other contracting party.Meanwhile, the principle of propriety, as set forth in Article 1339 BW, shall be executed in contract. Thus, the contract must be agreed upon in a fair and balance manner. In cases of anticipatory breach, a party’s unilateral decision not to fulfill its contractual obligations may be regarded as inappropriate owing to causing harm to the other party without just cause and disregarding the expectations and the equilibrium of rights and obligations between the parties.In addition, the principle of fairness, as prescribed in Article 1339 BW, emphasizes that contracts are binding not only for matters explicitly stated therein, but also for everything that, by the character of the agreement, is required based on fairness, custom, or statutory provisions. When one party declares an intention not to fulfill its obligations before the time for fulfillment, it can be considered a violation of the principle of fairness due to undermining the legitimate expectations of the other party to a fair execution of the contract. Accordingly, it is plausible to argue that these principles can provide a basis for implicitly supporting the application of anticipatory breach in legal interpretation.Moreover, the anticipatory breach concept in Indonesian contract law could be strengthened through a systematic interpretation of civil law principles. Notwithstanding emphasizing the enforceability of the agreements, the principle of pacta sunt servanda, as pursuant to Article 1338 BW, does not preclude the prospect of adjustment when a clear intention to breach the agreement is declared. This principle should not only be viewed as a binding force of agreement, but also a preventive measure against the contract breach if contract is not upheld. In other words, the law is required to be able to prevent harm by intervening at the right moment.To sum up, although there is no provision concerning anticipatory breach in BW, general principles in BW, such as good faith, propriety, and fairness can be taken as entry point for interpretation to implicitly accommodate this concept. It is because anticipatory breach can be seen as a violation of these principles. Hence, a progressive and systematic interpretation of these civil law principles is essential to provide more effective legal protection, prevent further harm, and ensure legal certainty.Theoretically, anticipatory breach can be viewed as a manifestation of the evolution of contract law functions in a complex modern society. As a result, it is crucial for Indonesia to consider the explicit recognition of anticipatory breach through civil law reform. Considering the needs of certainty and efficiency in contemporary commercial transactions, Indonesia needs to adjust its contract law to be more modern, adaptive and fair contract law system at the earliest opportunity. (Research and Development/Fac)Reference:Book:Harahap, M. Yahya. (1986). Segi-Segi Hukum Perjanjian. Jakarta: Alumni.H.S., Salim. (2019). Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.Kartikawati, Dwi Ratna. (2019). Hukum Kontrak. Tasikmalaya: CV. Elvaretta Buana.Martono, Endro & Nugroho, Sigit Sapto. (2016). Hukum Kontrak dan Perkembangannya. Solo: Pustaka Iltizam.Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.Subekti, R. (2005). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.Journal:Cahyono, Akhmad Budi. (2020). Default and Termination of Contract: a Comparative Study Between Indonesia and the UK. Yuridika. Vol. 35 No. 3, 469-483. https://doi.org/10.20473/ydk.v35i3.17679-----. (2020). Implementation of Common Law Doctrine in Indonesian Law of Obligation. Advances in Economics, Business and Management Research. Vol. 130, 320-326. https://www.atlantis-press.com/article/125937739.pdfMeyer, L. J. (1953). Anticipatory breach of contract—Effects of repudiation. University of Miami Law Review, 8(1), 68-75. https://repository.law.miami.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3854&context=umlrNugraha, Delsa Wahyu, Setyawan, Fendi, & Soetijono, Iwan Rachmad. (2024). Global Impact of Breach of Good Faith in Insurance Contracts. Indonesian Journal of Innovation Studies Vol. 25, no. 2 (2024): 1074, https://ijins.umsida.ac.id/index.php/ijins/article/view/1074.S., M. Hillman Mehaga. (2022). Pengakhiran Kontrak Sebelum Terjadi Wanprestasi oleh Pihak yang Mengantisipasi Kegagalan Pelaksanaan Kewajiban. Dharmasisya: Jurnal Program Magister Hukum FHUI Vol. 2, No. 2 (2022): 34. https://scholarhub.ui.ac.id/dharmasisya/vol2/iss2/34.Sulistianingsih, Dewi, Wijaya, Christian Chandra, Yusof, Rahmawati Mohd & Adhi, Yuli Prasetyo. (2024). Juridical Consequences of Anticipatory Breach as a Form of Breach of o Contract. Journal of Indonesian Legal Studies Vol. 9 (Issue 1 (2024), 131-154. https://doi.org/10.15294/jils.vol9i1.4537

Kewajiban Pendampingan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana dan Konsekuensinya

article | Opini | 2025-06-07 18:00:31

PendahuluanSebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), bantuan hukum merupakan hak fundamental bagi setiap warga negara. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan akses terhadap keadilan, termasuk melalui bantuan hukum guna memastikan prinsip persamaan di hadapan hukum dapat terwujud dengan baik. Di Indonesia mengenai bantuan hukum itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang menegaskan bahwa masyarakat miskin berhak memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma dari lembaga bantuan hukum yang telah terverifikasi dan terakreditasi oleh pemerintah.Dalam konteks perkara yang melibatkan anak, kewajiban pemberian bantuan hukum tidak kalah penting, karena anak sebagai subjek hukum yang rentan sangat memerlukan perlindungan khusus dari negara. Tentang kewajiban pendampingan hukum bagi anak dalam perkara pidana telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pemenuhan kewajiban pemberian bantuan hukum bagi anak itu sendiri bertujuan untuk menjamin proses hukum yang adil dan berpihak pada kepentingan terbaik anak, sebagaimana prinsip-prinsip dasar yang juga tercantum dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Lantas bagaimana UU SPPA mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak? Dan bagaimana konsekuensinya apabila kewajiban bantuan hukum bagi Anak pada tiap tingkat pemeriksaan diabaikan atau tidak dipenuhi?Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum Bagi Anak Berdasarkan UU SPPA;Dalam praktik, Anak yang menjadi tersangka atau terdakwa sering kali tidak memahami proses hukum yang dihadapi. Sehingga, tanpa bantuan hukum Anak sangat rentan mengalami pelanggaran hak, seperti penyiksaan, intimidasi, pengakuan paksa, atau ketidakadilan dalam proses peradilan. Oleh karena itu, pemberian bantuan hukum bagi Anak sejak tahap penyidikan sampai dengan persidangan merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi untuk memastikan hak-hak Anak selama proses peradilan benar-benar diberikan. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), bahwa tentang bantuan hukum bagi Anak disebutkan dalam beberapa pasal. Pertama, Pasal 3 huruf c UU SPPA yang mengatur bahwa “setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif”. Kedua, Pasal 23 ayat (1) UU SPPA yang menyebutkan bahwa “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dari bunyi kedua pasal dalam UU SPPA tersebut, dapat dipahami bahwa bantuan hukum adalah Hak bagi Anak yang sedang menjalani proses peradilan, dan negara melalui aparat penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim wajib memenuhi hak tersebut kepada Anak dengan memberikan bantuan hukum kepada Anak yang sedang menjalani proses hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.Perlu diketahui, bahwa kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA adalah berbeda dengan ketentuan pemberian bantuan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 56 KUHAP. Dalam Pasal 56 KUHAP, bantuan hukum wajib diberikan apabila tersangka atau terdakwa diancam pidana lima tahun atau lebih dan tidak mampu secara ekonomi. Artinya, pemberian bantuan hukum dalam KUHAP bersifat terbatas dan bergantung pada berat ringannya ancaman pidana serta kemampuan tersangka atau terdakwa. Sementara, dalam Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak adalah diberikan tanpa melihat jenis atau ancaman pidana yang dikenakan kepada Anak. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pemberian bantuan hukum bagi Anak adalah kewajiban mutlak, yang harus dilaksanakan sejak Anak mulai berhadapan dengan proses hukum.Konsekuensi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Bantuan Hukum Bagi Anak Dilihat Dari Praktik Putusan Perkara Pidana Khusus Anak;Merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, pemberian bantuan hukum kepada Anak pada setiap tingkat pemeriksaan adalah bersifat imperatif. Namun, dalam UU SPPA tidak mengatur bagaimana konsekuensi apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum dalam setiap pemeriksaan. Maka dalam hal ini penulis akan merujuk pada praktik beberapa putusan pengadilan dalam perkara pidana khusus Anak, yaitu sebagai berikut:Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll Jo. Putusan Nomor 33/ Pid.Sus-Anak /2018/PT Mks;Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll Jo. Putusan Nomor 33/ Pid.Sus-Anak /2018/PT Mks;Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll;Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 9/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll;Putusan Pengadilan Negeri Oelamasi Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Olm; dan, Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2024/PN Pts Jo. 6/PID.Sus-Anak/2024/PT Ptk;Beberapa putusan tersebut di atas merupakan putusan sela yang pada pokonya terdapat kesamaan substansi karena adanya eksepsi terkait dengan tidak terpenuhinya hak konstitusional Anak atas bantuan hukum pada tingkat penyidikan. Dalam perkara-perkara tersebut, diketahui Anak selama proses penyidikan tidak diberikan bantuan hukum, dan penyidik hanya melampirkan surat pernyataan penolakan pendampingan hukum yang ditandatangani oleh Anak. Namun demikian, pendekatan hukum yang digunakan oleh hakim dalam pertimbangannya adalah merujuk pada asas perlindungan anak dan kepentingan terbaik bagi Anak. Sehingga merujuk pula pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) yang memberikan pengaturan bahwa pemberian bantuan hukum terhadap Anak dalam setiap pemeriksaan adalah wajib dan berbeda penerapannya dengan Pasal 56 KUHAP. Maka, meskipun terdapat surat pernyataan penolakan dari Anak, hal tersebut tidak dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, mengingat Anak secara hukum belum memiliki kapasitas penuh untuk membuat keputusan yang berdampak pada hak konstitusionalnya dalam proses peradilan pidana. Dengan mempertimbangkan juga beberapa putusan pada tingkat judex juris, dan berpegang pada asas Presumption Of Innocence akhirnya dalam putusan-putusan tersebut hakim menyatakan bahwa penuntutan oleh Penuntut Umum menjadi tidak dapat diterima karena cacat hukum yang mendasar pada tahap penyidikan.PenutupPemberian bantuan hukum bagi Anak dalam proses peradilan pidana merupakan hak mutlak yang dijamin UU SPPA dan wajib dipenuhi tanpa syarat oleh aparat penegak hukum. Ketidakpenuhan bantuan hukum terhadap Anak dalam praktik peradilan menyebabkan proses hukum cacat secara substantif, dan menjadikan celah diajukannya eksepsi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan. Merujuk pada praktik putusan pengadilan baik itu putusan pada tingkat pertama dan tingkat banding, apabila terjadi pelanggaran terhadap hak Anak khususnya adalah terkait dengan pemberian bantuan hukum, maka dapat berkonsekuensi terhadap penuntutan dari Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. fac

Meneropong Intervensi dalam Praktik

article | Opini | 2025-06-04 08:15:44

Intervensi diartikan secara umum dalam praktik adalah masuknya pihak ketiga baik oleh karena inisiatif sendiri maupun karena ditarik oleh pihak asal ke dalam sebuah perkara yang sedang disidangkan. Masuknya pihak ketiga ini karena memiliki kepentingan dengan sengketa yang sedang diperiksa di persidanganDasar hukum masuknya pihak ketiga ke dalam sebuah perkara sampai dengan saat ini masih merujuk kepada Bagian Ke-17 Penggabungan dan Penengahan mulai Pasal 279 sampai dengan Pasal 282 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering  atau Rv):Pasal 279 Rv mengatur : “Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan”;Pasal 280 Rv mengatur : “Tindakan-tindakan ini dilakukan dengan surat permohonan pada hari sidang yang telah ditetapkan sebelum atau pada waktu kesimpulan terakhir diambil dalam perkara yang sedang berjalan. Dalam perkara yang diperiksa berdasarkan surat-surat, tindakan itu dilakukan dengan pemberitahuan kepada para pihak disertai pemanggilan mereka untuk menghadap di sidang pengadilan”;Pasal 281 mengatur : “Surat permohonan, yang sekaligus berisi pengangkatan seorang pengacara, memuat nama kecil, nama dan tempat tinggal yang mengajukan permohonan serta dasar alasan permohonan iiu diajukan, semua dengan ancaman batal. Ia dianggap telah memilih tempat tinggal pada pengacaranya, kecuali jika dalam surat permohonannya ia menyatakan memilih tempat tinggal lain”;Pasal 282 mengatur : “Jika hakim yang memutus permohonan itu memerintahkan para pihak untuk melanjutkan perkaranya, maka dalam putusan yang sama itu ditentukan pula kepada mereka harus menghadap di muka persidangan untuk melanjutkan perkaranya itu”Intervensi, dalam praktik dikenal terdapat 3 jenis berdasarkan kepentingan dan tujuan mereka dalam perkara tersebut, yakni:Tussenkomst, adalah pihak ketiga yang masuk ke dalam sebuah perkara untuk membela kepentingannya dengan cara menggugat pihak-pihak asal dalam perkara tersebut baik Penggugat maupun Tergugat;Voeging, adalah pihak ketiga yang masuk ke dalam sebuah perkara untuk membela kepentingannya dengan cara bergabung dengan salah satu pihak dalam perkara asal baik bergabung dengan Penggugat maupun Tergugat;Vrijwaring, adalah pihak ketiga yang masuk ke dalam sebuah perkara untuk membela kepentingannya dengan cara ditarik oleh salah satu pihak dalam perkara asal baik oleh Penggugat maupun Tergugat.Intervensi sebagai pihak yang diakui keberadaannya oleh hukum acara perdata kita, namun aturan-aturan hukum belum ada yang merinci bagaimana persidangan memperlakukan seorang Intervenient mulai protokol ketika masuk di persidangan hingga penghitungan biaya perkara yang harus dikeluarkan seorang intervenient.Pembahasan mengenai intervensi ini akan Penulis kupas sesuai urut-urutan persidangan sebagai berikut:●     Waktu masuknya intervenientBerdasarkan ketentuan Pasal 280 Rv, seorang calon Intervenient dapat masuk ke dalam perkara pokok pada saat sebelum atau pada saat KESIMPULAN ;Dengan kata lain apabila terdapat sebuah persidangan yang memasuki tahap penyampaian Kesimpulan, lalu ada pihak Intervenient yang masuk, maka berdasarkan ketentuan Pasal 280 Rv, Penulis berpendapat: kita dapat menerima Kesimpulan para pihak dalam perkara pokok terlebih dahulu, lalu menerima permohonan intervensi dari Intervenient●     Cara masuk intervenientMengenai cara masuknya seorang calon Intervenient, oleh karena belum ada aturan yang mengatur hal ini, terdapat 2 cara yang berkembang yakni:Calon Intervenient membayar panjar biaya perkara terlebih dahulu di Kepaniteraan Perdata, kemudian hadir di persidangan dan mengajukan permohonan intervensi kepada Majelis Hakim pada saat persidangan.Calon Intervenient menghadiri persidangan, lalu menginterupsi persidangan dan mengajukan permohonan intervensi kepada Majelis Hakim pada saat persidangan hari tersebut hendak ditutup oleh Majelis Hakim.Kemudian pertanyaan selanjutnya, apakah terkait permohonan intervensi tersebut, kepada para pihak asal diberikan kesempatan untuk menanggapi?Kembali lagi oleh karena belum ada aturan mengenai Intervensi secara rinci, terkait hal ini ada 2 pendapat yang berkembang juga yakni:Memberikan kesempatan kepada para pihak dalam perkara asal untuk menanggapi;Untuk permohonan yang mendefinisikan dirinya sebagai Tussenkomst (menggugat), tidak diperlukan tanggapan dari para pihak asal, namun apabila permohonannya mendefinisikan diri sebagai Voeging (bergabung) dan atau sebagai Vrijwaring (ditarik), Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak dalam perkara asal untuk menanggapi.Setelah ada permohonan dari calon Intervenient tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 282 Rv, maka Majelis Hakim harus memutusnya dalam sebuah Putusan, oleh karena Putusan dalam sebuah perkara hanya ada 1 yakni pada Putusan Akhir, maka putusan mengenai dapat masuknya atau tidak Calon Intervenient ke dalam perkara pokok harus dituangkan ke dalam sebuah putusan sela.Mengenai point cara masuknya Intervenient ini, Penulis berpendapat sebagai berikut:Berdasarkan ketentuan Pasal 280 Rv, dimana surat yang diajukan oleh Calon Intervenient adalah berupa Surat Permohonan dan belum berbentuk surat Gugatan (apabila ia sebagai Tussenkomst) yang diajukan di dalam sebuah persidangan, sehingga Penulis lebih condong memilih kepada pendapat mengenai cara Calon Intervenient masuk adalah dengan menginterupsi persidangan dan belum mendaftarkan diri dengan cara membayar panjar biaya perkara di Kepaniteraan. Setelah Majelis Hakim memutuskan calon intervenient dapat masuk ke dalam perkara asal, maka setelah itu berdasarkan penafsiran Pasal 282 Rv, baru diperintahkan untuk mengikuti persidangan dimana untuk dapat mengikuti persidangan salah satu syaratnya adalah dengan cara membayar panjar biaya perkara.Dalam Amar Putusan Sela Majelis Hakim, Penulis mengusulkan penyebutan pihak Intervensi tussenkomst sebagai PENGGUGAT INTERVENSI. Voeging sebagai PENGGUGAT II/TERGUGAT II ( Tergantung Jumlah Pihak dalam perkara tersebut, dimana pihak Intervenient sebagai pihak yang terakhir dalam posisi dimana ia bergabung). Vrijwaring sebagai PENGGUGAT II/TERGUGAT II (Tergantung Jumlah Pihak dalam perkara tersebut, dimana pihak Intervenient sebagai pihak yang terakhir dalam posisi dimana ia ditarik.Mengenai kesempatan para pihak asal menanggapi permohonan calon intervenient, Penulis berpendapat, apabila permohonan masuk sebagai Tussenkomst, maka menjadi hak prerogatif Majelis Hakim untuk menilai, tetapi apabila permohonan masuk sebagai Voeging atau Vrijwaring maka diperlukan pendapat dari para pihak dalam perkara asal.●     Ketika masukKetika permohonan intervensi diajukan oleh Calon Intervenient, maka perkara pokok harus dihentikan terlebih dahulu, misal tahapan dalam perkara pokok sudah sampai pada Pemeriksaan Saksi dari Tergugat, maka acara untuk selanjutnya harus di pending, menunggu perkara intervensi sampai pada tahapan pemeriksaan Saksi juga.Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a point c, Peraturan MA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, terhadap adanya Intervensi tidak diperlukan Mediasi.  Pada saat setelah Pihak Intervensi Tussenkomst masuk ke dalam Persidangan, ia harus menyusun Surat Gugatan dan membacakannya di persidangan karena surat yang diajukan pada saat hendak masuk masih berupa permohonan, untuk kemudian Gugatan Intervensi tersebut harus dijawab oleh para Tergugat Dalam Intervensi.Yang menjadi pertanyaan bagaimana apabila Intervensi yang diajukan sebagai Voeging atau Vrijwaring?Menurut pendapat Penulis, untuk intervensi yang bersifat Voeging dan Vrijwaring apabila ia bergabung atau ditarik sebagai pihak Penggugat, maka ia tetap wajib membuat surat Gugatan, lain halnya apabila ia bergabung atau ditarik sebagai pihak Tergugat, maka tidak ada surat gugatan yang harus disusun●     PutusanPendapat Penulis sebagai berikut:Dalam Putusan terkait Intervensi Tussenkomst, kita harus membagi Putusan menjadi 2 bagian, yakni dalam perkara asal dan dalam intervensi karena apabila sebagai Tussenkomst kedudukan Penggugat dan Tergugat adalah sebagai pihak yang digugat oleh Pihak Penggugat IntervensiMengenai biaya perkara khususnya Tussenkomst oleh karena ia harus membiayai perkara yang diajukan, maka kepadanya wajib untuk membayar biaya perkara, terkait Voeging atau Vrijwaring sebagaimana hal sebelumnya, apabila ia berkedudukan sebagai Penggugat, maka kepadanya juga harus diperlakukan sebagai Penggugat pada umumnya termasuk mengenai kewajiban untuk membayar biaya perkara, sedangkan apabila berkedudukan sebagai Tergugat, maka ia juga harus diperlakukan sebagai Tergugat pada umumnya.KESIMPULAN:Apa yang Penulis sampaikan ini adalah apa yang pernah Penulis praktikkan selama bertugas sebagai Hakim, kemungkinan perbedaan pendapat baik antar Hakim maupun antar Pengadilan akan sangat mungkin terjadi, hal ini dikarenakan belum adanya aturan yang mengatur secara rinci mengenai Intervensi. Selama ini mengenai penerapan dalam praktik persidangan diserahkan kepada kebijaksanaan Majelis yang bersidang.SARAN: Mendorong kiranya Mahkamah Agung segera menyusun Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur mengenai Hukum Acara Intervensi guna mengisi kekosongan hukum. (asn/fac)

Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung

article | Opini | 2025-06-03 14:35:17

Beberapa tahun belakangan ini, terdapat pengarusutamaan keadilan restoratif dalam penegakan hukum. Instansi Penegak Hukum bergantian mengeluarkan Peraturan Internal yang dapat mendorong tercapainya keadilan restoratif dalam perkara pidana. Pada tahun 2020, Kepolisian RI membuat Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Satu tahun berselang, Kejaksaan RI mengatur keadilan restoratif dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pada tahun 2024, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Namun, sesungguhnya keadilan restoratif bukan merupakan hal yang baru. Semangat keadilan restoratif sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keadilan restoratif dapat untuk diterapkan dengan merujuk Pasal 14 KUHP, khususnya Pasal 14 c KUHP. Pasal 14 a KUHP menyatakan bahwa hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan. Kemudian dalam Pasal 14 c menyatakan hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.Secara rinci, pelaksanaan pidana bersyarat diatur dalam Pasal 14 d – f KUHP. Pasal 14 d mengatur tentang pengawasan putusan pidana bersyarat, dimana Hakim dapat memutus mewajibkan lembaga tertentu untuk memberi pertolongan atau bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus. Kemudian dalam Pasal 14 e, diatur bahwa Hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat memiliki kewenangan untuk mengubah syarat-syarat khusus, mengganti lembaga yang membantu dan memperpanjang masa percobaan. Kemudian dalam Pasal 14 f mengatur bahwa peringatan hakim dalam hal syarat-syarat tidak dijalankan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengaturan bagaimana menjalankan pidana bersyarat sangat minim. Tercatat hanya Pasal 276 KUHAP yang mengatur hal tersebut dimana dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang.Dalam catatan Institute for Criminal Justice Reform, pada bukunya Panduan Memahami Pidana Bersyarat dalam KUHP: Pedoman Bagi Penegak Hukum, menyatakan bahwa Hoge Raad (Mahkamah Agung Negara Belanda) dalam putusannya tanggal 15 Maret 1926 memberikan pertimbangan bahwa, suatu syarat khusus mengenai tingkah laku terhukum itu, haruslah menyangkut tingkah lakunya, baik di rumah maupun di dalam pergaulan bermasyarakat ataupun menyangkut cara hidupnya. Namun, ketentuan tersebut memang tidak dijelaskan dengan ketat dengan harapan dapat berkembang melalui yurisprudensi.Dalam buku yang sama juga menyebutkan bahwa jika merujuk pada KUHP Belanda, syarat-syarat khusus yang dapat dijatuhkan sudah jauh berkembang. Berdasarkan Pasal 14c ayat (2) KUHP Belanda, sudah terdapat 14 syarat yaitu:1) Pembayaran seluruh atau sebagian kerugian atau kehilangan akibat dari suatu tindak pidana;2) Perbaikan seluruh atau sebagai kerusakan akibat suatu tindak pidana;3) Pembayaran sejumlah nilai uang tertentu sebagai jaminan keamanan ditentukan oleh hakim setinggi-tingginya sejumlah selisih antara maksimum pidana denda yang dapat dijatuhkan berkenaan dengan delik yang bersangkutan dengan denda yang nyata dijatuhkan;4) Pembayaran sejumlah nilai uang tertentu yang ditentukan oleh hakim kepada Criminal Injuries Compensation Fund (Schade-fonds Geweldsmisdrijven)—organisasi yang bertujuan untuk mendampingi dan mengadvokasikan kepentingan korban dalam tindak pidana, jumlah uang yang dibayarkan tidak lebih dari maksimum denda yang diatur;5) Larangan berinteraksi secara langsung dengan orang atau organisasi tertentu;6) Larangan untuk berada di lokasi tertentu;7) Kewajiban untuk hadir pada waktu tertentu di tempat tertentu pada periode tertentu;8) Kewajiban melapor pada waktu tertentu pada organisasi tertentu;9) Larangan menggunakan narkotika/alkohol, dan kewajiban untuk bekerja sama untuk tes urine/ tes darah untuk kepatuhan bagi larangan tersebut;10) Penempatan pada fasilitas kesehatan;11) Kewajiban untuk menjalani pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan atau fasilitas lainnya;12) Penempatan pada institusi/akomodasi sosial tertentu;13) Keikutsertaan pada intervensi perubahan perilaku; atau14) Kondisi lain bergantung pada perbuatan pelaku.Kemudian Prof. Muladi dalam bukunya Lembaga Pidana Bersyarat, memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti berbuat tindak pidana, antara lain:a) Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku;b) Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun);c) Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar;d) Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar;e) Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar;f) Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya;g) Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;h) Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya;i) Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;j) Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain.Menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform dalam buku Peluang dan Tantangan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Pidana Bersyarat dengan masa Percobaan (Pasal 14a dan 14c KUHP) mengalami tantangan dalam implementasinya, yaitu: (1) aturan pelaksana belum tersedia, (2) pemahaman APH belum seragam, (3) anggapan menilai kerugian korban sebagai beban kerja dan (4) persoalan koordinasi antar institusi. Dari segi hakim, kesulitan menerapkan keadilan restoratif adalah tidak adanya tata cara pelaksanaan perdamaian dalam tindak pidana. Kendala lainnya adalah hakim-hakim yang tidak updated terhadap kebijakan mengenai keadilan restoratif. Hakim juga mengalami kebingungan dimana dalam menerapkan hukum acara hakim harus memedomani KUHAP yang belum mengenal pendekatan restorative justice. Namun demikian, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan Mahkamah Agung yang memberikan pertimbangan mengenai implementasi Pasal 14 c KUHP. Putusan pertama adalah Putusan Nomor 915 K/PID.SUS/2014. Dalam putusan tersebut, Majelis Kasasi menguatkan pidana bersyarat khusus yang dijatuhkan oleh Majelis Pengadilan Negeri Gorontalo. Mahkamah Agung membuat pertimbangan sebagai berikut:Bahwa alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP;Bahwa putusan Pengadilan Negeri Gorontalo pada tanggal 10 November 2012 dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Gorontalo pada tanggal 11 April 2013, telah memutus perkara a quo bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;Bahwa Judex Facti tidak salah menerapkan hukum, dan telah benar dalam mengadili perkara tersebut, serta tidak melampaui batas kewenangan yang ada padanya;Bahwa Judex Facti telah mempertimbangkan perkara a quo dengan seksama dan tepat, dan telah pula mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan hal-hal meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, sehingga permintaan Penuntut Umum agar Terdakwa dijatuhi pidana lebih berat, yaitu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan tidak dapat dikabulkan, karena berat ringannya pidana yang dijatuhkan adalah kewenangan Judex Facti;Bahwa meskipun demikian, membaca fakta hukum yang ditarik dari pemeriksaan persidangan, bahwa benar Terdakwa telah menikahi saksi xxx di KUA (Kantor Urusan Agama), Kelurahan Dulalowo, Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, dan telah mendapat Kutipan Akta Nikah Nomor 182/13/XII/2008 pada bulan November 2008, dan Terdakwa telah meninggalkan istrinya serta tidak tinggal serumah, karena dengan alasan ke tempat kerja di Pohuwalo, hingga istri Terdakwa melahirkan seorang anak perempuan bernama xxx yang saat sekarang telah berumur 3 (tiga) tahun, Terdakwa tidak memberi nafkah lahir batin, pemeliharaan serta kebutuhan istri dan anaknya;Bahwa saksi-saksi yang diajukan di persidangan menguatkan kesimpulan dalam pertimbangan Judex Facti, sehingga pertimbangan Judex Facti dapat diterima;Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;Menimbang, bahwa namun demikian, putusan a quo perlu diperbaiki dengan menambahkan syarat khusus, yaitu keharusan Terdakwa membiayai hidup istri dan anaknya dengan gajinya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) perbulan selama waktu sebagaimana disebutkan dalam amar putusan dengan menyerahkan bukti berupa kuitansi, dan jika Terdakwa tidak memenuhi syarat khusus tersebut, maka Terdakwa harus menjalani pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa;Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum ditolak dengan perbaikan dan terhadap Terdakwa dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada tingkat kasasi ini dibebankan kepada Terdakwa;Memperhatikan Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 14a jo. Pasal 14c KUHP, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;MENGADILI,Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Gorontalo tersebut;Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo Nomor 05/PID/ 2013/PT.GTLO. tanggal 11 April 2013, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Gorontalo Nomor 117/PID.B/2012/PN.Gtlo. tanggal 10 Desember 2012 tersebut, sekedar mengenai penjatuhan pidananya, sehingga selengkapnya sebagai berikut:1. Menyatakan Terdakwa MUSLIMIN Alias MUSLIMIN Bin MASSI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya”;2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan;3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain, karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun berakhir dan Terpidana tidak memenuhi syarat khusus berupa memberi kepada istri dan anaknya uang sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah) tiap bulan selama 1 (satu) tahun dengan menyerahkan bukti berupa kuitansi;4. Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah Buku Kutipan Akta Nikah milik sdri. Xxx dengan Sdra. Muslimin yang menikah pada tanggal 22 November 2008 dengan Nomor Kutipan Akta Nikah: 184/13/XII/2008, tanggal 23 Desember 2008 yang ditandatangani Kepala KUA Kecamatan Kota Tengah Drs. H. Arifin Adam Nip. 150302586, dikembalikan kepada yang berhak melalui saksi xxx;5. Membebankan kepada Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus Rupiah);Putusan kedua adalah Putusan Nomor 1238 K/Pid/2005. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menganulir putusan bebas kepada Terdakwa. Namun demikian dalam menjatuhkan pidana, Majelis Hakim Agung tetap memandang bahwa pemidanaan bukanlah sebagai tindakan balas dendam dan merupakan tindakan pembinaan maupun penjeraan sehingga menjatuhkan pidana bersyarat. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena apa yang dilakukan Terdakwa dengan menempati rumah tersebut tanpa adanya ijin dari pemiliknya dalam hal ini Gereja GPIB ” Bethel ” Bandung, sedangkan yang memiliki ijin untuk menempati rumah tersebut adalah orang tua Terdakwa dan sebagai rumah dinas yang terakhir pada tahun 1995, dengan demikian penghunian rumah yang dilakukan dengan sengaja oleh Terdakwa sedang ia tahu ijin penghunian telah berakhir, hal ini telah menunjukkan unsur kedua dari pasal 36 ayat (4) jo. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1992 telah terpenuhi ;Bahwa selain itu apa yang dilakukan oleh Terdakwa dalam menempati dan menguasai tanah berikut bangunan di atasnya yang terletak di Jalan Cipaganti No.43 Kota Bandung, tindakan Terdakwa yang menghalang-halangi petugas BPN untuk melakukan pengukuran atas tanah berikut bangunan yang ditempatinya dengan menunjukkan sikap yang kasar disertai ucapan kata-kata yang keras telah menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan Terdakwa oleh karenanya unsur-unsur dalam dakwaan Kedua pun telah terbukti ;Menimbang, bahwa pemidanaan bukanlah sebagai tindakan balas dendam dan merupakan tindakan pembinaan maupun penjeraan, dan berdasarkan ketentuan Pasal 14 c KUHP Majelis menganggap layak atas diri Terdakwa diberikan syarat-syarat khusus untuk segera meninggalkan lokasi yang dihuninya dalam jangka waktu yang akan ditentukan dalam amar putusan ini ;M E N G A D I L I :Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA/- PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI BANDUNG tersebut ;Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung No.88/Pid.B/2005/- PN.Bdg. tanggal 19 April 2005 ;MENGADILI  SENDIRI :1. Menyatakan Terdakwa Izaak Markus Armelius Paliama bin Marthin Ernst Paliama tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ” Menghuni rumah yang bukan miliknya tanpa persetujuan atau ijin pemilik dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan ” ;2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 4 (empat) bulan ;3. Menetapkan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari ada perintah lain dengan keputusan Hakim, oleh karena Terpidana sebelum lewat masa percobaan 6 (enam) bulan telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum, dengan syarat khusus dalam3 (tiga) bulan meninggalkan rumah yang bersangkutan ;4. Menyatakan barang bukti berupa :– 1 (satu) buku photo copy Sertifikat HGB No.809/Kec. Sukajadi GS No.204/1937 atas tanah seluas 1.323 di Jl. Cipaganti No.43 Bdg, atas nama Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat di Bandung ;– 1 (satu) photo copy Surat Keputusan Kepala Kantor BPN Bandung No.550.2/60/HGB/KP/2004 tertanggal 22 Juli 2004 atas nama Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat di Bandung ;– 1 (satu) lembar photo copy kwitansi No.781/2004 tertanggal 23 Juli 2004 senilai Rp. 26.332.000,- (dua puluh enam juta tiga ratus tiga puluh dua ribu rupiah) atas nama Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat di Bandung;– 1 (satu) lembar photo copy bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Tahun 2004 atas nama GPIB Drs. Max Mongkol/Theol ;– 1 (satu) lembar photo copy Surat Pernyataan tertanggal 10 Januari 1969 atas nama Pendeta Paliama ;– 1 (satu) lembar photo copy surat Permohonan Pengosongan sebuah rumah Dinas Pendeta No.371/K/P/72 tertanggal 31 Mei 1972 atas nama Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat ;– 1 (satu) lembar photo copy Surat Kepada Komandan Pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara Bandung No.21/K/64 tentang Perumahan Pendeta Jemaat GPIB Bandung ;– 1 (satu) photo copy surat permohonan bantuan pada Majelis Sinode GPIB Jakarta No.117/K/P/72 tanggal 19 Februari 1992 ;– 1 (satu) buku foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor : 281 sebagai pembaharuan dari Sertifikat Hak Guna Bangunan No.809/Sukajadi Surat Ukur No.294/Pasteur/2004 tertanggal 22 Februari 2005, luas 1.323 M2, nama pemegang Hak, Protestan di Indonesia Bagian Barat Badan Hukum Indonesia Berkedudukan di Bandung tertanggal 24 Februari 2005 ;Tetap terlampir dalam berkas perkara ;Menghukum Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah);Putusan ketiga adalah Putusan Nomor 819K/Pid/2013. Majelis Hakim Agung dalam perkara ini memperkuat Surat Perdamaian antara korban dan Terdakwa yang pada pokoknya mengatur mengenai cicilan ganti rugi. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukumnya sudah tepat sehingga dapat membuktikan Terdakwa melakukan tindak pidana “Penipuan“ sesuai Pasal 378 KUHP karena terbukti Terdakwa pada medio Agustus 2010 dan September 2011 bertempat di Toko Emas Purnama milik saksi Faujiah di Kelurahan Banjar Bali, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, telah membeli beberapa perhiasan berupa gelang, cincin, kalung/ rantai dan anting yang seluruhnya seharga Rp146.000.000,00 (seratus empat puluh enam juta rupiah) dengan memberi jaminan 4 Cek atas nama Ni Putu Eka Widanti dengan Nomor masing-masing : No.CI774346, No. 758024, No. CN 623814 dan No. CN623817 serta 1 (satu) lembar Bilyet Giro atas nama Terdakwa dengan No. GEW 945181, dimana pada saat menyerahkan Cek-Cek dan BG sebagai jaminan tersebut Terdakwa menyatakan memberitahukan jika semua Cek dan BG in casu semuanya ada dananya, sehingga saksi Faujiah tergerak hatinya untuk menyerahkan barang/perhiasan kepada Terdakwa. Bahwa pada kenyataannya setelah beberapa Cek dan BG tersebut dicairkan oleh saksi Faujiah oleh pihak Bank Indonesia tidak dapat mencairkan karena dananya tidak ada (kosong);Bahwa dari uraian tersebut telah ternyatalah tindakan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Penipuan sebagaimana tersebut dalam dakwaan alternatif Pertama sesuai Pasal 378 KUHP.Menimbang, bahwa namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 58/PID/2012/PT.DPS tanggal 30 Januari 2013 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Singaraja tanggal 26 Juli 2012 Nomor : 97/Pid.B/2012/PN.Sgr. harus diperbaiki sekedar mengenai pidana, dengan pertimbangan sebagai berikut :• Bahwa oleh karena dalam kasus a quo telah dibuatkan Surat Kesepakatan Perdamaian pada bulan Juli 2011 antara Terdakwa dengan saksi korban Faujiah tentang penyelesaian in casu secara kekeluargaan dengan pembayaran secara mencicil setiap bulannya maka kiranya masalah tersebut dapat diselesaikan dengan memberikan hak dan kewajiban secara seimbang antara Terdakwa dengan saksi korban (Faujiah) berupa sistim pembayaran yang ditetapkan yang harus dilaksanakan oleh Terdakwa, sehingga tidak merugikan pihak korban (saksi Faujiah) dengan cara-cara sebagaimana tersebut dalam amar putusan di bawah ini;M E N G A D I L IMenolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa : KADEK RENTIASIH ALIAS DEK REN tersebut ;Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : JAKSA/PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI SINGARAJA tersebut;Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 58/PID/2012/PT.DPS tanggal 30 Januari 2013 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Singaraja tanggal 26 Juli 2012 Nomor : 97/Pid.B/2012/PN.Sgr. sekedar mengenai pidana penjara sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :• Menyatakan Terdakwa KADEK RENTIASIH alias DEK REN telah terbukti se- cara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENIPUAN“ ;– Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan dengan syarat khusus hutang Terdakwa diselesaikan dalam 4 (empat) kali pembayaran sampai dengan batas waktu masa percobaan selesai;– Menetapkan bahwa pidana itu tidak perlu dijalani, kecuali apabila di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim karena Terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan sebelum masa percobaan 8 (delapan) bulan berakhir dengan syarat khusus hutang Terdakwa diselesaikan dalam waktu 4 (empat) kali pembayaran sampai dengan batas waktu masa percobaan selesai;– Menetapkan barang bukti berupa :• 4 (empat) lembar Cek BCA masing-masing ;• 1 (satu) lembar Cek Nomor : FG 774346 tanggal 12 Oktober 2010, dengan nilai nominal Rp40.000.000,00 ;• 1 (satu) lembar Cek Nomor : CM 758024 tanggal 24 Oktober 2010 dengan nilai nominal Rp15.822.000,00 ;• 1 (satu) lembar Cek Nomor : CN 623817 tanggal 18 November 2010 dengan nilai nominal Rp25.000.000,00;• 1 (satu) lembar Cek Nomor : CN 623817 tanggal 18 November 2010 dengan nilai nominal Rp27.340.000,00;• 1 (satu) lembar BG Nomor : GEW 945181 tanggal 13 Oktober 2010, dengan nilai nominal Rp38.000.000,00 ;Dirampas untuk dimusnahkan ;• 1 (satu) lembar surat keterangan penolakan tanggal 13 Oktober 2010 ;• 1 (satu) lembar surat keterangan penolakan tanggal 14 April 2011 ;Tetap terlampir dalam berkas perkara ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00021 tanggal 28 Agustus 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00022 tanggal 28 Agustus 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00023 tanggal 29 Agustus 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00024 tanggal 29 Agustus 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00025 tanggal 29 Agustus 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00026 tanggal 29 Agustus 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00027 tanggal 29 Agustus 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00028 tanggal 6 September 2010;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00029 tanggal 17 September 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00030 tanggal 17 September 2010 ;• 1 (satu) lembar Nota Jaminan 00033 tanggal 18 September 2010 ;Dikembalikan kepada saksi Faujiah ;Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);Putusan keempat adalah Putusan Nomor 954 K/PID.SUS/2013. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung “menambahkan” amar mengenai pidana bersyarat dengan syarat khusus untuk melengkapi pidana bersyarat dengan pidana umum yang telah dijatuhkan oleh judex factie. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:Alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan, Judex Facti salah menerapkan hukum dalam hal menjatuhkan hukuman penjara selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan 5 (lima) bulan dengan alasan :a. Judex Facti dalam hal menjatuhkan pidana penjara selama 3 bulan dengan masa percobaan 5 bulan tidak didasarkan pada alasan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 a ayat (1) jo ayat (4) KUHPidana. Judex Facti tidak mempertimbangkan syarat khusus dan syarat umum yang harus dipenuhi dan sejauh mana pengawasan terhadap hal itu. Kecuali Judex Facti sudah berkeyakinan akan dapat dilakukan dengan baik maka barulah Judex Facti dapat menjatuhkan pidana penjara dengan masa percobaan. Namun dalam perkara a quo, Judex Facti tidak mempertimbangkannya;b. Bahwa Judex Facti yang telah mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan Terdakwa, itupun hanya sumir, belum cukup dan memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana penjara dengan masa percobaan, tanpa mempertimbangkan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas;c. Sehubungan dengan hal tersebut, berhubung karena saksi korban tidak mau lagi berdamai dan tentunya akan bercerai dengan Terdakwa maka langkah yang terbaik bagi Terdakwa dan korban adalah tetap menjatuhkan pidana penjara dengan masa percobaan akan tetapi majelis akan mempertimbangkan ketentuan Pasal 14 a ayat (1) jo. Ayat (4) jo. Pasal 14 a ayat (1) KUHPidana dengan menetapkan syarat khusus bagi Terdakwa berupa kewajiban untuk membayar kerugian materiil dan immaterial yang akan ditentukan dalam amar putusan, yang diderita korban selain syarat Terdakwa tidak boleh melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan pidana yang berlaku dalam jangka waktu tertentu;d. Alasan lain mengapa tidak perlu dijatuhi pidana penjara segera masuk, karena berdasarkan fakta Terdakwa melakukan perbuatan a quo bukan didorong untuk melakukan kekerasan fisik terhadap korban melainkan suatu bentuk pembinaan yang berlebihan. Bahwa siapa laki-laki yang membiarkan istrinya kembali larut malam tanpa izin suami selama 1 minggu, bukankah hal ini justru merusak nama baik keluarga dan dapat menimbulkan fitnah bahwa istri Terdakwa bermain serong diluar rumah ?e. Berdasarkan alasan tersebut, Terdakwa tetap dijatuhi pidana penjara dengan masa percobaan namun terdapat syarat khusus yang harus dipenuhi Terdakwa;M E N G A D I L I :Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Binjai tersebut ;Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan No.317/PID/2012/PT-MDN tanggal 05 Juli 2012;M E N G A D I L I   S E N D I R I :1. Menyatakan Terdakwa Walson Damanik tersebut, terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah Melakukan Tindak Pidana “Melakukan Kekerasan Phisik Dalam Lingkup Rumah Tangga.”2. Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa oleh karenanya dengan Pidana Penjara selama 3 (tiga) bulan, dengan ketentuan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalani, kecuali dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain karena Terdakwa melakukan perbuatan pidana sebelum selesai menjalani percobaan selama 6 (enam) bulan, dengan syarat khusus yaitu membayar uang ganti rugi biaya pengobatan kepada saksi korban Leni Marlina Br Sitanggang sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);3. Menetapkan barang bukti berupa sebelah sandal merek Pakalolo dirampas untuk dimusnahkan;4. Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp2.500,00 ( dua ribu lima ratus rupiah ) ;Putusan kelima adalah putusan nomor 3903 K/Pid.Sus/2022. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menguatkan pidana bersyarat umum dan khusus, dimana Terdakwa sebagai suami dihukum untuk membiayai istrinya. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:- Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, putusan judex facti/Pengadilan Tinggi Medan yang menguatkan putusan judex facti/Pengadilan Negeri Sibolga telah tepat dan tidak salah menerapkan hukum karena telah cukup mempertimbangkan fakta hukum yang relevan secara yuridis beserta alat pembuktian yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa;- Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di muka sidang yaitu Terdakwa telah pergi meninggalkan isterinya dan 2 (dua) orang anak yang bernama xxx berumur 10 (sepuluh) tahun dan xxx berumur 8 (delapan) tahun dan Terdakwa tidak pernah menghubungi anak-anaknya sejak Terdakwa pergi dari rumah sejak bulan Agustus 2019 serta Terdakwa tidak pernah memberikan uang belanja sejak pergi meninggalkan isteri dan anak-anaknya tersebut; - Bahwa perbuatan Terdakwa sedemikian rupa telah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; - Bahwa selain itu alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan karena mengenai berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Hal tersebut menjadi kewenangan judex facti yang tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi. Judex facti telah memberikan pertimbangan yang cukup tentang keadaan yang memberatkan dan meringankan Terdakwa sesuai Pasal 197 Ayat (1) huruf f KUHAP;Dari kelima pertimbangan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Keadaan korban dan kebutuhan korban termasuk di dalamnya pemulihan hak korban merupakan hal yang penting dalam menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat khusus. Hal yang juga menarik adalah dalam putusan Mahkamah Agung juga membuka peluang pidana bersyarat meskipun tidak tercapai perdamaian, selama pemulihan hak korban diperhatikan oleh Majelis Hakim yang akan menjatuhkan putusan. Kesimpulan lainnya adalah Majelis Hakim dapat mempertimbangkan bentuk perdamaian dan mekanisme pembayaran ganti rugi sebagai dasar untuk menjatuhkan amar pidana bersyarat dengan ketentuan khusus. Hal ini dilakukan agar terdapat konsekuensi pidana, dalam hal Terdakwa tidak membayar ganti rugi yang telah disepakati. (wi)

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Harapan dan Cita-Cita

article | Opini | 2025-06-03 11:25:26

ISU terkait pengangkatan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bak sebuah cerita panjang yang tak kunjung usai. Cerita panjang PPNPN di Indonesia ini diawali dengan adanya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang ini telah memberikan kesempatan kepada pejabat yang berwenang untuk mengangkat pegawai tidak tetap, atau sering diistilahkan PPNPN. Pengaturan PPNPN ini, kemudian divalidasi dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah menjadi PP Nomor 43 Tahun 2007 dan melalui PP Nomor 56 Tahun 2012. Peraturan tersebut dinilai sebagai bentuk perhatian Pemerintah kepada PPNPN yang telah lama bekerja sehingga tenaganya sangat dihargai dan dibutuhkan oleh Pemerintah. Namun, permasalahan kemudian muncul seiring dengan bertambahnya jumlah tenaga PPNPN tersebut. Mulai dari status kepegawaian, proses rekrutmen, kompetensi hingga kesejahteraan PPNPN itu sendiri.  Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia telah menerbitkan regulasi tentang pedoman pengelolaan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN).  Regulasi tersebut dibingkai melalui Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 811/SEK/SK/VIII/2021 tentang Pedoman Pengeloaan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya (SK Sekma 811/2021).  SK Sekma tersebut mengatur tentang pengadaan, penilaian, kinerja, honorarium, penegakan disiplin, jaminan kesehatan, jaminan sosial ketenagakerjaan dan pemberhentian serta hak kepegawaian. Keberadaan PPNPN di dalam satuan kerja memilik peranan penting dalam kelancaran operasional dalam satuan kerja. Aturan ini menegaskan keberadaan PPNPN dalam setiap satuan kerja memilki peran krusial dalam kelancaraan operasional satuan kerja. PPNPN bukan sekedar pelengkap, PPNPN juga dapat diibaratkan sebagai kompenen vital agar mesin lembaga ini dapat terus bergerak dalam menegakan keadilan bagi masyarakat.Pada lembaga MA dan badan peradilan dibawahnya yang tersebar di berbagai pelosok negeri ini menyimpan kisah pengabdian aparatur yang tak tercatat, hingga ribuan harapan yang terpinggirkan. Sebagai refleksi, ketika Hakim sedang bersidang atau membacakan putusan penting, terdapat sentuhan tangan PPNPN untuk memastikan ruangan bersih dan nyaman. Sehingga marwah ruang dan gedung persidangan tetap terjaga. Mereka pun membantu memastikan keamanan persidangan dan lingkungan pengadilan. Mereka pula yang ikut berperan dalam membantu urusan teknis pada lembaga peradilan agar dapat dilaksanakan. PPNPN dapat dianalogikan sebagai urat nadi yang tak terlihat dalam sebuah sistem peradilan. Tanpa kehadiran PPNPN meja akan berdebu, berkas menumpuk, teknis dan administrasi akan tidak maksimal. Sehingga keadilan yang kita dambakan tidak akan terwujud secara maksimal.Dengan segala pengabdian yang telah mereka berikan kepada lembaga ini, status PPNPN dahulu seakan menjadi dilema tersendiri. Upah yang tidak sebanding dengan beban kerja. Kemudian adanya ketidakpastian masa depan yang menghantui setiap tahunnya, menjadi realita yang harus dirasakan. Ini tidak hanya tentang manusia dengan mimpinya, tetapi juga keluarga yang harus dinafkahi. Kemudian yang lebih besar dari itu, yaitu martabat yang harus dijaga. Sudah selayaknya “non pegawai” ini dipastikan statusnya, sehingga pengabdian dan kecintaan mereka kepada lembaga ini tidak bertepuk sebelah tangan.  Harapan itu akhirnya bukan hanya sekedar bayangan semu belaka. Pengumuman Nomor 34/SEK/PENG.KP1.1.7/X/2024 tentang Seleksi Pengadaan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kinerja Bagi Eks Tenaga Honorer Kategori II (EKS THK-II) dan Tenaga Non ASN Yang Terdatar Dalam Pangkalan Data (DATABASE) BKS di Lingkungan Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2024 menjadi harapan dan cita-cita untuk kehidupan yang lebih layak. Masa depan yang lebih cerah, dan kesejahteraan yang lebih baik bagi ribuan individu PPNPN Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Di bawahnya. Setelah menjalani proses seleksi, harapan itu semakin membumbung tinggi dengan keluarnya Pengumuman Nomor : 56/SEK/Peng.KP1.1.7/XII/2024 tentang Hasil Akhir Seleksi Pengadaan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kinerja Bagi Eks Tenaga Honorer Kategori II (EKS THK-II) dan Tenaga Non ASN Yang Terdatar Dalam Pangkalan Data (DATABASE) BKS di Lingkungan Mahkamah Agung Tahun Anggaran 2024.Namun, sebuah pertanyaan besar akan muncul selanjutnya, terkait bagaimana konsistensi semangat kerja PPNPN setelah resmi menjadi PPPK? Pengangkatan akan menjadi angin  segar dan sebagai pemicu motivasi serta semangat baru untuk mengabdi kepada Negara melalui MA dan badan peradian dibawahnya.  Kemudian perlu disadari dan diresapi oleh setiap PPPK, bahwa pengangkatan ini merupakan sebuah amanah yang harus dipegang dan pengakuan atas pengabdian yang sudah dijalani di lembaga ini. Dibalik keletihan yang pernah dilalui, tergambar jelas kesempatan emas untuk berkarya lebih optimal guna memberikan pelayanan kepada masyarakat. Konsistensinya, tidak sekedar apa yang lembaga telah berikan, tetapi tentang apa yang kita berikan kepada MA.  Tanggung jawab baru ini, wajib dibarengi dengan kemauan untuk meningkatkan kompetensi, mengasah kemampuan, berinovasi, dan meningkatkan semangat untuk melayani. Jadikan pengangkatan ini sebagai pengigat bahwa telah diberikan kepercayaan yang diberikan Negara melalui lembaga. Komitmen dan integritas setiap individu merupakan hal yang wajib dihembuskan setiap saat. Peralihan status dari Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ini bukan hanya sekedar formalitas. Hal ini harus dijadikan langkah strategis untuk mengoptimalkan kapasitas sumber daya manusia dalam mewujudkan visi “Terwujudnya Badan Peradilan Yang Agung”. Pasal 5 Angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2024) menyatakan bahwa manajemen ASN adalah pengelolaan ASN yang profesional, memilki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, dan nepotisme. Dalam hal ini pelatihan dan pengembangan berkelanjutan memegang peranan penting untuk peningkatan kinerja dan profesionalisme PPPK. Pasal 70 ayat (1) UU 5/2014 secara jelas menyatakan bahwa “Setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi”. Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun2018 tentang Manajemen PPPK memperjelas terkait dengan pengembangan kompetensi ini. Pengembangan kompetensi merupakan bagian dari prinsip meritokrasi dalam manajemen PPPK. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa kebijakan manajemen harus didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Prinsip Meritokrasi ini sangat krusial dan sebuah keniscayaan. Sehingga menuntut komitmen berkelanjutan terhadap peningkatan kompetensi. Ini bukan lagi sebagai pilihan, melainkan kewajiban sebagai investasi diri. Seraya mengikuti peningkatan kompetensi yang dilakukan oleh instasnsi, setiap PPPK juga harus memilki kesadaran untuk meningkatkan kompetensi secara mandiri. Hal-hal yang dapat dilakukan, yaitu: pertama, selalu memperbaharui pengetahuan dengan mengikuti perkembangan regulasi, memahami standar operasional prosedur, dan memberikan yang terbaik dalam bidang tugas masing-masing. Kedua, mengasah keterampilan teknis dan manajerial. Serta ketiga, menguatkan integritas dan etos kerja sesuai dengan nilai-nilai utama Mahkamah Agung. Dengan demikian jika PPPK secara proaktif senantiasa meningkatkan kompetensinya, maka dapat mewujudkan meritokrasi dalam sistem manajemen kepegawaian MA. Selain itu, hal ini dapat pula menunjang setiap PPPK agar dapat berkontribusi secara nyata dan optimal untuk mendukung Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berkeadilan, kredibel, dan transparan.  Pengesahan status Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadikan Mahkamah Agung telah melangkah maju dalam memperkuat sistem manajemen kepegawaian. Hal itu merupakan bentuk penghargaan nyata atas dedikasi dan kontribusi dari individu-individu yang selama ini menopang proses peradilan. Dengan status yang lebih pasti dan hak yang lebih jelas, para PPPK tidak lagi berada di ruang abu-abu, melainkan secara bagian integral dan krusial dalam mewujudkan visi “Terwujudnya Badan Peradilan Yang Agung”. Dengan semangat yang harus membara, kompetensi yang selalu ditingkatkan, serta intergritas yang menjadi nafas kehidupan, besar harapan para PPPK dapat bersinergi dengan seluruh elemen yang ada, sehingga berdampak besar dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat.  EDDY DAULATTA SEMBIRING(Ketua PN Purwokerto)(wi/zm)

Pengadilan Tipikor Jakarta, Antara Beban Kerja Vs Efektivitas Penegakan Hukum

article | Opini | 2025-06-03 10:00:58

Jakarta- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tengah menghadapi dilema serius yang mengancam efektivitas penegakan hukum anti-korupsi di Indonesia. Kasus penundaan sidang mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong pada 6 Februari 2025 bukanlah sekadar insiden biasa. Melainkan cerminan dari krisis struktural yang lebih mendalam: ketidakseimbangan antara beban kerja hakim dengan kapasitas yang tersedia.Gambaran konkret tentang tekanan yang akan dihadapi Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dapat dilihat dari berbagai alur perkara yang sedang dan akan berjalan. Selain kasus impor gula yang kompleks, data April-Mei 2025 menunjukkan tsunami perkara yang akan menghantam PN Jakarta Pusat: Kasus-kasus besar yang sedang/akan ditangani:- Kasus Impor Gula: 11 terdakwa (Tom Lembong, Charles Sitorus, plus 9 tersangka baru)- Kasus PDNS Kominfo: 5 tersangka termasuk eks Dirjen Aptika dengan kerugian negara ratusan miliar rupiah- Kasus Pertamina: Dugaan korupsi tata kelola minyak mentah periode 2018-2023 dengan kerugian Rp 193,7 triliun- Kasus LPEI: 5 tersangka dengan potensi kerugian Rp 11,7 triliun yang sedang ditangani KPK- Kasus Bank Jatim: Dugaan korupsi pemberian kredit yang ditangani Kejati JakartaBelum lagi ratusan kasus korupsi lainnya yang sedang dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.  Dengan komposisi 18 hakim yang akan bertambah menjadi 23 hakim, beban kerja per hakim tetap akan sangat tinggi, mengingat kompleksitas masing-masing perkara yang melibatkan ratusan saksi, ribuan dokumen, dan analisis hukum yang mendalam.Profesionalisme dan dedikasi para hakim tipikor di PN Jakarta Pusat—baik hakim karir, ad hoc, maupun detasering—di tengah keterbatasan sumber daya dan ketimpangan kompensasi patut diapresiasi. Namun, apresiasi verbal tidaklah cukup. Kita membutuhkan reformasi struktural yang komprehensif untuk membangun sistem peradilan anti-korupsi yang efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.Keberadaan hakim yang masih harus bekerja hingga larut malam menunjukkan bahwa permasalahan beban kerja lebih kompleks dari sekadar jumlah personel. Dibutuhkan pendekatan holistik yang mencakup reformasi manajemen perkara, sistem kompensasi, dan dukungan teknis untuk memastikan bahwa pengadilan tipikor dapat menjalankan fungsinya secara optimal.Ketika kita menuntut integritas dan kinerja optimal dari para hakim tipikor, kita juga harus memastikan bahwa sistem memberikan dukungan, perlindungan, dan kompensasi yang proporsional. Tanpa pendekatan holistik ini, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi ‘proyek heroik’ yang bertumpu pada pengorbanan individu-individu berintegritas, bukan sistem yang kuat dan berkelanjutan.Reformasi sistem peradilan tipikor bukan semata demi kesejahteraan para hakim, melainkan demi tegaknya keadilan substantif dan efektivitas pemberantasan korupsi jangka panjang. Dalam upaya menegakkan keadilan, sistem peradilan kita sendiri harus terlebih dahulu menjadi cerminan keadilan bagi para penegaknya.Sunoto,S.H.,M.,H.(Hakim PN Jakpus/Pengadilan Tipikor Jakarta) 

Mahkamah Agung dan Kembalinya Marwah Sang Pengadil

article | Opini | 2025-06-02 09:10:47

MEREBAKNYA berita penangkapan hakim akhir-akhir ini membuat kecewa tidak hanya oleh Mahkamah Agung sebagai orang tua dan rumah besar bagi Hakim Indonesia. Namun juga bagi masyarakat pencari keadilan yang menggantungkan harapan besar akan pentingnya keadilan ditegakkan. Ketika Mahkamah Agung mengupayakan perubahan, perbaikan institusi di segala bidang, hakim yang menjadi ujung tombak keadilan justru menjadi bulan-bulanan akibat ulah beberapa oknum hakim yang motivasinya berbeda-beda. Namun tidak jauh dari upaya untuk memperkaya diri, karena mempunyai kesempatan dan atau yang sering terjadi adalah karena kerakusan, tidak pernah terdengar hakim nakal karena kelaparan.Ibarat kolam kamar mandi, Mahkamah Agung merespon cepat dengan menguras isi kolamnya dengan cepat, efektif dan terukur. Yakni melakukan perombakan besar, untuk mencegah terjadinya potensi-potensi penyalahgunaan wewenang atau jabatan, dengan mengganti hakim-hakim di beberapa wilayah besar yaitu Jakarta, Surabaya, Medan. Di Tiga kota besar ini, kasus yang disidangkan setiap tahun bisa lebih dari 5000 perkara. Tak hanya itu, langkah jitu Mahkamah Agung juga mengganti pula beberapa Ketua Pengadilan Tinggi, dengan harapan bahwa tindakan yang dilakukan akan membawa perubahan dan perbaikan yang signifikan dan peristiwa-peristiwa yang membuat kaget seperti sebelumnya tidak akan terjadi lagi, sehingga kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah Agung hadir kembali.Suara-suara harapan perubahan juga diinginkan di wilayah lain di Indonesia, tidak hanya oleh masyarakat yang menggantungkan harapannya kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan-pengadilan di daerah, namun juga para hakim. Banyak hakim yang menginginkan perubahan di Mahkamah Agung, namun karena banyak juga diantara mereka menjadi kelompok minoritas maka suara-suara mereka kurang atau bahkan nyaris tak terdengar. Melalui peristiwa penangkapan hakim belakangan ini, sepatutnya kita ‘syukuri’ apabila akhirnya justru peristiwa demi peristiwa ini menjadi trigger untuk perubahan besar-besaran menuju Mahkamah Agung yang benar-benar agung dan profesional, seperti  apa yang selalu digaungkan oleh Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Sunarto., yakni memberikan pelayanan terbaik dengan cara bekerja keras, cerdas, dan ikhlas, menghindari pelayanan yang bersifat transaksional serta menghindari perbuatan tercela agar dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap badan peradilan demi terwujudnya peradilan yang agung.Dengan jutaan pandangan mata dari seluruh masyarakat Indonesia yang turut mengiringi, maka perubahan Mahkamah Agung diharapkan akan berjalan di dalam rel-nya dan semangat perubahan akan lebih terasa di jiwa-jiwa seluruh personel Mahkamah Agung.Terlebih lagi untuk para hakim yang terpilih untuk melaksanakan tugas menjadi garda terdepan perubahan, akan berat perjuangan di lapangan kelak, namun panggilan pimpinan adalah juga panggilan Tuhan yang harus dipenuhi demi ikhtiar, muamalah dan perjalanan jihad di bumi Allah. Setiap tindakan kecil akan bernilai, setiap perubahan kecil akan berbuah besar, setiap langkah akan diberkahi-Nya, maka jangan ragu tetaplah teguh seperti sebelumnya, kami disini di daerah-daerah melihat, mendoakan, mendukung dan turut berjuang di tempat yang berbeda dengan tujuan yang sama: mengembalikan marwah Sang Pengadil. Tidak berlebihan kiranya kita sematkan panggilan sebagai hakim-hakim reformasi, kepada mereka yang telah terpilih untuk melaksanakan tugas berat namun sungguh mulia. Tugas yang mereka emban tidaklah ringan, seluruh harapan, tidak hanya dari pencari keadilan namun seluruh rakyat Indonesia diletakkan pada pundak mereka. Doa dan harapan keberhasilan untuk Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan yang lebih baik tercurah kepada hakim-hakim yang telah dipilih untuk ikut membuka jalan perbaikan di Mahkamah Agung.Pada akhirnya Mahkamah Agung akan menjadi Mahkamah yang Agung berisi hakim-hakim dengan jiwa yang Agung, yang keagungan tersebut akan mampu dipertanggung jawabkan kelak dihadapan Sang Maha Agung.Wahyu Agus Susanto, S.T.,S.H.,M.H  (Hakim Adhoc Tipikor di PN Palembang)

Integrasi Kesekretariatan Pengadilan di Bawah Ditjen Badan Peradilan

article | Opini | 2025-06-01 15:00:39

PendahuluanReformasi politik 1998 menjadi momentum perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk reformasi kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Pasca reformasi secara organisasi Mahkamah Agung mengalami dua fase perkembangan, pertama adalah fase konsolidasi kelembagaan bersamaan dengan amandemen Pasal 24 UUD 1945. Pada fase ini dikenal kebijakan satu atap (one roof system), di mana dengan kebijakan one roof system, segala urusan peradilan, termasuk organisasi, administrasi, dan keuangan yang semula berada di departemen terkait dialihkan kepada Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia, tahap terakhir dari fase konsolidasi ini ditandai dengan dialihkannya Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak di bawah Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023. Kedua, adalah fase penyelarasan organisasi, satu di antaranya adalah pemisahan jabatan panitera dan sekretaris pengadilan. Pasca pemisahan jabatan panitera dan sekretaris peradilan, suporting unit pengadilan tingkat pertama dan banding mengalami pembelahan struktural yang cukup signifikan karena melahirkan dua unit struktur suporting dengan kepemimpinan dan otonomi kerja yang lebih spesifik, di mana kepaniteraan dipimpin panitera difokuskan pada pengelolaan administrasi teknis yang pembinaan, dan pengembangan karirnya berada di bahwa Ditjen Badan Peradilan, sementara kesekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris fokus pada perencanaan, pengelolaan anggaran, kepegawaian yang pengembangan karir berada di bawah Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung. Pemisahan jabatan panitera dan sekretaris pengadilan disatu sisi meningkatkan fokus kerja unit suporting, namun di sisi lain pemisahan juga menghasilkan residu negatif di internal organisasi berupa disharmoni laten organisasi, ketidaksinkronan pada level perencanaan dengan beberapa kebutuhan real pengadilan sehingga mengakibatkan banyak kebutuhan organisasi tidak terpenuhi secara optimal. Akibat dari perbedaan badan yang membawahi birokrasi kerja, pembinaan dan pengembangan karir antara kepaniteraan dan kesekretariatan, juga melahirkan double standar dan ketimpangan pengembangan karir, belum lagi kesan belum cukupnya dukungan kesekretariatan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bidang teknis. Isu krusial ini penting untuk segera diselesaikan utamanya berkaitan dengan dual birokrasi yang bekerja di lingkungan pengadilan tingkat dan pertama dan banding di mana birokrasi pembinaan tenaga teknis dan pembinaan administrasi peradilan pengadilan tingkat pertama dan banding (termasuk pengembangan karir tenaga teknis pengadilan tingkat pertama dan banding) berada di bawah ditjen badan peradilan, sementara perencanaan, pengorganisasian, administrasi kepegawaian, finansial, perlengkapan dan ketatausahaan Pengadilan tingkat pertama dan banding (termasuk pengembangan karir tenaga kesekretariatan) berada di bawah badan urusan administrasi. Situasi ini dikuatirkan mengakibatkan pembelahan loyalitas aparatur organisasi karena masing-masing merasa mempunyai pimpinan dan jalur pengembangan karir sendiri, karenanya penting agar dilakukan penyelarasan guna sinkronisasi mulai dari tahap perencanaan hingga implementasi dan evaluaasi. Mengapa Integrasi? Beberapa alasan mengapa integrasi menjadi pilihan untuk mengatasi dual birokrasi kepaniteraan dan kesekretariatan pengadilan tingkat pertama dan banding, tersebut, pertama, dalam perspektif sistem, organisasi adalah sistem terbuka yang terdiri dari sub-sistem yang saling inter-dependensi untuk mencapai tujuan. Dalam perspektif yang sama unit kepaniteraan dan kesekretariatan pengadilan tingkat pertama dan banding diposisikan sebagai sub-sistem saling terkait untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam posisi yang inter-dependen maka diperlukan birokrasi payung (umbrella bureaucracy) dari kedua unit yang bisa memastikan sinkronisasi dan koherensi kegiatan dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan dan evaluasi termasuk pengembangan karir. Kedua, dari sudut pendekatan budaya organisasi unit kepaniteraan dan kesekretariatan harusnya didorong untuk membangun budaya kolaboratif dan nilai-nilai bersama dengan menciptakan kesatuan jalur birokrasi vertikal, mengingat keduanya mempunyai lingkungan kerja yang sama yaitu di pengadilan tingkat pertama dan banding. Ketiga, dari aspek kontingensi, integrasi birokrasi vertikal kesekretariatan pengadilan tingkat pertama dan banding di bawah ditjen badan peradilan memenuhi elemen kesesuaian situasional dan fleksibilitas adaptasi, di mana dengan integrasi tersebut akan meningkatkan koordinasi antar unit dengan kendali birokrasi payung serta memudahkan respon dan adaptasi pada perubahan dan perkembangan lingkungan strategis. Manfaat Integrasi Integrasi kesekretariatan pengadilan tingkat pertama dan banding di bawah ditjen badan peradilan akan memberikan beberapa manfaat strategis berupa, pertama koordinasi terpusat. Penyelarasan organisasi melalui integrasi selain akan menciptakan jalur birokrasi vertikal yang terpusat juga sekaligus akan menghapus dual sistem dalam organisasi yang mengakibatkan kerentanan dari sisi inkompatibilitas program kerja. Integrasi sebagai upaya penyelarasan organisasi juga merupakan suatu cara menata struktur agar lebih terintegrasi dan terpusat dengan satu garis birokrasi yang konsisten. Integrasi juga memungkinkan penyatuan kebijakan mulai dari tahap perencanaan sampai implementasi dan evaluasi. Kedua, sinkronisasi kebijakan. Integrasi kesekretariatan pengadilan tingkat pertama dan banding di bawah ditjen badan peradilan akan menyinkronkan kebijakan antar unit kesekretariatan dan kepaniteraan, dengan demikian kolaborasi sayap kanan dan sayap kiri untuk mendukung proses peradilan dapat lebih optimal. Ketiga, perencanaan terpadu. Melalui Integrasi kesekretariatan pengadilan tingkat pertama dan banding di bawah ditjen badan peradilan, perencanaan dapat dilakukan secara terpadu mulai dari perumusan kebijakan organisasi, pengembangan karir, sinkronisasi perencanaan yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisien anggaran. Keempat, responsif dan adaptif terhadap perubahan. Integrasi kesekretariatan pengadilan tingkat pertama dan banding di bawah ditjen badan peradilan juga dapat menjadikan organisasi lebih lincah dalam merespon perubahan serta dapat lebih cepat melakukan adaptasi karenanya keselarasan birokrasi dari tingkat pertama hingga direktorat. Tantangan Integrasi Tantangan integrasi kesekretariatan peradilan tingkat pertama dan banding di bawah ditjen badan peradilan, di antara, yaitu: pertama, resistensi internal, dapat terjadi karena beberapa faktor seperti sikap konservatisme terhadap perubahan, ketakutan akan dampak transformatif yang bisa berakibat pada semakin ketatnya pola pengembangan karir. Kedua, tantangan manajemen. Integrasi birokrasi selalu membawa dampak pada beban organisasi yang semakin berat, pada size organisasi yang membesar dan kompleks memerlukan kepemimpinan yang kuat dan manajemen yang andal, agar tujuan integrasi bisa tercapai. Ketiga, goodwill pimpinan. Diperlukan leadership dan sikap visioner, terkhusus integrasi kesekretariatan peradilan tingkat pertama dan banding di bawah Ditjen Badan Peradilan secara yuridis memerlukan dukungan pimpinan karena berkaitan dengan revisi Perpres No. 13/2005 Tentang Sekretariat Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Perpres No. 21 Tahun 2024. Penutup Integrasi kesekretariatan peradilan tingkat pertama dan banding di bawah ditjen badan peradilan merupakan jalan untuk mengakhiri dual sistem birokrasi vertikal kepaniteraan dan sekretariatan yang terjadi di lingkungan pengadilan tingkat pertama dan banding. Pengintegrasian ini akan menjadi langkah strategis guna meningkatkan kualitas manajemen organisasi sekaligus menyelaraskan birokrasi guna menyongsong target cetak biru 2010-2035 sebagai peradilan yang agung. fac

Pengucapan Putusan Pidana Biasa Tanpa Hadirnya Terdakwa, Mungkinkah?

article | Opini | 2025-06-01 12:00:58

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan acara pemeriksaan perkara pidana menjadi tiga jenis, yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat, dan cepat. Tujuan dibedakannya jenis acara pemeriksaan tersebut adalah demi tertib beracara dan kepastian hukum dalam proses peradilan pidana. Hukum acara pidana dalam pemeriksaan biasa, singkat, dan cepat berbeda satu dengan yang lain, namun produk akhir dari semua jenis acara pemeriksaan tersebut adalah putusan. Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 angka 11 KUHAP). Berdasarkan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal KUHAP menentukan lain. Keharusan pengucapan putusan dengan dihadiri oleh terdakwa kemudian dipertegas dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”.Pengecualian terhadap ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP adalah bagi perkara pelanggaran lalu lintas jalan, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 214 ayat (2) KUHAP putusan perkara pelanggaran lalu lintas jalan dapat diucapkan diluar hadirnya terdakwa. Pengecualian terhadap ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP bagi perkara tindak pidana ringan tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, namun Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Nomor 9 Tahun 1985 tanggal 1 Maret 1985 memberikan petunjuk “... Mengingat Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan yang diatur dalam Pasal 205 s/d Pasal 210 KUHAP termasuk dalam Bagian Keenam mengenai Acara Pemeriksaan Cepat, sedang sifat “cepat” itu sendiri menghendaki agar perkara tidak sampai tertunggak, di samping itu situasi serta kondisi masyarakat kita sekarang belum memungkinkan apabila untuk semua perkara-perkara tindak pidana ringan terdakwanya diwajibkan hadir pada waktu putusan diucapkan, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus diluar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat”. Berdasarkan ketentuan tersebut putusan perkara pidana yang diperiksa dengan acara pidana cepat dapat diucapkan diluar hadirnya terdakwa. Lantas bagaimana ketentuan mengenai pengucapan putusan diluar hadirnya terdakwa dalam perkara pidana yang diperiksa dengan acara pidana biasa?Terhadap perkara pidana yang diperiksa dengan acara pidana biasa yang terdakwanya lebih dari satu dan tidak semua terdakwa hadir di persidangan, putusan tetap dapat diucapkan sepanjang ada salah satu terdakwa yang hadir (Pasal 196 ayat (2) KUHAP). Terhadap perkara-perkara tertentu yang oleh undang-undang diperbolehkan dapat diperiksa tanpa kehadiran terdakwa, yang dalam praktik peradilan dikenal dengan istilah perkara in absentia, putusan dapat diucapkan tanpa kehadiran terdakwa. Perkara yang digolongkan sebagai perkara in absentia adalah tindak pidana korupsi (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana perikanan (Pasal 79 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009), dan tindak pidana pencucian uang (Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).Bertitik tolak dari ketentuan tersebut kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika suatu perkara tidak termasuk kedalam perkara in absentia dan terdakwanya hanya satu, namun terdakwa tersebut tidak hadir pada saat sidang pengucapan putusan karena melarikan diri atau sudah tidak diketahui keberadaannya? Apakah perkara menjadi tertunggak sedangkan dalam ilmu hukum dikenal asas litis finiri oportet yaitu setiap perkara harus ada akhirnya? Sikap apakah yang dapat diambil oleh hakim saat berhadapan dengan situasi yang demikian?Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mencermati ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa”. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, putusan pidana dengan acara pemeriksaan biasa dapat diucapkan tanpa dihadiri oleh terdakwa sepanjang pemeriksaan telah dinyatakan selesai. Frasa “pemeriksaan telah dinyatakan selesai” tidak diatur definisinya dalam KUHAP, namun berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP yang berbunyi: “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana” dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan telah dinyatakan selesai adalah telah selesainya proses pembuktian (pemeriksaan alat bukti). Dengan demikian, dalam hal suatu perkara pidana terdakwanya hanya satu tetapi terdakwa tersebut tidak hadir pada saat sidang pengucapan putusan dan pasal yang didakwakan tidak dapat diperiksa secara in asentia, hakim tetap dapat mengucapkan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa sepanjang proses pembuktian telah dinyatakan selesainya. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan pengaturan terhadap pengucapan putusan diluar hadirnya terdakwa dalam perkara pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa adalah sebagai berikut:Terhadap perkara yang terdakwanya lebih dari satu dan tidak semua terdakwa hadir pada saat sidang pengucapan putusan, hakim dapat mengucapkan putusan sepanjang ada salah satu terdakwa yang hadir (Pasal 196 ayat (2) KUHAP).Terhadap perkara in asentia (tindak pidana korupsi, perikanan, dan pencucian uang) hakim dapat mengucapkan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa.Terhadap perkara yang terdakwanya hanya satu tetapi terdakwa tersebut tidak hadir pada saat sidang pengucapan putusan dan pasal yang didakwakan tidak dapat diperiksa secara in asentia, hakim dapat mengucapkan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa sepanjang proses pembuktian telah dinyatakan selesai (Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). facReferensiUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Mungkinkah Melakukan Observasi Persidangan Melalui Video Conference?

article | Opini | 2025-06-01 08:35:57

Pada penghujung masa tunggu sebagai seorang Calon Hakim, sebuah kejadian aktual memunculkan kembali suatu pertanyaan lama di pikiran Penulis: ‘mungkinkah keluarga korban mengamati jalannya persidangan secara daring melalui fitur video conference?’ Beberapa pihak yang terlibat dalam diskusi mengemukakan bagaimana ‘pembaruan’ tersebut mengundang kekhawatiran akan terlanggarnya beberapa prinsip dasar dalam hukum acara pidana, di sisi lain, metode ini justru menawarkan utilisasi teknologi guna meningkatkan transparansi dan akuntabilitas persidangan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tiga hal secara singkat, yakni metode observasi melalui video conference bukanlah hal baru dalam tataran global, metode ini mendukung perwujudan asas-asas hukum pidana, serta ketiga, tantangan implementasinya.Suatu Kebaruan?Di Indonesia? Mungkin. Namun, bagaimana halnya dengan belahan dunia lain? Kita perlu menyadari bagaimana kemunculan pandemi Covid-19 pernah memaksa peradaban manusia untuk berkembang melalui ruang-ruang virtual, sehingga teknologi video conference justru sempat menjadi penyelamat demi tegaknya asas persidangan terbuka untuk umum (public trial). Amerika Serikat, [1] Kanada, [2] dan Belanda [3] merupakan contoh dari beberapa negara yang menerapkan praktik ini, beberapa di antaranya bahkan tetap mempertahankan mekanisme observasi ini. [4] Mengingat bagaimana terlaksananya pengadilan berbasis elektronik dalam rangka perwujudan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan salah satu impian Mahkamah Agung dan bukan semata-mata upaya taktis yang muncul pada saat pandemi, maka sudah sewajarnya beragam praktik berbasis elektronik yang mendukung kemudahan akses mendapat ruang pembaruan.Fair TrialUraian pada bagian sebelumnya telah cukup untuk menggambarkan bagaimana metode ini justru bersesuaian dengan asas persidangan terbuka untuk umum dan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Lantas, bagaimana dengan asas-asas dan ketentuan lainnya? Asas fair trial menjadi asas yang pertama dibahas terkait isu ini, di mana fair trial dapat diartkan secara umum sebagai hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pengadilan. [5] Apakah pengadilan akan dianggap memihak apabila salah satu pihak diberikan akses? Mengingat bahwa fasilitas video conference berbasis cloud merupakan suatu ruang virtual, maka Pengadilan sebatas menjalankan tugas untuk menyediakan ruang yang netral dan dapat diakses oleh para pihak sesuai dengan kepentingan dan kapasitasnya. Akses tersebut juga dapat diberikan apabila diminta oleh pihak lain di kemudian hari, seperti keluarga Terdakwa atau publik yang hendak melakukan observasi untuk kepentingan tertentu. Sehingga, asumsi bahwa pengadilan menunjukkan keberpihakan tidak dapat dijustifikasi.Potensi Penyalahgunaan dan Keabsahan Keterangan SaksiKekhawatiran lainnya adalah sehubungan [2] ketentuan Pasal 160 KUHAP bahwa Saksi harus diperiksa satu per satu, maka bagaimana jika di masa mendatang ternyata salah satu pihak yang pernah dijadikan pengunjung sidang lantas dihadirkan sebagai Saksi atau menyalahgunakan tayangan lalu menyerahkannya pada pihak yang akan hadir sebagai Saksi, sehingga Saksi tersebut memberikan keterangan yang menyesatkan?Terhadap pemenuhan ketentuan ini, perlu diberikan beberapa pertimbangan yang tidak terlepas dari teknis bagaimana akses terhadap video conference itu akan diberikan nantinya. Penulis berpendapat bahwa skema yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut, di mana pada tahap awal penerapannya nanti, akses untuk persidangan secara virtual hanya diberikan berdasarkan permohonan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan menyertakan kepentingannya, sehingga pengunjung sidang secara virtual akan dapat terdata. Pemberian akses juga mesti disertai dengan adanya peringatan awal terkait formalitas persidangan, pentingnya menjaga keabsahan pernyataan saksi-saksi di persidangan, serta larangan untuk melakukan perekaman. Dengan demikian, apabila seseorang memutuskan untuk hadir sebagai pengunjung sidang secara virtual, ia telah menunjukkan pemahaman dan persetujuan bahwa ia tidak memiliki kepentingan sebagai Saksi di persidangan mendatang dan bahwa ia memahami pentingnya menjaga tata tertib persidangan sebagaimana halnya dalam persidangan konvensional.Dengan terdatanya pengunjung sidang melalui daftar attendee pada aplikasi video conference serta dari permohonan yang diajukan (atau hearing list), Pengadilan dapat menelusuri apakah seseorang yang akan dihadirkan sebagai Saksi pernah mengamati keterangan Saksi-Saksi yang diberikan dalam persidangan secara virtual. Daftar itu dapat menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam menentukan sikap yang perlu diambil atas diajukannya orang tersebut sebagai Saksi. Apabila dibandingkan dengan persidangan konvensional yang tidak mewajibkan pendataan terhadap pengunjung sidang, mekanisme ini justru cenderung lebih sistematis dan dapat diandalkan. Mekanisme observasi ruang sidang virtual (virtual courtroom) melalui video conference ini justru menjadi opsi yang lebih aman untuk ‘memperluas’ ruang sidang dengan tetap memperhatikan tata tertib persidangan. Karena sifat video conference sebagai telekomunikasi, seluruh akses dan kontrol atas ruang virtual tersebut masih berada dalam kendali institusi Pengadilan sebagai pihak penyedia, hal mana jauh lebih aman dan terkendali jika dibandingkan dengan penyiaran langsung secara publik melalui televisi atau kanal lainnya.Terkait penyalahgunaan melalui perekaman ilegal, perlu ditegaskan kembali bahwa Pengadilan terikat pada peringatan yang diberikan bersamaan dengan tautan untuk mengakses persidangan. Hal ini berarti, apabila rekaman persidangan tersebut dilakukan tanpa seizin dari pihak pengadilan, maka rekaman tersebut harus dinyatakan tidak sah secara hukum karena diperoleh dengan cara yang bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, [6] sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai bukti elektronik dalam rangka pro justisia. [7] Di masa mendatang yang tidak lama lagi, Pengadilan juga harus memperhatikan potensi perlindungan dengan diterapkannya KUHP Nasional yang memberlakukan ketentuan contempt of court. [8] Meskipun belum terdapat norma yang melakukan pencegahan secara preventif, namun ketentuan hukum yang telah dan akan berlaku itu cukup memberi peluang bagi Pengadilan untuk berinovasi dalam memudahkan proses beracara sesuai dengan koridor yang ada.Apakah Bisa Diterapkan?Pada akhirnya, ‘perluasan’ ruang sidang menjadi virtual courtroom dengan memaksimalkan teknologi video conference bukanlah hal yang mustahil secara teknis maupun teoretis. Dengan mekanisme yang tepat, penerapannya justru akan mampu mendorong perwujudan beberapa asas dalam hukum acara pidana. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pengadilan di Indonesia memiliki keinginan dan akan mampu menerapkan praktik tersebut? Kita tak dapat memungkiri bahwa mungkin belum seluruh pengadilan di Indonesia memiliki kemampuan untuk memenuhi standar minimum peranti yang dibutuhkan untuk menyediakan akses tersebut. Demikian halnya dengan peranti lunak yang dibutuhkan, perihal penganggaran akan menimbulkan pertanyaan mengenai biaya berlangganan aplikasi eksternal yang mendukung fitur video conference, sedangkan aplikasi internal yang berlaku secara nasional seperti e-Court dan e-Berpadu belum lagi mendukung fitur yang dibutuhkan untuk kepentingan pengunjung sidang secara daring.Pada tataran normatif, pengaturan perihal observasi persidangan jarak jauh memang belum mendapat perhatian, regulasi yang ada di Indonesia saat ini masih berfokus pada upaya memfasilitasi pemangku kepentingan utama, seperti Terdakwa dan Penuntut Umum dalam perkara pidana serta Penggugat dan Tergugat dalam perkara perdata. Kendati demikian, dalam perkara yang bersifat publik, tentunya pertimbangan akan kepentingan publik harus mendapat ruang, salah satunya dengan mempertimbangkan bagaimana akses publik akan dapat diakomodasi dalam penyelenggaraan sidang secara elektronik.Tantangan lainnya muncul pada potensi meningkatnya tuntutan profesionalitas bagi hakim dan seluruh aparat penegak hukum yang terlibat. Dengan semakin terbukanya peluang bagi publik untuk mendapatkan akses ke dalam proses persidangan, maka prosedur beracara yang diterapkan juga harus dipastikan sebaik mungkin karena memungkinkan pengawasan yang lebih luas. Kendati demikian, terlepas dari adanya hambatan-hambatan tersebut, Penulis percaya bahwa kesadaran hukum yang semakin tinggi di masyarakat Indonesia pada akhirnya akan mendorong pengadilan untuk terus mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut. fac/casDaftar Rujukan[1]  United States Courts, "Judiciary Authorizes Video/Audio Access During COVID-19 Pandemic," United States Courts, 31 Maret 2020. [Online]. Available: https://www.uscourts.gov/data-news/judiciary-news/2020/03/31/judiciary-authorizes-video-audio-access-during-covid-19-pandemic? . [Accessed 24 Mei 2025].[2] Action Committe on Court Operations in Response to COVID-19, “Upholding the Open Courts Principle During the Covid-19 Pandemic-A Case Study of the Federal Court,” Office of the Commissioner for Federal Judicial Affairs Canada, [Online]. Available: https://www.fja.gc.ca/COVID-19/pdf/Upholding-the-Open-Courts-Principle-During-the-COVID-19-Pandemic-A-Case-Study-of-the-Federal-Court.pdf. [Diakses 24 Mei 2025].[3] Netherlands Commercial Court, “The Netherlands Commercial Court and COVID-19: Case Management, Videoconference Hearings and eNCC,” Netherlands Commercial Court, 27 Mei 2020. [Online]. Available: https://www.rechtspraak.nl/English/NCC/news/Pages/The-Netherlands-Commercial-Court-and-COVID19-case-management-videoconference-hearings-and-eNCC.aspx? . [Diakses 23 Mei 2025].[4] Colorado Judicial Branch, Colorado Judicial Branch, [Online]. Available: https://www.coloradojudicial.gov/livestream-and-virtual-courtrooms . [Accessed 24 Mei 2025].[5] United Nations General Assembly, "nternational Covenant on Civil and Political Rights, Article 14," 1966. [Online]. Available: https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights.[6] Peraturan Mahkamah Agung tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, Perma No. 5 Tahun 2020, Pasal 4 ayat (6). [7] Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 5. [8] Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 1 Tahun 2023, Pasal 278 ayat 91) huruf b. 

Akses Keadilan Bagi Masyarakat di Daerah Terpencil: Antara Harapan Digital dan Realita Sosial

article | Opini | 2025-05-30 17:00:59

Modernisasi sistem peradilan Indonesia memasuki era baru ketika Mahkamah Agung Republik Indonesia memperkenalkan The Electronics Justice System atau lebih familiar dikenal dengan E-Court, sebuah sistem digital yang digadang sebagai solusi mewujudkan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Diresmikan melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 3 Tahun 2018, kemudian diperbarui melalui Perma Nomor 1 Tahun 2019, dan disempurnakan melalui Perma Nomor 7 Tahun 2022, E – Court terus dikembangkan yang pada mulanya hanya mencakup administrasi perkara dari e-filing (pendaftaran perkara daring), e-payment (pembayaran biaya perkara), dan e-summons (pemanggilan elektronik) menjadi e-litigation (persidangan elektronik) yang meliputi pertukaran dokumen jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, putusan, pemberitahuan putusan, hingga pengajuan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi untuk perkara perdata. Namun, setelah diterapkan kurang lebih selama 7 (tujuh) tahun, satu pertanyaan penting perlu diajukan: sejauh mana sistem E-Court hingga e-litigation tersebut efektif di daerah - daerah terpencil, tempat di mana gawai (gadget), listrik, dan jaringan internet pun kadang menjadi barang mewah? E–Court merupakan sistem yang diharapkan dapat mewujudkan mimpi besar perkembangan sistem peradilan di Indonesia melalui sebuah layar kecil. Secara garis besar, E-Court memuat empat fitur utama: e-Filing (pendaftaran perkara online), e-Payment (pembayaran biaya perkara secara daring), e-Summons (pemanggilan secara elektronik), dan e-Litigation (persidangan secara daring). Keempat fitur ini diharapkan mampu memangkas birokrasi, menekan biaya transportasi, dan mempermudah akses peradilan dari mana saja. Secara teori, maksud, dan tujuannya sistem ini sangat cocok diterapkan di wilayah dengan hambatan geografis. Bayangkan warga desa yang biasanya harus menempuh perjalanan berjam - jam ke pengadilan, kini bisa mendaftarkan gugatan hanya lewat ponsel. Praktis, bukan? Namun realitas di lapangan ternyata “tak semudah klik upload dan selesai” karena kenyataannya tidak sedikit masyarakat di daerah menunjukkan bahwa akses terhadap keadilan digital belum merata. Tantangan datang dari akses internet yang terbatas, minimnya fasilitas digital, belum lagi kendala sosial seperti keterbatasan perangkat karena tidak punya handphone, laptop, printer, atau scanner, dan yang paling utama adalah rendahnya literasi hukum dan teknologi sehingga timbul ketergantungan pada jasa kuasa hukum bahkan aparatur internal pengadilan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman peran atau bahkan disalahgunakan apabila tidak diawasi dengan baik karena masyarakat tak paham cara kerja sistem tersebut. Bahkan dalam perkara besar dan sensitif sekalipun, seperti gugatan terhadap Mantan Presiden Republik Indonesia di Pengadilan Negeri Surakarta, sempat terjadi perdebatan karena kuasa hukum penggugat tidak memahami bahwa sistem E-Court termasuk e–Litigation berlaku untuk mempermudah semua pihak secara berimbang, bukan hanya salah satu pihak saja. Ketidaktahuan ini menunjukkan bahwa literasi hukum dan pemahaman terhadap mekanisme digital peradilan masih menjadi tantangan serius, bahkan di kalangan profesi hukum sekalipun. Hal serupa juga terjadi di Pengadilan Negeri Paringin yang mencerminkan realita bahwa mayoritas pengguna E-Court yang secara benar–benar mandiri hanya berasal dari kalangan sebagian advokat, sedangkan sebagian advokat masih ada yang belum memahami dan beberapa dari mereka dan juga beberapa masyarakat dari kecamatan-kecamatan di pelosok Kabupaten Balangan tetap datang langsung ke kantor pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sistem telah tersedia, pemanfaatannya belum merata. E-Court masih menjadi solusi yang bersifat mudah bagi yang paham, tetapi jauh dari jangkauan yang benar-benar membutuhkan. Dalam instrumen ceklis sertifikAsi Mutu Peradilan Unggul dan TangguH (AMPUH) dari Badilum, terdapat kewajiban bagi setiap pengadilan negeri untuk melakukan sosialisasi sistem E– Court dan e – litigation menurut ketentuan Perma Nomor 7 Tahun 2022 baik secara internal kepada aparatur pengadilan maupun eksternal kepada masyarakat dan stakeholder. Namun di lapangan, pelaksanaan sosialisasi ini kerap tidak berjalan maksimal. Salah satu kendala utamanya adalah keterbatasan anggaran yang mengakibatkan kegiatan sosialisasi dilakukan secara terbatas, tidak berkelanjutan, bahkan sekadar untuk memenuhi eviden dalam proses akreditasi semata tanpa benar-benar menyasar peningkatan pemahaman masyarakat pengguna layanan. Situasi ini menunjukkan bahwa efektivitas sistem tidak cukup hanya dengan tersedianya perangkat dan regulasi, tetapi juga sangat bergantung pada kualitas implementasi di lapangan, termasuk komitmen nyata dalam edukasi masyarakat. Menuju keadilan digital yang inklusif agar E-Court benar-benar efektif di daerah terpencil, maka transformasi digital harus disertai dengan pendekatan sosial dan afirmatif. Beberapa langkah yang dapat diambil, yang tentunya untuk mewujudkannya Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak dapat berjalan sendiri karena agar suatu sistem dapat dirasakan hingga ke lapisan bawah masyarakat di daerah tetap memerlukan adanya kerjasama dan dukungan dari pihak lain dan instansi pemerintah terutama di daerah, langkah–langkah tersebut antara lain: Membangun pusat bantuan hukum digital di kecamatan melalui ”E-Court corner” yang dilengkapi perangkat komputer, akses internet, dan pendampingan dari para paralegal.Melatih perangkat desa dan tokoh lokal sebagai duta literasi digital hukum agar mereka mampu mendampingi masyarakat dalam mengakses layanan peradilan secara online.Memperkuat sinergi lintas sektor yaitu Mahkamah Agung perlu menggandeng Kementerian Kominfo, Pemda, lembaga bantuan hukum, dan media lokal untuk menutup kesenjangan digital dan memperluas jangkauan sosialisasi sistem peradilan elektronik sehingga kegiatan sosialisasi tidak hanya menjadi kegiatan simbolik semata. Optimalisasi mobile court atau sidang keliling yang digabung dengan layanan E-Court mobile juga dapat menjadi solusi transisi yang menjangkau wilayah- wilayah yang belum tersentuh internet, terlebih saat ini sudah banyak pengadilan di Indonesia yang mempunyai inovasi berupa sidang keliling ke desa–desa terpencil seperti salah satunya di Pengadilan Negeri Paringin. Diperlukan pengawasan yang konsisten terhadap aparatur pengadilan untuk memastikan bahwa peran mereka dalam membantu masyarakat dan mensosialisasikan sistem ini semata-mata didasarkan pada kewajiban pelayanan publik, bukan karena dorongan imbalan atau kepentingan pribadi. Teknologi adalah alat, bukan tujuan. E-Court adalah langkah besar menuju modernisasi hukum di Indonesia. Tetapi dalam konteks masyarakat di daerah, teknologi bukan segalanya. Ia harus bersanding dengan empati sosial, pendekatan kultural, dan pemahaman bahwa keadilan sejati tidak hanya soal sistem yang canggih tetapi juga soal siapa yang mampu mengaksesnya. Pada akhirnya, keadilan digital harus menjadi pintu masuk yang terbuka lebar, bukan tembok baru yang membatasi. Karena sesungguhnya, sistem peradilan yang hebat bukan hanya yang berbasis teknologi, tetapi yang mampu menjangkau mereka yang paling membutuhkannya. (LDR/YPY)

Jabatan Hakim, Bekerja dalam Kesunyian

article | Opini | 2025-05-30 14:00:29

Hakim merupakan profesi yang mulia atau bisa disebut Officium Nobile, merupakan wakil Tuhan di dunia yang diberikan beberapa kewenangan Tuhan diketokan palu Hakim. Menjadi Hakim tidak ubahnya menjadi pemuka agama, tidak untuk mencari ketenaran, tidak untuk mencari kekayaan dan tidak untuk mencari hal-hal yang berbau keduniawian. Itulah gambaran Hakim ideal. Hakim selalu memilih jalan sunyi, tidak boleh bergaul terlalu dekat dengan orang luar ditakutkan akan mempengaruhi independensi Hakim. Dibangku kuliah penulis sering mendengarkan dosen yang menceritakan seorang Hakim dalam kehidupan sehari-harinya harus membaca minimal 80 (delapan puluh) halaman buku apapun itu, kalau makan tidak boleh dekat kantor agar untuk menjaga konflik kepentingan, menjaga pergaulan dengan siapapun. Hal yang paling diingat penulis adalah seorang Hakim tidak boleh diketahui oleh siapapun buku apa yang dibacanya agar nanti tidak ada yang mengetahui alam pikiran Hakim tersebut. Karena, apabila pihak mengetahui arah pikiran Hakim tentunya akan mudah mengikuti arah mazhab yang dianut Hakim tersebut agar perkara dimenangkan. Itu baru sebagian cerita ideal Hakim, hal yang paling penting untuk menjadi Hakim adalah harus selesai dengan dunianya agar dia tidak memiliki kepentingan apapun. Mudah memang mengucapkan Hakim harus selesai dengan dunianya. Akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah apa yang bisa diucapkan tersebut diatas. Pro dan kontra mengenai “Hakim harus selesai dengan dunianya” tidak akan pernah ada habisnya dibahas dan dipertentangkan. Asalkan diskusi tersebut untuk kebaikan tidak ada masalahnya kita ulik lagi. Hakim selesai dengan dunianya bukan berarti Hakim tidak perlu untuk makan dan melanjutkan kehidupannya. Hakim idealnya tidak memiliki bisnis sampingan untuk menghindari konflik kepentingan dan harus fokus dalam bekerja dan memberikan keadilan kepada manusia sebagai pengejawantahan sebagai wakil Tuhan. Di Indonesia, Hakim telah diberikan berbagai hak dan fasilitas yang saat ini masih belum cukup untuk mencukupi kehidupan seorang Hakim. Bukannya Hakim harus selesai dengan dunia? Benar hal tersebut merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang Hakim. Akan tetapi harus diingat juga bahwa Hakim akan dapat selesai dengan dunianya ketika Hakim tersebut telah dicukupi oleh negara kehidupan dan keluarganya. Hakim umumnya jauh dari keluarga yang mengharuskan Hakim terpisah dari anak istri yang mengharuskan pulang dalam jangka waktu tertentu. Tidak sedikit Hakim yang menjadi generasi sandwich yang mengharuskan Hakim tersebut menanggung kewajiban ekonomi keluarga.   Dilain itu timbullah pertanyaan “masa dengan gaji sebesar itu tidak cukup? Pertanyaan yang selalu menjadi perdebatan. Akan tetapi penulis mencoba objektif dalam menilai hal tersebut. Menurut hemat penulis yang baru sekitar 5 (lima) tahun menjadi Hakim, dengan gaji yang diterima sekarang bisa dicukup-cukupkan tentunya dengan banyak pemikiran bagaimana mengelola uang gaji untuk anak Istri, utang bank, pulang ke homebase dan juga pulang mudik ke kampung halaman yang jauh dari tempat tugas. Timbul lagi pertanyaan kalau bisa mengelola itu cukup, benar itu bisa dicukup-cukupkan entah bagaimana caranya yang tentunya akan membagi pikiran kita sebagai seorang Hakim yang harus tiap saat melihat saldo agar hidup tetap balance dan tidak jarang Hakim berpikir mengatur uang lebih susah dan harus dibagi untuk memberikan keadilan. Dengan kondisi demikian maka bersyukurlah dan berikanlah penghargaan yang sebesar-besarnya bagi Hakim yang harus berjuang untuk mengatur keuangan keluarga dan tetap berpegang teguh menjaga integritas dengan tidak mau bermain perkara demi memenuhi kebuTuhan. Tidak perlu berpanjang lebar dalam menyikapi hal tersebut. Penulis hanya ingin menyampaikan agar Hakim selesai dengan dunianya maka penuhilah kebuTuhannya yang mendasar agar Hakim tidak perlu berpikir banyak untuk mengurus keuangan dan bekerja keras menahan godaan meskipun ada yang tidak kuat menahan godaan. Akan tetapi penulis sangat yakin apabila Hakim tersebut dipenuhi kebuTuhan dasarnya tidak perlu memikirkan hal-hal mendasar mengenai kehidupan dengan mencukupkan kebuTuhan disesuaikan dengan perkembangan inflasi. Pasti akan banyak cibiran ketika Hakim kembali menuntut haknya ketika masih ada juga Hakim yang tertangkap bermain perkara. Jangan sampai Hakim yang tertangkap menjadi alasan untuk tidak memenuhi kebuTuhan dasar Hakim. Presiden Prabowo selalu menyinggung mengenai menaikan gaji Hakim. Penulis sangat mendukung dan nantinya ketika gaji telah sesuai harapan agar tidak ada lagi Hakim nakal, jika ada maka sudah layak untuk diselesaikan karena dia tidak menjalankan tugas sebagai wakil Tuhan akan tetapi menjalankan tugas sebagai manusia yang bernafsu untuk menumpuk kekayaan. Inti tulisan ini bukan masalah kenaikan gaji Hakim, akan tetapi mengembalikan Hakim kepada hakekatnya agar Hakim kembali ke ruang sidang yang sunyi dengan tugas mulia memberikan keadilan. Hakim harus menggali nilai keadilan dan tidak lagi Hakim berfokus kepada tugas diluar persidangan. Jika mengharuskan Hakim menjadi pimpinan bukan melalui permintaan Hakim tersebut, akan tetapi diberikan karena prestasi dan kelayakan Hakim tersebut. Penulis berkeinginan agar Hakim kembali ke ruang sidang yang sunyi untuk memberikan keadilan dan menjalankan fungsi sebagai wakil Tuhan dengan selurus-lurusnya sambil mempersiapkan diri untuk mempertanggung jawabkan mandat yang telah diberikan oleh Tuhan. (LDR/AAR)

KUHP Baru, Masalah Lama: Pasal (Keranjang Sampah) Narkotika Kembali Menghantui

article | Opini | 2025-05-30 08:00:02

Pada tahun 2012, lahir suatu putusan oleh Mahkamah Agung yang ‘mendobrak’ pemahaman para penegak hukum terkait penerapan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Dalam pasal tersebut termuat rumusan beberapa perbuatan yakni “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman”.Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012 tanggal 26 Juni 2012, Majelis Hakim Kasasi mempertimbangkan setidak-tidaknya 3 (tiga) hal penting terkait penerapan pasal tersebut, diantaranya: Pertama, bahwa para pengguna sebelum menggunakan Narkotika harus terlebih dahulu membeli kemudian menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa Narkotika tersebut sehingga tidak selamanya harus diterapkan ketentuan Pasal 112 UU Narkotika, melainkan harus dipertimbangkan apa yang menjadi niat atau tujuan Terdakwa memiliki atau menguasai Narkotika tersebut; Kedua, Majelis Hakim Kasasi berpendapat jika ketentuan Pasal 112 UU Narkotika merupakan ketentuan ‘keranjang sampah’ atau ‘pasal karet’. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan jika perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai atau memiliki Narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari jeratan Pasal 112 tersebut, padahal pemikiran semacam ini adalah keliru dalam menerapkan hukum sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal yang mendasari Terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai dengan niat atau maksud Terdakwa; Ketiga, bahwa niat atau maksud seseorang adalah merupakan bagian dari ajaran tentang kesalahan dalam hukum pidana yang menyatakan jika "tiada pidana tanpa ada kesalahan", sehingga seseorang tidak dapat dihukum tanpa dibuktikan adanya kesalahan, dan menghukum seseorang yang tidak mempunyai niat untuk suatu kejahatan dimaksud merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius.Pasal ‘Keranjang Sampah’ Dalam KUHP Nasional Dampak dari adanya putusan tersebut, muncul gagasan dari beberapa kelompok masyarakat sipil untuk mendorong pemerintah agar merevisi pasal pemidanaan dalam UU Narkotika, khususnya tentang pengaturan Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika. Namun, hingga lebih dari 10 (sepuluh) tahun sejak putusan tersebut lahir, pembahasan tentang revisi pasal-pasal tersebut belum juga menemukan titik terang. Bahkan, bukan revisi dari pasal tersebut yang dihasilkan, justru pasal ‘keranjang sampah’ kembali ‘menghantui’ para pelaku yang sedang berhadapan dengan proses hukum terkait penggunaan Narkotika dengan masuknya rumusan pasal tersebut dalam KUHP Nasional sebagaimana termuat dalam Pasal 609, dimana core crime dari Tindak Pidana tersebut berupa “memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan” Narkotika secara tanpa hak. Diaturnya rumusan Pasal 609 tersebut membuat permasalahan lama tentang penerapan ‘pasal keranjang sampah’ atau ‘pasal karet’ kembali menjadi momok bagi penegakan hukum dalam Tindak Pidana Narkotika. Terhadap penerapan pasal-pasal tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan beberapa kritiknya, yakni: Pertama, adanya kecenderungan Jaksa Penuntut Umum, dalam praktik di persidangan lebih suka menggunakan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika bagi pengguna Narkotika. Dimana secara teknis, pembuktian terhadap unsur Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika relatif lebih mudah dilakukan dibandingkan pembuktian unsur Pasal 127 UU Narkotika (penyalahguna Narkotika). Dalam rumusan Pasal 127 mengamanatkan pembuktian terhadap seseorang sebagai pengguna Narkotika dan mempertimbangkan hal-hal lain diluar sekedar penguasaannya terhadap Narkotika tersebut. Kedua, tentang ketentuan ancaman pidananya. Dalam Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika terdapat minimal pidana penjara 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (dua belas) tahun. Hal ini berbanding jauh dengan Pasal 127 UU Narkotika yang hanya dikenai ancaman pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun untuk Narkotika Golongan I. Dengan adanya perbedaan penerapan pasal yang didakwakan tersebut, membuat ancaman pemidanaan langsung masuk ke level yang lebih tinggi, dimana hal ini merupakan salah satu hal yang dikritik oleh Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya. Ketiga, rumusan “memiliki, menyimpan dan menguasai” disebut sebagai ‘pasal keranjang sampah’ atau ‘pasal karet’ dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut dikarenakan dalam penerapannya, pasal tersebut tidak dilekatkan dengan konteks tujuan maupun niat pelaku terhadap Narkotika tersebut karena secara logika, setiap orang yang menggunakan Narkotika pasti “memiliki, menyimpan dan menguasai” Narkotikanya terlebih dahulu. [1]Kritik Terhadap Penerapan Pasal ‘Keranjang Sampah’ Dalam Putusan Hakim Mahkamah Agung sudah berkali-kali menegaskan di beberapa putusannya, seperti dalam Putusan Nomor 1071 K/Pid.Sus/2012, Putusan Nomor 2199 K/Pid.Sus/2012, Putusan Nomor 919 K/Pid.Sus/2012, dan Putusan Nomor 1375 K/PID.SUS/2012, bahwasannya menurut Mahkamah Agung dalam menerapkan ketentuan Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika harus penuh dengan kehati-hatian. Penulis berpendapat hal tersebut termasuk juga dalam menerapkan ketentuan Pasal 609 dalam KUHP Nasional yang memiliki unsur yang serupa dengan Pasal 112 UU Narkotika.Terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan oleh Hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa atas dasar Pasal 112 UU Narkotika/Pasal 609 KUHP Nasional, yaitu: Kesatu, Hakim harus mempertimbangkan mengenai niat atau tujuan Terdakwa “memiliki, menyimpan dan menguasai” Narkotika tersebut. Hal ini didasarkan pada asas hukum “actus non facit reus nisi mens sit rea” yang berarti “an act does not make a person guilty unless the mind is guilty”. Sehingga perbuatan “memiliki, menyimpan dan menguasai” Narkotika harus selalu dikaitkan dengan niat atau tujuan dari Terdakwa terhadap Narkotika tersebut. Kedua, Hakim jangan sampai terjebak dengan pemikiran yang keliru dengan tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal lainnya yang mendasari Terdakwa “memiliki, menyimpan dan menguasai” Narkotika tersebut sesuai dengan niat atau maksud Terdakwa. Ketiga, Hakim jangan sampai menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang tidak mempunyai niat untuk suatu kejahatan dimaksud karena hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum yang sangat serius.Kesimpulan Diaturnya kembali rumusan Pasal 609 KUHP Nasional, yang memiliki unsur yang sama dengan Pasal 112 UU Narkotika membuat permasalahan lama dalam penegakan hukum Tindak Pidana Narkotika kembali mencuat ke permukaan. Penerapan ‘pasal keranjang sampah’ atau ‘pasal karet’ kembali menghantui para pelaku yang sedang berhadapan dengan proses hukum terkait penggunaan Narkotika. Oleh karenanya, Hakim sebagai “the guardian of justice” harus dengan ekstra hati-hati dalam menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang terkait dengan penyalahgunaan Narkotika dengan dasar penerapan pasal-pasal tersebut di atas. (LDR/YPY/SNR).Referensi:[1] https://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-pengguna-narkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/

Imparsial Sejak Dalam Pikiran

article | Opini | 2025-05-29 10:05:00

INDONESIA adalah negara hukum (rechtsstaat) secara jelas dan tegas disebutkan dalam Batang Tubuh UUD NRI tahun 1945 yang sebelum amandemen hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945. Mempertegas komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berlandaskan konstitusi bukan negara kekuasaan yang otoriter. Hukum menjadi dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Negara hukum, konstitusi, dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan menuju sebuah bangunan  negara yang menjunjung tinggi supremasi konstitusi dan demokrasi yang berdasarkan kepada hukum.Definisi yang memberikan penjelasan mengenai unsur dan definisi negara hukum terus berkembang. Dari masa klasik ke modern bahkan masa kontemporer terdapat dua elemen yang selalu muncul dan menunjukkan peran serta fungsi pengadilan yaitu: perlindungan terhadap hak-hak individu dan  adanya proses peradilan yang setara dan imparsial yang dijalankan oleh pengadilan yang independen yang bisa diakses setiap warga negara yang ingin memulihkan dan menikmati hak-haknya yang mungkin dilanggar oleh pihak lain-termasuk jika dilanggar oleh negara. Selain kedua elemen tersebut, terdapat elemen hukum dan undang-undang yang memuat jaminan hak-hak individu serta pembatasan dan pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara, yang umumnya dimuat dalam konstitusi.Pengadilan sebagai pemegang cabang kekuasaan negara di bidang yudikatif, sebagaimana cabang kekuasaan negara lainnya merupakan pemegang kewajiban (duties bearer) terhadap individu atau warga negara sebagai pemegang hak (rights holder) hak asasi manusia. Kewajiban tersebut baik berupa menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) pemenuhan hak asasi manusia. Apabila pada cabang kekuasaan lainnya, tanggung jawab terhadap hak asasi manusia secara proaktif, langsung dan aktif, maka berbeda dengan pengadilan. Tanggungjawab pengadilan baru dapat dijalankan ketika suatu permasalahan hukum diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.Pengadilan yang Independensi dan ImparsialPengadilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya mengadili perkara haruslah terbebas dari kekuasaan atau campur tangan dari kekuasaan lainnya. Kebebasan atau independensi pengadilan menjadi prasyarat untuk mampu menjadi penyeimbang dan pembatas dari lembaga-lembaga negara dalam cabang kekuasaan yang lain. Terutama, ketika pengadilan harus menguji atau mengadili tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan negara, atau terhadap seseorang atau sekelompok warga negara.Dari berbagai instrumen dan referensi, setidaknya terdapat empat aspek yang menjadi perasyaratan bagi indepensi peradilan. Pertama, pengaturan prosedur dan kualifikasi pengangkatan hakim dalam undang-undang. Kedua, Jaminan yang terkait dengan masa masa kerja, usia pensiun wajib dan alasan-alasan berakhirnya masa jabatan hakim. Ketiga, mengenai pengaturan proses promosi, mutasi, penangguhan dan penghentian fungsi Hakim, dan keempat adalah independensi peradilan dari campur tangan politik oleh badan eksekutif dan legislatif.Independensi peradilan menjadi salah satu semangat Era Reformasi dengan melakukan pembaharuan lembaga pengadilan. Pengalihan kewenangan aspek administrasi, organisasi, dan finansial dari Departemen Kehakiman kepada Mahkamah Agung menjadi tonggak berlakunya manajemen kehakiman “satu atap”. Sejak saat itu, Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, dalam manajemen satu atap mengurus seluruh hal, termasuk aspek organisasi, administrasi dan keuangan serta hal teknis yudisial. Pentingnya indepensi peradilan disoroti oleh Jimly Asshiddiqie sebab tanpa adanya peradilan bebas, tidak ada negara hukum dan demokrasi. “Demokrasi hanya ada apabila diimbangi oleh rule of law, tetapi rule of law hanya ada apabila terdapat independence of judiciary.”Selain independen, hal yang dituntut untuk dapat memenuhi fungsi peradilan dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia adalah imparsial atau tidak memihak. Pentingnya peradilan independen dan imparsial juga ditegaskan dalam berbagai instrumen. Ketentuan-ketentuan internasional mengenai hal itu dapat ditemukan dalam Universal Declaration of Human Rights (1948), International Covenant on Civil and Political Rights (1976), Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985), Vienna Declaration and Programme of Action (1993), Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990), Beijing Statement of Principle of Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1995), The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), dan lain-lain.Pada prinsipnya, ketentuan-ketentuan internasional tersebut memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Universal Declaration of Human Rights (1948) (Pasal 10), International Covenant on Civil and Political Rights (1976) (Pasal 14), dan Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985) adalah ketentuan-ketentuan internasional yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).Meski tidak secara khusus dan detail mengatur, masuknya ketentuan mengenai independensi peradilan dalam UDHR dan ICCPR memiliki semangat mendukung terciptanya peradilan yang independen dan imparsial. Hal itu karena berhubungan erat dengan aspek perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Sedangkan instrumen dari PBB yang secara komprehensif mengatur tentang peradilan yang independen dan imparsial adalah Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985).Pentingnya peradilan merdeka dan tidak memihak di atas, menarik menyoroti Universal Declaration on the Independence of Justice (1983), International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982), dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002). Ketiganya menyebut bahwa independensi dan imparsialitas peradilan tidak hanya dilekatkan pada peradilan secara institusional, tetapi juga diberikan kepada hakim secara individual. Universal Declaration on the Independence of Justice (1983) menyebut ketentuan bahwa “Hakim harus bebas secara individual”, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence (1982) juga menyebut bahwa “Individual judges should enjoy personal independence and substantive independence”. Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), khususnya bagian tentang independensi kehakiman, juga terdapat ketentuan serupa yang menyebut bahwa “A judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual and institutional aspects”.Ketentuan tersebut menunjukkan independensi kekuasaan kehakiman seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai independensi kekuasaan kehakiman secara institusional, tetapi juga mencakup independensi kekuasaan kehakiman secara personal. Meskipun tidak ada intervensi eksternal dari kekuasaan lembaga negara lain terhadap peradilan, independensi dan imparsialitas peradilan sulit dapat diwujudkan jika hakim secara personal tidak memiliki ruang leluasa untuk melaksanakan tugasnya secara merdeka dan tidak memihak. Menurut Mikuli, imparsialitas mengacu kepada keadaan pikir atau sikap batin ketika menghadapi perkara. Berbeda dengan independensi berupa kondisi bebas dari tekanan pemerintah atau kekuasaan negara lainnya. Lebih lanjut menurut Mikuli imparsialitas adalah turunan dari independensi, baru akan muncul ketika independensi peradilan telah ada.Imparrsialitas pengadilan masih akan tergantung pada imparsialitas hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Sebagaimana disampaikan MacDonald dan Kong mengungkapkan bahwa '(bisa jadi) peradilan pada prinsipnya mungkin independen, tetapi dalam kasus tertentu, seorang hakim mungkin tidak imparsial, artinya, dapat menunjukkan favoritisme terhadap satu pihak'.Dari hal di atas, terlihat bahwa alam berpikir dan perilaku hakim sangat menentukan tercapainya imparsialitas yang diharapkan dari pengadilan. Lahirnya prinsip-prinsip hukum acara yang memandu agar hakim dapat tampak bersikap imparsial/netral, dalam persidangan. Prinsip audi et alteram partem dalam hukum acara perdata, misalnya. Berikutnya muncul instrumen-instrumen universal yang mengatur soal perilaku hakim agar imparsial. Misalnya, Bangalore Principles of Judicial Conduct (terakhir diperbarui tahun 2002).Dalam Bangalore Principles, ketidakberpihakan diperlakukan sebagai salah satu nilai penting bagi peradilan selain dari integritas, kepatutan, kesetaraan, dan kompetensi/ketekunan. Dokumen tersebut menyatakan bahwa ketidakberpihakan 'berlaku tidak hanya untuk keputusan itu sendiri tetapi juga untuk proses di mana keputusan itu dibuat.' Bangalore Principle juga menekankan perlunya untuk mengamati kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mewujudkan ketidakberpihakan hakim. Misalnya, memastikan hakim melaksanakan tugasnya tanpa memperoleh bantuan dari pihak lain, bias, atau prasangka.Disimpulkan, imparsialitas berkaitan erat dengan pola pikir dan cerminannya dalam perilaku hakim. Sebagaimana diungkapkan Gonera yang dikutip oleh Mikuli, karakter pribadi hakim yang kuat dan teguh adalah yang paling diharapkan. Hal ini meliputi antara lain menjaga perilaku agar senantiasa memenuhi etika, baik dalam lingkup tugas sebagai hakim maupun saat tidak bertugas, keberanian moral menjalankan independensi peradilan, kecerdasan, kebijaksanaan, kecermatan dalam berbahasa, kemampuan untuk berefleksi secara luas, keyakinan dalam pengambilan keputusan, rasa keadilan dan hati nurani yang sensitif. Hal itu pula yang menyebabkan nobility menjadi karakter utama yang melekat pada hakim.Bias Personal dalam Mengadili PerkaraHakim merupakan pemangku dan pelaksana kekuasaan kehakiman. Dipersonifikasikan dalam sosok manusia terpilih yang disebut “kadi”, digambarkan sebagai Dewi Themis dengan mata tertutup sebagai simbol kenetralan dan imparsialitas. Tidak akan menengok ke kanan atau kiri atau bermain mata dengan salah satu pihak yang berperkara. Dalam ajaran filsafat hukum klasik, hakim itu harus lurus mengikuti “kewajiban tak bersyarat” tanpa boleh ada niat untuk berpikiran culas. Maka itu, menurut Montesquie, hakim hanya berperan sebagai la bouche qui prononce les paroles des lois (sebatas corong yang membunyikan kata-kata undang-undang) semata.Dengan melihatnya dalam struktur organisasi dan secara mekanis, hal itu menjadikan hakim sebagai orang yang bebas nilai dan bersih dari kepentingan. Dlepaskan dari segala yang bersifat manusiawi dan terhindar sama sekali dari pengaruh lingkungan. Persoalannya adalah bagaimana mungkin hakim dapat bekerja menganalisis kasus dengan hanya ”murni” mendasarkan diri pada norma hukum yang berlaku. Dalam realitasnya, hakim adalah juga manusia yang sangat dipengaruhi oleh identitas yang beragam. Sejarah kehidupan, etnisitas, dan tradisi kultural, kelas, keyakinan agama, pandangan politis, kelas, gender, bahkan ideologi keilmuan. Dengan demikian, putusan “yuridis-normatif” sebenarnya juga mengandung klaim “sosiologis-kultural” sejalan dengan keberagaman dan tumpang tindih identitas dalam diri seorang hakim. Hakim adalah seorang manusia.Hakim juga produk dari masyarakat. Pergeseran nilai dan sikap permisif terhadap perbuatan yang melanggar hukum langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi hakim, termasuk dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, mengadili perkara.Imparsialitas hakim dalam mengadili perkara, sangat terkait dengan prinsip hak asasi manusia. Kesetaraan, dimana pada situasi yang sama manusia harus diperlakukan sama, dan pada situasi yang berbeda manusia diperlakukan secara berbeda pula. Sedangkan prinsip berikutnya adalah non diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika setiap orang diperlakukan atau memiliki kesempatan yagn tidak secara seperti inequality before the law, inequality of treatment, or education opportunity. Dalam konteks menjalankan persidangan, imparsialitas hakim harus terwujud baik dalam proses persidangan maupun putusan yang dihasilkannya. Imparsialitas hakim harus didasarkan pada kemampuan yang dimiliki (expertise), pertanggungjawaban dan ketaatan kepada kode etik dan pedoman perilaku.Personal bias dilarang muncul dan diminta untuk dihindari oleh hakim agar bisa bersikap imparsial dan objektif dalam mengadili suatu perkara. Namun secara alami setiap manusia memiliki bias. Karena sifatnya unik, maka kebanyakan orang tidak menyadari atau tidak merasa dirinya memiliki bias sebagaimana orang-orang lainya. Personal bias dapat diartikan sebagai kecenderungan, preferensi, favoritisme yang berpotensi menimbulkan keperpihakan yang disebabkan pengaruh yang bersifat internal dan personal. Usia, generasi, agama, nilai-nilai, pola asuh dan berbebagai latar belakang hakim dapat mempengaruhi personal bias. Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum menunjukkan hal tersebut.  Meski hukum acara maupun kode etik dan pedoman perilaku yang digunakan sama, ternyata dalam implementasinya terdapat bias personal diantara hakim dalam mengadili perkara sejenis. Diperlukan pedoman untuk menghindarkan hakim dari personal bias dan menjamin imparsialitas hakim.Selain personal bias, dikenal pula unconscious bias. Kondisi dimana penilaian atau keputusan diambil berdasarkan pengalaman sebelumnya, pola pikir mendalam pribadi, asumsi atau interpretasi yang tidak disadari. Cenderung percaya bahwa telah menjadi yang terbaik dan tidak berprasangka buruk dibanding yang lain. Dalam praktek persidangan, masih sering terjadi personal bias maupun unconscious bias tanpa disadari. Pengajuan pertanyaan yang menyebutkan tindak pidana kepada terdakwa telah menempatkan seolah hakim telah menggangap terbuktinya kesalahan. Atau dalam keadaan tertentu, hakim menasehati terdakwa, jika berlebihan tentu akan dapat mengganggu imparsialitas hakim. Baik personal bias maupun unconscious bias harus dapat dihindari oleh hakim ketika menjalankan tugasnya. Hakim dituntut dapat menunjukkan bahwa pertimbangan hukum atau penafsiran hukum ataupun putusan yang diambil dalam perkara yang disidangkannya bukan sekedar pandangan subyektif. Hakim harus obyektif dan netral tanpa pandangan/indeologi politik. Hakim  dan pengadilan adalah cold neutrality. Pentingnya Pemahaman Hak Asasi Manusia bagi HakimMenjadi menarik, ketika personal bias dan unconscious bias adalah hal yang alami, sedangkan hakim selalu menjaga netralitasnya. Untuk menjamin sikap imparsial, hakim dapat melakukan pendekatan secara psikologi sebagaimana yang disampaikan Frith.Merenungkan kembali dengan meluangkan waktu untuk melihat apakah proses berpikir telah mempengaruhi obyektifitas pengambilan keputusan. Secara tidak sadar manusia, termasuk hakim, mendiskriminasi dengan lebih mendukung hal-hal yang terasa ‘alami’ dan ‘benar’ dibanding hal yang kurang familiar. Hakim harus lebih waspada (alert) ketika menemui hal-hal yang bersifat asing ketika mengadili perkara. Memotivasi diri dan meningkatkan pengetahuan tentang kelompok lain dapat menjadi jalan untuk mengurangi diskriminasi yang muncul di alam bawah sadar.Dalam pengambilan keputusan hakim dapat meningkatkan kualitas jika memiliki komitmen untuk mempertanyakan stereotip budaya.  Musyawarah majelis hakim dapat dipergunakan untuk mendeteksi bias yang mungkin muncul dan saling mengujinya secara obyektif diantara hakim. Dalam konteks ini, persepektif dan pengetahuan hakim yang memadai mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan cara-cara yang dapat digunakan oleh hakim, dengan kewenangannya, untuk mengakomodir prinsip-prinsip tersebtu menjadi penting. Mengurangi dan meminimalisir personal bias maupun unconscious bias dalam proses penilaian fakta, penafsiran hukum dalam pengambilan keputusan.Pada akhirnya, ketika hakim telah bertindak imparsial, bahkan sejak dalam pikiran saat menjalankan tugasnya mengadili akan melahirkan lingkungan ideal bagi perlindungan hak asasi manusia di pengadilan. Melengkapi prasyarat penting berupa independensi dan imparsialitas pengadilan dalam proses persidangan dan memutus perkara secara fair. Hakim telah menjalankan tugas negara, menjadi duty bearer dalam perlindungan hak asasi manusia. Semoga.

Panitera Pengganti, Bukan Sekedar Mencatat Persidangan

article | Opini | 2025-05-28 14:00:44

Keadilan tidak hanya lahir dari ketukan palu hakim, tetapi juga dari kolaborasi yang harmonis antara hakim dan panitera pengganti. Keduanya ibarat “kopi dan gula”, berbeda bentuk, rasa, dan fungsi, namun saat disatukan mampu menciptakan cita rasa yang utuh dan bermakna. Hakim mengambil keputusan berdasarkan hukum dan nurani, sementara panitera pengganti mencatat, menyusun, dan menjaga jejak setiap proses hukum agar tercermin dengan benar dalam berita acara persidangan. ”Di balik keputusan yang adil, terdapat dokumentasi yang akurat; di balik proses yang tertib, ada kerja sunyi yang teliti”. Kurangnya pemahaman terhadap peran panitera pengganti oleh banyak pihak menjadi salah satu kendala dalam kelancaran proses peradilan, namun proses pelayanan tetap harus dijalankan. Keberadaan panitera pengganti sebagai bagian integral dalam proses peradilan memiliki dasar hukum yang jelas dalam berbagai regulasi perundang-undangan, mengenai panitera pengganti diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang memperkuat peran dan tanggung jawabnya dalam proses peradilan. Dalam Pasal 8 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa setiap sidang harus dibuat berita acara yang ditandatangani oleh hakim dan panitera, menunjukkan pentingnya peran panitera pengganti. UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum juga menegaskan bahwa panitera pengganti bertugas membantu hakim dalam persidangan dan bertanggung jawab atas berita acara. Selain itu, Perma No. 7 Tahun 2016 mengatur disiplin kerja aparatur pengadilan, termasuk panitera pengganti. Secara teknis, tugas mereka juga dijabarkan dalam SEMA No. 2 Tahun 2014 dan SOP yang ditetapkan oleh Dirjen Badilum. Sebagai ASN, panitera pengganti juga tunduk pada PP No. 94 Tahun 2021 tentang disiplin PNS. Semua ketentuan ini menjadi landasan penting dalam pelaksanaan tugas panitera pengganti secara profesional dan akuntabel. Panitera pengganti memiliki tugas penting dalam membantu panitera, terutama dalam hal pencatatan sidang, pengelolaan dokumen, dan memastikan jalannya persidangan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun, karena fungsi dan tanggung jawab mereka kurang diketahui secara luas, sering kali terjadi salah pengertian atau ketidak efektifan komunikasi antara panitera pengganti dengan pihak-pihak terkait, baik di lingkungan pengadilan maupun masyarakat yang berurusan dengan pengadilan. Kondisi ini dapat berdampak negatif pada proses administrasi perkara, yang pada akhirnya berpotensi menghambat keadilan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Oleh karena itu, peningkatan sosialisasi dan edukasi mengenai peran panitera pengganti sangat diperlukan agar semua pihak dapat memahami dan mendukung tugas mereka secara optimal. Panitera pengganti sering menghadapi keterbatasan fasilitas dan dukungan yang berdampak pada kinerja mereka dalam menjalankan tugas. Baik dari segi sarana kerja seperti ruang kantor yang memadai, perangkat teknologi, maupun akses terhadap sumber daya pendukung lainnya, masih banyak kekurangan yang dirasakan oleh panitera pengganti di berbagai pengadilan. Selain itu, perlu meningkatkan program pengembangan karir panitera pengganti yang berkelanjutan demi meningkatkan profesionalisme dan kualitas pelayanan di pengadilan. Persidangan juga didukung oleh panitera dan panitera pengganti agar semua berjalan lancar dan tertib secara prosedural. Hilangnya satu komponen, khususnya panitera pengganti, bisa membuat proses persidangan menjadi tidak lengkap dan menghambat jalannya perkara. Status dan posisi panitera pengganti di pengadilan masih sering dipandang sebelah mata jika dibandingkan dengan panitera atau hakim, sehingga mereka kurang mendapatkan perhatian secara profesional. Persepsi ini menyebabkan panitera pengganti sering kali dianggap sebagai tenaga pendukung semata, bukan sebagai bagian penting dalam proses peradilan. Akibatnya, penghargaan terhadap kontribusi mereka dalam menjalankan administrasi perkara dan mendukung kelancaran sidang menjadi kurang optimal. Pandangan yang kurang menguntungkan ini juga berpengaruh pada kesempatan mereka untuk memperoleh pelatihan, peningkatan karir, dan pengakuan yang layak. Untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih efektif dan berkeadilan, pentinguntuk mengubah mindset tersebut dan memberikan penghargaan serta perlakuan profesional yang setara kepada panitera pengganti. Pada prinsipnya, panitera pengganti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam majelis persidangan dan memegang peran penting dalam kelancaran proses peradilan. Oleh karena itu, penghargaan dan perhatian yang memadai terhadap panitera pengganti sangatlah penting. Panitera pengganti akan termotivasi untuk menjalankan tugasnya dengan profesionalisme dan penuh tanggung jawab. Perhatian yang diberikan tidak hanya meningkatkan kualitas kerja mereka dalam mencatat dan mengelola administrasi persidangan, tetapi juga memastikan proses peradilan berjalan efektif dan adil. Selain itu, penghargaan tersebut juga dapat menumbuhkan rasa loyalitas dan integritas yang tinggi, sehingga meminimalisir kesalahan dan penyimpangan selama persidangan. Dengan demikian, keberlangsungan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan sangat bergantung pada bagaimana penghargaan dan perhatian diberikan kepada panitera pengganti sebagai salah satu pilar penting dalam majelis persidangan. Pengembangan program kompetisi bagi panitera pengganti merupakan langkah strategis dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme mereka. Salah satu aspek penting yang dapat menjadi fokus dalam program ini adalah pembelajaran tata cara penulisan yang benar, terutama dalam penyusunan berita acara persidangan dan dokumen resmi lainnya. Melalui kompetisi yang dirancang secara terstruktur, panitera pengganti tidak hanya diasah kemampuan teknisnya, tetapi juga didorong untuk memahami serta menerapkan kaidah bahasa hukum yang baik dan benar. Dengan demikian, kualitas hasil kerja mereka akan semakin akurat, tertib secara administrasi, dan mampu mendukung terwujudnya proses peradilan yang efektif dan kredibel. Saat ini, panitera pengganti di lingkungan peradilan umum telah memiliki akses terhadap berbagai wadah pembelajaran yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun, seperti pelatihan daring, modul digital, maupun platform pembelajaran terpadu yang disediakan oleh lembaga peradilan. Salah satu sarana yang dapat dimanfaatkan adalah platform Badilum Learning Center (BLC), yang menjadi media pembelajaran dan peningkatan kompetensi bagi panitera pengganti serta tenaga teknis lainnya di lingkungan peradilan umum. Kehadiran berbagai sarana ini merupakan peluang besar untuk menumbuhkan budaya belajar, sekaligus mendorong pengembangan diri secara mandiri dan berkelanjutan. (LDR/YPP)

Green Court, Pilar Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

article | Opini | 2025-05-28 11:00:05

Dalam lanskap global yang kian menekankan prinsip keberlanjutan, lembaga peradilan juga dituntut untuk tidak hanya menegakkan keadilan antar-individu, tetapi juga turut berpartisipasi aktif dalam menjaga keberlanjutan bumi dan kelangsungan hidup generasi mendatang. Di tengah tantangan perubahan iklim, degradasi lingkungan, serta tuntutan efisiensi sumber daya, muncul gagasan Green Court sebagai pendekatan bagi lembaga peradilan untuk menerapkan prinsip ramah lingkungan dalam semua aspek manajemen dan pelayanannya. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) Mahkamah Agung RI telah menunjukkan langkah progresif melalui berbagai inovasi, salah satunya dengan mengakselerasi digitalisasi administrasi perkara sebagaimana dituangkan dalam Surat Ditjen Badilum Nomor 223/DJU/TI1.1/II/2025, yang menjadi tonggak penting dalam membangun peradilan modern yang berwawasan lingkungan. “Pengadilan hijau” bukan semata soal mengurangi penggunaan kertas, tetapi juga menumbuhkan budaya kerja baru berupa kesadaran ekologis. Dengan tulisan ini kita dapat mengulas kembali langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung RI dan Ditjen Badilum sekaligus sebagai bentuk apresiasi atas capaian-capaian tersebut, serta merefleksikan kembali gagasan pengembangan Green Court agar semakin terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan di masa mendatang. Digitalisasi Register Pengadilan sebagai Fondasi Green Court Transformasi administrasi peradilan menuju sistem elektronik menjadi tonggak penting dalam membangun peradilan hijau di Indonesia. Salah satu langkah konkret yang patut diapresiasi adalah kebijakan Ditjen Badilum melalui penerbitan Surat Nomor 223/DJU/TI1.1/II/2025 tentang pemberian izin pelaksanaan register elektronik tahap II kepada seluruh Pengadilan Negeri yang telah memenuhi kriteria implementasi tahap I. Kebijakan ini tidak hanya memperkuat modernisasi tata kelola perkara, tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. Penerapan register elektronik memungkinkan seluruh proses pencatatan perkara, pemeliharaan data, hingga pelaporan administrasi, dilakukan secara digital tanpa lagi mengandalkan sistem berbasis dokumen fisik. Dengan demikian, kebutuhan akan penggunaan kertas, tinta, serta pengangkutan dokumen berkurang secara signifikan. Multiplier effect dari perubahan ini bukan hanya efisiensi biaya, tetapi juga pengurangan konsumsi sumber daya alam dan meminimalisir dampak ekologis, seperti deforestasi untuk produksi kertas atau emisi karbon dari aktivitas distribusi fisik. Kewajiban backup database, backup aplikasi, dan sinkronisasi sistem bagi pengadilan di seluruh Indonesia merupakan wujud dari pembangunan manajemen informasi berbasis teknologi yang unggul, tangguh, dan berkelanjutan. Digitalisasi tidak semata-mata berorientasi pada kecepatan pelayanan, melainkan juga bagian integral dari upaya menjadikan lembaga peradilan sebagai institusi yang adaptif terhadap tantangan kemajuan zaman dan lingkungan hidup. Sebagai landasan awal dari Green Court, digitalisasi register elektronik mengajarkan sebuah pelajaran penting, bahwa inovasi di bidang hukum dan peradilan tidak boleh dipisahkan dari tanggung jawab ekologis. Ketika administrasi perkara menjadi lebih hijau, pengadilan pun turut berkontribusi terhadap cita-cita besar membangun keadilan yang komprehensif, yakni adil bagi umat manusia, adil pula bagi alam semesta. Green Innovation dalam Layanan Peradilan Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, layanan peradilan kini dituntut untuk bertransformasi menjadi lebih adaptif, inklusif, dan berwawasan lingkungan. Mahkamah Agung RI dan Ditjen Badilum telah mengarahkan kebijakan pengembangan layanan publik yang tidak hanya berorientasi pada kecepatan dan transparansi, tetapi juga pada efisiensi ekologis melalui berbagai terobosan berbasis teknologi. Implementasi aplikasi seperti e-Court, e-Litigation, SATU JARI, PERKUSI, dan LENTERA menunjukkan penerapan prinsip Green Court secara menyeluruh, baik dalam proses beracara maupun pengelolaan teknis administrasi pengadilan. Tahapan seperti pendaftaran perkara, pembayaran biaya, pengajuan dokumen, hingga persidangan dapat dilakukan secara elektronik atau daring, sehingga mengurangi kebutuhan mobilitas fisik dan konsumsi kertas. Selanjutnya aplikasi SATU JARI digunakan untuk pemantauan kinerja pengadilan secara daring, PERKUSI mempermudah pengawasan pelaksanaan eksekusi putusan secara elektronik, dan LENTERA menyediakan layanan persuratan bagi aparatur peradilan umum secara digital. Integrasi sistem ini secara nyata mendukung efisiensi kerja, meningkatkan transparansi, serta meminimalisir jejak karbon dalam pelaksanaan tugas peradilan. Dengan integrasi seluruh sistem tersebut, Ditjen Badilum kini bergerak menuju ekosistem kerja yang lebih efisien, transparan, dan berwawasan lingkungan. Pengurangan mobilitas fisik, minimalisasi penggunaan kertas, serta optimalisasi sistem elektronik adalah wujud nyata komitmen Ditjen Badilum dalam mendukung pembangunan berkelanjutan melalui inovasi yang terukur dan berorientasi masa depan. Semua inovasi tersebut mencerminkan pendekatan holistik dalam membangun ekosistem peradilan modern yang selaras dengan nilai-nilai pembangunan berkelanjutan. Dengan membangun layanan publik berbasis teknologi, peradilan umum Indonesia menegaskan posisinya sebagai pelopor transformasi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan. Visi Pembangunan Ekosistem Green Court Nasional Digitalisasi dan inovasi layanan teknologi telah meletakkan fondasi menuju terbentuknya ekosistem Green Court yang lebih terstruktur. Ke depan, ‘transformasi hijau’ perlu diperluas ke seluruh aspek operasional pengadilan, termasuk perencanaan infrastruktur, pola kerja, hingga regulasi internal. Penerapan konsep green building dalam pembangunan gedung pengadilan menjadi langkah strategis, dengan mengutamakan efisiensi energi, pemanfaatan sumber daya terbarukan, dan pengelolaan limbah secara bertanggung jawab. Bersamaan dengan itu, budaya kerja hijau seperti paperless office, pengurangan plastik sekali pakai, serta edukasi lingkungan bagi aparatur peradilan perlu diinternalisasi secara konsisten. Agar upaya ini berjalan sistematis dan berkesinambungan, penulis berpendapat perlu adanya penyusunan Green Court Guidelines oleh Mahkamah Agung RI sebagai pedoman standar mengenai penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan di seluruh satuan kerja badan peradilan. Panduan ini dapat mencakup aspek desain gedung, tata kelola teknologi, standar operasional layanan, hingga keterlibatan masyarakat dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Dengan visi yang terencana, Green Court tidak sekadar menjadi simbol modernisasi, melainkan menjadi pilar penting dalam agenda pembangunan berkelanjutan nasional. Lembaga peradilan tidak boleh hanya menjadi tempat penegakan keadilan antar-individu, tetapi juga agen perubahan (agent of change) yang memperjuangkan keberlanjutan kehidupan secara menyeluruh, dari ruang sidang hingga ruang hidup masyarakat. Membangun peradilan hijau merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan institusional untuk menjawab tantangan zaman. Mahkamah Agung RI dan Ditjen Badilum telah menunjukkan langkah nyata melalui transformasi digital administrasi perkara dan pengembangan inovasi layanan berbasis teknologi ramah lingkungan. Implementasi register elektronik, perluasan e-Court, serta optimalisasi pelayanan daring mencerminkan kesungguhan peradilan umum dalam menghadirkan pelayanan yang tidak hanya efektif, tetapi juga berwawasan keberlanjutan. Namun, langkah awal ini harus dilanjutkan dengan pengembangan visi yang lebih komprehensif. Perluasan prinsip hijau ke dalam desain gedung, budaya kerja, serta standar operasional prosedur di pengadilan menjadi keniscayaan untuk memperkokoh peradilan sebagai agen pembangunan berkelanjutan. Penyusunan Green Court Guidelines akan menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa setiap satuan kerja di seluruh penjuru negeri, bergerak serentak dalam semangat yang sama. Dengan komitmen yang terjaga, inovasi yang berkelanjutan, dan kesadaran kolektif yang kuat, Badan Peradilan Umum berpeluang besar untuk tidak hanya menjadi pelopor dalam pelayanan hukum berbasis teknologi, tetapi juga dalam penguatan ekosistem hijau nasional. Melalui pengadilan hijau, kita tidak hanya menegakkan keadilan untuk hari ini, tetapi juga menanamkan keadilan bagi masa depan.[LDR/AAR]

Mencari Akar Gratifikasi: Dari Romawi, Sriwijaya hingga UU Tipikor

article | Opini | 2025-05-28 09:10:48

ISTILAH gratifikasi sudah dikenal sejak zaman Romawi kuno. Di mana pada saat itu gratifikasi yang dikenal di mana individu memberikan hadiah kepada pejabat publik yang saat itu berpengaruh dengan harapan dari pemberiannya tersebut, akan mendapat perlakuan khusus berupa keuntungan yang didapat. Praktik gratifikasi di Indonesia pada awalnya ditemukan dalam catatan seorang Biksu Buddha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke-7, di mana pedagang dari Champa serta Cina yang datang berusaha untuk membuka perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya yang pada saat itu yaitu pada tahun 671 M merupakan pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Para pedagang dari Champa dan Cina tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga kerajaan Sriwijaya pada saat akan bertemu pihak kerajaan Sriwijaya untuk membahas mengenai masalah perdagangan. Praktik pemberian tersebut dimaksud untuk mempermudah komunikasi dan menjalin hubungan baik antara pedagang dari Champa dan Cina agar dikenal baik oleh kerajaan Sriwijaya.Berdasarkan catatan sejarah di atas, pada prinsipnya tujuan dari pemberian gratifikasi merupakan upaya untuk memperoleh manfaat baik langsung maupun tidak langsung agar terhadap kepentingan dari si pemberi dapat diperhatikan oleh pejabat publik atau penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu kebijakan. Praktik gratifikasi yang saat ini ada di masyarakat, menganggap bahwa pemberian hadiah/gratifikasi merupakan sesuatu yang lumrah bahkan merupakan sesuatu hal yang penting dalam hal “kohesi sosial” dalam masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, apabila terhadap praktik gratifikasi ini tidak diatur, maka dikhawatirkan sebagai cikal bakal dari praktik korupsi di kemudian hari. Oleh sebab itu, praktik gratifikasi seyogyanya perlu untuk diatur dalam ketentuan peraturan guna membatasi terhadap praktik-praktik gratifikasi yang lebih mengarah kepada upaya “balas budi” bagi si penerima kepada si pemberi yang mengakibatkan kebijakan yang dikeluarkan tidak bersifat objektif dan sarat akan konflik kepentingan. Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan gratifikasi di Indonesia serta ratio legis dari pengaturan tersebut.Pengaturan GratifikasiPengaturan gratifikasi saat ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) yang mana dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) yang mendefinisikan bentuk dari gratifikasi. Dengan demikian, sebagai upaya untuk menghindari konflik kepentingan tersebut, Mahkamah Agung selaku penyelenggara negara telah membuat kebijakan dan pedoman melalui Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Pengendalian Gratifikasi pada Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, serta telah diikuti dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pelaporan Gratifikasi sebagai bentuk mendorong pencegahan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Mahkamah Agung termasuk di dalamnya badan peradilan umum.Apabila dicermati dalam ketentuan Pasal 12 B ayat 1, UU 20/2001, definisi dari gratifikasi hanya sebatas pada bentuk gratifikasi bukan definisi yang menjelaskan apa itu gratifikasi. Oleh sebab itu, makna gratifikasi dalam Pasal 12 B ayat 1 memiliki makna yang netral, yaitu bisa bermakna positif dan juga bermakna negatif, itulah yang menyebabkan terhadap gratifikasi ada yang berupa gratifikasi wajib dilaporkan, dan tidak wajib dilaporkan berdasarkan kriteria dan ketentuan yang telah diatur. Sifat netral dalam definisi gratifikasi itulah yang menyebabkan kalimat dalam peraturan disebut sebagai “pengendalian” bukan “pencegahan” sebab pada dasarnya tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan gratifikasi yang terbatas pada unsur Pasal 12 B ayat 1 UU 20/2001 dan peraturan lainnya yang termasuk ke dalam kategori gratifikasi yang dilarang atau dengan kata lain, gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas pada prinsipnya wajib ditolak dan penolakan wajib dilaporkan sebagaimana termuat dalam Keputusan Bawas Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025;Pelaporan atas penerimaan gratifikasi yang wajib dilaporkan merupakan sesuatu hal yang penting, karena terhadap gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang termasuk ke dalam gratifikasi yang wajib dilaporkan, yaitu yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban tugasnya, dianggap sebagai pemberian suap apabila tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Oleh sebab itu, Keputusan Bawas Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025 memberikan pedoman untuk pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) yang terdiri atas UPG Pusat dan UPG Satuan Kerja yang memiliki tugas di antaranya adalah; (i) Menerima, menganalisis, dan mengadministrasikan laporan penerimaan gratifikasi dari hakim dan aparatur pengadilan; (ii) Meneruskan laporan penerimaan gratifikasi kepada KPK; dan (iii) Melakukan sosialisasi aturan gratifikasi kepada pihak internal dan eksternal. Hal itu sebagai wujud rasa semangat dari Mahkamah Agung guna melakukan pengendalian terhadap penerimaan gratifikasi.Menghindari Konflik KepentinganMemahami gratifikasi dengan cara membedakan suatu pemberian hadiah yang merupakan ke dalam kategori dilarang atau diperbolehkan, dapat dilihat dari sebuah contoh kasus ketika seorang siswa yang datang kepada guru untuk meminta fotokopi dari rangkuman materi pelajaran lalu guru tersebut memberikan, maka hal tersebut merupakan pemberian antara siswa dan guru yang wajar dan diperbolehkan. Hal ini akan berbeda ketika orang tua siswa datang kepada guru lalu memberikan sejumlah uang pada saat pengambilan rapor dengan harapan agar nilai dari si anak dapat diperhatikan, merupakan pemberian gratifikasi yang ilegal atau dilarang sebab terdapat konflik kepentingan atau bertolak belakang dengan kewajiban atau tugas;Dengan kata lain, pemberian hadiah kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri perlu untuk mengidentifikasi terkait dengan; (i) apa motif dari pemberian hadiah tersebut, apakah berkaitan dengan tugas dan kewajiban atau dapat memengaruhi keputusan sebagai pejabat publik; (ii) apakah pemberian tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di suatu masa yang akan datang; dan (iii) bagaimana kepantasan nilai dan frekuensi pemberian yang diterima. Ketiga ukuran tersebut merupakan sesuatu yang beralasan mengingat pemberian hadiah kepada penyelenggara negara dapat berakibat pada terbentuknya konflik kepentingan, selain dikhawatirkan dapat memengaruhi pembuatan kebijakan ke depannya juga akan berdampak pada; (i) memengaruhi objektivitas dan profesionalitas; (ii) mengaburkan tindak pidana korupsi; dan (iii) adanya vested interest dan kewajiban timbal balik sehingga tidak lagi independen.Oleh sebab itu, untuk menghindari adanya konflik kepentingan yang timbul, hendaknya seluruh penyelenggara negara atau pegawai negeri dapat membuat suatu declaration of interest dan komitmen untuk tidak menggunakan kepentingan pribadi, guna memberikan pelayanan dan kebijakan yang objektif. Mulai dari lingkungan keluarga dengan mewujudkan prinsip kesederhanaan lalu diikuti di dunia kerja dengan mengedepankan profesionalitas dan kejujuran.

Dana Tabungan Pensiun Hakim, Kenapa Tidak?

article | Opini | 2025-05-27 10:05:09

DALAM berbagai pidato resmi maupun wawancaranya, Presiden Prabowo Subianto, selaku Kepala Negara, secara langsung menyampaikan keberpihakannya pada kesejahteraan para Hakim di Indonesia. Saat memberikan sambutan dalam acara resmi Laporan Tahunan Mahkamah Agung, pada 19 Februari 2025, Presiden Prabowo menekankan pentingnya kesejahteraan Hakim. Saat itu, Presiden menyampaikan: "Beban saudara sangat berat, karena setiap rakyat kita bergantung kepada putusan saudara. Rakyat kita berharap keadilan, rakyat kita apalagi yang paling lemah paling miskin dan tidak berdaya, tempat terakhir mereka mencari keadilan adalah kepada para hakim. Saya bertekad untuk bekerja sama dengan legislatif, kita akan bicarakan bagaimana memperbaiki kualitas hidup semua hakim”.Dalam keterangan resmi lainnya, Presiden Prabowo pada 2 Mei 2025 kembali menegaskan komitmennya dengan mengatakan: "Saya sedang merencanakan juga bagaimana manaikkan gaji para hakim kita, agar hakim kita nanti tidak bisa disogok, tidak bisa dibeli, sehingga hukum dilaksanakan dan ditegakkan dengan baik."Bak gayung bersambut, kini Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan lainnya secara intensif melakukan pembahasan dalam rangka tindak lanjut kebijakan Presiden Prabowo dan tindak lanjut sejumlah ketentuan dalam PP No. 44 Tahun 2024 mengenai pengaturan penyesuaian gaji pokok Hakim dan penghasilan pensiun Hakim. (Sumber: Instagram @pustrajak.mahkamahagung.ri pada 8 Mei 2025).HAKIM SAAT PENSIUN: DAPAT APA?Masa pensiun merupakan masa yang pasti akan dialami oleh setiap Hakim. Bagi sebagian Hakim, masa pensiun akan dianggap sebagai masa yang menakutkan dan tidak mengenakkan, karena seorang Hakim akan berhenti dari pekerjaan yang sudah secara rutin dilakukan selama bertahun-tahun dan sebagai konsekuensi pastinya akan menyebabkan kehilangan penghasilan yang selama ini menopang kehidupannya.Bagi seorang Hakim, statusnya sebagai pejabat negara telah memberikan jaminan Hak Pensiun. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 PP No. 44 Tahun 2024, disebutkan bahwa penghasilan pensiun Hakim setiap bulan dihitung berdasarkan gaji pokok Hakim pada golongan ruang terakhir, ditambah dengan tunjangan beras dan tunjangan keluarga yang nominalnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Lampiran I PP No. 94 Tahun 2012, disebutkan bahwa gaji pokok Hakim golongan ruang terakhir IV/e dengan masa kerja 32 Tahun (paling maksimal) adalah Rp4.978.000. Artinya, jumlah Hak Pensiun yang akan diterima oleh Hakim setelah memasuki masa pensiun adalah paling banyak Rp4.978.000 ditambah tunjangan beras dan tunjangan keluarga. Dengan jumlah Hak Pensiun yang demikian ditambah dengan faktor inflasi, perubahan daya beli masyarakat, dan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, maka sudah tentu seorang Hakim membutuhkan kemandirian finansial yang lebih kuat untuk menopang hidup dan kehidupannya setelah memasuki masa pensiun. Hal ini yang menjadi tantangan dan persoalan tersendiri: Apakah penghasilan pensiun Hakim cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di hari tua?MENGGAGAS DANA TABUNGAN PENSIUN HAKIM (DTPH)Sebelum gaji dan tunjangan jabatan Hakim (benar-benar) akan dinaikkan oleh negara dalam waktu dekat, ada hal yang menarik yang menurut penulis perlu menjadi kesadaran bersama, yaitu pentingnya menggagas suatu formula yang memungkinkan dilakukan oleh IKAHI dan Mahkamah Agung selaku organisasi induk para Hakim untuk melakukan pengelolaan dana yang bermanfaat bagi Hakim itu sendiri di masa pensiun.Salah satu diantara sekian banyak formula yang barangkali perlu digagas adalah konsep Dana Tabungan Pensiun Hakim (DTPH). Konsep ini secara yuridis dimungkinkan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, yang salah satu ketentuannya memberikan ruang kepada pemberi kerja untuk melakukan pengelolaan dana pensiun pemberi kerja (DPPK). Sejumlah institusi, misalnya Bank Indonesia, saat ini memiliki DAPENBI (Dana Pensiun Bank Indonesia) berdiri sejak 1972 dan berfokus pada pengelolaan kekayaan yang optimal dengan tingkat risiko yang moderat. Begitupun di lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memiliki DAPENOJK (Dana Pensiun OJK) berdiri sejak 2014 dan bertujuan untuk mengelola Dana Pensiun secara optimal melalui tata kelola yang baik dan memastikan pembayaran manfaat pasti bagi peserta pada waktunya serta senantiasa mengupayakan pemeliharaan kesejahteraan peserta.Konsep DTPH ini menekankan pada perlunya Hakim menyisihkan sejumlah dana yang bersumber dari gaji dan tunjangan jabatan saat ini untuk dikelola dalam rangka optimalisasi, yang manfaatnya nanti dapat diberikan pada saat Hakim tersebut memasuki masa pensiun Barr dan Diamond (2006) memberikan ilustrasi yang sangat relevan mengenai pentingnya pengelolaan dana pensiun. Menurutnya, tujuan utama program pensiun adalah consumption smoothing (proses yang mengalihkan sebagian konsumsi dari masa produktif ke masa pensiun) dan memberikan perlindungan kepada pesertanya di hari tua. Istilah consumption smoothing ini menjadi sangat relevan pula dengan kondisi faktual yang dialami oleh para Hakim. Sampai dengan saat ini, belum terdapat suatu mekanisme pengelolaan yang dapat menjembatani peralihan dana dari masa produktif (saat ini) ke masa pensiun. Dalam kalimat yang lebih sederhana, saat ini belum terdapat mekanisme yang memungkinkan Hakim mengalihkan sebagian penghasilannya hari ini untuk ditabung dan dioptimalisasi sebagai bekal di masa pensiun.Memang, saat ini telah menjamur program perbankan yang mampu mengakomodir jaminan hari tua yang memungkinkan Hakim dapat menggunakan layanan perbankan tersebut secara individu per individu. Namun demikian, gagasan untuk  mengelola  Dana Tabungan Pensiun Hakim secara kolektif oleh suatu lembaga pengelola dapat menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat ditempuh untuk memberikan jaminan hari tua yang lebih memadai.Pengelolaan Tabungan pensiun Hakim, misalnya, dapat dilakukan dengan mekanisme Defined Contribution (DC). Dalam konsep DC, besaran manfaat pensiun ditentukan oleh akumulasi iuran/tabungan yang disetorkan setiap bulannya beserta hasil pengembangannya.Dalam ilustrasi yang sederhana, kita asumsikan misalnya setiap Hakim menyisihkan Rp1.000.000 (satu juta rupiah) dari tunjangan jabatannya per-bulan untuk disimpan pada program Dana Tabungan Pensiun Hakim (DTPH). Selama 30 tahun masa kerja, jumlah Tabungan Hakim tersebut mencapai Rp360.000.000 (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Angka tersebut adalah angka minimal yang akan diperoleh seorang Hakim ketika memasuki masa pensiun. Apabila dana yang terkumpul dikelola secara modern, misalnya pengelola dana diberikan kewenangan melakukan investasi atau pengembangan dana, maka manfaat yang akan diperoleh ketika Hakim tersebut pensiun diproyeksikan akan melebihi jumlah minimal yang didapatkan. Dari sisi manfaat, dana Tabungan Hakim yang dikelola dan dikembangkan tersebut dapat digunakan paling tidak untuk 2 (dua) hal. Pertama, dapat digunakan untuk investasi pada sektor yang minim/rendah resiko yang manfaatnya akan diberikan kepada Hakim itu sendiri. Kedua, dapat digunakan untuk memberikan pinjaman lunak kepada para Hakim yang pada waktu-waktu tertentu membutuhkan dana segar untuk keperluan pribadi maupun keluarganya. Dengan tujuan yang demikian, maka selain manfaat ekonomis, manfaat secara sosial juga akan dapat diperoleh dan pada akhirnya rasa kebersamaan dan soliditas antar sesama Hakim semakin terpupuk.EPILOGSecara psikologis, gagasan pengelolaan dana pensiun Hakim akan lebih mudah diterima oleh para Hakim apabila dirangkaikan dengan momentum kenaikan gaji dan tunjangan jabatan Hakim yang dalam waktu dekat kita berharap benar-benar akan segera ditingkatkan oleh negara. Tentu saja, tantangan terbesar apabila gagasan ini disepakati adalah tentang siapa dan dalam bentuk apa dana pensiun Hakim ini dikelola? Oleh karenanya, tulisan ini bukanlah opini tunggal, melainkan dapat berkembang seiring dengan semakin banyaknya gagasan dan alternatif model pengelolaan dana pensiun Hakim yang lebih efektif dan efisien. Tulisan ini, sekali lagi, bermaksud untuk membentuk suatu diskursus baru di kalangan para Hakim dan mendorong IKAHI dan Mahkamah Agung untuk lebih proaktif dalam menyusun kebijakan yang berorientasi pada pengelolaan dana pensiun Hakim yang manfaatnya bisa dirasakan bersama dan mampu memberikan jaminan hidup dan kehidupan Hakim di hari tua yang lebih baik lagi. (AAR)Andi Aula RahmaHakim PN Donggala=====REFERENSI:1.        Barr, N. and Diamond, P. (2006). The economics of pensiuns. Oxford Review of Economic Policy, sebagaimana dikutip dalam Policy Paper “KAJIAN GRAND DESIGN SISTEM PENSIUN NASIONAL”, Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (Kemenkeu RI), 2022. 2.        PP 94 Tahun 2012 tentang HAK KEUANGAN DAN FASILITAS HAKIM YANG BERADA DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG dan perubahan-perubahannya.

Sebuah Harapan kepada Ketua PN Jakpus yang Baru

article | Opini | 2025-05-26 17:30:59

 Jakarta- Pengangkatan Dr Husnul Khotimah sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang baru adalah momen bersejarah bagi peradilan Indonesia. Sebagai perempuan ketiga dan termuda yang memimpin pengadilan dengan tingkat Kelas IA Khusus ini, kehadirannya datang di tengah gelombang perubahan besar setelah skandal suap yang mengguncang pengadilan-pengadilan Jakarta.  Namun lebih dari sekadar pergantian pimpinan, ini adalah pintu harapan bagi perubahan mendasar pada pengadilan yang menjadi etalase atau cermin sistem peradilan Indonesia.PN Jakarta Pusat sebagai Barometer Peradilan IndonesiaPengadilan Negeri Jakarta Pusat bukan pengadilan biasa di antara 347 Pengadilan Negeri di Indonesia. Dengan status Kelas IA Khusus yang hanya dimiliki 15 pengadilan di seluruh negeri—di mana hanya 5 di antaranya yang memiliki fungsi Niaga Kepailitan,—PN Jakarta Pusat mengemban peran penting sebagai cermin kredibilitas sistem peradilan Indonesia. Sebagai salah satu dari 5 Pengadilan Khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum dengan kewenangan memeriksa perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, PN Jakarta Pusat menjadi pusat penyelesaian sengketa bisnis terpenting di Indonesia. Peran sebagai ‘pengadilan etalase’ ini terlihat dalam berbagai hal. Pertama, kewenangannya yang mencakup seluruh Indonesia untuk perkara-perkara niaga, perselisihan hubungan industrial, korupsi, dan hak asasi manusia menempatkan PN Jakarta Pusat di garis depan penegakan hukum untuk kasus-kasus besar. Kedua, lokasinya di jantung politik dan ekonomi Indonesia membuatnya menjadi sorotan media dalam dan luar negeri.Namun justru posisi penting inilah yang membuat PN Jakarta Pusat rawan. skandal suap di antaranya perkara minyak sawit yang melibatkan perusahaan besar seperti PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group pada Maret 2025, diikuti penangkapan sejumlah hakim dan panitera muda pada April 2025, menunjukkan betapa rapuhnya kejujuran di pengadilan paling bergengsi sekali pun. Pergantian besar-besaran yang melibatkan 199 hakim dan 68 panitera secara nasional, dengan 61 hakim dari lima pengadilan Jakarta dipindahkan keluar Jakarta, menegaskan betapa mendesak perbaikan menyeluruh.Kepemimpinan Transformatif di Persimpangan Jalan Dr Husnul Khotimah mewarisi tantangan besar. Dengan pendidikan S1, S2, dan S3 dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, serta pengalaman 25 tahun berkarir di peradilan, jejak kariernya menunjukkan kemajuan yang terus-menerus. Pada Desember 2022, ketika PN Mojokerto naik kelas dari IB menjadi IA, ia dipercaya mengisi posisi penting sebagai Wakil Ketua PN Mojokerto Kelas IA—menggantikan penulis yang dimutasi menjadi Ketua PN Bantul. Proses peralihan ini memberikan kesempatan penulis untuk mengenal karakter dan kemampuan beliau secara langsung.  Kepercayaan MA untuk menempatkannya di pengadilan yang sedang mengalami perubahan kenaikan kelas menunjukkan pengakuan terhadap kemampuan kepemimpinannya. Lompatan kariernya dari Wakil Ketua PN Mojokerto (2023) ke Ketua PN Balikpapan Kelas IA (2024), kemudian ke PN Jakarta Pusat Kelas IA Khusus (2025), menandakan kepercayaan Mahkamah Agung yang semakin kuat terhadap kemampuannya.Namun kepercayaan ini harus dibuktikan melalui kepemimpinan yang benar-benar mengubah untuk mewujudkan cita-cita Prof Dr H Sunarto tentang "Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung"yang disampaikan dalam pembinaan di Gedung Mahkamah Agung pada Jumat, 23 Mei 2025, dimana seluruh hakim di wilayah Jakarta dikumpulkan untuk mendapat bekal administrasi dan teknis kehakiman. Pembinaan hari itu sangat berkesan karena untuk pertama kalinya Ketua MA yang dikenal tenang dan santun, tampak marah dan kecewa. "Ingat mati. Kullu nafsin dzā'iqul maut. Memangnya tidak akan mati, sehingga tak takut berbuat nista?" serunya dengan penuh kekecewaan. "Hakim memang bukan malaikat, tapi bukan berarti memilih menjadi setan!" Kemarahan beliau bukan kemarahan biasa, melainkan kemarahan yang lahir dari kepedulian mendalam terhadap luka yang terus terbuka: penangkapan demi penangkapan petugas peradilan yang menodai nama baik lembaga. Dalam pembinaan yang sama, Prof Sunarto juga mengungkap filosofi kepemimpinannya yang memilih tindakan daripada janji-janji kosong: "Saya selalu dikejar-kejar media bukan saya tidak mau diwawancarai... karena bagi saya, wawancarai saya nanti di saat akhir kepemimpinan saya baru tanyalah apa yang telah kau perbuat Sunarto?” Karena bagi saya kalau sekarang ditanya pasti pertanyaannya APA YANG AKAN BAPAK PERBUAT sebagai Ketua MA yang baru, “kalau saya akan... saya akan... semua orang bisa seperti itu 'saya akan'... nantilah kalau mau wawancara dengan saya." Pernyataan ini mencerminkan komitmen beliau untuk diukur berdasarkan hasil nyata, bukan retorika.Saat pembinaan tersebut, Dr. Husnul Khotimah belum dapat mengikuti karena belum dilantik sebagai Ketua PN Jakarta Pusat. Posisi ketua masih dijabat oleh Hendri Tobing, S.H., M.H. yang kemudian diangkat menjadi Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Medan. Pada saat yang sama, dalam Tim Promosi dan Mutasi yang akan bergabung, hakim-hakim dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan para Asisten Hakim Agung akan turun gunung menjadi hakim di PN Jakarta Pusat—sebuah langkah strategis yang menunjukkan keseriusan Mahkamah Agung dalam memperkuat kualitas dan kredibilitas di pengadilan paling strategis ini. Namun dalam TPM (Tim Promosi Mutasi) yang sama, beberapa hakim senior yang menguasai bidang niaga/kepailitan dan tipikor juga dimutasikan keluar dari PN Jakarta Pusat. Hal ini menambah rumitnya tantangan bagi Dr. Husnul Khotimah, karena perkara niaga dan kepailitan membutuhkan hakim-hakim berpengalaman yang memahami seluk-beluk hukum bisnis dan ekonomi yang rumit.Para hakim dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Asisten Hakim Agung yang ditempatkan di PN Jakarta Pusat akan membawa pengalaman dan standar kerja tingkat MA dalam penanganan perkara-perkara rumit, terutama yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual, Niaga, Tindak Pidana Korupsi, dan Hak Asasi Manusia. Namun bagi hakim-hakim baru yang pindahan dari Bawas dan Asisten Mahkamah Agung, tentu juga ada tantangan tersendiri saat nanti bertugas di PN Jakarta Pusat. Mereka yang selama ini sudah lama tidak bersidang secara langsung tentu nanti akan dihadapkan pada persidangan e-litigasi/e-court, pengaturan jadwal sidang, dan hal-hal teknis operasional lainnya yang berbeda dengan tugas pengawasan atau asistensi sebelumnya. Adaptasi dari peran pengawas atau pendamping menjadi hakim yang langsung menangani perkara memerlukan penyesuaian tidak hanya dalam aspek teknis, tetapi juga ritme kerja dan interaksi langsung dengan para pihak yang berperkara.Langkah ini mencerminkan komitmen Mahkamah Agung untuk memastikan bahwa pengadilan cermin Indonesia benar-benar dikelola dengan standar terbaik. Namun di sisi lain, keluarnya beberapa hakim senior yang berpengalaman menangani perkara niaga dan tipikor menciptakan kekosongan keahlian yang harus segera diisi. Bagi Dr Husnul Khotimah, situasi ini menjadi tantangan berlapis : memimpin tim campuran antara hakim-hakim dari MA yang membawa standar tinggi namun perlu adaptasi dengan operasional PN Jakarta Pusat, sekaligus mengisi kekosongan keahlian dari hakim senior yang dimutasi. Kehadiran para hakim dari MA ini akan menjadi tantangan sekaligus peluang untuk bekerja sama dalam mewujudkan cita-cita reformasi peradilan di tingkat pelaksanaan, sambil tetap mempertahankan kualitas penanganan perkara-perkara rumit yang menjadi kekhususan PN Jakarta Pusat. Tantangan yang dihadapi Dr Husnul Khotimah jauh lebih rumit dibanding pengalaman sebelumnya, karena PN Jakarta Pusat sebagai pengadilan Kelas IA Khusus memiliki kewenangan khusus yang menangani perkara Hak Kekayaan Intelektual, Niaga, Tindak Pidana Korupsi, dan Hak Asasi Manusia—empat bidang yang memerlukan keahlian teknis tinggi dan rawan terhadap tekanan dari luar.Empat misi yang digariskan Ketua MA—kemandirian, pelayanan berbasis keadilan, kualitas kepemimpinan, serta kredibilitas dan transparansi—bukan sekadar slogan belaka. Di tingkat pengadilan negeri, pelaksanaannya memerlukan terobosan nyata. *Kemandirian* berarti ketahanan terhadap tekanan politik lokal dan godaan transaksi. *Pelayanan berbasis keadilan* menuntut kemudahan akses bagi masyarakat biasa, bukan hanya mereka yang mampu "membayar." *Kualitas kepemimpinan* tercermin dalam kemampuan membangun budaya jujur di tengah tradisi korup yang mengakar. *Kredibilitas dan transparansi* diuji melalui kesesuaian antara ucapan reformasi dengan praktik sehari-hari.Prinsip promosi berdasarkan kemampuan dan kejujuran, bukan senioritas, yang ditekankan Prof Sunarto, terwujud nyata dalam pengangkatan Dr Husnul Khotimah. Pengalaman praktis mengelola perubahan kenaikan kelas PN Mojokerto pada 2022-2023 memberikan bekal berharga dalam memahami dinamika perubahan lembaga. Sebagai perempuan termuda yang memimpin PN Jakarta Pusat, ia mewakili pergeseran cara pandang dari hierarki tradisional menuju sistem merit berdasarkan rekam jejak nyata, bukan sekadar senioritas. Namun ironisnya, di tengah kemajuan ini, keterwakilan perempuan di puncak kepemimpinan peradilan masih sangat timpang—hanya 4 dari 59 hakim agung adalah perempuan, dan belum pernah ada Ketua MA perempuan.Implementasi Reformasi di Level Akar Rumput Pendekatan pengawasan tiga tingkat yang digagas—pencegahan awal, pencegahan, dan penindakan—menemukan urgensinya di PN Jakarta Pusat. Sistem Informasi Penelusuran Perkara yang telah terintegrasi penuh, e-Court yang mempercepat proses, dan SIWAS (sistem pelaporan anonim) yang memungkinkan pelaporan tanpa nama, adalah infrastruktur teknologi yang menjanjikan. Namun teknologi sendiri tidak cukup tanpa perubahan budaya.Survei Transparency International Indonesia 2022 mengungkap paradoks kepercayaan public : masyarakat masih percaya pengadilan mampu membuat keputusan adil, namun mayoritas berharap pelayanan yang "lebih adil dan tanpa manipulasi." Tahap pengambilan keputusan dipersepsikan paling rawan korupsi, terutama kebebasan hakim dan administrasi perkara. Temuan bahwa perempuan lebih rentan berinteraksi dengan pelaku korup dan cenderung menggunakan koneksi personal mengindikasikan diskriminasi sistemik yang harus diatasi kepemimpinan perempuan seperti Dr. Husnul Khotimah.Tantangan pelaksanaan reformasi di tingkat akar rumput sangat rumit. Ketergantungan pada pemerintah daerah untuk fasilitas dan infrastruktur, perbedaan geografis dalam penerapan reformasi, penolakan budaya terhadap transparansi, dan campur tangan politik lokal, semuanya memerlukan strategi yang tepat. Program SUSTAIN EU-UNDP yang melatih lebih dari 6.000 hakim dan personel pengadilan menunjukkan skala upaya yang diperlukan, namun keberlanjutannya setelah bantuan donor internasional masih menjadi tanda tanya.Dari Pengadilan Transaksional menuju Pengadilan TransformatifPeringatan Prof Sunarto untuk menghindari "pelayanan transaksional" yang disampaikan dengan penuh emosi dalam pembinaan tersebut— "Hentikan semua bentuk pelayanan transaksional. Sekarang juga!!”  jika masih ada yang melakukannya, laporkan. Saya tidak main-main. Saya tidak akan mentolerir sedikit pun" —menyentuh inti persoalan. Budaya transaksional—di mana akses keadilan ditentukan kemampuan finansial, bukan kebenaran hukum—telah menggerogoti kredibilitas peradilan. Di PN Jakarta Pusat yang menangani perkara-perkara bernilai triliunan rupiah, godaan transaksional sangat besar.Perubahan dari pengadilan transaksional menjadi pengadilan yang mengubah (transformatif) memerlukan lebih dari sekadar penegakan aturan. Ia menuntut ‘pemikiran ulang peran pengadilan’ dalam masyarakat demokratis. Pengadilan yang mengubah tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi mendidik publik tentang supremasi hukum, melindungi hak-hak minoritas, dan menjadi benteng terakhir keadilan substansial. Siaran langsung persidangan untuk kasus-kasus publik, publikasi rutin ukuran kinerja, dan forum partisipasi masyarakat dalam pengawasan adalah langkah-langkah nyata yang bisa diambil. Harapan Membangun untuk Kepemimpinan Baru Kepada Dr Husnul Khotimah, harapan publik tertumpu pada beberapa prioritas strategis:-Pertama, membangun budaya jujur dari dalam. Sistem pelaporan anonim harus diperkuat dengan perlindungan nyata bagi pelapor. Rotasi internal secara berkala untuk posisi-posisi rawan dapat memutus jaringan korupsi. Sistem reward dan punishment yang tegas dan transparan akan membangun kepercayaan internal.-Kedua, memperkuat kemudahan akses dan keterbukaan. Sebagai pemimpin perempuan, Dr. Husnul Khotimah memiliki kesempatan unik membangun pengadilan yang lebih sensitif gender dan inklusif. Program bantuan hukum yang proaktif, layanan ramah penyandang disabilitas, dan prosedur yang mempermudah akses masyarakat miskin harus menjadi prioritas.-Ketiga, memanfaatkan teknologi untuk transparansi total. PN Jakarta Pusat harus menjadi pelopor dalam publikasi data kinerja waktu nyata, siaran langsung persidangan, dan sistem umpan balik publik yang responsif. Transparansi bukan hanya tentang kepatuhan formal, tetapi membangun kepercayaan substansial.-Keempat, membangun kemitraan strategis dengan masyarakat sipil. Kemitraan dengan organisasi pemantau peradilan, akademisi, dan media dapat memperkuat akuntabilitas eksternal. Forum dialog regular dengan pemangku kepentingan akan membangun rasa memiliki bersama atas agenda reformasi.Kelima, menjadi teladan kepemimpinan yang mengubah (role model). Sebagai perempuan termuda yang memimpin pengadilan paling strategis, Dr. Husnul Khotimah memiliki platform unik untuk menginspirasi generasi baru hakim berintegritas. Mentoring untuk hakim muda, terutama perempuan, dapat menciptakan efek berganda reformasi.Kesimpulan:  Momentum yang Tidak Boleh Terbuang Sia-siaPengangkatan Dr Husnul Khotimah sebagai Ketua PN Jakarta Pusat yang baru datang pada momentum kritis. Skandal korupsi telah membuka jendela kesempatan untuk reformasi fundamental. Dukungan publik, terutama generasi muda, terhadap peradilan modern dan transparan semakin menguat. Infrastruktur teknologi untuk mendukung transparansi telah tersedia.Namun sejarah mengajarkan bahwa momentum reformasi mudah menguap tanpa kepemimpinan visioner dan pelaksanaan konsisten. PN Jakarta Pusat, sebagai cermin peradilan Indonesia, memiliki kesempatan membuktikan bahwa perubahan peradilan bukan utopia. Di bawah kepemimpinan Dr Husnul Khotimah, pengadilan ini dapat menjadi mercusuar harapan—bukan hanya bagi pencari keadilan di Jakarta, tetapi bagi seluruh sistem peradilan Indonesia yang mendambakan keagungan sejati.Harapan kepada ketua baru ini bukan harapan naif, melainkan harapan yang dilandasi keyakinan bahwa perubahan dimulai dari kepemimpinan yang berani. Dari PN Jakarta Pusat yang baru, Indonesia menanti bukti bahwa keadilan bukan komoditas yang diperjualbelikan, melainkan hak fundamental yang dapat diakses semua warga negara tanpa pandang bulu. Inilah momentum untuk membuktikan bahwa cita-cita ‘Badan Peradilan Indonesia yang Agung’ bukan sekadar retorika, tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan melalui kejujuran, inovasi, dan keterbukaan.Sunoto,S.H.,M.H.(Hakim Tipikor PN Jakarta Pusat) Catatan :  Artikel ini ditulis sebagai refleksi dan harapan konstruktif terhadap kepemimpinan baru di PN Jakarta Pusat, berdasarkan pengalaman langsung penulis dalam sistem peradilan dan interaksi personal dengan Dr Husnul Khotimah. Tujuan penulisan adalah untuk memberikan perspektif mendalam tentang tantangan dan peluang yang dihadapi ketua baru dalam mereformasi pengadilan yang menjadi cermin sistem peradilan Indonesia, serta mendorong implementasi nyata visi "Badan Peradilan Indonesia yang Agung" melalui kepemimpinan yang berintegritas, inovatif, dan inklusif.===================================================== Referensi ;1.      Dokumen Resmi Mahkamah Agung-     Materi Pembinaan "Penguatan Integritas dan Kompetensi Teknis Yudisial" oleh Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., Ketua Mahkamah Agung RI, Jakarta, 23 Mei 2025.2.      Media Berita.-    DANDAPALA. "Husnul Khotimah, 'Kartini Pengadilan' ke-3 yang Jadi Ketua PN Jakpus." 23 April 2025.-    Tempo.co. "Rotasi MA: Profil Pemimpin Baru di 3 Pengadilan Negeri di Jakarta." Diakses dari: https://www.tempo.co/hukum/rotasi-ma-profil-pemimpin-baru-di-3-pengadilan-negeri-di-jakarta-1237491.-    Marinews Mahkamah Agung. "MA Bongkar Pimpinan Pengadilan dan Hakim di Jakarta." Diakses dari: https://marinews.mahkamahagung.go.id/berita/ma-bongkar-pimpinan-pengadilan-dan-hakim-di-jakarta-0fM  .-    Marinews Mahkamah Agung. "Ia yang Tidak Pernah Marah, Pagi Ini Marah." Diakses dari: https://marinews.mahkamahagung.go.id/serba-serbi/ia-yang-tidak-pernah-marah-pagi-ini-marah-0iH3.    Sumber Akademik dan Penelitian.-     Transparency International Indonesia. "Towards Two Decades of Indonesian Judicial Reform Blueprints: Launching of Public Trust in Court Institutions Survey." 2022-     United Nations Development Programme (UNDP). "Support for Reform of the Justice Sector in Indonesia (SUSTAIN)."-     European External Action Service (EEAS). "Justice Reform in Indonesia: EU, UNDP, Supreme Court conclude five-year project with solid achievements."-     University of Melbourne. "20 years of judicial reform: mission not yet accomplished - Indonesia at Melbourne."4.    Data dan Statistik.-   Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Portal Resmi: https://pn-jakartapusat.go.id/-   Mahkamah Agung RI. Direktori Putusan: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/-   Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Mahkamah Agung RI5.    Sumber Tambahan.-     International Development Law Organization (IDLO). "Women judges break down barriers to women's access to justice.-     Lowy Institute. "The long wait in Indonesia for a female chief justice in a top court.-     World Economic Forum. "Why we must close the gender gap in South Asia's judiciary.-     UNODC. "Digital Transformation and New Technologies: Lessons Learned from Indonesia."6.      Pengalaman Personal. -     Interaksi langsung penulis dengan Dr. Husnul Khotimah selama masa transisi di PN Mojokerto (Desember 2022)

15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

article | Opini | 2025-05-26 09:05:42

Jakarta- Pada momentum peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang baru saja kita lalui, semangat untuk membangun Indonesia yang lebih baik kembali menggema di seluruh penjuru negeri. Momentum ini menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan perjalanan panjang pemberantasan korupsi, khususnya melalui institusi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang telah berusia 15 tahun sejak perluasannya ke seluruh provinsi.Pengadilan Tipikor, yang pertama kali dibentuk pada tahun 2002 berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan yurisdiksi terbatas di Jakarta Pusat, mengalami transformasi monumental setelah putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006. Lahirnya UU Nomor 46 Tahun 2009 yang memperluas Pengadilan Tipikor ke seluruh provinsi di Indonesia menandai babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di tanah air.Dalam 15 tahun perjalanannya, institusi ini telah menunjukkan dedikasi luar biasa sebagai ujung tombak dalam mengadili kasus-kasus korupsi yang mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa. Prestasi gemilang yang telah diraih, sekaligus dinamika yang dihadapi, memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya terus memperkuat fondasi keadilan substantif yang menjadi tujuan mulia pendirian lembaga ini.Apresiasi atas Dedikasi Tanpa Batas: Capaian Membanggakan 15 Tahun Perjalanan.Kehadiran Pengadilan Tipikor telah menghadirkan transformasi signifikan dalam lanskap penegakan hukum korupsi di Indonesia. Dalam 15 tahun sejak perluasan ke seluruh provinsi, prestasi yang diraih sungguh membanggakan. Pengadilan ini telah berhasil menyidangkan ribuan kasus korupsi dengan tingkat kompleksitas yang beragam, menunjukkan kapasitas dan dedikasi yang luar biasa dari para hakimnya.Tingkat penghukuman (conviction rate) yang tinggi menjadi bukti nyata keseriusan negara dalam memberantas korupsi. Yang lebih menggembirakan lagi, keberhasilan menjerat para pejabat tinggi hingga kepala daerah mengirimkan pesan kuat bahwa era impunitas bagi para koruptor telah berakhir. Ini adalah pencapaian monumental yang patut kita syukuri bersama.Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) tahun 2024 menunjukkan dedikasi luar biasa para hakim Tipikor di seluruh Indonesia:Apresiasi untuk Pengadilan Negeri Tipikor dengan Volume Kerja Tertinggi (2024).-      PN Tipikor Medan : 153 perkara - menunjukkan komitmen tinggi dalam melayani keadilan.-      PN Tipikor Surabaya : 144 perkara - dedikasi untuk wilayah Indonesia Timur.-      PN Tipikor Makassar : 120 perkara - semangat pemberantasan korupsi di Sulawesi.-      PN Tipikor Ambon : 50 perkara - semangat pemberantasan korupsi dari Timur.-      PN Tipikor Semarang : 112 perkara - kontribusi nyata untuk Jawa Tengah.-      PN Tipikor Bandung : 112 perkara - kontribusi nyata untuk Jawa Barat.-      PN Tipikor Jakarta Pusat: 111 perkara - sebagai pusat koordinasi nasional.-      PN Tipikor Palembang: 84 perkara - kepedulian untuk wilayah Sumatera.-      PN Tipikor Banda Aceh ; 73 perkara - semangat pemberantasan korupsi di tanah Rencong.-      PN Jayapura : 21 perkara - kontribusi dari Papua.-      PN Kupang : 78 Perkara – semangat pemberantasan korupsi di Kupang.Data ini mencerminkan kerja keras dan dedikasi yang luar biasa dari seluruh hakim Tipikor di IndonesiaAngka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari kerja keras, dedikasi, dan pengorbanan para hakim yang bekerja hingga larut malam demi menegakkan keadilan. Setiap perkara yang diselesaikan adalah kontribusi nyata untuk menyelamatkan keuangan negara dan membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita.Membangun Fondasi Keamanan yang Kokoh: Dari Regulasi Menuju Implementasi OptimalSalah satu aspek yang menginspirasi dalam perjalanan Pengadilan Tipikor adalah komitmen untuk membangun sistem keamanan yang komprehensif bagi para hakimnya. Fondasi regulasi yang telah ada sesungguhnya cukup solid dan menunjukkan visi yang progresif dari para pemimpin bangsa.Apresiasi atas Kerangka Regulasi yang VisionerPertama, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah dengan bijak mengamanatkan dalam Pasal 48 bahwa "Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman." Visi ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang pentingnya melindungi pilar-pilar keadilan.Kedua, PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang telah beberapa kali disempurnakan hingga menjadi PP No. 44 Tahun 2024, menunjukkan komitmen berkelanjutan untuk terus memperbaiki sistem. Dalam Pasal 7, peraturan ini mengatur jaminan keamanan bagi hakim dengan visi yang komprehensif.Ketiga, Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan telah menunjukkan kepekaan terhadap kebutuhan operasional keamanan di ruang sidang, lengkap dengan sistem alarm, jalur evakuasi, dan koordinasi keamanan.Momentum Inspiratif : Pembelajaran dari Perkembangan Terkini.Perkembangan regulasi perlindungan bagi penegak hukum dalam beberapa tahun terakhir memberikan inspirasi luar biasa. PP No. 77 Tahun 2019 tentang Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan dalam perkara terorisme telah memberikan contoh cemerlang tentang perlindungan komprehensif yang mencakup tahap sebelum, selama, dan sesudah proses pemeriksaan.Yang paling menggembirakan adalah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara untuk Jaksa yang baru saja ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 21 Mei 2025. Inisiatif ini menunjukkan visi kepemimpinan yang progresif dalam memperkuat infrastruktur penegakan hukum anti-korupsi.Peluang Emas: Harmonisasi Perlindungan dalam Visi Pemberantasan KorupsiTerbitnya Perpres Nomor : 66 Tahun 2025 membuka peluang emas untuk melengkapi ekosistem perlindungan penegak hukum secara holistik. Dalam perspektif sistem pemberantasan korupsi, jaksa berperan sebagai "pintu gerbang" yang melakukan penyidikan, penuntutan, dan eksekusi, sementara hakim berfungsi sebagai "muara" yang menentukan keputusan final.Ketika "pintu gerbang" telah diperkuat dengan perlindungan komprehensif melalui Perpres tersebut, momentum ini membuka kesempatan istimewa untuk memberikan perlindungan setara bagi "muara" sistem. Hakim Tipikor, yang memiliki kewenangan menentukan nasib terdakwa korupsi, sesungguhnya menghadapi tingkat risiko dan tekanan yang tidak kalah tinggi.Harmonisasi perlindungan antara jaksa dan hakim bukan hanya tentang keadilan, tetapi lebih pada kebutuhan sistemik untuk memastikan efektivitas maksimal pemberantasan korupsi. Ketika seluruh komponen dalam rantai penegakan hukum mendapat perlindungan optimal, sistem akan berfungsi dengan performa terbaik.Hakim karir Tipikor menghadapi tantangan unik karena tidak hanya menangani perkara korupsi, tetapi juga perkara umum lainnya (pidana-perdata). Meskipun beban perkara non-Tipikor telah dikurangi, kompleksitas tugas ganda ini memerlukan apresiasi dan dukungan yang proporsional.Membangun Keadilan Substantif: Kompas untuk Masa Depan yang CerahKeadilan substantif adalah jiwa dari setiap putusan Pengadilan Tipikor. Konsep ini melampaui ketaatan prosedural semata, melainkan mengutamakan esensi keadilan yang sesungguhnya. Dalam konteks peradilan Tipikor, keadilan substantif harus menjadi bintang penuntun dalam setiap keputusan yang diambil.Pengukuran keadilan substantif dapat dilihat dari beberapa dimensi positif.Pertama, proporsionalitas hukuman yang mencerminkan besarnya kerugian negara dan dampak sosial, memberikan kepastian bahwa keadilan benar-benar ditegakkan. Kedua, pertimbangan konteks dan motivasi yang komprehensif, menunjukkan kedewasaan dalam memahami kompleksitas setiap kasus.Ketiga, fokus pada pemulihan kerugian negara dan pemberian efek jera yang konstruktif.Studi terhadap putusan-putusan Tipikor selama 15 tahun menunjukkan tren positif dalam peningkatan kualitas pertimbangan keadilan substantif. Meskipun masih ada ruang untuk penyempurnaan, terutama dalam membangun koherensi antar putusan, perkembangan ini menunjukkan arah yang sangat menjanjikan.Peluang Emas: Memulihkan Sistem Apresiasi yang ProporsionalDalam semangat membangun masa depan yang lebih cerah, penting untuk memahami bahwa dedikasi luar biasa para hakim Tipikor selama ini sesungguhnya layak mendapat apresiasi yang lebih proporsional. Fenomena “hilangnya tunjangan khusus” hakim Tipikor setelah perluasan ke seluruh provinsi pada tahun 2009 bukan untuk dikritik, melainkan untuk dipahami sebagai peluang perbaikan yang menunggu.Pada periode awal pembentukan, visi para pendiri bangsa telah begitu bijak dengan memberikan tunjangan khusus sebagai pengakuan atas kompleksitas tugas yang diemban. Kebijakan tersebut mencerminkan pemahaman mendalam tentang pentingnya memberikan apresiasi yang sesuai dengan beban dan risiko pekerjaan.Momentum Transformasi melalui PP No. 44 Tahun 2024.Terbitnya PP No. 44 Tahun 2024 menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan kesejahteraan hakim. Peraturan ini mengatur kenaikan gaji pokok dan tunjangan jabatan yang telah lama dinantikan. Komponen penghasilan hakim yang diatur meliputi:1.  Gaji Pokok : Berdasarkan golongan dan masa kerja yang adil.2.  Tunjangan Jabatan : Bervariasi sesuai tingkat pengadilan dan jabatan (Rp19.600.000 hingga Rp37.900.000).3.  Tunjangan Lainnya : Mencakup tunjangan keluarga, beras, dan kemahalan.4.  Fasilitas : Rumah negara, transportasi, kesehatan, dan keamanan.Visi Progresif untuk Hakim Ad Hoc TipikorSistem kompensasi hakim ad hoc Tipikor yang diatur secara khusus menunjukkan pengakuan terhadap spesialisasi mereka. Tunjangan kehormatan bulanan yang disesuaikan dengan kompleksitas tugas, disertai fasilitas rumah negara dan transportasi, mencerminkan apresiasi terhadap dedikasi mereka.Peluang Reformasi Sistem Pensiun yang BermartabatSalah satu peluang besar yang terbuka adalah reformasi sistem pensiun hakim. Meskipun UU No. 48 Tahun 2009 dan UU No. 28 Tahun 1999 telah mengakui hakim sebagai pejabat negara, implementasi sistem pensiun belum sepenuhnya mencerminkan status tersebut.Saat ini, pensiun hakim masih dihitung berdasarkan gaji pokok (maksimal 75%), bukan dari total penghasilan. Peluang untuk mereformasi sistem ini menjadi lebih bermartabat—dengan perhitungan minimal 75% dari total penghasilan termasuk tunjangan profesi—akan menjadi langkah progresif yang sangat berarti.Investasi Strategis: Analisis Alokasi Anggaran yang Visioner.Data DIPA PN Jakarta Pusat Tahun Anggaran 2025 menyajikan potret kontras yang menarik tentang prioritas alokasi sumber daya dalam sistem peradilan:§  Total alokasi anggaran: Rp1.057.225.000.§  Perkara Pidana Umum: Rp608.651.000 (890 perkara).§  Perkara Pidana Korupsi: Rp109.012.000 (105 perkara).§  Perkara Hubungan Industrial: Rp246.912.000 (332 perkara).Kalkulasi per perkara mengungkapkan bahwa alokasi untuk penanganan Tipikor mencapai Rp1.038.210 per kasus, suatu angka yang mencerminkan pengakuan terhadap kompleksitas dan signifikansi perkara korupsi dalam sistem peradilan. Namun, ketika diletakkan dalam konteks makro perekonomian nasional, di mana kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp56,075 triliun pada tahun 2023 menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), terlihat jelas bahwa peningkatan investasi strategis pada sistem peradilan Tipikor bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk mengoptimalkan pemulihan aset negara dan memperkuat efek jera bagi pelaku korupsi.Setiap rupiah yang diinvestasikan untuk memperkuat sistem peradilan Tipikor akan memberikan multiplier effect yang luar biasa dalam penyelamatan keuangan negara.Membangun Integritas: Pembelajaran dari Tantangan Menuju Solusi.Perjalanan 15 tahun Pengadilan Tipikor tidak lepas dari berbagai tantangan, termasuk beberapa kasus yang melibatkan hakim dalam praktik yang tidak terpuji. Namun, setiap tantangan ini sesungguhnya adalah guru terbaik yang mengajarkan pentingnya terus memperkuat sistem.Kasus-kasus seperti Ramlan Comel, DS, Merry Purba, Janner, dan yang terbaru pada tahun 2025 melibatkan tiga hakim di PN Jakarta Pusat (DJU, ASB, dan AM), bukan untuk disesali, melainkan untuk dipelajari sebagai momentum transformasi. Setiap kasus ini menegaskan urgensi membangun sistem yang lebih kokoh dan holistik.Visi Transformatif: Dari Tantangan Menuju Kekuatan.Tantangan integritas ini sesungguhnya membuka peluang untuk membangun sistem yang lebih kuat melalui pendekatan komprehensif:1.  Peningkatan Kesejahteraan sebagai Fondasi : Sistem kompensasi yang proporsional akan memperkuat ketahanan moral.2.  Pengawasan yang Konstruktif : Membangun sistem pengawasan berlapis yang mendidik dan melindungi.3.  Rekrutmen Berbasis Merit : Sistem seleksi yang transparan dan berbasis integritas.4.  Pelatihan Berkelanjutan : Pengembangan kapasitas yang holistic.Analisis mendalam menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara tanggung jawab berat dan kompensasi yang tidak proporsional dapat menjadi salah satu faktor yang memperlemah sistem. Oleh karena itu, pemulihan tunjangan khusus dan penguatan sistem kompensasi menjadi bagian integral dari strategi memperkuat integritas.Sinergi Sistemik: Membangun Ekosistem Pemberantasan Korupsi yang Harmonis.Pengadilan Tipikor tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari ekosistem pemberantasan korupsi yang saling terkait. Efektivitasnya sangat bergantung pada kualitas sinergi dengan KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian.Harmonisasi ini memerlukan kesamaan visi, koordinasi yang erat, standarisasi pemahaman hukum, dan pembagian peran yang jelas. Revisi UU Tipikor yang komprehensif juga diperlukan untuk mengakomodasi perkembangan modus operandi korupsi dan standar internasional terkini.Dalam konteks ini, harmonisasi sistem kompensasi di seluruh institusi penegak hukum menjadi kunci untuk memastikan motivasi dan dedikasi yang seimbang dalam ekosistem pemberantasan korupsi.Proyeksi Masa Depan: Agenda Transformasi yang Menginspirasi.Memasuki dekade kedua sejak perluasan, Pengadilan Tipikor memiliki peluang emas untuk melakukan transformasi strategis. Agenda reformasi yang dapat menginspirasi meliputi:1. Penguatan Sistem Pengawasan Konstruktif : Membangun mekanisme pengawasan yang mendidik dan melindungi, melibatkan internal lembaga, Komisi Yudisial, dan masyarakat sipil2. Pengembangan Spesialisasi Unggulan : Membangun keahlian hakim dalam bidang spesifik seperti korupsi pengadaan, sumber daya alam, dan kejahatan keuangan transnasional.3. Revolusi Digital yang Transformatif : Implementasi teknologi AI untuk analisis bukti digital dan sistem pengundian hakim yang transparan.4. Yurisprudensi Progresif : Mengembangkan pendekatan hukum yang adaptif sesuai semangat keadilan substantif dan konteks sosial-ekonomi.5. Optimalisasi Pemulihan Aset : Memprioritaskan pengembalian kerugian negara melalui mekanisme yang lebih efektif.6. Partisipasi Publik yang Bermakna : Meningkatkan transparansi dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan konstruktif.Momentum Kebangkitan: Agenda Pemulihan yang Tidak Dapat DitundaDalam semangat kebangkitan nasional, momentum untuk memulihkan dan merevitalisasi sistem tunjangan hakim Tipikor menjadi agenda strategis yang penuh harapan. Bukan sekadar wacana, melainkan investasi strategis untuk masa depan yang lebih cerah.1.  Revitalisasi Sistem Tunjangan Khusus: Investasi untuk Masa Depan.Memulihkan sistem tunjangan khusus hakim Tipikor adalah investasi jangka panjang yang akan memberikan return berlipat ganda. Tunjangan ini harus diatur dalam regulasi yang jelas dengan alokasi anggaran yang terjamin, mencerminkan apresiasi negara terhadap kompleksitas tugas yang diemban.2.  Sistem Tunjangan Berbasis Beban Kerja: Pengakuan atas Dedikasi.Untuk hakim karir Tipikor yang menangani beban kerja ganda, sistem tunjangan yang memperhitungkan kompleksitas dan volume perkara akan menjadi wujud pengakuan yang adil atas dedikasi mereka.’3.  Implementasi Standar Beban Kerja (SBK): Pembelajaran dari Best PracticeMengadopsi pendekatan serupa dengan Kejaksaan, sistem tunjangan berbasis SBK akan memberikan keadilan yang lebih objektif berdasarkan kompleksitas perkara, nilai kerugian negara, dan volume kerja.4.  Peningkatan Alokasi DIPA: Dukungan Nyata untuk Kompleksitas Tugas.Mengingat besarnya kerugian negara akibat korupsi, peningkatan alokasi anggaran untuk penanganan perkara Tipikor adalah investasi yang sangat rasional dan strategis.5.  Aktivasi Sistem Insentif Berbasis Kinerja: Motivasi untuk Ekselen.Sistem insentif yang memberikan apresiasi tambahan untuk penyelesaian perkara berkualitas akan mendorong peningkatan performa secara berkelanjutan.6.  Harmonisasi Anggaran dengan Dampak: Proporsionalitas yang Adil.Alokasi anggaran yang proporsional dengan kompleksitas dan dampak ekonomi perkara korupsi akan mencerminkan prioritas negara yang tepat.7.  Sistem Tunjangan Risiko dan Harmonisasi Perlindungan: Kelengkapan Ekosistem.Mengingat peran hakim Tipikor sebagai "muara" sistem pemberantasan korupsi, sistem tunjangan risiko yang proporsional dan harmonisasi perlindungan dengan praktik terbaik Perpres No. 66/2025 akan melengkapi visi komprehensif pemberantasan korupsi.8.  Reformasi Sistem Pensiun: Martabat Pejabat Negara.Amandemen PP No. 44/2024 untuk mengakomodasi tunjangan khusus hakim Tipikor, sekaligus reformasi sistem pensiun agar mencerminkan status pejabat negara, akan menjadi langkah progresif yang bermartabat.Visi Masa Depan: Indonesia Bersih dan Bermartabat.Perjalanan 15 tahun Pengadilan Tipikor telah memberikan fondasi yang solid untuk membangun masa depan yang lebih cerah. Setiap tantangan yang dihadapi sesungguhnya adalah batu loncatan untuk mencapai visi yang lebih tinggi.Momentum kebangkitan nasional di era kepemimpinan baru memberikan harapan besar untuk transformasi sistemik yang komprehensif. Dengan terbitnya Perpres No. 66/2025 untuk jaksa, momentum ini membuka peluang emas untuk melengkapi ekosistem perlindungan penegak hukum secara holistik.Pemulihan sistem tunjangan khusus hakim Tipikor bukan sekadar perbaikan administratif, melainkan investasi strategis yang akan memberikan dampak berlipat dalam bentuk:-       Penguatan Integritas : Sistem kompensasi yang adil akan memperkuat ketahanan moral-       Peningkatan Kualitas : Hakim yang sejahtera akan dapat fokus optimal pada kualitas putusan.-       Efektivitas Sistemik : Ekosistem pemberantasan korupsi yang harmonis akan berfungsi maksimal.-       Kepercayaan Publik : Masyarakat akan semakin percaya pada sistem peradilan yang kuatSebuah Refleksi Penuh Harapan.Dengan beban kerja yang mencapai ratusan perkara per tahun, ditambah perkara umum lainnya, hakim Tipikor di 34 provinsi telah menunjukkan dedikasi yang luar biasa. Mereka tidak hanya layak, tetapi sangat berhak mendapatkan sistem tunjangan yang proporsional dengan pengorbanan dan kontribusi mereka.Sebagai pejabat negara yang diakui konstitusional, hakim juga berhak mendapat sistem pensiun yang bermartabat. Amandemen PP No. 44/2024 dan reformasi sistem pensiun harus menjadi prioritas dengan target implementasi yang jelas.Pemerintah dan DPR memiliki kesempatan emas untuk menjadikan pemulihan tunjangan hakim Tipikor sebagai bukti komitmen nyata dalam pemberantasan korupsi. Alokasi anggaran untuk ini adalah investasi strategis yang akan memberikan return berlipat melalui penyelamatan keuangan negara.Penutup: Semangat Membangun untuk Indonesia yang Lebih BaikRefleksi ini ditulis bukan dalam semangat kritik, melainkan dalam spirit membangun masa depan yang lebih cerah. Setiap tantangan yang ada sesungguhnya adalah peluang untuk memperkuat sistem dan mencapai visi yang lebih tinggi.Pemulihan tunjangan hakim Tipikor di seluruh Indonesia adalah langkah konkret untuk memutus mata rantai kelemahan sistemik dan memperkuat integritas peradilan. Melalui sistem yang adil dan proporsional, hakim Tipikor dapat menjalankan tugas mulia mereka dengan semangat dan dedikasi optimal.Dengan keadilan substantif yang benar-benar ditegakkan oleh hakim berintegritas tinggi, didukung sistem yang kuat dan kompensasi yang adil, pemberantasan korupsi akan memberikan dampak transformatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.Mari kita sambut masa depan Indonesia yang lebih bersih, adil, dan bermartabat. Setiap langkah yang kita ambil hari ini adalah investasi untuk generasi mendatang. Dengan semangat kebangkitan nasional dan komitmen bersama, tidak ada yang tidak mungkin untuk diwujudkan.Indonesia mampu, Indonesia bisa, Indonesia pasti !!!!!Sunoto, S.H., M.H. Hakim PN Jakarta Pusat/Hakim Tipikor==================================================================================Daftar Referensi.1.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi2.      Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi3.      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman4.      Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/20065.      Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung6.      DIPA Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tahun Anggaran 2025 (data internal)7.      Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) 2024 untuk PN Tipikor se-Indonesia (data internal)8.      Indonesia Corruption Watch (ICW). (2024). Laporan Kerugian Negara Akibat Korupsi Tahun 2023: Rp56,075 triliun berdasarkan monitoring terhadap 1.649 putusan korupsi9.      UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme10.  UU Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Duda/Janda Pegawai11.  PP Nomor 77 Tahun 2019 tentang Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan yang Menjadi Sasaran Tindak Pidana Terorisme12.  Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara untuk Jaksa13.  PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung14.  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan15.  Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP). (2021). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Pasca 2009: Antara Harapan dan Kenyataan16.  Laporan Kasus Suap Hakim Tipikor: Ramlan Comel, DS, Merry Purba, Janner, dan kasus 2025 (DJU, ASB, AM)17.  OECD. (2022). Specialised Anti-Corruption Courts: A Comparative Mapping. OECD Public Governance ReviewsCatatan MetodologiTulisan ini disusun berdasarkan kombinasi penelitian literatur, analisis regulasi, dan pengalaman praktis penulis sebagai hakim Tipikor. Beberapa data bersifat internal dan belum terverifikasi independen. Pandangan dalam artikel ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili institusi.Tulisan ini lahir dari kegelisahan positif penulis sebagai Hakim Tipikor yang baru mengabdi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tersusun pada momen reflektif pasca upacara Hari Kebangkitan Nasional, karya ini merupakan kontribusi penuh harapan dalam meneguhkan semangat kebangkitan di lini peradilan Tipikor—ujung tombak pemberantasan korupsi yang berperan vital dalam mewujudkan Indonesia yang bersih dan bermartabat.

Kesederhanaan Gaya Hidup Hakim Perempuan, Cermin Integritas dan Keteladanan

article | Opini | 2025-05-26 07:10:57

SURAT Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana menjadi pengingat penting bagi seluruh aparatur peradilan, termasuk kami para hakim perempuan. Dalam dinamika kehidupan modern, gaya hidup kerap kali menjadi sorotan, dan perempuan kerap diidentikkan dengan kecenderungan terhadap kemewahan—baik dalam penampilan, koleksi pribadi, maupun penggunaan media sosial. Namun sebagai aparatur peradilan, sudah seharusnya kami menjadikan kesederhanaan sebagai gaya hidup yang mencerminkan integritas dan wibawa.Bagi seorang hakim, terlebih sebagai perempuan yang tampil di ruang publik, penerapan pola hidup sederhana bukanlah sekadar pilihan pribadi, melainkan bagian dari komitmen menjaga kehormatan lembaga peradilan. Gaya hidup yang melebihi kemampuan finansial tentu mengundang tanya: dari mana asal sumbernya? Pertanyaan itu tidak hanya akan merusak reputasi pribadi, tetapi juga mencederai integritas institusi.Sebagai hakim perempuan, kami memahami bahwa keteladanan dimulai dari hal-hal kecil—memilih busana yang layak namun tidak berlebihan, tidak mempertontonkan barang-barang mewah, serta menjaga perilaku di media sosial. Kami juga menyadari bahwa di balik popularitas dan eksistensi di ruang digital, ada tanggung jawab besar yang harus dijaga, yaitu menjaga kepercayaan publik terhadap independensi dan integritas peradilan.Surat edaran tersebut menekankan bahwa kesederhanaan bukan bentuk pembatasan, melainkan pencegahan terhadap peluang terjadinya penyimpangan. Ketika gaya hidup selaras dengan pendapatan yang sah, maka aparatur peradilan akan terhindar dari tudingan miring atau kecurigaan atas kemungkinan penerimaan gratifikasi, bermain perkara, atau bentuk pelanggaran etik lainnya.Lebih dari itu, hidup sederhana sejatinya adalah bentuk penghormatan pada nilai keadilan dan pengabdian. Kami para hakim perempuan percaya bahwa elegansi sejati tidak terletak pada kemewahan yang ditampilkan, tetapi pada wibawa dan integritas yang dijaga dalam diam. Semoga pesan ini menjadi pengingat dan inspirasi bagi kita semua untuk terus menjadi pribadi yang sederhana, berintegritas, dan penuh keteladanan.Batang, 21 Mei 2025Nur Amalia Abbas- Wakil Ketua Pengadilan Negeri Batang

Appreciation for the Regular Meeting Activity of Perisai Badilum

article | Opini | 2025-05-24 15:30:55

The Regular Meeting and Interactive Sarasehan organized by the Directorate General of the General Judiciary (Badilum) through the Perisai Badilum forum is a progressive initiative that deserves high appreciation. In this era of continuous judicial modernization, such activities are not only important but essential in maintaining the spirit of professionalism and integrity among judges and technical staff within the general judiciary.The Sarasehan, which discusses relevant and practical themes in the judiciary, creates a valuable space for court personnel to exchange experiences, engage in academic discussions, and contribute constructive insights on legal dynamics and judicial practices. This effort aligns closely with the spirit of bureaucratic reform and the ongoing renewal of the national legal system encouraged by the Supreme Court.These regular meetings have a broad positive impact, ranging from increasing legal knowledge and critical thinking skills to fostering a culture of healthy and scholarly discourse. For judges and technical staff, this forum provides a platform for reflection and a means to gain new perspectives in addressing real-world legal challenges.Moreover, holding the activity virtually demonstrates Badilum's adaptability to technological advancement. It allows wider and more inclusive access for all judicial work units throughout Indonesia, free from geographical constraints. This digital transformation should be commended as concrete proof that digital reform in the judiciary is not just a slogan but a practiced reality.As members of the judiciary, we greatly benefit from forums like Perisai Badilum. Such platforms bridge interregional dialogue needs, strengthen solidarity, and enhance communication and collaboration networks between judicial units.We extend our sincere gratitude and deep appreciation to the Directorate General of the General Judiciary for its unwavering commitment to creating high-quality and inspiring dialogue spaces. We hope that this program will continue consistently and be enriched with new innovations to expand its benefits.Through initiatives like this, we hope to cultivate a new generation of judicial officers who are not only legally proficient but also critical thinkers, open to dialogue, and committed to the values of integrity, transparency, and justice. May Perisai Badilum continue to serve as a productive and enlightening forum in strengthening Indonesia’s judiciary.

Penerapan Hukum Acara Terhadap Residivis dalam Tindak Pidana Ringan

article | Opini | 2025-05-23 18:50:50

Latar Belakang Orang yang melakukan suatu perbuatan pidana secara berulang dikenal dengan istilah residivis. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu setelah adanya putusan hakim terhadap perbuatan pidana sebelumnya. Menurut R. Soesilo dalam komentarnya residivis terbagi menjadi residivis umum dan residivis khusus. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat aturan mengenai residivis umum yang diatur dalam Pasal 486 KUHP, Pasal 487 KUHP, dan Pasal 487 KUHP sementara untuk residivis khusus diantaranya diatur dalam Pasal 489 ayat (2) KUHP, Pasal 492 ayat (2) KUHP, dan seterusnya. Apabila kita melihat pasal-pasal dalam KUHP tersebut, maka tidak semua jenis tindak pidana yang dilakukan dapat dikatakan residivis, hal itu tergantung dari kualifikasi tindak pidana yang diatur dalam pasal-pasal tersebut. Pengulangan tindak pidana tidak hanya diatur dalam KUHP, tetapi terdapat juga aturan diluar KUHP seperti dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai residivis di dalam Pasal 144 ayat (1) dan ayat (2). Pengaturan mengenai pengulangan tindak pidana dapat juga kita temui dalam tindak pidana ringan. Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP (Perma 2 Tahun 2012). Tiga hal mendasar diterbitkannya Perma Nomor 2 Tahun 2012 tersebut yaitu: Pertama, dasar yuridis dimana dalam penjelasan Pasal 79 dijelaskan bahwa “Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi;” Kedua, dasar filosofis dimana tidak fair jika suatu perbuatan diadili di pengadilan atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang sudah tertinggal dari perkembangan, dimana dengan adanya perubahan nilai uang, seseorang tersebut terkena ancaman yang lebih tinggi padahal seharusnya perbuatannya itu termasuk tindak pidana ringan; dan Ketiga, dasar sosiologis dimana adanya kebutuhan sosial yang mendorong dikeluarkannya suatu peraturan (Hananta, Dwi. 2017). Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 2 Tahun 2012 menyebutkan “Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.” Beberapa pasal tindak pidana ringan yang diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 diantaranya adalah Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482 KUHP. Sebagai contoh dalam Pasal 364 KUHP yang dikenal dengan pencurian ringan, maka Hakim Tunggal memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut dilakukan dengan Acara Pemeriksaan Cepat. Kemudian bagaimana apabila dalam perkara tindak pidana ringan ternyata Terdakwa tersebut adalah residivis? Apakah hukum acara yang diterapkan tetap sama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP dengan menggunakan Acara Pemeriksaan Cepat atau terdapat kaidah aturan lain yang mengatur mengenai ketentuan hal itu? Penerapan Hukum Acara Terhadap Pelaku Tindak Pidana Berulang (Residivis) dalam Tindak Pidana Ringan Pada tahun 2012 Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Nomor: 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor: M. ΗΗ 07. ΗM. 03. 02 Tahun 2012, Nomor: KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor: B/39/X/2012. Di dalam Nota Kesepakatan Bersama ini memberikan definisi mengenai Tindak Pidana Ringan. Tindak Pidana ringan adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan pasal 482 KUHP yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat dari denda. Proses pemeriksaan tindak pidana ringan mulai dari tahap pelimpahan perkara oleh penyidik ke Pengadilan sampai dengan Hakim Tunggal memeriksa, mengadili, dan memutus perkara diatur dengan Acara Pemeriksaan Cepat dalam Nota Kesepakatan Bersama ini. Lebih jelas lagi dalam Nota Kesepakatan Bersama tersebut juga memberikan acuan atau pedoman apabila terdapat pelaku tindak pidana berulang (residivis) dalam tindak pidana ringan. Telah diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang menyatakan “Pelaku tindak pidana yang berulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) tidak dapat diberlakukan Acara Pemeriksaan Cepat.” Sebagai contoh penerapan hukum ini yaitu dalam perkara yang diadili pada Pengadilan Negeri Pulau Punjung dengan register perkara diantaranya yaitu Nomor 94/Pid.C/2024/PN Plj, Nomor 154/Pid.C/2024/PN Plj, dan Nomor 167/Pid.C/2024/PN Plj, dimana hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa perkara tersebut tidak dapat diperiksa dengan Pemeriksaan Acara Cepat. Kemudian akan muncul pertanyaan, lalu apakah terhadap residivis dalam perkara tindak pidana ringan tidak dapat diadili di pengadilan? Jawabannya tentu saja dapat diadili di pengadilan. Di dalam Nota Kesepakatan Bersama tersebut ketentuan yang disebutkan adalah tidak dapat diberlakukan Acara Pemeriksaan Cepat bukan berarti terhadap pelaku tidak dapat dijatuhi pemidanaan. Masih terdapat penerapan hukum acara lain yang diatur dalam KUHAP baik itu Acara Pemeriksaan Biasa juga terdapat Acara Pemeriksaan Singkat. Penerapan hukum acara ini bukanlah mengenai berat ringannya penjatuhan pidana terhadap residivis dalam tindak pidana ringan, melainkan bagaimana proses beracaranya atau proses pemeriksaan perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh residivis mulai dari tahap pelimpahan berkas di pengadilan sampai dengan putusan yang akan diberikan oleh hakim/majelis hakim nantinya, hal ini dikarenakan sifat dari hukum acara itu sendiri yang dikenal dengan hukum formil,yang berarti memiliki sifat mengikat, memaksa yang berarti harus ditaati oleh semua pihak. Kesimpulan Residivis dalam perkara tindak pidana ringan dapat diadili di pengadilan dengan menggunakan penerapan hukum acara baik itu Acara Pemeriksaan Biasa ataupun Acara Pemeriksaan Singkat, sebab penerapan hukum acara ini bukanlah mengenai berat ringannya penjatuhan pidana terhadap residivis dalam tindak pidana ringan, melainkan bagaimana proses beracaranya atau proses pemeriksaan perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh residivis mulai dari tahap pelimpahan berkas di pengadilan sampai dengan putusan yang akan diberikan oleh hakim/majelis hakim. Saran Agar pengadilan negeri melakukan sosialisasi dengan melibatkan hakim maupun stakeholder terkait mengenai Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Nomor: 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor: M. ΗΗ 07. ΗM. 03. 02 Tahun 2012, Nomor: KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor: B/39/X/2012, sehingga pedoman tersebut dapat diketahui dan dapat membantu khususnya bagi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana ringan yang Terdakwanya adalah seorang residivis. (LDR/IKAW) Referensi: Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1986. Hananta, Dwi. Menggapai Tujuan Pemidanaan Dalam Perkara Pencurian Ringan. Bandung: Mandar Maju, 2017. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Nomor: 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor: M. ΗΗ 07. ΗM. 03. 02 Tahun 2012, Nomor: KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor: B/39/X/2012. Sutrisno, Siswantari Pratiwi, Mardani. Pertanggungjawaban Pidana Pada Residivist Tindak Pidana Penganiayaan. Jurnal Sosial Humaniora Sigli (JSH), Volume 7, Nomor 2. 2024. Hukum Online. Residivis dan Pemberat Pidana Semu Pelaku Tindak Pidana. 19 Juni 2023. https://www.hukumonline.com/stories/article/lt648ea0c5c40e5/residivis-dan-pemberat-pidana-semu-pelaku-tindak-pidana/ Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Pulau Punjung. https://sipp.pn-pulaupunjung.go.id/ Prianter Jaya Hairi. Konsep dan Pembaruan Residivisme dalam Hukum Pidana di Indonesia, 2018. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/73567017/pdf-libre.pdf?1635133829=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DKonsep_dan_Pembaruan_Residivisme_dalam_H.pdf&Expires=1747814115&Signature=OPrCJVM7OShds4f2L4dnwMU22p~LQ~qumhRnuV2xrSI5RWfq0TsYAIkuQAKX1TJ2REJOqE61ClCy6PfTx9nm4YLflXgLTKdbkYhq1sn546lz-TleVTPxO2IsTqA-Qszp~nROmzHdD40C81WiaOca42hKvRx8lJbMPO8T-EFFvOqWd7VIGRQCB4An9TlJCo0SrmoMcEGGDjZIKjSLf1h1I7fMXTiALcNnMSY1~wOD5aLvdNvsnjU7SkiHQdDIuGzA1gkp7KwH52Zql3SqypBC0e5h-b6KskDZ1GvhSfQz2igb3Gm8XbbbB67-x-2aEcUGsZWnTiIVnokm23ZVSX36fA__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA  

Kesederhanaan Hidup, Pencerminan Welas Asih Universal

article | Opini | 2025-05-23 14:10:34

Mempedomani Surat Edaran Nomor 4 tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana Aparatur Peradilan Umum (SE 4/2025) adalah sesuatu hal ikhwal keharusan, bahkan jauh sebelum ditetapkan tanggal 15 Mei 2025 waktu itu pun, semestinya telah terlebih dahulu diterapkan dalam pola kehidupan. Namun demikian, berbicara mengenai hidup sederhana semenjak dahulu kesederhanaan hidup ataupun hidup berkesahajaan hanyalah cap yang dimiliki warga desa semata, bukan merupakan simbol dari kehidupan warga kota, meskipun tidak semuanya  adalah kebenaran, karena ada juga sebagian “orang kota” pada umumnya melakukan penerapan hidup sederhana layaknya mereka yang hidup di desa, entah karena keadaan yang “memaksa” atau karena memang sudah menjadi gaya hidupnya. Jika menelisik jauh ke dalam  SE 4/2025 ini bagi warga Peradilan Umum adalah kebenaran bukan sebagai pembatasan hak pribadi melainkan salah satu bagian dari harapan pencerminan integritas, tanggung jawab dan keteladanan yang sejak lama digaungkan oleh Mahkamah Agung terkhusus dari Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum. Pola ini (hidup sederhana) merupakan simbol dari langkah preventif untuk penguatan judicial Integrity, yang akan bermuara kepada upaya ditekannya segala bentuk pelanggaran kode etik, atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Panitera, Juru sita maupun kode etik lainnya bagi  seluruh aparatur peradilan umum yang dimaksudkan untuk menjaga intergritas, profesionalitas dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Memaknai itu semua, barangkali kita masih ingat tentang sebuah film yang dulu di episodekan di layar kaca jauh sebelum adanya segala bentuk sosial media seperti sekarang ini, tentang seekor raja kera yang sangat sakti yang menantang surga yang bernama Sun Wukong?. Kesaktian raja kera yang mandraguna pada akhirnya juga ditaklukkan buddha dengan mendemonstrasikan hukum relativitas universal yang mustahil, lalu memenjarakannya di dalam “gunung lima elemen” dunia materi dan energi, hingga  sang raja kera pongah pun menderita akibat kejenakaannya yang arogan. Ratusan tahun kemudian, akhirnya orang suci Budhis trans-sejarah Guanyin (Kuan Yin) dengan ketradisionalan yang dihormati sebagai bentuk personifikasi welas asih universal, muncul dihadapan raja kera bertobat dengan membacakan syair: Sayangya si kera ajaib tidak melayani rakyat Tatkala ia dengan gila memamerkan kepahlawanan di hari-hari dahulu kala Dengan hati tidak murni ia menciptakan malapetaka Pada jamuan dewa dewi Dengan keberanian luar biasa ia menuruti egonya Menuju langit kebahagiaan Diatara seratus ribu pasukan Tidak ada yang bisa menandinginya Di surga tertinggi di langit Ia menebarkan aura mengancam Tapi ia terhalang lantaran berjumpa sang buddha Kapan ia akan bebas dan memamerkan kebolehannya lagi? Selanjutnya, sang kera memohon kepada orang suci itu supaya dibebaskan. Orang suci memberikan syarat kesanggupan dengan raja kera harus mendedikasikan dirinya untuk pencarian pencerahan yang lebih tinggi, bukan hanya demi dirinya sendiri melainkan juga untuk umat manusia. Sebelum melepas belenggu si raja kera, untuk memulai perjalanan panjang ke depan, sebagai tindakan pencegahan, orang suci itu memasang simpai dikepalanya sang raja kera, sebuah cincin yang akan mengencang dan menyebabkan kesakitan amat sangat manakala mantra tertentu diucapkan  dengan  memohon belas kasih sebagai tanggapan atas setiap kenakalan yang diperbuat si raja kera.Demikian mitologi Tiongkok yang telah di-film-kan ini sepertinya bisa dimaknai betapa ketidak sederhanaan akan membuat orang menjadi pamer yang terus menerus menyebabkan kesombongan, dan betapa kesombongan menciptakan malapetaka bagi diri sendiri dan orang lain. Oleh sebab itu, meninggalkan kehidupan yang demikian dengan kembali pada pola hidup yang sederhana sebagaimana juga memaknai SE 4/2025, ketradisionalan yang dihormati sebagai personifikasi welas asih universal patut diterapkan, dan memudahkan judicial intergrity dimaksudkan tercapai, sehingga tidaklah diperlukan lagi mantra untuk mengencangkan  simpai yang melingkar di kepala. (LDR)

Kesederhanaan Hidup: Benteng Integritas, Nilai Keagamaan dan Perlindungan Sosial

article | Opini | 2025-05-23 12:05:43

Dalam sistem peradilan, integritas bukan sekadar tuntutan profesi, melainkan panggilan moral dan spiritual yang menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Hakim dan pegawai pengadilan adalah penjaga keadilan sekaligus representasi wajah hukum di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kehidupan mereka, baik di ruang sidang maupun di ruang pribadi, harus menjadi cerminan dari nilai-nilai luhur yang dipegang bangsa Indonesia, termasuk nilai keagamaan dan budaya lokal yang menjunjung tinggi kesederhanaan. Kesadaran akan pentingnya gaya hidup sederhana ini diperkuat melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) Mahkamah Agung Republik Indonesia. Surat ini bukan sekadar pedoman administratif, tetapi merupakan seruan moral dan sosial untuk memperkuat integritas aparatur peradilan melalui pola hidup yang bersahaja, bersih dari perilaku konsumtif, serta bebas dari godaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hidup sederhana dalam konteks ini tidak berarti menolak kemajuan atau menutup diri dari kemudahan modern. Justru sebaliknya, kesederhanaan adalah bentuk kebijaksanaan, yakni hidup sesuai kemampuan, tidak berlebihan, dan tetap fokus pada esensi tugas sebagai pelayan keadilan. Konsep ini sejatinya sejalan dengan ajaran agama-agama besar di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya, yang mengajarkan nilai qana’ah (rasa cukup), zuhud (tidak bergantung pada dunia), kerendahan hati, serta menjauhi riya (pamer) dan kesombongan. Dalam Islam, misalnya, Rasulullah SAW adalah teladan utama kesederhanaan, meski beliau memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Demikian pula ajaran Kristen mendorong hidup dalam kasih, kerendahan hati, dan menjauhi keserakahan. Prinsip dharma dalam Hindu menekankan pada hidup bermakna dan menghindari hawa nafsu berlebihan. Nilai-nilai ini menjadi fondasi spiritual yang dapat memperkuat alasan moral dan religius bagi hakim serta pegawai pengadilan untuk menghindari gaya hidup hedonis yang berpotensi menyeret pada penyalahgunaan kekuasaan. Nilai kesederhanaan ini juga telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Dalam banyak kearifan lokal-seperti falsafah “sederhana itu mulia” di Jawa, prinsip “ada adat, ada aturan” di Minangkabau, atau semangat mapalus di Sulawesi Utara—terdapat kesamaan nilai yang menjunjung harmoni, kesahajaan, dan rasa malu bila berlebihan. Dalam budaya Betawi, misalnya, dikenal istilah “hidup jangan neko-neko”—sebuah prinsip hidup yang sederhana, jujur, dan lurus. Nilai-nilai inilah yang menjadi perekat sosial dan moralitas publik terhadap pejabat dan tokoh masyarakat. Dalam kerangka teori interaksionisme simbolik, simbol kesederhanaan ini akan membentuk persepsi publik tentang integritas. Ketika hakim tidak memamerkan kemewahan atau pegawai pengadilan hidup secara wajar, maka yang terbaca oleh masyarakat bukan sekadar gaya hidup, tetapi nilai kejujuran dan ketulusan. Hal ini memperkuat legitimasi sosial dan membangun jembatan kepercayaan antara rakyat dan lembaga peradilan. Sebaliknya, teori konflik mengingatkan bahwa kesenjangan gaya hidup antara elite hukum dan rakyat biasa dapat memicu ketegangan sosial dan erosi kepercayaan. Oleh sebab itu, dengan mengadopsi kesederhanaan, aparatur peradilan bukan hanya melindungi dirinya dari godaan eksternal seperti gratifikasi, tetapi juga dari penilaian negatif masyarakat yang berujung pada delegitimasi institusi hukum. Hidup sederhana juga selaras dengan Kode Etik Hakim dan Pegawai Pengadilan. Pasal 4 Kode Etik Hakim mengamanatkan untuk menjaga martabat jabatan baik dalam tugas maupun kehidupan pribadi. Pasal 5 menegaskan larangan menerima hadiah atau gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan. Dalam konteks ini, kesederhanaan berfungsi sebagai filter moral yang secara otomatis mencegah lahirnya motif penyimpangan. Demikian pula bagi pegawai pengadilan, hidup sesuai penghasilan resmi bukan hanya bentuk ketaatan terhadap aturan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap masyarakat yang membiayai gaji mereka melalui pajak. Secara praktis, penerapan kesederhanaan dapat diwujudkan dalam beberapa cara: tidak membeli atau memamerkan barang-barang mewah, menyelenggarakan acara keluarga dengan sederhana, menggunakan fasilitas dinas hanya untuk tugas resmi, dan menolak segala bentuk gratifikasi. Hal-hal ini bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi perwujudan dari nilai religius, budaya lokal, dan etika profesional. Dalam kerangka hukum positif, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 memberikan legitimasi legal untuk langkah-langkah tersebut. Ini menjadi bukti bahwa negara tidak hanya mendukung pola hidup sederhana secara moral, tetapi juga secara hukum. Dengan demikian, hidup sederhana bukan lagi pilihan personal, melainkan bagian dari tanggungjawab jabatan. Kesederhanaan juga menjadi kekuatan sosial. Masyarakat akan lebih mudah bersimpati, menghormati, dan melindungi aparatur hukum yang menunjukkan sikap rendah hati dan tidak mencolok. Sosok hakim yang naik sepeda motor atau mobil sederhana ke kantor atau pegawai pengadilan yang tidak menggelar pesta mewah bukanlah simbol kemiskinan, melainkan lambang keteguhan moral. Di tengah era media sosial dan gaya hidup konsumtif, kesederhanaan adalah perlawanan elegan yang membangkitkan kepercayaan publik. Kesimpulan, kesederhanaan hidup bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang berakar dari nilai agama, budaya, etika profesi, dan hukum. Bagi aparatur peradilan, kesederhanaan adalah jalan menjaga kehormatan pribadi dan institusi. Bagi masyarakat, ia adalah jaminan bahwa hukum dijalankan oleh manusia yang layak dipercaya. Dan bagi negara, kesederhanaan adalah benteng terhadap penyimpangan serta fondasi bagi peradilan yang kuat dan bermartabat. Di sinilah letak kekuatan sejati dari seorang hakim dan pegawai pengadilan—bukan pada simbol kemewahan, tetapi pada integritas yang membumi dalam kesederhanaan. (LDR)

Tiga Lukisan J.J de Nijs, Pengingat Pentingnya Menegakan Keadilan

article | Opini | 2025-05-23 09:05:05

Pendahuluan Pembahasan mengenai keadilan telah menjadi diskursus oleh para filsuf dari zaman Plato, Aritoteles, hingga sekarang [1]. Teori-teori hukum alam yang mengutamakan the search for justice sejak Socrates hingga Francois Geny tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum [2]. Pada konteks tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan cita hukum tidak lain daripada keadilan. Artinya, keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Nilai dan wujud keadilan tersebut kemudian tidak hanya dari tataran doktrin tetapi ditemukan pada berbagai catatan sejarah. Beberapa catatan sejarah, menggambarkan bagaimana keadilan tersebut ditegakkan. Sejarah tersebut kemudian dikutip untuk menjadi makna abadi yang masih relevan digunakan dalam praktik peradilan era modern. Pada ajaran Islam, keadilan mendapat porsi kajian paling penting [3]. Prof. Eddy O.S. Hiearij mengutip kisah Hakim Syuraih bin al-Harits al-Kindi dalam putusannya terkait sengketa baju besi antara seorang Yahudi dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai perumpamaan pembuktian di sidang Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019. Khalifah Ali menghadirkan dua saksi: seorang tentaranya dan anaknya, Hasan. Hakim Syuraih menolak kesaksian Hasan walaupun Hasan adalah calon penghuni surga karena ia adalah anak kandung Khalifah, dan hukum Islam melarang anak menjadi saksi untuk orang tuanya sendiri, sehingga kesaksian tentara (satu orang) tidak cukup membuktikan [4]. Pencarian nilai-nilai keadilan pada catatan sejarah kemudian oleh penulis digambarkan dalam suatu istilah yaitu “mengabadikan keadilan”, yang diambil dari tulisan Margaretha Setiona yang menjelaskan “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” karya J.J. de Nijs tahun 1661 [5]. Mengabadikan keadilan mempunyai arti upaya terus menerus mencari makna (napak tilas), belajar, menerapkan serta berkomitmen untuk menjaga agar nilai-nilai keadilan tetap hidup, relevan, dan berdampak positif dalam masyarakat, baik saat ini maupun di masa depan atau dengan sederhana mewariskan nilai keadilan. Pada konteks refleksi Hakim yang ideal dan profesional di era modern, maka nilai yang terkandung pada lukisan Karya Nijs masih relevan untuk diwujudkan melalui pendekatan holistik. Catatan singkatnya, “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” merupakan lukisan dari abad ke-18 ini berdimensi 916 x 323, menjadikan lukisan satu dari sekian lukisan yang cukup panjang dan besar yang dipamerkan dalam Museum Sejarah Jakarta (atau dikenal dengan nama Museum Fatahillah). Dahulu, pada masa penjajahan gedung ini berfungsi sebagai ruang pengadilan (Raad Van Justitie atau Dewan Pengadilan, dan College van Schepenen atau Dewan Kotapraja) [6]. Lalu, apa korelasi lukisan tersebut dengan gedung Raad Van Justitie atau Dewan Pengadilan pada zaman penjajahan Belanda? “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” ternyata menceritakan tiga kisah keputusan pengadilan oleh tiga raja yang berbeda. Di sisi kiri, terlihat Raja Cambyses dari Persia menghukum seorang hakim yang korup. Di bagian tengah, terdapat kisah terkenal tentang Raja Solomo melalui kebijaksanaannya terhadap perebutan bayi antara 2 (dua) perempuan. Di sisi kanan, lukisan menampilkan Raja Zaleukos dari Lokri yang rela mengorbankan salah satu matanya demi menegakkan keadilan. Lukisan ini menjadi pengingat nilai keadilan bagi para hakim di Raad Van Justitie. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai fakta sejarah karya “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan”, nilai-nilai keadilan dalam karya J.J. de Nijs, sekaligus menjelaskan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diimplementasikan dalam praktik peradilan modern. Nilai apa yang dapat dipelajari (pencarian makna keadilan) sehingga nilai tersebut dapat direfleksikan dan diterapkan pada Hakim dalam menghadapi problematika nilai-nilai integritas sehingga seorang Hakim dapat menjadi sosok yang ideal dan profesional di era modern. Fakta Sejarah “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” Seperti yang disinggung sedikit, tiap era mempunyai nilai keadilan yang dapat kita pelajari. “Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan” juga menggambarkan 3 (tiga) kisah dari era yang berbeda. Gambar 1: Tampak 3 (tiga bagian lukisan), yang paling kiri kisah Raja Cambyses dari Persia, tengah Kisah Raja Salomo, dan kanan kisah Raja Zaleukos dari Lokri (diambil dari Bayu Winata, https://bayuwinata.wordpress.com/2014/05/23/cerita-dari-museum-fatahilah/) Berikut adalah uraian sejarah dari masing-masing bagian lukisan: 1.   Kambisus II adalah Raja Diraja (Kaisar) Iran dari Dinasti Akhemeniyah dan berkuasa pada 530-522 SM, putra dan penerus dari Koresy Agung [7]. Koresh Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang mewujudkan undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan. Hakim pada zaman Kambisus II dijunjung tinggi, karena mereka dianggap orang-orang yang arif dan bijaksana, ahli undang-undang dan hukum [8]. Herodutus [9] menceritakan ada seorang hakim bernama Sisamnes yang telah memberikan keputusan yang tidak adil sebagai imbalan suap. Kambisus II lalu menghukum dengan cara “menguliti”, kemudian dari potongan-potongan kulit tersebut digunakan untuk menutupi kursi pengadilan. Kursi tersebut digunakan oleh anaknya, Otanes yang diangkat menjadi hakim baru menggantikan ayahnya. Kursi itu menjadi peringatan keras terhadap orang-orang yang “menduduki-nya” agar tetap berperilaku adil dan tidak korupsi. Hukum begitu ditegakkan, sehingga orang Yahudi menyatakan Hukum Persia tidak ada yang dapat mengubah [10]. 2.   Salomo adalah seorang raja Israel kuno dan putra serta penerus Raja Daud. Perkiraan tanggal pemerintahan Salomo adalah antara tahun 970–931 SM [11]. Raja Salomo mendapatkan anugerah hikmat dan pengertian (kebijaksanaan). Kisah kebijaksanaannya yang terkenal ditulis dalam Alkitab sebagai berikut: Dua perempuan sundal tinggal bersama di satu rumah dan masing-masing melahirkan seorang anak. Salah satu bayi meninggal karena kecelakaan pada malam hari, dan ibu dari bayi yang mati diam-diam menukar anaknya dengan bayi tetangganya yang masih hidup. Keesokan harinya, terjadilah perselisihan antara kedua perempuan tersebut, masing-masing mengklaim bahwa bayi yang hidup adalah miliknya. Mereka menghadap Raja Salomo untuk meminta keputusan. Salomo memerintahkan agar pedang diambil dan bayi yang hidup dipotong menjadi dua, separuh untuk masing-masing wanita. Perempuan yang merupakan ibu sebenarnya dari bayi itu, penuh belas kasihan, langsung memohon kepada raja untuk memberikan bayi itu kepada perempuan lain demi menyelamatkan nyawanya. Namun, perempuan lain setuju dengan keputusan raja untuk membagi bayi itu. Melalui reaksi mereka, Salomo dapat mengenali mana yang benar-benar ibu kandung dari bayi tersebut: ia yang lebih mencintai dan melindungi anaknya. Salomo kemudian memberikan bayi itu kepada perempuan pertama, dan keputusan bijaksana ini membuat seluruh Israel takjub serta mengakui bahwa hikmat Allah ada dalam diri Salomo [12]. 3.   Zaleucus adalah seorang pembuat hukum Yunani kuno dari Epizephyrian Locris di Magna Graecia, yang hidup pada abad ke-7 SM. Zaleucus dikenal sebagai perancang kode hukum tertulis pertama di Eropa, yaitu Kode Locrian. Salah satu hukum yang ditulisnya adalah penghukuman bagi berzinah dengan perampasan penglihatan atau pencungkilan mata [13]. Suatu ketika anak dari Zaleucus melakukan perzinahan. Alih-alih menggunakan kekuasaan-nya untuk meloloskan hukuman anaknya, Zaleucus tetap mencungkil satu mata anaknya, sedangkan ia sendiri mencungkil matanya sendiri sebagai konsekuensi karena tidak bisa mendidik anaknya sekaligus menyelamatkan mata anaknya dari kebutaan total, tanpa menghindari hukuman [14]. Nilai Keadilan di Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan Keadilan merupakan salah satu pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hakim, sebagai penjaga keadilan, memiliki peran penting dalam menegakkan hukum dengan keputusan yang mencerminkan moral dan kebijaksanaan. Namun, di era modern, hakim menghadapi tantangan kompleks seperti tekanan masyarakat, suap, konflik kepentingan, dan perubahan sosial. Dalam konteks ini, karya seni seperti “Tiga Keputusan Pengadilan” karya J.J. de Nijs menunjukkan bahwa problematika tersebut telah ada sejak jaman dahulu. Namun, kita dapat belajar juga bagaimana keputusan diambil dan  nilai keadilan tetap ditegakkan. Lukisan ini, yang menggambarkan tiga adegan dinamika pengadilan berbeda, tidak hanya menampilkan keadilan secara visual, tetapi juga menyiratkan nilai-nilai universal seperti integritas, empati, dan kebijaksanaan, yang relevan bagi para hakim di masa kini. Pada lukisan pertama, menggambarkan bagaimana permasalahan korupsi atau suap di dunia peradilan yang terjadi sampai saat ini. Romli Atmasasmita sendiri telah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia yang menyebar di tubuh pemerintahan sejak tahun 1960-an dan pemberantasannya masih tersendat-sendat sampai sekarang [15]. Terakhir, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan suap beberapa Ketua Pengadilan Negeri. Refleksi yang dapat diambil dari “Tiga Keputusan Pengadilan” adalah penghukuman terhadap Hakim yang menerima suap bisa menjadi hukuman paling tinggi dibandingkan Pejabat Negara lainnya, karena Hakim (sebagai wakil Tuhan di dunia) dengan jabatan luhur-nya merupakan harapan terakhir masyarakat untuk memperoleh keadilan, sehingga penyalahgunaan kewenangannya memiliki konsekuensi berbanding dengan kehormatan dan kepercayaan yang diberikan. Pada zaman Raja Kambisus II, hukuman hakim yang melakukan suap adalah dikuliti, selanjutnya kulit tersebut dijadikan lapisan kursi pengadilan sebagai peringatan keras terhadap orang-orang yang “menduduki-nya” agar tetap berperilaku adil dan tidak korupsi. Pada era sekarang, mungkin tindakan tersebut tidak mungkin dilakukan, namun menjadi peringatan keras bahwa hukuman maksimal dapat saja diberikan kepada hakim yang menerima suap, karena keadilan tidak dapat diperjual-belikan. Hidup bermoral (bersih) merupakan fondasi dasar bagi Hakim untuk mengadili suatu perkara. Haris Azhar, menyadur kisah Nabi Isa dalam menghadapi sebuah perkara untuk mengadili seorang perempuan yang berzinah. Ia dibawa ke hadapan Nabi Isa dan para ahli agama untuk dihukum rajam. Nabi Isa menyatakan, “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu ke perempuan ini”. Metafora ini menggambarkan bahwa tidak boleh seseorang menghukum yang lain apabila tangan-nya sendiri kotor, demikian juga seorang hakim harus senantiasa bersih [16] Pada lukisan kedua, menggambarkan bagaimana problematika menghadapi permasalahan dan memberikan keputusan seadil-adilnya, walaupun bukti yang dihadirkan sangatlah minim dan dengan teknologi yang belum maju. Seorang Hakim modern harus mampu berpikir di luar kotak untuk menggali kebenaran, terutama dalam kasus-kasus yang sulit atau minim bukti. Tentu juga melatih intuisi dan kebijaksanaan dalam memutus perkara. Tidak lupa yang terpenting, bahwa Salomo mendapatkan kebijaksanaan dari ibadah yang dijalani, begitu juga Hakim harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dan ajaran Agama. Hasilnya, keputusan yang adil dan transparan akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, sama seperti rakyat Israel yang akhirnya mempercayai kepemimpinan Raja Salomo. Terakhir, lukisan ketiga menggambarkan bagaimana menghadapi kasus yang berhubungan dengan kepentingan pribadi. Zaleucus tetap menegakkan hukum (keadilan), walaupun anak-nya yang dihukum, bahkan menghukum dirinya karena kesalahan anaknya. Kisah Zaleucus memberikan pelajaran moral tentang pentingnya hukum dalam menciptakan tatanan sosial yang adil. Tindakannya menjadi teladan bagi masyarakat tentang pentingnya menaati hukum. Demikian juga Hakim, dituntut untuk tetap independen, tidak memihak dalam menegakkan hukum walaupun ada konflik kepentingan dalam perkara yang ditangani. Jika demikian terjadi, maka upaya pertama yang dilakukan adalah mundur dari penanganan perkara. Hakim dituntut berintegritas dan memberikan pelajaran hukum kepada masyarakat bahwa hukum yang adil adalah hukum yang ditegakkan kepada siapapun (equality before the law). I.        Lampiran   Gambar 1: Lukisan “Cambyses Appointing Otanes Judge”, oleh Peter Paul Rubens Metropolitan Museum of Art (diambil dari The Met Fifth Avenue (MetMuseum), https://www.metmuseum.org/art/collection/search/437539) Gambar 2: Lukisan “The Justice of Zaleucus oleh Pietro Bonaccorsi, dikenal dengan as Perin del Vaga (Florence, 1501 - Rome, 1547)  (diambil dari Le Gallerie degli Uffizi, https://www.uffizi.it/en/artworks/justice-of-zaleucus).(LDR/AAR)   Daftar Pustaka [1] Titus, Harold H, 1984,  Living Issues in Philosophy, diterjemahkan oleh M. Rasjidi dengan judul Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang. [2] Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, hal. 196 [3] Musa Asya’rie, 1994, Agama, Kebudayaan dan Pembangunan Menyongsong Era Industrialisasi, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, hal. 99 [4] Nusirwan, 2015, Putusan Hakim Syuraih Dalam Kasus Baju Besi, Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru [5] Margaretha Setiona, Mengabadikan Keadilan: Lukisan Tiga Keputusan Pengadilan, https://kumparan.com/margarethasetiona/mengabadikan-keadilan-lukisan-tiga-keputusan-pengadilan-20ZQN9hSWv6, Kumparan, 11 Juni 2023, diakses pada tanggal 13 April 2025. [6] A. Heuken SJ, 2015, Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Cipta Loka Caraka [7] Jerry H. Bentley, 2006, Traditions & Encounters: A Global Perspective On the Past, New York: The McGraw-Hill Companies, hal 162. [8] Pada Alkitab Esther 1:13-14, kedudukan mereka begitu tinggi sehingga boleh memandang wajah Raja [9] Sejarawan Yunani Kuno yang lahir di Halikarnasos, Karia (Bodrum, Turki modern) dan hidup pada abad ke-5 SM (sekitar 484 SM - 425 SM). Dia disebut sebagai "Bapak Sejarah" [10] A.T. Olmstead, 1948, History of The Persian Empire, Chigago & London: The University of Chicago Press, hal. 129 [11] Khan, Geoffrey, 2020 The Tiberian Pronunciation Tradition of Biblical Hebrew,  Open Book Publishers, hal. 305 [12] 1 Raja–Raja 3: 1–28, Al-Anbiya' (21): 79: Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya. [13] William Smith, Zaleucus, https://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3 Atext%3A1999.04.0104%3Aalphabetic+letter%3DZ%3Aentry+group%3D1%3Aentry%3Dzaleucus-bio-1, diakses pada 15 April 2025 [14] Pietro Bonaccorsi dalam Lukisan “The Justice of Zaleucus” tahun 1521, di Museum The Uffizi, Italia. [15] Romli Atmasasmita, 2004, Sekilar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Bandung: Mandar Maju, Bandung, hal. 1 [16] Haris Azhar dalam wawancaranya bersama Akbar Faizal tentang kasus narkoba yang melibatkan jaringan kepolisian, https://www.youtube.com/watch?v=E955OPGz7qc, diakses pada 16 April 2025

Filosofi Stoik dalam Menerapkan Pola Hidup Sederhana Aparatur Peradilan Umum

article | Opini | 2025-05-23 08:30:34

Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) memahami keresahan masyarakat Indonesia yang prihatin atas kondisi peradilan sekarang. Dengan terbitnya Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana Aparatur Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) menghimbau agar aparatur peradilan umum untuk menghindari gaya hidup atau lifestyle yang hedonis. Menariknya, masih banyak orang yang memiliki pandangan yang berbeda mengenai hedonisme. Sampai mana batas hedonisme atau berlebihan yang dimaksud? Hedonisme, sebagaimana dikemukakan oleh Aristippos, diartikan sebagai paham yang menempatkan kesenangan dan terhindarnya hidup dari rasa sakit sebagai tujuan akhir hidup. Aliran hedon kemudian menempatkan gaya hidup bersenang-senang sebagai fokus utama dari kehidupan untuk menyadarkan pentingnya momen saat ini. Stoisisme atau filsafat Yunani tertua sebagaimana telah dikembangkan oleh Henry Manampiring dalam buku Filosofi Teras menjelaskan mengenai pola pikir dasar manusia berkaitan dengan kekayaan dimana filsuf Epicetus mengatakan “saya lebih kaya, artinya saya lebih baik dari kamu. Pemahaman tersebut adalah nalar yang keliru” (Manampiring, 2023). Gaya hidup melalui penampakan aset, properti, atau harta hanyalah permasalahan kuantitas. Banyaknya kuantitas tidak memastikan kualitas pribadi manusia. Artinya juga jangan memandang rendah orang yang harta bendanya lebih rendah dari orang tersebut juga. Himbauan dari Ditjen Badilum ini hendaknya direnungkan sebagai pengejewantahan dari filosofi teras yaitu daripada memenuhi keinginan hal-hal di luar kendali kita (dalam hal ini adalah citra aparatur peradilan umum yang hedon), maka aparatur peradilan umum ikhlas menerima dan berusaha mengendalikan keinginan pribadi untuk membuktikan kemampuan dalam tataran kuantitas gaya hidup. Sebagai aparatur peradilan umum, sudah menjadi kewajiban dan esensi dari aparatur untuk bekerja memberikan pelayanan peradilan yang berkeadilan. Sejatinya, lebih membahagiakan dan bermakna untuk bekerja seoptimal mungkin dalam memberikan pelayanan berkeadilan. Filosofi Arete atau filosofi keutamaan bahwa dalam kinerja aparatur peradilan harus menjunjung keadilan oleh karena kebaikan bersama (common good) akan dijaga ketika keadilan dalam bekerja telah terpenuhi (Manampiring, 2025). Mari bersama wujudkan pola gaya hidup sederhana untuk mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung. (NH/LDR)

Mengenal Lebih Dekat Anti SLAPP di Indonesia

article | Opini | 2025-05-21 12:00:45

Pernahkah Anda membayangkan, saat ini menghirup udara segar, namun tiba-tiba kualitasnya memburuk dan tercemar? Lebih ironis lagi, ketika Anda berjuang menyampaikan keluhan kepada pihak berwenang, justru langkah Anda dihambat atau malah Anda dirugikan lagi oleh pihak yang berkuasa atau pihak yang memiliki kemampuan (dalam segala hal, Mis. ekonomi, sosial, jabatan, kekuasaan, politik) dan lebih parahnya jerat yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang sah berlaku di Indonesia. Ironi ini bisa kita sebut dengan istilah Strategic Lawsuit Against Public Participation. Alih-alih menjadi mekanisme keadilan, peraturan perundang-undangan dalam konteks ini berpotensi disalahgunakan oleh pihak yang memiliki sumber daya lebih besar—baik ekonomi, sosial, jabatan, kekuasaan, maupun politik—untuk membungkam kritik dan partisipasi publik. Menyikapi ironi ketika hak menyampaikan aspirasi atas dugaan pencemaran lingkungan justru berujung pada ancaman jeratan hukum, konsep Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) hadir sebagai mekanisme krusial. Anti-SLAPP bertujuan melindungi individu atau kelompok yang menyampaikan kritik atau berpartisipasi dalam isu publik dari tuntutan hukum yang bersifat strategis, yang tujuan utamanya bukan mencari keadilan, melainkan membungkam dan menimbulkan efek jera. Di Indonesia, perlindungan terhadap para pejuang lingkungan dan masyarakat yang menyampaikan aspirasi terkait isu lingkungan menemukan pijakannya dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal ini secara eksplisit mengatur bahwa pembela lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas upaya mereka dalam memperjuangkan hak lingkungan yang baik dan sehat. Lebih lanjut, sebagai bentuk komitmen  Mahkamah Agung dalam penegakan hukum lingkugan hidup, pada tanggal 12 Juni 2023, telah diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (PERMA 1/2023). Perma ini hadir sebagai angin segar dan memberikan landasan hukum yang memungkinkan para pejuang lingkungan hidup yang selama ini rentan dikriminalisasi secara pidana atau digugat secara perdata atas aksi pembelaan mereka, kini memiliki mekanisme untuk meminta agar perkara yang menjerat mereka dihentikan. Perlindungan hukum bagi para pejuang hak atas lingkungan hidup dari ancaman gugatan perdata diatur secara khusus mekanismenya dalam Pasal 48 hingga Pasal 51 PERMA 1/2023. Di dalam Pasal 49 PERMA 1/2023 secara tegas menggarisbawahi bahwa setiap gugatan perdata, termasuk gugatan balik (rekonvensi), yang terindikasi kuat bertujuan untuk menjegal perjuangan masyarakat dalam meraih hak atas lingkungan yang sehat dan berkualitas, adalah sebuah pelanggaran nyata terhadap amanat Pasal 66 UU PPLH. Lebih lanjut, pasal ini memberikan amunisi berharga bagi para pejuang lingkungan yang terseret dalam pusaran gugatan perdata, dengan memberikan hak untuk mengajukan eksepsi atau jawaban yang jelas menyatakan bahwa gugatan tersebut tak lain adalah upaya pembungkaman atas aksi pembelaan hak lingkungan mereka. Ini adalah penegasan bahwa pengadilan tidak boleh menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk melemahkan suara-suara yang berjuang demi lingkungan hidup. Hal lain yang tak kalah menarik, bahwa di dalam Pasal 50 PERMA 1/2023 secara eksplisit mengamanatkan bahwa ketika tergugat mengajukan eksepsi, lengkap dengan bukti permulaan yang mengindikasikan gugatan penggugat merupakan bentuk pembungkaman terhadap pembelaan lingkungan sebagaimana diatur Pasal 66 UU PPLH, hakim pemeriksa perkara memiliki kewajiban untuk memberikan waktu yang singkat namun krusial, yakni tujuh hari, kepada penggugat untuk memberikan tanggapannya. Hakim pemeriksa perkara segera, wajib menjatuhkan putusan sela paling lambat 30 hari sejak eksepsi diajukan. Ketentuan ini adalah tamparan keras bagi praktik pengadilan yang berlarut-larut, sebuah kepastian hukum yang mendesak agar para pejuang lingkungan tidak terperangkap dalam labirin ketidakpastian. Putusan sela dalam tempo sesingkat itu menjadi indikator keseriusan pengadilan dalam menimbang dugaan praktik SLAPP, memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi retorika, namun terwujud dalam tindakan nyata dan cepat. Ketika tergugat berhasil meyakinkan hakim atas kebenaran eksepsinya, maka gugatan penggugat akan dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, jika eksepsi tersebut gagal dibuktikan, pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke pokok perkara. Lebih jauh lagi, jika dalam proses pemeriksaan pokok perkara hakim menemukan bukti kuat adanya pelanggaran terhadap Pasal 66 UU PPLH maka gugatan penggugat akan ditolak, dan bahkan hakim dapat mengabulkan tuntutan ganti rugi baik dalam bentuk kerugian materiil dan/atau imateriil yang diajukan tergugat melalui gugatan baliknya (rekonvensi). Perlindungan dari tuntutan pidana bagi pejuang lingkungan mirip dengan perlindungan dari gugatan perdata. Terdakwa bisa mengajukan keberatan bahwa ia adalah pejuang lingkungan yang dilindungi UU PPLH. Hakim lalu memberi waktu 7 hari bagi jaksa untuk menanggapi. Dalam 30 hari, hakim memutuskan sela. Jika terbukti ada pelanggaran Pasal 66 UU PPLH, hakim langsung memutus bahwa tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa memeriksa pokok perkara, namun jaksa bisa kasasi. Jika pelanggaran tidak terbukti, keberatan terdakwa ditolak dan sidang lanjut ke pokok perkara. Namun, jika di sidang pokok perkara terbukti pelanggaran Pasal 66 UU PPLH, dakwaan jaksa tetap dinyatakan tidak dapat diterima. Bahkan, jika perbuatan terdakwa terbukti tapi ia adalah pejuang lingkungan, hakim bisa memutus lepas dari segala tuntutan. Bentuk-Bentuk Pelindungan Hukum Pelindungan hukum diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berikut adalah sejumlah kriteria yang dapat menjadi panduan bagi hakim dalam mengevaluasi apakah tindakan seseorang layak mendapatkan perlindungan Pasal 66 UU PPLH: Penyampaian usulan atau keberatan mengenai pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup baik secara lisan maupun tertulis, penyampaian keluhan, pengaduan, pelaporan dugaan tindak pidana, gugatan administrasi atau perdata, atau proses hukum lain yang berkaitan dengan pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, penyampaian pendapat, kesaksian, atau keterangan di persidangan, penyampaian pendapat di muka umum, lembaga pers, lembaga penyiaran, media sosial, aksi unjuk rasa, mimbar bebas, atau forum lainnya; dan/atau komunikasi baik lisan maupun tertulis lainnya kepada lembaga negara dan/atau lembaga pemerintah terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Upaya memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat haruslah sejalan dengan koridor hukum yang berlaku. Namun, tindakan yang melampaui batas hukum dapat dibenarkan jika terbukti tidak ada opsi lain yang memungkinkan dan tindakan tersebut semata-mata dilakukan demi melindungi kepentingan hukum yang lebih besar bagi masyarakat luas. Ketentuan ini menciptakan keseimbangan yang krusial antara kepatuhan terhadap hukum dan perlunya tindakan luar biasa dalam kondisi mendesak demi kepentingan publik yang lebih besar. Hadirnya Perma 1/2023 merupakan langkah maju yang signifikan dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pejuang lingkungan hidup di Indonesia. Peraturan ini tidak hanya menjawab ironi praktik SLAPP yang membungkam suara kritis, tetapi juga memperjelas mekanisme dan kriteria perlindungan, baik dalam ranah perdata maupun pidana. Implementasi Perma ini secara konsisten dan berintegritas oleh aparat penegak hukum, khususnya hakim, akan menjadi kunci dalam mewujudkan keadilan lingkungan dan memastikan bahwa keberanian masyarakat dalam membela lingkungan tidak lagi menjadi celah untuk kriminalisasi atau gugatan yang tidak berdasar. (LDR/AAR)

Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia

article | Opini | 2025-05-21 08:00:52

Pendahuluan FEMISIDA terbentuk  dari kata Femi yang berasal dari  kata female yang berarti perempuan, sedangkan sida berasal dari bahasa latin caedera yang berarti pembunuhan. Sehingga femisida berarti penghilangan nyawa perempuan atau anak perempuan karena dia perempuan atau karena kekerasan berbasis gender. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah femisida artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan. Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Istilah “femisida” pertama kali  digunakan oleh John Corry, Sejarawan Inggris  Tahun 1801  dalam bukunya “A Satrical View of London at the Commencement of the nineteenth Century”  untuk merujuk pada pembunuhan terhadap perempuan. Kemudian di  tahun 1976 Profesor Diana EH Russell  bersama Nicole van Den Hen, tokoh pelopor, pakar, aktivis feminis  kekerasan laki-laki terhadap perempuan, di Pengadilan Internasional Kejahatan terhadap Perempuan International Tribunal on Crimes  Against women di Brussels, Belgia menggunakan istilah tersebut untuk menarik perhatian publik pada kekerasan dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan. Pada awalnya, femisida didefinisikan sebagai “pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang dimotivasi oleh kebencian, penghinaan, kesenangan, atau rasa memiliki terhadap “perempuan” dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki.” Kemudian Prof Russel menyederhanakan definisi femisida menjadi ”pembunuhan satu atau lebih perempuan oleh satu atau lebih laki-laki karena mereka perempuan” dalam pidato pengantarnya pada Simposium PBB tentang Femisida pada tanggal 26 November 2012. Femisida dan Beragam Kasus di Indonesia Komnas perempuan baru merumuskan istilah femisida tersebut 9 (sembilan) tahun setelah Simposium PBB dengan  merujuk pada situasi di Indonesia. Karena, istilah femisida maknanya yang diterima sering kali bervariasi, tergantung pada perspektif siapa yang sedang diperiksa atau dari negara atau kawasan dunia mana. Fenomena femisida, termasuk konseptualisasi dan pengukurannya, terus menjadi subjek diskusi internasional baik itu dikalangan akademis, kebijakan, dan aktivis serta dalam lembaga legislatif dan kebijakan regional, nasional, dan lainnya. Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendefinisikan femisida dengan merangkumkan definisi yang telah disusun oleh Pelopor Khusus Anti Kekerasan terhadap Perempuan PBB, OHCHR dan UN Women dan WHO sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida juga didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, juga berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik. Berdasarkan data Komnas Perempuan, di Indonesia sepanjang tahun 2020 hingga 2023, terjadi total 798 kasus femisida di Indonesia. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan tentang Pemantauan Femisida tahun 2024 melalui pemberitaan media online untuk periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024 dari 33.225 berita ditemukan 290 kasus dengan indikasi femisida. Tahun 2023 diketahui terdapat femidia intim yang dilakukan suami sebanyak 71 kasus, dilakukan pacar 47 kasus, dilakukan anggota keluarga 29 kasus dan dilakukan pengguna layanan seksual 16 kasus. Alasan tertinggi yang terungkap adalah cemburu atau sakit hati, penolakan hubungan seksual, masalah finansial dan kekerasan seksual. Aparat penegak hukum  belum memiliki keberpihakan yang terlalu baik. Padahal Femisida adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut disebabkan Indonesia belum mengatur tentang femisida secara khusus. Meskipun Indonesia memiliki beberapa aturan tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan  yang tersebar antara lain UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT dan UU TPKS yang secara eksplisit belum mengatur tentang femisida. Femisida dalam Instrumen Internasional Negara-negara yang telah mengintegrasikan femisida dalam perundang-undangan tindak pidana, antara lain Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, El Savador, Guatemala, Honduras, Meksiko, Nikaragua, Panama, Peru, Paraguay, Uruguay dan Venezuela. Untuk menjelaskan apa itu femisida, WHO Pelopor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan, Deklarasi Wina, dan UN Women and UNODC, inter-agency working document (victim dissaggregations) telah  menetapkan 9 (sembilan) perbuatan yang tergolong  kategori femisida tersebut sebagai berikut: Femisida Intim merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh suami/mantan suami atau pacar/mantan pacar atau pihak lainnya.Femisida Budaya, merupakan serangkaian bentuk femisida yang terdiri dari beberapa sub bagian terkait sebagai berikut: Femisida atas nama kehormatan, yaitu pembunuhan perempuan demi menjaga kehormatan keluarga atau komunitas. Pembunuhan dilakukan karena perempuan dianggap melakukan pelanggaran, perzinahan, diperkosa atau hamil diluar nikah; Femisida terkait mahar: yaitu pembunuhan perempuan karena konflik mas kawin, misalnya karena dianggap tidak sesuai dengan keluarga calon suami; Femisida Terkait Ras, Suku dan Etnis yaitu pembunuhan perempuan adat etnis tertentu, kecenderungan pada ras, suku dan etnis minoritas; Femisida Terkait tuduhan sihir, yaitu pembunuhan berdasarkan tuduhan terkait sihir atau santet; Femisida terhadap pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation/circumcision) (FGM/C) atau dikenal pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP) merupakan bagian dari kontrol terhadap seksualitas atau organ reproduksi perempuan yang dapat berdampak kematian anak perempuan dan perempuan dewasa; femisida bayi (aborsi, balita dan batita) yaitu pembunuhan terhadap bayi perempuan karena dianggap tidak berharga dibandingkan bayi laki-laki, termasuk aborsi selektif terhadap janin jenis kelamin perempuan dan anak penyandang disabilitas. Dalam budaya patrilineal, bayi perempuan dianggap bukan penerus kekerabatan dan garis keturunan keluarga luas dalam komunitas. Femisida Konteks Konflik Bersenjata, merupakan pembunuhan dalam konteks konflik bersenjata, biasanya didahului kekerasan fisik yang dilakukan aktor negara maupun non negara, UNODC menyatakan penargetan perempuan dalam konflik bersenjata dan penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang (weapon of war) digunakan untuk menghancurkan tatanan masyarakat, seperti perempuan yang mengalami pemerkosaan dalam konflik sering dijauhi dan dikucilkan oleh komunitas mereka. Femisida Konteks Industri Seks Komersial merupakan pembunuhan perempuan pekerja seks oleh klien atau kelompok lain karena perselisihan biaya atau kebencian terhadap kelompok pekerja seks komersial.Femisida perempuan dengan Disabilitas, merupakan pembunuhan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena kondisinya ataupun efek domino karena telah terjadi kekerasan seksual hingga kehamilan.Femisida Orientasi Seksual dan  Identitas Gender merupakan pembunuhan yang didasarkan kebencian dan prasangka terhadap minoritas seksual.Femisida di Penjara, merupakan pembunuhan yang terjadi pada tahanan perempuan dalam konteks sistem penjara.Femisida Non Intim (Pembunuhan Sistematis) merupakan pembunuhan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan intim dengan korban, bisa terjadi secara acak terhadap korban tidak dikenal atau pembunuhan sistematis oleh aktor negara maupun non negara;Femisida Pegiat HAM/Pegiat Kemanusiaan. Merupakan pembunuhan dilakukan aktor negara atau non negara terhadap perempuan yang berjuang bagi pemenuhan HAM di komunitasnya atau masyarakat luas. Perjuangan ini dianggap mengancam atau merugikan kepentingan ekonomi kelompok tertentu. Instrumen Internasional yang berkenaan dengan perlindungan  femisida yaitu: Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan :”Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu dan Pasal 5 yang menyatakan ”Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi atau dihina.”Pasal 3 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sosial dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights/ ICCPR)  yang telah disahkan melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik  yang menyatakan “Setiap orang memiliki hak atas hidup dan Pasal 7 menyatakan “hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi”.Pasal 3 Komentar Umum Komite ICCPR pada tahun 2000 tentang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah disahkan melalui UU No 7 Tahun 1984 tentang CEDAW. Dimana Pasal 1 melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Femisida merupakan pembunuhan berdasarkan jenis kelamin perempuan. Pasal 2 menyatakan negara pihak berkewajiban mengadopsi kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan. Kewajiban ini bersifat alamiah, tidak boleh ada pembenaran atas penundaan berdasarkan apapun termasuk alasan ekonomi, budaya atau agama. Kewajiban negara mencakup tanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap perempuan atau pembiaran yang dilakukan aktor negara atau non state actor.Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang kekerasan terhadap perempuan yang menetapkan diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 CEDAW mencakup kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan. Kekerasan berbasis gender merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mampu menikmati hak-hak dan kebebasan dasar secara setara dengan laki-laki. Butir 7 Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang kekerasan berbasis gender yang merusak, menghalangi atau meniadakan penikmatan oleh perempuan terhadap hak asasinya dan kebebasan fundamental berdasarkan hukum internasional atau berdasarkan konvensi HAM, adalah diskriminasi dalam pengertian Pasal 1 CEDAW.Rekomendasi Umum No 33 CEDAW tentang Akses pada keadilan. Meski perempuan korban meninggal, namun negara wajib menegakkan keadilan dengan menginvestasi kasusnya, memberi ganti rugi kepada keluarganya dan pemulihan yang diperlukan serta menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya.Rekomendasi Umum No 35 yang merupakan perluasan dari Rekomendasi Umum No 19 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa kekerasan tersebut merupakan masalah sosial dan bukan individual sehingga membutuhkan respon yang komprehensif dari negara. Rekomendasi ini menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender terjadi  di semua tempat dan ruang interaksi  manusia, publik maupun pribadi, termasuk dalam pengaturan konteks keluarga, komunitas, ruang publik. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dapat diakibatkan oleh perbuatan, pengabaian atau kelalaian aktor negara atau bukan negara,  yang bertindak secara teritorial atau ekstrateritorial, termasuk tindakan militer ekstrateritorial negara, secara individu atau sebagai anggota organisasi atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstrateritorial atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstrateritorial operasi perusahaan swasta.Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah disahkan melalui UU No 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights People With Disabilities (CRPD) dan diturunkan dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis dibandingkan dengan perempuan non disabilitas. Pertama, karena gendernya. Kedua, kondisi disabilitas yang mengakibatkan mereka mengalami berbagai hambatan. Pasal 5 menyatakan hak perempuan penyandang untuk “bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. (Ayat IV).Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia kemudian mengimplementasikan konvensi tersebut melalui Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2002 tentang   Perlindungan Anak No 23 yang direvisi dengan UU No 35 Tahun 2014 dan UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.Dokumen hasil Pertemuan Tinjauan Regional Beijing +25 yang diorganisir Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa pada Oktober 2019 menyatakan mendukung prakarsa Pemantau Femisida (Femisida Watch). Rekomendasi No. 31 menyerukan kepada semua negara agar membangun badan nasional multidisiplin seperti Pemantau Femisida yang bertujuan bekerja secara aktif untuk pencegahan femisida atau pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan.Sekjen PBB pada pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi Dunia IV tentang Perempuan pada 1 Oktober 2020 menyerukan tindakan afirmasi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan termasuk femisida.Pembangunan Berkelanjutan (SDGS) sebagaimana tujuan 16.1 “Pengurangan secara signifikan jumlah segala bentuk kekerasan dan angka kematian perempuan di mana pun”. Konsepsi Femisida Dalam Kerangka Hukum Nasional di Masa Depan Khususnya di Indonesia memiliki beberapa aturan tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan yang tersebar antara lain UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT dan UU TPKS yang secara eksplisit belum mengatur tentang femisida. Berdasarkan berbagai regulasi tersebut menunjukan femisida masih belum sepenuhnya mendapat tempat dalam kerangka hukum nasional. Akibatnya, perkara-perkara pembunuhan yang seharusnya masuk ke ranah femisida, tumpang tindih dengan kejahatan-kejahatan lainnya. Berdasarkan peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan di Indonesia belum mendefinisikan fenomena penanganan kasus femisida yang telah disepakati secara global sebagaimana definisi menurut Deklarasi Wina, sehingga  penanganan femisida masih bersifat umum, definisi femisida sebagai salah satu bentuk pembunuhan motifnya belum terlihat terkait gender korban. Misalnya Pembunuhan perempuan akibat kekerasan oleh pasangan intim/rumah tangga tidak secara spesifik mendefinisikan kasus sebagai bagian dari femisida. Sebagaimana UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan KUHP yang berlaku, kasus berikut lebih mengarah dan condong ke kasus pembunuhan umum yang melihat perempuan korban tindak pidana KDRT yang menyebabkan hilangnya nyawa korban. Berdasarkan Pasal 5 UU PKDRT melarang kekerasan rumah tangga dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. KDRT yang menyebabkan kematian setara dengan tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP) atau penganiayaan berat dengan rencana (Pasal 352 ayat 2). Penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan tidak didefinisikan secara khusus sebagai kasus femisida dan landasan hukum yang berlaku merujuk ke KUHP dan bila perlu UU Perlindungan Anak. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama kehormatan seseorang maupun kolektif tidak diatur dalam undang-undang yang berlaku. Aturan pasal yang memayungi kasus-kasus spesifik atas nama kehormatan  lebih umum sehingga motif ini mengarah pada rujukan KUHP. Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik bersenjata belum memiliki aturan khusus dalam perundang-undangan di Indonesia, sepenuhnya merujuk ke KUHP. Pembunuhan perempuan terkait mahar belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, landasan hukum yang digunakan merujuk KUHP. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan karena orientasi seksual dan identitas gender hingga saat ini belum memiliki hukum yang khusus mengatur hal tersebut. Dalam praktiknya motif pembunuhan terhadap perempuan dan anak ini berlaku ketentuan KUHP serta UU Perlindungan Anak. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan penduduk asli karena jenis kelamin hingga kini belum diatur dalam perundang-undangan khusus yang mengatur motif pembunuhan tersebut. Landasan hukum yang digunakan sebagai rujukan adalah KUHP dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pasal 4 huruf B angka 4 menyatakan” Melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul,  pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis’. Pembunuhan bayi perempuan dan pembunuhan janin berdasarkan jenis kelamin belum memiliki landasan hukum yang mengatur mengenai motif pembunuhan tersebut ataupun aborsi selektif atas dasar jenis kelamin. Perundang-undangan yang dijadikan rujukan adalah KUHP dan UU Perlindungan Anak. Kematian terkait P2GP belum diatur dalam peraturan khusus yang melarang praktik tersebut secara jelas. Pembunuhan perempuan karena tuduhan sihir tidak memiliki hukum yang khusus mengatur hal tersebut. Pembunuhan berbasis gender lainnya yang berhubungan dengan geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api belum diatur secara khusus. Motif pembunuhan tersebut merujuk pada KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Berdasarkan uraian diatas jelaslah dalam perundang-undangan nasional, femisida ditempatkan sebagai kriminalitas umumnya dan bukan kejahatan berbasis gender. Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum terkait femisida di Indonesia adalah; Pembunuhan sebagaimana diatur dalam  Pasal 338 KUHP “Ada dua unsur esensial dalam pasal ini yaitu adanya unsur subjektif dengan sengaja dan unsur objektif menghilangkan nyawa orang lain.Pembunuhan disertai atau didahului tindak pidana lain sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP.Pembunuhan berencana  sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.Tindak Pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur dalam  Pasal 351 ayat 3 KUHP.Penganiayaan dengan perencanaan terlebih dahulu jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 353 ayat 3 KUHP.Penganiayaan berat jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 354 ayat 2 KUHP. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 355 ayat 2 KUHP.Penelantaran yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 ayat 2 KUHP.Perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 304 KUHP (menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara) dan Pasal 305 KUHP (menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak) yang mengakibatkan kematian.Pemerkosaan yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 291 Ayat 2 KUHP.Perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 285  KUHP (pemerkosaan), Pasal 286 KUHP (persetubuhan), Pasal 287 KUHP (persetubuhan dengan anak), Pasal 289 KUHP (perbuatan cabul) dan Pasal 290 KUHP (perbuatan cabul terhadap anak) yang  mengakibatkan kematian.Kekerasan terhadap Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”Kekerasan seksual terhadap Anak yang menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 D UU Perlindungan Anak.Pembunuhan Anak (perempuan) sebagaimana diatur dalam  Pasal 341 KUHP.Pembunuhan Anak (perempuan)  sebagaimana diatur dalam pasal 342 KUHP.Pengguguran dan Pembunuhan terhadap Kandungan/Janin (Aborsi) sebagaimana diatur dalam Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.UU perlindungan Anak Pasal 45 A mengenai perbuatan aborsi.Pasal 347 KUHP “Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”Pasal 347 KUHP ayat (1) dengan diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.Pasal 348 KUHP. Ayat (1) barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita lain, diancam dengan pidana penjara selama paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.Pasal 449 KUHP. Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan tersebut dalam Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal itu dapat ditambah  dengan sepertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaannya dalam mana kejahatan itu dilakukan.Pembunuhan Berhubungan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO). Kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan seksual yang diikuti dengan pembunuhan sendiri sering dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Namun, di berbagai fenomena kekerasan berbasis gender tersebut berdampak serius terhadap korban. Selain itu, kekerasan berbasis gender dapat menghancurkan seluruh integritas dan masa depan hidup korban yang menyebabkan korban merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Harus disadari, kekerasan berbasis gender sesungguhnya mengancam keberlangsungan bangsa dan kualitas generasi yang akan datang. Kesimpulan Bentuk-bentuk dan definisi femisida  hampir tidak terdengar dan terintegrasi secara optimal sebab peraturan  perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan daerah di Indonesia masih belum memberikan definisi jelas tentang kekerasan dan pembunuhan berbasis gender yaitu pembunuhan perempuan karena ia perempuan; Belum ada payung hukum yang membedakan antara kasus pembunuhan berbasis gender yang korbannya perempuan dengan pembunuhan sebagai kriminalitas umum. Belum ada aturan tentang  tindak pidana penghilangan nyawa berbasis gender, yang saat ini masih tersebar di berbagai peraturan. Sehingga harmonisasi dengan cara pengaturan secara khusus mengenai femisida harus didorong sebagai wujud perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender. (LDR)Ainal MardiahPenulis adalah Hakim Agung Kamar Pidana pada Mahkamah Agung RI.

Tidak Ada yang Bisa Hidup di Atas Hukum, Sekali pun Hidupnya Tragis

article | Opini | 2025-05-20 19:15:11

PADA suatu malam yang tidak terlalu sibuk, saya menerima ajakan beberapa teman untuk nobar atau nonton bareng film Joker II: Folie a Deux. Sebelum mengiyakan ajakan nonton film di bioskop, sesuatu hal yang sudah jarang sekali saya lakukan sejak menjadi ibu balita itu, saya pun mencoba mengukur risikonya.Mengapa? Sebab, film Joker pertama banyak mengundang kritik. Film yang menceritakan tentang trauma masa kecil Arthur Fleck yang hidup bersama ibunya yang sakit itu dikritik tajam oleh publik Amerika.Kepedihan hidup Arthur, yang selalu dirundung, dikucilkan, dan didiskriminasi oleh sesama itu seolah menjadi alasan pembenar (license) untuk melakukan tindakan kriminal extra judicial killing di dalam kereta bawah tanah di kota utopia Gotham City.Film pertama yang gelap, intens, dan meneror itu dianggap menginspirasi penembakan massal di sekolahan di Amerika, beberapa saat setelah film itu tayang di Box Office seluruh dunia. Arthur adalah Joker, yang suka tertawa terbahak-bahak pada hal yang sebenarnya tidak lucu. Ia menginap gangguan mental Pseudobulbar Affect (PBA). PBA adalah kondisi di mana seseorang tertawa atau menangis secara tiba-tiba dan tidak terkendali, bahkan dalam situasi yang tidak pantas.Saya menonton film itu bersama empat kolega jurnalis. Semuanya laki-laki. Hanya saya sendiri yang perempuan. Karena yang lain tidak bisa gabung dalam agenda yang selalu dadakan itu. Saat film sudah berlangsung selama beberapa menit, saya menyeletuk kepada seorang teman: “Ini siapa sih yang milih filmnya? Sudah sehari-hari menyimak dan meliput persidangan, nonton film pun juga harus sidang,” cetus saya.Seorang teman lain pun menjawab: “Itu, yang milih Mas A. Mungkin, latihan jadi Yang Mulia, hahaha,” selorohnya.Jujur, kami agak bosan di tengah-tengah durasi film ditayangkan. Sebab, nuansa thriller psikologis dari film kedua yang dibesut oleh sutradara Todd Phillips itu sangat kental.Lady Gaga, yang berperan sebagai Lee Quinzel, di film tersebut lebih sering bersenandung sebagai terapi atau kegiatan pemberdayaan masyarakat kalau di lembaga pemasyarakatan Indonesia. Musik sebagai bahasa universal diangkat sebagai koneksi dan terapi bagi Joker dan Lee yang masing-masing memiliki isu sendiri di kesehatan mental. Mereka bertemu, merasa terhubung (feel related), dan saling memahami lewat musik. Lagu berjudul “Close to You” dari The Carpenters pun menjadi soundtrack yang pas dan on point sepanjang film tersebut.Ringkasnya, film itu menceritakan upaya pembelaan dari kuasa hukum Joker agar ia bebas dari hukuman setelah membunuh di luar hukum di dalam kereta bawah tanah. Oleh kuasa hukumnya, Joker diminta menjual kepiluan dirinya, agar mendapatkan belas kasihan dari jury dan hakim.Namun, apakah orang yang mengalami trauma masa kecil, diskriminasi, pelanggaran HAM, dan teralienase di masyarakat berhak melakukan pembunuhan di luar hukum? Di sini, ujian Gotham City sebagai negara hukum diuji.Setelah mendengarkan keterangan dari berbagai pihak di persidangan, hakim dan jury pun memutuskan Arthur tetap bersalah dan harus kembali mendekam di dinginnya penjara. Kisah cinta Arthur dan Lee pun diuji di sini.Lee ternyata tidak mencintai Arthur apa adanya. Ia mencintai Arthur karena imajinya bahwa Joker adalah juru selamat atau heroes dari kaum tertindas dan termarginalkan.Walakin, apakah heroes harus berbuat kekerasan dan memberikan contoh buruk dan destruktif bagi masyarakat? Tentunya, tidak.Heroes haruslah seperti Batman. Orang dermawan yang hidup dalam gelimang privilese (entitled). Lahir dengan sendok perak di mulutnya, tetapi mau jadi super heroes yang menyelamatkan Gotham City dari kehancuran.Sosok imaji yang jarang ditemui di kehidupan nyata. Sebab, di kehidupan nyata, fokus utama orang kaya adalah membuat dirinya makin kaya (money work for them, they’re not work for money).Bagian paling dramatis dan plot twist-nya adalah ketika mendekam di penjara, Arthur sering melontarkan jokes-jokes kepada sipir sebagai pelipur lara. Para sipir yang bosan bekerja di penjara pun juga kerap memintanya mengeluarkan guyonan sebagai hiburan murah.Lalu, babak penutup film itu, begitu tragis. Narapidana lain membuat guyonan kepada Arthur. Ia tertawa dengan candaan tersebut. Namun, kemudian, si napi itu menghunuskan belati di perut sang Joker. Adegan itu seolah ingin memvalidasi bahwa apapun yang seorang heroeslakukan selalu akan menginspirasi pengikutnya. Dan, tindakan kekerasan dalam bentuk apapun tidak boleh dicontoh dan ditiru oleh masyarakat karena akan membuat kerusakan di muka bumi.Film Joker II ini cukup baik untuk membayar dosa masa lalu di mana kisah dalam film tersebut sudah men-trigger banyak orang terutama masyarakat Amerika Serikat sendiri untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan di luar hukum.Setelah film itu berakhir, seorang teman bertanya kepada saya “Jadi, menurut kamu bagus enggak filmnya? Apakah sudah pas Joker dihukum, atau sebaiknya lepas dengan alasan pembenar gangguan mental dan trauma masa lalunya?,” tanya dia.“Menurutku sudah bener itu skenario filmnya. Joker harus dihukum. Karena orang tidak boleh hidup di atas hukum hanya karena dia mengalami trauma dan gangguan mental. Hukum harus melindungi masyarakat for the greaters good. Bener nggak? Soalnya gue kan bukan anak hukum,” jawabku.“That’s good. Itu baru namanya wartawan hukum,” timpal teman lagi.Teman yang memahami ilmu hukum karena belajar ilmu hukum tata negara saat di bangku kuliah. Sekarang, nasib baik membawa teman tersebut menjadi Yang Mulia. Sang pengadil yang akan mengetokkan palu bagi para pencari keadilan.Sebagai mantan kawan seprofesi juru ketik dan kuli tinta, aku hanya ingin berpesan semoga amanah dan istiqomah membuat putusan yang seadil-adilnya. Buat kami para jurnalis terus bangga pernah mengenal dan nonton film sidang bareng saat hidup sedang tidak baik-baik saja, wkwkwk.DEA (Jurnalis, tinggal di Jakarta)

When AI Meets Integrity: The Data-Driven Overhaul of Justice in Indonesia

article | Opini | 2025-05-17 20:00:33

The judicial system is fundamentally tasked with upholding the rule of law and ensuring justice for all. In the context of combating corruption within the judiciary, two critical approaches emerge: the implementation of AI-driven profiling systems and the integration of ethical oversight mechanisms. The former focuses on utilizing advanced technology to identify and mitigate risks associated with judicial misconduct, while the latter emphasizes the importance of human governance and accountability in decision-making processes.AI-driven profiling systems leverage data analytics and machine learning to proactively detect patterns of corruption and bias within judicial practices. By analyzing vast amounts of structured and unstructured data, such as court case histories and financial disclosures, these systems can highlight potential ethical vulnerabilities before they escalate into misconduct. This proactive approach not only enhances the predictive accuracy of risk assessments but also fosters a culture of transparency and accountability within the judiciary.Conversely, ethical oversight mechanisms are essential to ensure that the deployment of AI technologies does not undermine judicial independence. Human oversight remains a critical component, as it allows judges to review AI-generated recommendations and provide context that machines may overlook. This human-in-the-loop approach ensures that decisions are not solely based on algorithmic outputs but are informed by the nuanced understanding of legal principles and individual circumstances.In Indonesia, the integration of these approaches is particularly relevant, given the systemic vulnerabilities that have historically plagued the judiciary. The establishment of an AI-driven profiling system, grounded in ethical safeguards and transparency, can empower Chief Justices to better assess risks and uphold judicial integrity. By combining technological advancements with robust human oversight, the judiciary can effectively combat corruption while maintaining the essential principles of fairness and impartiality.The importance of transparency in this context cannot be overstated. Tools such as SHAP (SHapley Additive exPlanations) and LIME (Local Interpretable Model-agnostic Explanations) play a pivotal role in elucidating the decision-making processes of AI systems. These tools provide insights into how various factors influence judicial outcomes, enabling stakeholders to scrutinize and challenge decisions that may be biased or unjust. For instance, in cases where AI models have historically favored certain demographics, the application of SHAP can reveal the underlying biases, prompting necessary adjustments to ensure equitable treatment.Ultimately, the challenge lies in striking a balance between leveraging technological innovations and safeguarding the rights of all parties involved—both the accused and the victims. As the judicial system evolves, it is imperative that judges remain vigilant in their duty to uphold justice, ensuring that the rights of individuals are protected while also addressing the pressing issue of corruption within the judiciary. The interplay of AI-driven profiling systems and ethical oversight mechanisms represents a forward-looking solution to enhance the integrity of judicial processes, fostering public trust and reinforcing the rule of law.*Judge at the Research and Development Center for Law and Judiciary, Supreme Court of Indonesia

Krisis Beban Kerja Hakim Tipikor 

article | Opini | 2025-05-17 07:30:17

PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) saat ini menghadapi dilema yang memprihatinkan. Dengan 6 hakim karir, 10 hakim ad hoc, dan 2 hakim detasering, beban kerja tetap membuat sidang-sidang berlangsung hingga larut malam. Rata-rata berakhir pada pukul 21.00 WIB hingga 22.00 WIB. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada penambahan personel melalui hakim ad hoc dan detasering, volume dan kompleksitas perkara korupsi di wilayah Jakarta masih jauh melampaui kapasitas ideal pengadilan. Ketidakseimbangan antara volume perkara dan jumlah hakimKomposisi hakim untuk menangani perkara korupsi di wilayah Jakarta Pusat—yang merupakan episentrum kasus korupsi nasional karena menjadi domisili sebagian besar kementerian, lembaga negara, dan BUMN—merupakan angka yang masih jauh dari mencukupi. Meskipun secara kuantitatif jumlah ini mungkin terlihat memadai, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kompleksitas dan volume perkara korupsi membuat beban kerja tetap sangat tinggi.Hakim detasering, yang merupakan solusi sementara dengan penugasan hakim dari pengadilan lain, tidak dapat menjadi jawaban permanen. Sementara hakim ad hoc membawa perspektif dan keahlian berharga dari berbagai latar belakang profesional yang memperkaya proses peradilan tipikor. Ketimpangan Kompensasi: Paradoks dalam Sistem Peradilan Ironi yang menyesakkan dalam sistem peradilan kita terletak pada ketiadaan tunjangan khusus bagi hakim tipikor karir. Seorang hakim tipikor dengan golongan IV/b menerima besaran tunjangan yang sama persis dengan hakim pengadilan lain dan hakim non-tipikor dengan pangkat yang sama. Kebijakan ini mengabaikan realitas bahwa beban kerja, risiko, dan tanggung jawab hakim tipikor jauh lebih berat dibandingkan rekan-rekan mereka di pengadilan lainnya.Perkara korupsi memiliki kompleksitas tinggi dengan implikasi ekonomi dan politik yang luas. Hakim tipikor dihadapkan pada materi perkara yang rumit, melibatkan jaringan yang terorganisir, dengan nilai kerugian negara yang signifikan. Belum lagi tekanan dari berbagai pihak berkepentingan yang berpotensi mengancam independensi dan keselamatan hakim. Namun, pengorbanan dan risiko tambahan ini tidak diimbangi dengan kompensasi yang proporsional.Ketimpangan ini menciptakan disinsentif struktural yang berpotensi menggerus motivasi dan komitmen dalam pemberantasan korupsi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mendorong hakim-hakim berkualitas untuk menghindari penugasan di pengadilan tipikor, yang pada gilirannya akan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan.Dampak Beban Kerja Berlebih terhadap Kualitas PutusanKetika hakim dipaksa bekerja melebihi batas kemampuan manusiawi tanpa insentif yang memadai, ketelitian dan ketajaman analisis hukum terancam memudar. Ini bukan soal kompetensi atau integritas, melainkan keterbatasan biologis manusia dan dinamika psikologis yang wajar. Penelitian di bidang neurosains secara konsisten menunjukkan bahwa kelelahan mental berdampak langsung pada kemampuan pengambilan keputusan. Dalam konteks peradilan tipikor, putusan yang dihasilkan dalam kondisi kelelahan dan kurangnya apresiasi sistemik dapat berpotensi mengandung kekeliruan analisis atau pertimbangan yang kurang komprehensif.Perkara korupsi umumnya melibatkan kompleksitas hukum yang tinggi, dengan ratusan alat bukti, saksi, dan konstruksi hukum yang rumit. Hakim memerlukan kondisi prima untuk mencermati setiap detail dan nuansa kasus. Ketika sidang berlangsung hingga larut malam, daya kritis dan kemampuan analitis hakim dapat terganggu, sehingga berpotensi menghambat pencapaian keadilan substantif yang menjadi ruh dari pemberantasan korupsi.Dinamika Khusus Hakim Karir, Ad Hoc dan DetaseringKomposisi hakim yang beragam di PN Jakarta Pusat, menciptakan dinamika kompleks dalam penanganan perkara tipikor. Masing-masing kategori hakim memiliki latar belakang, pengalaman, dan perspektif yang berbeda, yang idealnya memperkaya proses peradilan. Namun, perbedaan status kepegawaian dan sistem kompensasi juga berpotensi menciptakan kesenjangan motivasi dan kohesi tim.Hakim ad hoc, yang direkrut dari luar lingkungan pengadilan (umumnya dari akademisi atau praktisi hukum), menerima honorarium dengan skema tersendiri dan membawa perspektif segar yang berharga dalam proses peradilan. Sementara hakim detasering, meskipun berstatus sebagai hakim karir, hanya bertugas sementara dan tetap menerima tunjangan dari pengadilan asalnya. Di tengah keberagaman ini, hakim karir tipikor justru menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan dalam sistem kompensasi, padahal mereka merupakan tulang punggung kontinuitas dan konsistensi pengadilan tipikor.Risiko terhadap Kesehatan, Keselamatan, dan IntegritasJam kerja yang eksesif dengan kompensasi yang tidak proporsional tidak hanya membahayakan kualitas putusan tetapi juga kesehatan para hakim itu sendiri. Beban kerja yang berlebihan dapat memicu stres kronis, gangguan kesehatan fisik seperti hipertensi dan penyakit jantung, serta masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat berujung pada burnout dan menurunnya kapasitas profesional.Aspek keselamatan juga menjadi pertimbangan serius. Hakim yang pulang larut malam memiliki risiko keselamatan yang lebih tinggi, baik dari aspek kecelakaan lalu lintas maupun potensi intimidasi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini semakin mengkhawatirkan mengingat posisi hakim tipikor yang rentan menjadi target ancaman karena nature perkara yang ditanganinya.Yang lebih fundamental, ketimpangan kompensasi di tengah beban dan risiko yang lebih tinggi menciptakan kerentanan terhadap godaan koruptif. Meskipun sebagian besar hakim tipikor memiliki integritas tinggi, kita tidak bisa mengabaikan aspek keadilan kompensasi sebagai salah satu pilar sistem anti-korupsi yang berkelanjutan. Sistem yang tidak adil bagi penegaknya dapat menjadi faktor kriminogenik yang justru kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan korupsi.Solusi Sistemik: Pendekatan MultilevelBerdasarkan realitas komposisi hakim di PN Jakarta Pusat, beberapa solusi sistemik dapat dipertimbangkan:Pertama, optimalisasi manajemen perkara berbasis tipe hakim. Sistem manajemen perkara dapat dirancang untuk mengalokasikan kasus secara lebih efisien berdasarkan keahlian spesifik masing-masing tipe hakim. Misalnya, hakim ad hoc dengan latar belakang akuntansi atau keuangan dapat difokuskan pada perkara korupsi dengan skema keuangan yang kompleks, sementara hakim karir dengan pengalaman pidana umum yang kuat dapat difokuskan pada aspek-aspek prosedural dan pembuktian.Kedua, implementasi sistem tunjangan khusus bagi hakim tipikor karir yang memperhitungkan beban kerja, kompleksitas perkara, dan risiko tambahan yang dihadapi. Tunjangan ini dapat dirancang secara proporsional dan berbasis kinerja untuk menjaga akuntabilitas dan produktivitas, sehingga menyeimbangkan sistem kompensasi antara hakim karir, ad hoc, dan detasering. Ketiga, penambahan jumlah hakim karir tipikor secara signifikan untuk mencapai rasio ideal antara volume perkara dan jumlah hakim. Peningkatan ini harus disertai dengan program pelatihan khusus untuk mempersiapkan hakim-hakim baru menghadapi kompleksitas perkara korupsi.Keempat, pengembangan sistem pendukung teknis yang komprehensif, termasuk tim peneliti hukum dan analis keuangan yang dapat membantu proses penanganan perkara korupsi yang kompleks. Dukungan teknis ini dapat membebaskan hakim dari beban administratif dan memungkinkan mereka fokus pada aspek-aspek substansial dari perkara.Reformasi Anggaran Peradilan: Investasi untuk KeadilanAkar dari permasalahan ini tidak lepas dari keterbatasan anggaran peradilan. Indonesia mengalokasikan anggaran yang relatif kecil untuk sistem peradilan dibandingkan negara-negara dengan GDP serupa. Reformasi anggaran peradilan harus menjadi prioritas nasional, dengan mempertimbangkan beban kerja riil, kompleksitas perkara, dan risiko yang dihadapi.Pemerintah dan DPR perlu mendorong peningkatan anggaran untuk peradilan, khususnya untuk sistem remunerasi yang berkeadilan, pengadaan fasilitas, teknologi pendukung, dan penambahan SDM. Investasi pada sistem peradilan anti-korupsi adalah investasi strategis untuk memutus siklus korupsi yang menggerogoti pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia.Penutup: Menuju Peradilan Anti-Korupsi yang Berkelanjutan dan BerkeadilanProfesionalisme dan dedikasi para hakim tipikor di PN Jakarta Pusat—baik hakim karir, ad hoc, maupun detasering—di tengah keterbatasan sumber daya dan ketimpangan kompensasi patut diapresiasi. Namun, apresiasi verbal tidaklah cukup. Kita membutuhkan reformasi struktural yang komprehensif untuk membangun sistem peradilan anti-korupsi yang efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.Keberadaan 14 hakim yang masih harus bekerja hingga larut malam menunjukkan bahwa permasalahan beban kerja lebih kompleks dari sekadar jumlah personel. Dibutuhkan pendekatan holistik yang mencakup reformasi manajemen perkara, sistem kompensasi, dan dukungan teknis untuk memastikan bahwa pengadilan tipikor dapat menjalankan fungsinya secara optimal.Ketika kita menuntut integritas dan kinerja optimal dari para hakim tipikor, kita juga harus memastikan bahwa sistem memberikan dukungan, perlindungan, dan kompensasi yang proporsional. Tanpa pendekatan holistik ini, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi "proyek heroik" yang bertumpu pada pengorbanan individu-individu berintegritas, bukan sistem yang kuat dan berkelanjutan.Reformasi sistem peradilan tipikor bukan semata demi kesejahteraan para hakim, melainkan demi tegaknya keadilan substantif dan efektivitas pemberantasan korupsi jangka panjang. Dalam upaya menegakkan keadilan, sistem peradilan kita sendiri harus terlebih dahulu menjadi cerminan keadilan bagi para penegaknya.Sunoto SH MH(Hakim PN Jakpus dan Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus)Artikel di atas adalah sepenuhnya opini penulis dan tidak mewakili kebijakan redaksi

Menilik Perbedaan Pendapat Hakim (Terlupakan) pada RUU KUHAP

article | Opini | 2025-05-16 15:05:44

Dua tahun yang lalu, Indonesia diramaikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional). KUHP Nasional akan mulai berlaku pada Januari 2026. Melihat situasi tersebut, banyak pihak menilai keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru jadi mendesak, karena tanpa adanya KUHAP baru tidak mungkin KUHP Nasional dapat digunakan secara maksimal. Dokumen Rancangan Undang-Undang KUHAP versi DPR RI bulan Maret 2025 (RUU KUHAP) beredar di tengah masyarakat. Beberapa topik mengenai konten daripada rancangan tersebut diperbincangkan para akademisi dan praktisi hukum, namun salah satu yang kurang disoroti adalah mengenai pendapat yang berbeda di antara Majelis Hakim. Berdasarkan rancangan tersebut, sebagaimana Pasal 220 ayat (1) RUU KUHAP mengatur bahwa “Putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika permufakatan tersebut setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.” Penjelasan pasal tersebut menyebutkan “Apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis dicatat dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia.” Sesungguhnya pengaturan yang demikian sama persis dari apa yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat ini di mana pada penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Muncul pertanyaan jika memang RUU KUHAP adalah masa depan dari hukum pidana formil Indonesia, mengapa ia abai untuk mengatur atau setidaknya memberi rambu-rambu lebih jelas mengenai praktik pengambilan pendapat berbeda (baik itu dissenting ataupun concurring opinion) di tengah Majelis Hakim saat memutus sebuah perkara pidana? Pertanyaan di atas memiliki 2 (dua) latar belakang. Pertama, berita acara sidang majelis sebagaimana dimaksud belum memiliki kiblat yang jelas mengenai bentuknya, pertanggungjawabannya, dan kegunaannya. Kedua, pendapat berbeda diakui dan diatur oleh Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di bawah Mahkamah Agung (SK KMA 359). Pada SK KMA 359 bagian template peradilan umum, bisa dilihat bahwa posisi pendapat berbeda selalu diakomodir–baik di tingkat pertama maupun banding, serta baik pada tindak pidana biasa, khusus, perikanan, HAM, korupsi dan anak. Pun pada template Mahkamah Syariah untuk bagian jinayah, pendapat berbeda ini juga diatur. Dalam hal mengikuti logika KUHAP dan RUU KUHAP ini, justru template pada bagian peradilan militerlah yang paling sesuai. Di dalam SK KMA 359, peradilan militer tidak memberikan template putusan untuk meletakkan pendapat berbeda melainkan template berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia sebagaimana disebutkan pada Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP dan Penjelasan Pasal 220 ayat (1) RKUHAP (edisi 3 Maret 2025). Tentu kita bisa berargumen bahwa apa yang diatur pada Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP tidaklah melarang praktik hari ini, yang juga diamini SK KMA 359, mengenai akomodasi pendapat berbeda di dalam putusan. Namun demikian, tidak bisa juga dikatakan bahwa hal yang demikian selaras dengan Penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP yang sudah cukup jelas memberi kerangka kerja bahwa pendapat berbeda bersifat rahasia. Meski seakan tidak terasa esensial, regulasi dan implementasi yang bervariasi dalam akomodasi pendapat berbeda dalam putusan patut menjadi tantangan tersendiri bagi mandat lembaga dalam menjaga kesatuan hukum di republik ini. Hal ini juga cukup terlihat pada SK KMA 359 – di mana template perkara perdata tidak menyebutkan secara spesifik mengenai pendapat berbeda (meski, lagi-lagi, tidak dilarang), peradilan pajak menyebutkannya, peradilan tata usaha negara menyebutkannya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Indonesia tentu tidak sendiri dalam keriuhan pendapat mengenai persoalan ini. Negara-negara seperti Belgia, Prancis, Austria, Italia, dan Belanda memiliki posisi bahwa pendapat berbeda di dalam putusan tidak dimungkinkan. Namun, sistem di Belanda masih memperbolehkan pendapat berbeda dalam putusan direfleksikan atau ditunjukkan secara tidak langsung. Pendapat berbeda dipandang bertentangan dengan konsep “Het Geheim van de Raadkamer” karena seakan memperlihatkan musyawarah hakim ke hadapan masyarakat. Pendapat berbeda juga dipandang mengurangi kewibawaan peradilan karena menunjukkan adanya perbedaan di antara hakim, ketidakpastian hukum, menimbulkan perpecahan atau polarisasi di antara hakim, dan sulit munculnya preseden hukum karena putusan yang tidak bulat. Di lain pihak, negara-negara seperti Denmark, Jerman, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat memperbolehkan adanya pendapat berbeda dalam putusan. Argumen-argumen yang melandasi posisi ini antara lain adalah pendapat berbeda memperkaya analisis hukum, mendorong perkembangan hukum, memberi landasan berpikir berbeda dalam putusan (dalam konteks concurring opinion), memberikan ruang ekspresi bagi kritik konstruktif, menunjukkan independensi hakim, bentuk tanggung jawab moral seorang hakim, serta bentuk transparansi bagi masyarakat. Hakim-hakim di seluruh dunia pun punya pendapat berbeda mengenai hal ini. Susan Kiefel (Chief Justice Australia periode 2017-2023) menyatakan kekhawatirannya akan meningkatnya frekuensi pendapat berbeda oleh para hakim, serta perhatian yang diberikan terhadap pendapat berbeda tersebut oleh mahasiswa dan masyarakat hukum. Kiefel berpandangan bahwa pendapat berbeda hanyalah layak diberikan pada kasus-kasus penting. Menurut Kiefel, hakim-hakim yang kerap berpendapat berbeda dalam putusan punya kecenderungan mengedepankan diri sendiri dan dimuatnya pendapat berbeda dalam sebuah putusan dapat memberikan popularitas kepada seorang hakim namun di sisi lain melukai pandangan publik terhadap pengadilan dan hakim-hakimnya. Di lain pihak, Sabino Cassese (Hakim Konstitusi Italia periode 2005-2014) berpendapat bahwa ketiadaan pendapat berbeda menghukum potensi kajian terhadap hukum yang merangsang debat serta kepedulian (akan suatu isu) di suatu negara. Oleh karena hal-hal di atas, RUU KUHAP adalah sebuah kesempatan yang baik untuk mengakhiri (setidaknya secara perundang-undangan) perdebatan mengenai bagaimana menyampaikan pendapat berbeda dalam sebuah putusan. RUU KUHAP dapat bertahan dengan konsep pendapat berbeda hanya dimuat dalam berita acara sidang Majelis Hakim yang bersifat rahasia namun harus lebih jelas menyatakan larangan dimuatnya pendapat berbeda dalam sebuah putusan. Jika ini sikap yang diambil, tentu lembaga patut bersikap dengan menyiapkan format berita acara yang dimaksud serta memastikan dokumen tersebut dapat dimanfaatkan, baik sebagai pertimbangan bagi Majelis Hakim pada upaya hukum atau dalam persoalan kode etik bila dibutuhkan. RUU KUHAP juga dapat mengadopsi apa yang sudah diatur di dalam SK KMA 359, dalam template perkara pidana, dan menyatakan pendapat berbeda boleh dimuat dalam putusan dengan sejumlah ketentuan misalnya: 1) apakah pendapat berbeda itu bisa dinyatakan secara terbuka keberadaannya atau hanya memperlihatkan argumentasi yang terjadi di dalam majelis, 2) apakah dengan atau tanpa identitas hakim yang berbeda pendapat, 3) apakah butuh batasan secara halaman atau jumlah kata, 4) perkara-perkara seperti apa di mana pendapat berbeda diperbolehkan, dan lain-lain. Jika harus mengambil posisi, Penulis memilih agar pendapat berbeda tetap dapat dimunculkan di dalam putusan– dan Penulis terbuka pada kemungkinan regulasi-regulasi tambahan sebagaimana disampaikan pada paragraf sebelumnya. Hukum adalah sebuah hal yang kompleks dan setiap orang memiliki perspektif yang berbeda terhadapnya. Wajar kemudian dalam memutus sebuah perkara, hakim-hakim dalam suatu majelis memiliki gaya atau cara pikir yang berbeda. Tentu, kondisi paling ideal adalah suatu perkara dapat diputus dengan suara bulat dan utuh tanpa adanya perbedaan pendapat. Namun, tidak dapat menutup mata bahwa dalam beberapa situasi perkara, penerapan hukum dapat dilakukan dengan lebih dari satu sudut pandang dan sangat mungkin terdapat perbedaan pendapat yang tajam di antara hakim yang sulit diselesaikan dalam musyawarah. Oleh karena itu, bila dirasa amat perlu dan signifikan, perbedaan pendapat tersebut patut dituangkan dalam putusan agar pikiran tersebut dapat ditelaah lebih jauh, baik oleh pihak berperkara maupun masyarakat hukum. Perbedaan pendapat hakim tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Mestinya perbedaan pendapat hakim dapat dilihat sebagai sebuah bentuk tanggung jawab moral dan kesungguhan hakim dalam mengadili suatu perkara. Negara memberi amanah pada profesi hakim untuk menyelesaikan suatu perkara dengan tanggung jawab sebagaimana dalam irah-irah putusan. Tanggung jawab moral seorang hakim dalam perkara pidana tidaklah ringan karena putusan pidana amatlah berdampak pada kehidupan seseorang, baik sebagai korban maupun terdakwa. Maka ketika seorang hakim menganggap perlu untuk menunjukkan pendapat berbedanya dan mampu menuangkannya dalam badan putusan dengan baik, itu adalah indikasi bahwa ia memperhatikan perkara tersebut dengan seksama serta berusaha untuk memberikan sumbangsih pemikiran pada perkara tersebut–tentu dengan tidak menegasikan kontribusi serupa pada perkara-perkara yang diputus secara bulat. Dengan status quo saat ini, di mana perbedaan pendapat dalam putusan pidana diakomodir oleh SK KMA 359, hakim memiliki kewenangan dan kesempatan untuk menuangkan pendapat berbeda di dalam putusan, baik itu dissenting opinion maupun concurring opinion. Namun demikian, kewenangan dan kesempatan tersebut harus diimplementasi dengan hati-hati, selektif, dan bijaksana. Di Indonesia, di mana regulasi mengenai perbedaan pendapat hakim mendahului tradisinya, sangat krusial bagi seorang hakim untuk menjamin ia telah melaksanakan musyawarah hakim dengan sungguh-sungguh dan ekstensif untuk mencapai mufakat sebelum ia berpaling pada upaya untuk memuat pendapat berbedanya di dalam putusan. Penting untuk memastikan perbedaan pendapat hakim yang dituangkan dalam putusan bukanlah untuk kepentingan individu–melainkan demi melayani kepentingan masyarakat, atau setidaknya bagi para pihak, dalam memaknai perkara tersebut atau persoalan hukum tertentu di kemudian hari. Apapun langkah yang diambil perancang RUU KUHAP nantinya, semoga hal tersebut dapat memberikan landasan yang lebih jelas bagi para hakim dalam membuat putusan dan mengurangi perdebatan mengenai hal ini–yang mana penting untuk menjaga nyala api semangat kolegial di antara hakim. (LDR, YPP) Penulis: Yohan David Misero, Calon Hakim PN Balikpapan dan Christopher Surya Salim, Calon Hakim PN Cianjur. Referensi: Van Manen, N. (2001). “The Secret of the Court in the Netherlands”. Seattle University Law Review, 24(2), 569–576. https://digitalcommons.law.seattleu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1679&context=sulr  Franken, S. "Urgenda Decision – Supreme Court of the Netherlands." Insights, Februari 2020. https://www.clydeco.com/en/insights/2020/02/urgenda-decision-supreme-court-netherlands Gans, J. “The Great Assenters.” Inside Story, Mei 2018, https://insidestory.org.au/the-great-assenters/ Cassese, S. “Dentro la Corte. Diario di un giudice costituzionale”, 2015. https://www.nomos-leattualitaneldiritto.it/wp-content/uploads/2015/08/Ferrarese_Anticipazioni-Nomos-2_2015.pdf Raffaeli, R. “Dissenting opinions in the Supreme Courts of the Member States”, Policy Department C: Citizens' Rights and Constitutional Affairs - European Parliament, https://www.europarl.europa.eu/document/activities/cont/201304/20130423ATT64963/20130423ATT64963EN.pdf

Mediator, Menyemai Damai di Ruang Mediasi

article | Opini | 2025-05-16 11:45:12

Suasana tegang dalam ruang persidangan kerap menyelimuti penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Ketegangan itu muncul antara para pihak yang bersengketa karena keduanya saling mempertahankan dalil dan pendapatnya masing-masing. Namun ternyata dibalik nuansa formalitas peradilan itu, ternyata terdapat sebuah ruang yang jauh lebih tenang, lebih mengedepankan prinsip humanis dan jauh lebih solutif yang dikenal sebagai ruang mediasi. Ruang mediasi bagi para pihak diberikan merupakan bagian dari hukum acara perdata yang dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa sekaligus sebagai sebuah mekanisme penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang berkeadilan. Sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi), kini mediasi bukan lagi pilihan opsional dalam penyelesaian perkara perdata melainkan suatu prosedur yang diwajibkan. Setiap perkara perdata yang masuk ke pengadilan, harus terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui jalur mediasi sebelum masuk ke tahap pemeriksaan pokok perkara, terkecuali untuk sengketa tertentu yang dikecualikan dari prosedur mediasi sebagaimana Pasal 4 ayat (2) Perma Mediasi. Mediasi bukan juga sekadar prosedur formal dalam proses peradilan, melainkan merupakan sarana untuk mengedepankan kehendak bebas para pihak dalam mencari solusi yang adil dan saling menguntungkan. Perlu dipahami bahwa hakikat dari proses mediasi di pengadilan terletak pada upaya dalam menyelesaikan sengketa secara damai melalui komunikasi yang terbuka dan konstruktif, dengan bantuan pihak ketiga yang netral, yaitu mediator. Pada proses mediasi, yang dijunjung tinggi bukanlah kemenangan satu pihak atas pihak lain, melainkan tercapainya mufakat yang dapat diterima bersama. Dalam konteks pengadilan, mediasi memiliki peran strategis dalam mengurangi beban perkara, mempercepat penyelesaian sengketa, dan menciptakan keadilan yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan para pihak sendiri terlibat aktif dalam menentukan hasilnya. Hal ini sejalan dengan semangat Perma Mediasi, yang menempatkan mediasi sebagai bagian integral dari sistem peradilan modern yang responsif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Mediator dalam proses mediasi bukan hanya sekadar perantara yang menyampaikan pendapat dari satu pihak ke pihak lainnya. Lebih dari itu, mediator berperan sebagai fasilitator dialog yang menciptakan ruang aman dan kondusif bagi para pihak untuk menyuarakan kepentingan mereka secara jujur dan terbuka. Mediator juga memastikan bahwa setiap tahapan prosesnya berjalan dengan adil, serta membantu para pihak untuk memahami akar konflik dan kemungkinan jalan keluarnya. Dengan keterampilan komunikasi, empati, dan netralitas, mediator mampu meredakan ketegangan, membangun kepercayaan, dan menggali kebutuhan serta kepentingan yang tersembunyi di balik posisi formal masing-masing pihak serta membimbing para pihak menuju titik temu yang mungkin tidak ditemukan antara para pihak itu sendiri. Namun demikian wajah mediasi di lapangan kerap kali dipahami hanya sebatas mempertemukan pihak-pihak yang berselisih, dan tidak jarang juga para pihak melalui kuasa hukumnya secara tegas menolak proses mediasi dihadapan mediator dan segera menginginkan agar proses perkara diselesaikan melalui persidangan. Selain itu pula, tidak dibenarkan jika seorang mediator baik dari kalangan hakim maupun non-hakim yang melaksanakan proses mediasi hanya untuk memenuhi kewajiban prosedural. Alih-alih menjadi ruang terbuka untuk berdialog dan penyelesaian sengketa, mediasi kadang hanya berlangsung dalam satu kali pertemuan atau bahkan hanya beberapa menit. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun bersifat umum, tidak menggali akar konflik, tidak menyentuh emosi, dan jauh dari usaha mendamaikan, ditambah lagi para pihak yang bersengketa datang dengan sikap yang defensif. Mereka merasa tidak perlu bersusah payah berdamai karena percaya bahwa pada akhirnya putusan hakimlah yang akan menyelesaikan segalanya. Pandangan ini diperparah oleh minimnya upaya dari mediator yang sekadar membaca resume perkara, dan berakhir pada pernyataan “Mediasi Gagal”. Bila kondisi ini terus dibiarkan, mediasi akan kehilangan maknanya, ruang mediasi akan benar-benar menjadi “ruang transit” sebelum ruang sidang. Padahal sejatinya, keberhasilan proses mediasi sendiri tidak bergantung semata-mata pada keterbukaan para pihak, tetapi juga pada sejauh mana mediator menjalankan tugasnya dengan dedikasi dan tanggung jawabnya. Ada dimensi moral yang melekat pada setiap tindakan mediator. Mediator tidak hanya bertindak berdasarkan prosedur semata, tetapi juga berdasarkan empati dan keadilan substantif. Seorang mediator yang memaksimalkan tugas dan kewajibannya akan hadir secara utuh dalam setiap sesi mediasi dan masuk pada akar masalah para pihak. Ia tidak bersikap formalitas, tidak terburu-buru untuk “menyelesaikan” perkara demi mengejar target administratif, dan tidak bersikap pasif ketika mediasi mulai menemui jalan buntu. Justru di saat-saat seperrti itulah, mediator harus menggali lebih dalam, menggunakan teknik mediasi seperti kaukus (pertemuan terpisah), reframing, dan identifikasi kepentingan untuk mencari titik temu yang mungkin saja tersembunyi diantara para pihak. Tidak dapat dipungkiri dalam praktiknya, mediasi di pengadilan kadang berjalan sekadar untuk memenuhi prosedur. Para mediator, karena beban perkara yang tinggi atau keterbatasan dari pelatihan mediasi yang mendalam menjalankan tugasnya dengan pendekatan administratif. Akibatnya, banyak perkara yang berakhir dengan “Mediasi Gagal” tanpa upaya yang maksimal. Padahal, Pasal 14 Perma Mediasi memberi mandat kepada mediator untuk aktif memfasilitasi perundingan, bukan sekadar menjadi notulen akan masalah dari para pihak. Dalam konteks ini justru pertanyaannya bukan lagi apakah mediasi dijalankan, tetapi bagaimana mediasi dijalankan oleh seorang Mediator. Apakah ruang mediasi digunakan untuk membuka ruang dialog yang tulus? Apakah mediator sungguh-sungguh berupaya memahami akar masalah dari konflik yang terjadi? Sering kali, para pihak merasa bahwa sesi mediasi hanyalah jeda sebelum "perang sesungguhnya" dimulai di ruang sidang. Hal ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya efektivitas mediasi yang sangat ditentukan oleh kualitas pelaksanaan dan keterlibatan seorang mediator. Lebih dari sekadar alat bantu pengadilan, mediator sejatinya mengemban misi damai dan berperan sebagai “Agen Perdamaian”, di tengah masyarakat yang mudah terpolarisasi, kehadiran mediator menjadi kunci dalam membangun kembali jembatan kepercayaan. Ia membawa pendekatan dialogis, bukan koersif, pendekatan win-win solution menjadi kunci utama dalam penyelesaian sengketa, bukan menang (win) ataupun kalah (lose). Dalam banyak kasus, keberhasilan mediasi bukan hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga menghindarkan para pihak dari konflik berkepanjangan, menjaga relasi sosial, bahkan menyelamatkan ekonomi rumah tangga atau usaha yang hampir runtuh akibat perselisihan. Di sinilah urgensi bagi setiap mediator untuk maksimal dalam arti hadir sepenuh hati, bekerja secara profesional, dan melihat peran mereka sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan yang bermartabat. Ruang mediasi bukanlah tempat menunggu sidang dan bukan juga ruang pelengkap dalam struktur pengadilan. Mediasi adalah substansi dan jantung dari penyelesaian konflik secara damai dan manusiawi. Keberadaan Perma Nomor 1 Tahun 2016 dan Perma Nomor 3 Tahun 2022 merupakan fondasi penting dalam memperkuat sistem mediasi dalam dunia peradilan. Namun tentunya implementasi dari kedua intrumen regulasi tersebut hanya akan efektif jika didukung oleh peran mediator yang benar-benar memahami dan menjalankan peran mereka secara maksimal. Ruang mediasi bukan ruang formalitas, mediasi adalah ruang harapan. Harapan bagi masyarakat untuk menyelesaikan konflik tanpa permusuhan, untuk meraih keadilan tanpa harus “menang” di atas kekalahan orang lain. Untuk itu, setiap mediator harus mampu menjadikan ruang mediasi sebagai ruang yang didambakan oleh pihak yang bersengketa, ruang pencarian solusi, dan ruang membangun kembali kepercayaan yang mungkin telah hancur oleh konflik. Seorang mediator yang maksimal adalah ia yang hadir dengan integritas, pengetahuan, empati, dan semangat perdamaian. Bukan hanya menjalankan formalitas semata, tetapi juga menghidupkannya dalam praktik yang nyata. (LDR)

Hipnoterapi sebagai Model Pembinaan Bagi Anak Pelaku Kekerasan Seksual

article | Opini | 2025-05-14 18:30:42

Materi hukum pidana nasional harus mengatur keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023) yang akan berlaku beberapa bulan ke depan mengakomodir dalam konsideran huruf c. Ruh yang sama juga telah lebih dulu berakar pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang itu adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi. Dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena kesamaan materi itu, macam pidana bagi Anak yang ada dalam UU SPPA, telah diakomodir pula dalam KUHP 2023.Pada beberapa tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh Anak di daerah Lampung Timur memiliki modus yang rata-rata hampir serupa. Melalui dunia maya, Anak saling kenal lalu memutuskan bertemu dengan dituntun nafsu belaka. Video porno yang dapat diakses secara bebas di berbagai kanal menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak pidana kekerasan seksual sebagai suatu gejala perubahan sosial.Perubahan sosial pada masa kecanggihan teknologi itu dapat menggerogoti pikiran bawah sadar anak yang sedang dalam masa belajar mengamati lingkungan (teori pembelajaran sosial melalui meniru atau modelling) sehingga tertanam sebagai value serta pola pikir dan akhirnya memicu Anak untuk melakukan tindak pidana seksual.Latar Belakang Perlunya Penambahan Program Hipnoterapi.Berdasarkan keinginan undang-undang agar pemidanaan bersifat tuntas atau mengembalikan pada keadaan semula, maka tidak cukup hanya dengan pembinaan kepribadian sebagai perbaikan diri di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) bagi Anak pelaku kekerasan seksual melainkan diperlukan suatu model pembinaan yang lebih komprehensif untuk mengubah perilaku dan pola pikirnya.Usulan penambahan program hipnoterapi pada model pembinaan di LPKA terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual dilatarbelakangi oleh adanya beberapa kendala yang sifatnya krusial dan mendasar. Celah untuk perlunya perbaikan model pembinaan yang telah ada tersebut disampaikan dalam Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Model Pembinaan Anak Berbasis Pendidikan Layak Anak Dalam Sistem Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Tim Pokja Pengkajian Hukum BPHN.Salah satunya adalah kualitas sumber daya manusia yang belum mencukupi kebutuhan Anak seperti pegawai LPKA diharapkan untuk bertindak menjadi apapun termasuk guru dan konselor. Selain itu juga tidak semua LPKA memiliki tenaga psikolog sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak diasumsikan lebih kepada kenakalan dan penyimpangan psikologis Anak (faktor lingkungan, sosiologis, ekonomis) sehingga penyembuhan mereka tidak hanya benar atau salah saja, namun lebih kepada pendekatan jiwa mereka sebagai Anak yang melakukan kenakalan.Berkaca pada kondisi tersebut, sejalan dengan kasus yang terjadi pada beberapa Anak Pelaku Kekerasan Seksual yang telah dibina di LPKA Bandar Lampung bahwa Anak melakukan tindak pidana kekerasan seksual karena sering menonton tayangan porno dari handphone dan website lebih dari sekali. Dengan demikian maka diketahui jika akar permasalahannya adalah berada di pikiran bawah sadar Anak.Oleh karena itu, Anak Pelaku Kekerasan Seksual di LPKA jika hanya dibina kepribadiannya dengan kegiatan kerohanian, kesadaran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara maka tidak cukup.  Dengan demikian cara terbaik membina Anak Pelaku Kekerasan Seksual adalah dengan memperbaiki dan mencabut akar utama permasalahan yang terletak pada pikiran bawah sadar Anak Pelaku Kekerasan Seksual yaitu dengan menanamkan nilai-nilai baru ke pikiran bawah sadar Anak untuk menggantikan nilai-nilai buruk yang sudah terlanjur tersimpan dalam pikiran bawah sadar Anak sebagai akibat dari pembelajaran sosial (imitating dan modelling) ketika anak berada dalam tahap pembelajaran meniru.Model Pembinaan Di LPKA Terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual Melalui Penambahan Program HipnoterapiHipnoterapi memiliki mekanisme kerja mengakses pikiran bawah sadar yang mana untuk menjangkaunya aktivitas otak manusia harus berada pada gelombang Alpha hingga Theta.  Secara spesifik, mekanisme pemberian sugesti pada pikiran bawah sadar seseorang dengan membuka Critical Factor Anak Pelaku Kekerasan Seksual dan langsung berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar. Ketika berada di pikiran bawah sadar maka informasi/pesan yang dibutuhkan akan tersimpan rapi di pikiran bawah sadar.Hipnoterapi banyak digunakan dalam memudahkan aktivitas kehidupan manusia seperti pengurangan kecemasan, perubahan kebiasaan dan di lini penegakan hukum hipnosis diterapkan sebagai hypnoforensic di Amerika Serikat.Berdasarkan UU SPPA, Pembinaan Anak di LPKA diantaranya adalah Pembinaan Kepribadian, Keterampilan dan Pendidikan. Pembinaan kepribadian menitikberatkan untuk mental dan watak Anak agar menjadi manusia seutuhnya, bertakwa pada Tuhan, serta dapat bertanggung jawab pada diri sendiri, sedangkan pembinaan keterampilan bertujuan agar Anak berbekal keterampilan.Secara prinsip, model dalam membina Anak saat ini didasarkan pada sistem pemasyarakatan dengan proses perlakuan terintegrasi, berkesinambungan dan terus menerus sejak masa pra-ajudikasi (sebelum persidangan), ajudikasi (saat persidangan) dan post adjudikasi (setelah persidangan) bahkan hingga tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.Dengan demikian, dalam model pembinaan bagi Anak Pelaku Kekerasan Seksual di LPKA saat ini belum cukup menyentuh pada terapi pikiran bawah sadar Anak. Pada kondisi saat ini, pembinaan di LPKA masih terdapat celah untuk mendapat suatu pembaharuan karena sumber daya manusia yang terbatas dan juga model pembinaan yang kurang tepat menyasar pada akar permasalahan seperti pada kasus tindak pidana yang justru dapat merugikan Anak di masa yang akan datang karena mendapat stigma.Tambahan program hipnoterapi sebagai model pembinaan di LPKA terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual dilakukan pada masa post adjudikasi khususnya pada tahap pelaksanaan pembinaan kepribadian untuk memperbaiki sikap dan perilaku dengan cara mengakses pikiran bawah sadar. Program hipnoterapi yang akan diterapkan tentang berapa kali sesi pelaksanaannya tergantung dari tingkat kecanduan maupun sikap mendasar melekat dan dapat diketahui melalui tahap profiling assessment.Dengan demikian LPKA dapat bekerjasama dengan hipnoterapis untuk pelaksanaan tambahan program ini. Diharapkan dengan model pembinaan dengan penambahan program hipnoterapi terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual dapat mengatasi masalah perilaku sampai ke akarnya dan menjadikan Anak tidak melakukan hal serupa lagi sehingga Anak dapat kembali ke masyarakat dengan jiwa dan perilaku yang baru dan lebih baik. (FAC)

Urgensi Penggunaan Ikhtisar Musyawarah Sebelum Menjatuhkan Putusan

article | Opini | 2025-05-14 10:00:40

Era modernisasi saat ini, kemajuan teknologi dan informasi dunia berpengaruh juga terhadap kemajuan sistem Teknologi Informasi/TI di Indonesia khususnya Instansi/Lembaga Negara yakni Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan dibawahnya. Berdasarkan hal tersebut, saat ini keterbukaan  informasi publik khususnya dalam penanganan perkara peradilan, segala sesuatunya dapat dikerjakan dan diakses melalui sistem teknologi dan informasi secara transparan dan akuntabel, seperti Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), Monitoring Implementasi SIPP (MIS), Evaluasi Implementasi SIPP (EIS), e-Court maupun e-Litigasi serta aplikasi-aplikasi lainnya yang dimiliki oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan dibawahnya. Meskipun begitu, tetapi ada hal-hal yang bersifat rahasia dan tidak boleh diakses oleh orang lain yaitu musyawarah hakim sebelum menjatuhkan putusan. Walaupun bersifat rahasia, namun musyawarah hakim ini harus dipertanggungjawabkan oleh tiap-tiap hakim dalam memberikan pendapat dan pertimbangan hukum dalam menyusun putusan. Saat ini aplikasi (SIPP) yang dimiliki MA dapat dikatakan sudah sempurna karena proses pendaftaran perkara hingga pengucapan putusan, penyelesaian perkara (minutasi perkara) dan upaya hukum dapat diakses dan terdokumentasi secara elektronik pada (SIPP) tersebut. Berkaitan dengan hal-hal diatas, Penulis mempunyai ide atau gagasan yang dapat ditambahkan dalam aplikasi SIPP tersebut yaitu kolom untuk yang menyajikan format atau template ikhtisar musyawarah yang dapat diunduh sebelum menjatuhkan putusan karena ikhtisar musyawarah Majelis Hakim ini merupakan dokumen yang penting dalam menangani suatu perkara baik pidana maupun perdata. Oleh karena itu, tentunya dalam melaksanakan musyawarah majelis hakim sebelum pengambilan keputusan perlu dibuat bukti tertulis berupa ihktisar musyawarah yang berisi pendapat masing-masing hakim dan waktu pelaksanaan musyawarah tersebut yang nantinya akan dituangkan ke dalam putusan agar setiap pendapat hakim dapat dipertanggungjawabkan dan mempermudah membuat konsep putusan. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, melalui tulisan ini, penulis akan  menyampaikan ide atau gagasan dengan membahas tentang pentingnya  Penggunaan Ikhtisar Musyawarah Sebelum Menjatuhkan Putusan. 1.  Tata cara pelaksanaan musyawarah majelis hakim yang efektif. Dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan kehakiman) disebutkan bahwa: 1)   Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. 2)   Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. 3)   Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. 4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Musyawarah majelis hakim dilakukan di ruangan rapat khusus/tertentu dan tidak boleh diketahui pihak lain, karena sifatnya tertutup dan rahasia. Dalam perkara perdata, tidak mengatur secara khusus tentang tata cara pengajuan pendapat dan pertimbangan tentang siapa yang lebih dahulu mengajukan pendapat dan pertimbangan dalam sebuah musyawarah majelis hakim. Namun, berbeda dengan perkara pidana yang telah mengaturnya sebagaiamana terdapat dalam ketentuan Pasal 182 ayat (5) KUHAP yang menyatakan “Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya”. Dalam penanganan perkara perdata, tujuan utama mengadili adalah memberi kepastian hukum dan keadilan dalam sengketa para pihak, maka argumentasi Hakim dalam musyawarah hendaknya difokuskan pada: -     Menghubungkan alat bukti yang satu dengan yang lain sehingga menunjukkan deskripsi suatu peristiwa hukum (konstatir). -     Menunjukkan adanya hubungan kausalitas (kualifisir) serta menunjukkan akibat yang timbul dan menegaskan konsekuensi yuridisnya (konstituir). -     Menunjukkan secara jelas, logis, nalar/alur pikir yang dibangun oleh hakim agar pihak lain dapat mengerti. -     Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga tidak dapat diartikan lain selain yang dimaksud dalam putusan. Berdasarkan Materi Diklat II PPC Terpadu Angkatan III/ Calon Hakim Angkatan VIII (delapan) Gelombang 2 menerangkan bahwa dalam perkara pidana, tujuan utama mengadili adalah menentukan ada atau tidak kesalahan Terdakwa berdasarkan dakwaan Penuntut Umum, maka argumen Hakim dalam musyawarah  hendaknya difokuskan pada: -     Apakah semua unsur pasal dakwaan berhasil dibuktikan dan membuat kesimpulan apakah unsur tersebut terpenuhi atau tidak. -     Memberikan argumentasi hukum yang relevan maupun ilmiah pada setiap unsur yang dibuktikan atau dipertimbangkan. -     Memberikan definisi operasional terhadap setiap unsur yang dipertimbangkan. -     Membuat kesimpulan terhadap seluruh unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, apakah terbukti atau tidak. -     Setiap analisis harus diuji atau diverifikasi dengan alat bukti di persidangan. -     Pendapat/analisis hukum harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. -     Jika tidak diatur dalam peraturan perundangan, dapat menggunakan Asas hukum atau teori hukum yang terkait dengan konteks kasus. -     Gunakan juga Yurisprudensi sebagai rujukan, kalau perkara tersebut sudah ada Yurisprudensi tetapnya. Argumen yang dikemukakan masing-masing hakim dalam musyawarah harus didasari alasan dan dasar hukum yang tepat. Sebab, hasil musyawarah itulah yang dijadikan substansi putusan. Pada akhirnya, substansi putusan itu harus dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan dan Tuhan Yang Maha Esa. 2.  Pentingnya ikhtisar musyawarah sebagai dokumentasi hasil musyawarah majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 UU Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa “Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita acara pemeriksaan sdang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang”. Kemudian dalam Pasal 182 Ayat (6) KUHAP disebutkan bahwa “pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a.  Putusan diambil dengan suara terbanyak; b.  Jika ketentuan tersebut dalam huruf (a) tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa”. Dalam penjelasan Pasal 182 ayat (6) KUHAP disebutkan bahwa “apabila tidak terdapat mufakat bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis dicatat dalam berita acara sidang majelis yang sifatnya rahasia”. Mengacu pada ketentuan penjelasan tersebut, Penulis berpendapat bahwa dalam penjatuhan putusan penting untuk dibuat berita acara musyawarah majelis dalam bentuk tertulis berupa ikhtisar musyawarah. Musyawarah sebelum menjatuhkan putusan tidak boleh dianggap sepele, karena untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak dalam perkara pidana, kemudian begitu juga dalam perkara perdata untuk menentukan pihak mana yang berhak dimenangkan atau dikalahkan, maka pendapat hakim dalam musyawarah harus benar-benar disampaikan secara tertulis melalui ikhtisar musyawarah untuk memudahkan ketika membuat putusan, karena selain alat bukti tentunya keyakinan hakim dalam memutus perkara juga sangat penting disampaikan dalam musyawarah majelis hakim. Meskipun dalam praktik majelis hakim akan bergiliran membuat konsep putusan, namun dengan adanya ikhtisar musyawarah ini akan lebih mempermudah bagi hakim yang ditunjuk untuk membuat konsep putusan dan apabila ada pemeriksaan terhadap perkara yang telah diputus tersebut karena kesalahan ataupun kurang kehati-hatian majelis hakim dalam memutus perkara, maka majelis hakim tersebut dapat mempertanggungjawabkan masing-masing pendapatnya dan bukan bertumpu kepada siapa yang membuat konsep putusan, apalagi dalam musyawarah tersebut tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang menyebabkan musyawarah tidak tercapai suara/pendapat secara bulat. Format baku ikhtisar musyawarah belum diatur oleh MA, namun dalam praktiknya, ada juga majelis hakim yang menggantikan ikhtisar itu dengan semacam formulir lembaran musyawarah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Lembaran musyawarah itu berisi data identitas para pihak, nama majelis hakim dan nama panitera pengganti serta kolom pendapat masing-masing hakim berikut tanda tangannya. Semua harus mengisi lembaran musyawarah tersebut kemudian menandatanganinya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas melalui tulisan ini, Penulis mengusulkan agar penggunaan Ikhtisar Musyawarah ini diatur prosedur dan teknik serta apa saja yang harus dimuat dalam ikhtisar musyawarah hakim ketika melakukan musyawarah hakim kedalam sebuah regulasi internal sebagaimana diamanahkan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Regulasi tersebut juga dapat dilengkapi dengan format atau template contoh ikhtisar musyawarah yang sama halnya seperti template putusan yang telah diberlakukan saat ini, agar ada keseragaman dan juga sebagai pedoman bagi Para Hakim dalam membuat ikhtisar musyawarah      sebelum menjatuhkan putusan. Penutup Berdasarkan hal-hal tersebut diatas melalui tulisan ini, Penulis mengusulkan agar diterbitkan kebijakan penggunaan Ikhtisar Musyawarah pada saat Majelis Hakim melaksanakan musyawarah. Kebijakan itu juga diharapkan mengatur tentang prosedur dan hal apa saja yang harus dimuat dalam ikhtisar musyawarah hakim sebagaimana diamanahkan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman. Regulasi tersebut juga diharapkan dilengkapi dengan format atau template contoh ikhtisar musyawarah sama halnya seperti template putusan yang telah ditetapkan agar ada keseragaman dan juga sebagai pedoman bagi Para Hakim dalam membuat ikhtisar musyawarah sebelum menjatuhkan putusan. Selain itu, untuk memudahkan para Hakim menggunakan ikhtisar musyawarah, maka dalam SIPP kedepannya tersedia menu akses/unduh dokumen ikhtisar musyawarah hakim yang dapat diunduh. (LDR)Terlampir contoh format ikhtisar musyawarah:https://docs.google.com/document/d/1aFNwj6BSV9PoZfjPb6bPYlv9aqpbuXh1/edit?usp=sharing&ouid=117167644861340385175&rtpof=true&sd=true

Pidana Mati: Melawan Takdir Tuhan atau Menjalankan Takdir Tuhan?

article | Opini | 2025-05-11 14:00:57

BELUM lama ini, diskusi tentang eksistensi hukuman mati kembali hangat untuk diperbincangkan. Terlebih didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya kita sebut KUHPidana Nasional) masih mengakomodir pidana mati sebagai salah satu pidana yang dapat dijatuhkan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Akan tetapi, terdapat perbedaan formulasi terhadap pidana mati dalam KUHPidana yang lama dengan KUHPidana Nasional yang baru. Jika dalam KUHPidana yang lama, pidana mati termasuk dalam pidana pokok yang sifatnya mutlak, sementara dalam KUHPidana Nasional mengkualifikasikan pidana mati sebagai pidana khusus yang bersifat tentatif. Maksudnya ialah hukuman mati dapat dijatuhkan oleh hakim kepada seorang terdakwa dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Apabila dalam masa percobaan tersebut terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati itu dapat berubah menjadi pidana penjara seumur hidup berdasarkan Keputusan Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Dibelahan dunia lainnya, beberapa negara masih memasukkan hukuman mati dalam pidana yang diancam pada kejahatan tertentu seperti di Amerika Serikat, Tiongkok, Arab Saudi dan lain-lain. Sementara negara-negara seperti Australia, Brazil, dan Portugal serta negara di Uni Eropa telah lama mengubur eksistensi hukuman mati dalam sistem hukum pidana mereka. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, hukuman mati masih menjadi pidana yang diancamkan pada sejumlah jenis kejahatan, baik yang diatur didalam KUHPidana maupun undang-undang hukum pidana khusus diluar KUHPidana. Semisal dalam KUHPidana, tindak pidana yang diancam hukuman mati diantaranya pembunuhan berencana, makar atau kudeta dan pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian. Sementara dalam undang-undang hukum pidana khusus diluar KUHPidana yang diancam hukuman mati diantaranya korupsi, narkotika dan terorisme. Cukup menarik apabila masuk pada perdebatan akademis terkait relevankah hukuman mati diterapkan pada zaman sekarang? Secara garis besar, ada 2 (dua) kelompok, kelompok satu yang masih menginginkan adanya hukuman mati dan kelompok kedua yang menginginkan hukuman mati dihapus dalam hukum pidana manapun. Meskipun beberapa pendapat ahli menguraikan dari poin of view (POV) dan variabel tambahan tentang hukuman mati, akan tetapi secara konsep tetap akan bermuara pada 2 (dua) premis yaitu pro terhadap eksistensi hukuman mati dan yang kontra pada eksistensi hukuman mati. Bila kita mengurai secara singkat, argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok yang pro terhadap hukuman mati misalnya: pertama, berangkat dari semangat hukum pidana harus memperhatikan dan melindungi hak-hak korban yang telah dirampas atau terancam nyawanya. Kedua, tujuan adanya sanksi pidana dalam bentuk apapun termasuk sanksi hukuman mati ialah memberikan efek jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi kejahatannya lagi serta memberi semacam warning kepada masyarakat agar jangan sekali-kali melakukan kejahatan yang sama jika tak ingin bernasib serupa dengan pelaku. Dalam suasana hukuman mati masih ada saja, angka kejahatan masih tetap tinggi dan membuat orang tidak jera, lantas bagaimana mungkin hukuman mati dihilangkan? Sementara dari kubu yang kontra dengan hukuman mati juga mempunyai argumentasi yang tak kalah substantif dalam mengcounter pendapat dari kelompok yang pro dengan hukuman mati. Pertama, hukuman mati dianggap bertentangan dengan nilai dasar hak asasi manusia. Kedua, dengan masih rentannya sistem penegakan hukum pidana khususnya di Indonesia, memunculkan kemungkinan-kemungkinan adanya human error dalam proses penegakan hukum yang berakibat hukuman mati yang telah dijalankan tak dapat dipulihkan lagi, sehingga terpidana yang telah di eksekusi mati tak dapat hidup kembali meskipun dikemudian hari ditemukan fakta yang menentukan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Perdebatan menyoal hukuman mati inipun dalam konteks religiusitas, belum tersimpul pada ujung yang sama, apakah diperbolehkan menghukum mati seseorang dari sudut pandang agama? Terkhusus dalam ajaran Islam yang penulis pahami. Kembali pada posisi pro kontra hukuman mati itu. Bagi yang pro akan hukuman mati tak jarang bersandar pada kisah perjalanan spiritual Nabi Khidir Alaihissalam yang membunuh seorang anak dengan alasan bahwa jika anak itu tidak dibunuh saat itu, maka dimasa depan anak tersebut akan membuat banyak kerusakan. Sehingga membunuhnya kala itu dianggap pilihan yang tepat. Tentu saja peristiwa itu bukan atas kemauan dari Nabi Khidir Alaihissalam sendiri, melainkan atas kehendak Yang Maha Esa. Kita sebagai hambanya hanya dapat menjalankan skenario yang telah ditetapkan dalam lauful mahfuz jauh sebelum kita dilahirkan. Sementara ditempat yang berbeda, kelompok yang kontra dengan hukuman mati meyakini dengan sepenuh hati dan jiwanya bahwa mencabut nyawa seseorang bukanlah tugas dari manusia akan tetapi hak prerogatif dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkecuali dalam konteks perang, dimana sejak zaman dahulu pertumpahan darah merupakan konsekuensi nyata dari perang, akan tetapi bagi kelompok yang kontra dengan hukuman mati, sepenuhnya percaya tidak ada yang dapat melegitimasi manusia menghukum mati manusia lainnya. Bukankah setiap orang yang melakukan salah berhak atas second change dan menata ulang hidupnya? Tuhan Maha Pemaaf, lantas mengapa manusia tak mau merepresentasikan sedikit sifat pemaaf Tuhan dalam menghukum orang? Sekali lagi, perdebatan tentang hukuman mati ini tiada akhir dan ujung yang nyata yang dapat kita jumpai hikmahnya. Mungkin sudah takdirnya bahwa diskusi tentang hukuman mati akan terus menerus tumbuh dan hidup. Sepanjang zaman, dengan berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, niscaya akan terus bermunculan berbagai alasan, argumen dan hipotesa tentang perlukah hukuman mati ada atau tidak. Pun rasanya hal demikian tak akan mampu menutup rapat dialog soal relevansi hukuman mati dari masa ke masa. Bercermin pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, kita perlu terima bahwa hukuman mati masih hidup dalam kerangka hukum pidana meski dengan variasi penerapan yang berbeda dari satu bentuk ke bentuk lain. Dari yang awalnya bersifat konstan hingga menjadi pilihan. Hendaknya, bagi kita, masyarakat yang hidup secara komunal dalam sistem hukum yang berlaku saat ini, ketika penegak hukum terkhusus hakim sebagai pengetuk palu keadilan menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang akibat perbuatan pidana yang dilakukan, jangan terburu-buru menyimpulkan dan berekspresi bersuka cita atau menghakimi sebagai kesalahan hakim-hakimnya. Beban menjatuhkan pidana mati tak akan sama dengan beban menjatuhkan pidana penjara, denda atau yang lainnya. Pergulatan batin itu akan terus menghantui hakim bukan saja pada saat menjatuhkan putusan menghukum mati seseorang, namun pergulatan itu bisa bersemayam sebulan, setahun, sepuluh tahun bahkan selama sisa hidup hakim itu. Setelah hukuman mati itu dijatuhkan hingga pada akhirnya hukuman mati itu dilaksanakan, hakim itu akan terus bertanya-tanya didalam benaknya. “Apakah aku telah melawan takdir Tuhan ataukah menjalankan takdir Tuhan?” Yang pasti, sejak hari itu, mungkin saja hidupnya tak sama lagi. (LDR, AL)

Urgensi Remunerasi Berbasis Kinerja Bagi Hakim dan Tenaga Teknis Peradilan

article | Opini | 2025-05-11 12:00:55

Dalam sistem peradilan yang ideal, hakim memegang peranan sentral sebagai penjaga keadilan dan penegak hukum yang independen. Tidak hanya itu, peran tak kalah penting juga diemban para tenaga teknis peradilan di seluruh Indonesia dalam proses penanganan perkara. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa beban kerja yang ditanggung oleh para hakim dan tenaga teknis peradilan sering kali tidak sebanding dengan dukungan negara yang mereka terima. Data Mahkamah Agung RI mencatat bahwa pada tahun 2024, jumlah perkara di pengadilan tingkat pertama mencapai 2.991.747, yang ditangani oleh 5.804 hakim dan 350 hakim ad hoc. Artinya, setiap hakim tingkat pertama rata-rata menangani sekitar 1.547 perkara dalam setahun. Angka ini mencerminkan beban kerja yang sangat tinggi, yang berpotensi mempengaruhi kualitas putusan dan kesejahteraan hakim (Kompas.com, 2025). Ironisnya, sistem remunerasi bagi hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia belum mencerminkan beban kerja tersebut. Meskipun telah terjadi kenaikan gaji dan tunjangan—khususnya bagi hakim—melalui PP Nomor 44 Tahun 2024, struktur remunerasi masih bersifat statis dan tidak berbasis pada kinerja atau jumlah perkara yang ditangani (Kompas.id, 2025). Hal ini berbeda dengan institusi penegak hukum lain, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, yang telah menerapkan sistem insentif berbasis kinerja atau jumlah berkas perkara. Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah sistem remunerasi hakim dan tenaga teknis peradilan saat ini sudah adil dan mampu mendorong profesionalisme serta integritas dalam menjalankan tugas yudisialnya? Melalui tulisan ini, penulis hendak menyalurkan opini sebagai bahan wacana dan refleksi bagi para hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia untuk mengkaji kembali urgensi penerapan sistem remunerasi berbasis kinerja bagi hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia. Dengan meninjau ulang beban kerja yang dihadapi, membandingkan dengan sistem remunerasi di institusi lain, serta menelaah prinsip keadilan institusional, diharapkan dapat ditemukan jalan keluar yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan hakim dan tenaga teknis peradilan, tetapi juga memperkuat kualitas dan integritas warga peradilan di Indonesia. Ketimpangan Remunerasi dan Realitas Beban Kerja Hakim dan Tenaga Teknis Peradilan Salah satu paradoks paling mencolok dalam sistem peradilan Indonesia hari ini terletak pada absennya relasi yang proporsional antara beban kerja hakim dan tenaga teknis peradilan dengan struktur tunjangan yang diterima. Seorang hakim dan tenaga teknis peradilan di pengadilan negeri, baik yang bertugas di kota besar maupun daerah terpencil, akan menerima komponen gaji dan tunjangan yang relatif sama—bergantung pada golongan kelas pengadilan, terlepas dari jumlah perkara yang ditangani, tingkat kompleksitas putusan, maupun tekanan independensi yang dihadapi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius, mengapa struktur tunjangan hakim dan tenaga teknis peradilan tidak menyentuh dimensi kinerja, padahal penegakan keadilan menuntut kinerja yang profesional dan berintegritas? Ketimpangan ini menjadi lebih nyata ketika dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Jaksa dan penyidik, misalnya, memiliki skema insentif tambahan berdasarkan jumlah berkas perkara yang mereka tangani atau selesaikan (Antaranews.com, 2025). Model berbasis output ini, meskipun belum sempurna, mencerminkan adanya pengakuan negara melalui institusi terhadap beban kerja aktual dan kontribusi fungsional masing-masing aparatur. Sebaliknya, bagi seorang hakim dan tenaga teknis peradilan, menangani seratus atau seribu perkara tidak menghasilkan konsekuensi insentif apa pun di luar angka tetap dalam komponen gaji dan tunjangan. Dengan kata lain, sistem yang berlaku cenderung mengasumsikan bahwa beban kerja seluruh hakim dan tenaga teknis peradilan adalah setara, padahal kenyataannya jauh panggang dari api. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan horizontal antar hakim dan tenaga teknis peradilan—misalnya, antara hakim di daerah yang banyak perkara dengan hakim di daerah yang perkaranya lebih sedikit—tetapi juga memperlebar kesenjangan keadilan antar institusi, khususnya dalam sistem peradilan pidana terpadu. Beban kerja yang tidak diimbangi dengan penghargaan atau pengakuan negara secara institusional justru dapat memunculkan disinsentif struktural yang secara perlahan berpotensi menggerus semangat profesionalisme dan integritas aparatur. Dalam jangka panjang, ketimpangan seperti ini bukan hanya melemahkan motivasi personal, tetapi juga menciptakan ketegangan tersembunyi—bagai api dalam sekam—antar-lembaga yang bekerja sama di luar maupun dalam ruang persidangan. Karena itu, persoalan remunerasi hakim dan tenaga teknis peradilan sejatinya tidak semata soal nominal atau kesejahteraan, tetapi lebih fundamental dari itu, yakni menyangkut keadilan institusional dan pengakuan terhadap realitas kerja lembaga peradilan yang semakin kompleks. Jika peradilan dituntut untuk adaptif, responsif, profesional dan berintegritas, maka sistem insentif bagi hakim dan tenaga teknis peradilan pun seharusnya selaras dengan beban tanggung jawab yang diembannya. Urgensi Reformasi Remunerasi Hakim dan Tenaga Teknis Peradilan Berbasis Kinerja Penerapan sistem remunerasi bagi hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia saat ini dapat dikatakan mandek dan tidak berbasis pada kinerja atau beban kerja yang ditangani. Meskipun untuk hakim telah mengalami kenaikan gaji dan tunjangan per 18 Oktober 2024 lalu, struktur remunerasi belum mencerminkan kompleksitas dan volume perkara yang ditangani oleh masing-masing hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia. Sebagai contoh, hakim dan tenaga teknis peradilan dengan beban perkara yang tinggi tidak mendapatkan kompensasi tambahan apa pun dibandingkan dengan hakim dan tenaga teknis peradilan dengan beban perkara yang lebih ringan. Ketimpangan ini dirasa perlu ditinjau melalui perspektif keadilan institusional dalam sistem peradilan. Dalam konteks ini, prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh John Rawls menjadi relevan. Rawls menekankan bahwa distribusi sumber daya harus mempertimbangkan kebutuhan dan kontribusi individu dalam masyarakat. Dengan demikian, sistem remunerasi hakim dan tenaga teknis peradilan sudah seharusnya mempertimbangkan beban kerja dan kompleksitas perkara yang ditangani sebagai indikator utama dalam menentukan kompensasi dan wujud penghargaan atas jerih payahnya dalam bekerja. Beberapa negara telah menerapkan sistem remunerasi berbasis kinerja bagi hakim. Di Singapura, misalnya, remunerasi hakim disesuaikan dengan kinerja dan kontribusi mereka dalam sistem peradilan. Sistem ini mendorong peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas-tugas yudisial. Implementasi sistem serupa di Indonesia dapat menjadi langkah penting dan strategis dalam meningkatkan kualitas dan integritas aparatur peradilan. Penutup Remunerasi bukan sekadar soal angka, tetapi cerminan sejauh mana negara melalui sistemnya menghargai peran, beban, dan tanggung jawab profesi. Dalam konteks hakim, alpanya sistem insentif berbasis kinerja menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang mengabaikan kerja peradilan sebagai proses intelektual dan moral yang sakral dan berat. Ketika aparatur lain dalam sistem peradilan—seperti jaksa dan penyidik—telah mendapatkan insentif berbasis kinerja, maka mempertahankan skema remunerasi yang datar (flat) bagi hakim dan tenaga teknis peradilan bukan hanya diskriminatif, tetapi juga tidak adaptif dan responsif terhadap tantangan profesionalisme peradilan masa kini. Tulisan ini hendak menegaskan kembali bahwa beban kerja hakim dan tenaga teknis peradilan yang tinggi, kompleksitas perkara yang beragam, serta tekanan moral dan psikologis yang menyertainya tidak boleh lagi dipandang sebagai variabel yang tak relevan dalam penentuan tunjangan atau kompensasi oleh negara. Bukankah seharusnya prasyarat sistem peradilan yang profesional dan berintegritas adalah penghargaan dan pengakuan yang seimbang terhadap peran setiap unsur, termasuk penghargaan yang layak bagi hakim dan tenaga teknis peradilan melalui sistem remunerasi berbasis kinerja yang adil, transparan, dan terukur. Jika reformasi remunerasi ini tidak segera ditempatkan sebagai prioritas oleh negara, maka risiko demoralisasi, kelelahan institusional (judicial fatigue), dan penurunan kualitas putusan menjadi ancaman yang nyata. Oleh karena itu, urgensi pembaruan kebijakan yang menyelaraskan beban kerja dengan bentuk penghargaan bukan hanya kebutuhan personal para hakim dan tenaga teknis peradilan, melainkan bagian dari upaya kolektif menyelamatkan dan menjaga profesionalitas, integritas, martabat, dan kepercayaan publik terhadap peradilan itu sendiri.(LDR, SNR)

Dekonstruksi Pidana Penjara Jangka Pendek: Membongkar Paradigma Usang Tentang Pemidanaan

article | Opini | 2025-05-11 08:00:43

Memasuki pertengahan tahun 2025 menandai semakin dekatnya pemberlakuan KUHP Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yang disahkan pada tanggal 2 Januari 2023. Sesuai Pasal 624, aturan ini mulai berlaku tiga tahun setelah diundangkan, yakni pada tanggal 2 Januari 2026. Berlakunya KUHP Nasional membawa banyak perubahan besar dalam sistem hukum pidana di Indonesia, terkhusus dalam hal pemidanaan. Secara garis besar, pemidanaan dalam KUHP Nasional harus selalu didasarkan pada 4 (empat) tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 51, yaitu (1) mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna, (3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, dan (4) menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dari tujuan pemidanaan tersebut berkembang suatu gagasan baru yaitu ide untuk menghindari opsi penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan/penjara jangka pendek oleh Hakim dan beralih ke penjatuhan sanksi pidana alternatif. Hal ini menimbulkan kompleksitas, manakala Hakim-Hakim di Indonesia sudah sejak lama berkutat dengan paradigma ‘usang’ tentang pemidanaan yang bersifat pembalasan/retributif. Hal ini didasari karena adanya pandangan yang berkembang, tidak hanya di kalangan para Hakim, namun juga pada masyarakat umum yang beranggapan jika suatu kejahatan yang tidak dibalas dengan penghukuman adalah suatu hal yang tidak disenangi, sehingga pelaku kejahatan harus mengalami beratnya nestapa/penderitaan seperti juga ia mengakibatkan penderitaan kepada orang lain. Namun demikian, dengan adanya perubahan ide tentang pemidanaan tersebut, timbul suatu dorongan kuat yang mengharuskan para Hakim untuk beradaptasi dengan gagasan pemidanaan baru, yang salah satu caranya adalah dengan menata ulang/mendekonstruksi paradigma penjatuhan pidana penjara jangka pendek kepada Terdakwa di era KUHP Nasional. Mengapa penjatuhan pidana penjara jangka pendek harus dihindari? Ide untuk menghindari penjatuhan pidana penjara jangka pendek sebenarnya sudah mulai berkembang sekitar pada tahun 1960, dimana pada kala itu dalam Kongres ke-2 PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di London merekomendasikan bahwa penjatuhan pidana penjara jangka pendek berpotensi bahaya karena dapat menyebabkan terpidana terkontaminasi/terpapar lingkungan yang dapat merusaknya. Selain itu, hal tersebut juga tidak memberikan cukup waktu kepada terpidana untuk mengikuti pelatihan yang konstruktif/bermanfaat. Kemudian, Kongres juga menyadari bahwa menghapuskan jenis pidana penjara secara keseluruhan adalah hal yang tidak mungkin dilakukan, sehingga disarankan untuk meningkatkan alternatif pidana seperti pidana bersyarat, pengawasan/probation, denda, kerja sosial, serta tindakan lain yang tidak melibatkan perampasan kemerdekaan. Seorang yuris dari Norwegia yang bernama Johannes Andenaes, pernah mengatakan hal yang serupa jika alternatif pidana berupa denda dan/atau probation dapat menggantikan pidana penjara dengan dasar pertimbangan yakni alternatif tersebut bersifat humanis dan ekonomis. Prof. Manuel Lopez Rey dari Bolivia di dalam Kongres PBB keempat tahun 1970 juga mengatakan jika “short term imprisonment” dapat meniadakan kemungkinan atau harapan untuk seorang terpidana direhabilitasi. Gagasan Anti Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam KUHP Nasional Jika kita melihat isi dari KUHP Nasional secara menyeluruh, sebenarnya tidak pernah termuat secara literal tentang gagasan anti penjatuhan pidana penjara jangka pendek kepada Terdakwa. Namun, dalam penjelasan umum Buku Kesatu angka 3, disana pertama kali muncul istilah “pengembangan alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek”, yang jika dipahami secara kontekstual, ide tersebut dituangkan dalam penjelasan umum adalah untuk menggambarkan pendekatan pemidanaan dalam KUHP Nasional yang lebih manusiawi. Adapun dalam Pasal 65 diatur tentang jenis-jenis pidana pokok yang cukup berbeda dengan Pasal 10 KUHP Lama. Terdapat 5 (lima) jenis pidana pokok, yakni (a) pidana penjara, (b) pidana tutupan, (c) pidana pengawasan, (d) pidana denda, dan (e) pidana kerja sosial (dan sebagai catatan, untuk jenis pidana Kurungan telah dihilangkan dalam KUHP Nasional). Terdapat 2 (dua) jenis pidana baru yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, dimana kedua pidana tersebut, termasuk juga pidana denda diharapkan dapat dikembangkan sebagai alternatif dari penjatuhan pidana penjara jangka pendek. Dalam penjelasan Pasal 65, pada prinsipnya ancaman pidana pokok terhadap Tindak Pidana yang ada dalam Buku Kedua hanya berupa pidana penjara dan pidana denda saja. Sedangkan untuk pidana tutupan (Pasal 74), pidana pengawasan (Pasal 75), dan pidana kerja sosial (Pasal 85) dibuat sebagai alternatif dari penjatuhan pidana penjara dan pidana denda yang tidak dijalankan. Selanjutnya, Pasal 70 juga mengatur agar Hakim dalam hal pemidanaan sedapat mungkin tidak menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa, yang dalam pelaksanaannya, Hakim wajib untuk memperhatikan dan mempertimbangkan 15 (lima belas) keadaan Terdakwa sehingga Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara. Lalu Pasal 71 mengatur jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun, dimana hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan tujuan pemidanaan, orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda. Dalam penjelasan Pasal 71 kembali ditekankan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan, salah satunya untuk menghindari penjatuhan pidana penjara jangka pendek. Kemudian, dalam penjelasan Pasal 85 tentang pidana kerja sosial juga diterangkan jika jenis pidana tersebut diterapkan sebagai alternatif dari penjatuhan pidana penjara jangka pendek. Dari beberapa ketentuan pasal dalam KUHP Nasional di atas, para Hakim perlu untuk mendekonstruksi pemahamannya tentang penjatuhan pidana penjara jangka pendek, dan dengan demikian juga harus ‘membongkar’ pemahamam ‘usang’ tentang pemidanaan yang selalu bersifat pembalasan/retributif. Selain itu, para Hakim juga harus menyikapi perubahan ini dengan mulai mempelajari secara komprehensif tentang penjatuhan alternatif pidana pengganti dari pidana penjara jangka pendek sebagai bentuk dukungan terhadap gagasan pemidanaan baru yang diusung oleh KUHP Nasional. Kesimpulan Dari hal-hal tersebut di atas, dapat ditarik dan dirangkai suatu benang merah yaitu KUHP Nasional telah menggeser dan membawa paradigama pemidanaan baru, dari yang sebelum bersifat pembalasan/retributif menjadi pemidanaan yang lebih manusiawi, yang salah satu bentuknya adalah dengan penerapan alternatif pidana pengganti dari pidana penjara jangka pendek. Selain itu, para Hakim juga harus secara perlahan melakukan pergeseran paradigma sebagaimana ungkapan yang diutarakan oleh George Bernard Shaw, “Now, if you are to punish a man retributively, you must injure him. If you are to reform him, you must improve him. And men are not improved by injuries.” (Sekarang, jika Anda ingin menghukum seseorang sebagai pembalasan, Anda harus melukainya. Jika Anda ingin memperbaikinya, Anda harus membuatnya lebih baik. Dan manusia tidak akan menjadi lebih baik dengan luka-luka). (LDR, SNR)

Dissenting Opinion Sebagai Sarana Penyeimbang, Akuntabilitas dan Transparasi Hakim

article | Opini | 2025-05-11 08:00:42

Di tengah budaya konsensus yang selama ini terefleksi dari putusan-putusan pengadilan, serta di tengah banyak tuduhan yang dialamatkan pada proses peradilan yang kerap dianggap kurangtransparan dan akuntabel, hakim juga mempunyai “hak untuk berbeda pendapat yang dimuat dalam putusan” yang dapat digunakan untuk menyatakan pendapat hukumnya atas suatu perkara baik berupa perbedaan pendapat (dissenting opinion) maupun alasan berbeda (concuring opinion) dalam penjatuhan putusan. Dissenting/concuring opinion merupakan pendapat miniritas yang dimuat dalam putusan pengadilan. Hak Dissenting/concuring opinion bagi pendapat minoritas hakim diatur dalam Pasal 14 UU No.  48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sayangnya selama ini hak dissenting/concuring opinion, kurang membudaya dalam praktik peradilan Indonesia sampai dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 yang kemudian membudayakan praktik dissenting/concuring bagi pendapat minoritas hakim, padahal praktik dissenting opinion (pendapat berbeda) selain dapat menjadi salah satu bentuk akuntabilitas dan transparansi juga bisa menjadi penyeimbang dan memperkaya dinamika pembangunan hukum nasional melalui putusan-putusan pengadilan yang berkualitas. Sejarah Dissenting Opinion Andrew Lynch (Palguna 2020), mengungkapkan bahwa, praktik dissenting opinion diperkenalkan pada pengadilan di Inggis pada Abad ke-16 kamudian berkembang di negara-negara cammon law lainnya. Berbanding terbalik dengan praktik di negara-negara cammon law, John Merryman mengemukakan bahwa di negara-negara civil law lebih cenderung melarang adanya perbedaan pendapat yang dimuat dalam putusan. Di Indonesia yang mempunyai tradisi civil law dengan sedikit corak cammon law, baru pertama kali mempraktikan dissenting opinion melalui putusan nomor 71/Pailiti/2000/PN.Niaga.JKT.PST, di mana hakim ad-hoc Pengadilan Niaga Eliyana Tanzah, menyampaikan pendapat perbeda, serta diikuti oleh beberapa putusan niaga lainnya yang juga memuat dissenting opinion, meskipun demikian namun praktik dissenting masih belum membudaya. Baru setelah berdirinya Mahkamah Konstitusi RI pada tahun 2003, praktik dissenting opinion secara resmi diterapkan di Mahkamah Konstitusi dan kemudian membudaya hingga sekarang. Perlunya Penguatan Lembaga Dissenting Opinion Penguatan lembaga dissenting opinion adalah keniscayaan, bukan karena keinginan untuk terlihat berbeda, tetapi karena kebutuhan untuk memperkuat integritas peradilan. Beberapa alasan perlunya penguatan lembega dissenting opinion sebagai berikut: 1.   Alasan Yuridis Pasal 14 ayat (4) UU No.  48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebaagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal ayat (4) memberi pesan bahwa Mahkamah Agung bisa mengatur lebih lanjut sidang persmusyawaratan termasuk mengatur pula ketentuan mengenai disseting opinion yang selama ini belum seragam pemahaman dan penerapannya. 2.   Bentuk Transparansi Dan Akuntabilitas Publik Hakim Seperti dikemudkakan oleh Jimly Asshiddiqie (2006) bahwa dissenting opinion merupakan wujud dari prinsip keterbukaan dan akuntabilitas peradilan. Ini menunjukkan bahwa musyawarah putusan tidak selalu bulat, tetapi melalui proses dialektika yang sehat dan proresional, sehingga pendapat hakim minoritas dimuat dalam putusan selain sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas. 3.   Bentuk Penyeimbang dan pelindung Di dalam perkara-perkara yang penuh kontroversi dissenting opinion dapat mempunyai fungsi pengimbang putusan dan perlindungan bagi hakim. Fungsi penyeimbang yang dimaksud di sini adalah penyeimbang argumen artinya pendapat mayoritas yang menjadi dasar putusan akhir haruslah lebih kuat dari pendapat minoritas tidak semata-mata karena agregat tetapi karena kedalaman pertimbangan putusan. Selain itu juga dissenting opinion bisa menjadi pelindung bagi hakim yang menolak intervensi dari pihak manapun. Artinya hakim dengan pendapat minoritas tidak akan diasosiasikan dengan pendapat mayoritas. Tantangan Penguatan Lembaga Dissenting Opinion 1.   Budaya Konsensus Birokrasi Mewarisi tradisi civil law mengakibatkan peradilan di bawah Mahkamah Agung tidak terlalu kuat dalam tradisi dissenting opinion, karena tradisi civil law lebih mengedepankan tradisi konsensus. Belum lagi lagi dengan masih adanya label junior dan senior, hakim lama dan hakim baru, kadang juga melemahkan disalah satu pihak, karena tidak semua hakim senang dengan adanya dissenting opinion serta secara psikologis tidak pula semua hakim siap untuk menyatakan dissenting opinion. 2.   Potensi Pembelahan Dissenting opinion adalah baraang mewah bagi profesional tapi ia juga bisa mengakibatkan pembelahan apabila penerapaannya tidak didasarkan pada profesionalisme dan itikad baik. Dissenting opinion akan memicu pembelahan manakalah digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti digunakan untuk menyerang hakim dengan pendapat mayoritas, kepentingan untuk menyelematkan diri sendiri, atau mencari popularitas dari dissenting opinion. 3.   Melemahkan Legitimasi dan Impresifitas Putusan Penentuan keputusan secara agregatif (2:1) akan menimbulkan kesan bahwa putusan itu lemah dari segi ororitas pendapat. Dapat dibandingkan bila putusan itu diambil dengan suara bulat (3:0), maka secara otoritas pendapat lebih kuat dan tidak akan menimbulkan banyak spekulasi. Penutup Dissenting opinion adalah hak dan merupakan bentuk penghormatan pada pendapat hakim minoritas (minority right). Dissenting opinion juga merupakan refleksi demokratis dalam proses peradilan. Di tengah keraguan (doub) pada pendapat hakim mayoritas, hakim minoritas bisa memilih dissenting opinion untuk menyatakan pendapatnya atas suatu perkara. Dissenting opinion juga merupakan cermin dari kompleksitas hukum dan keberanian hakim untuk berpikir kritis, oleh karena itu dengan dukungan pengaturan dan pemahaman yang baik sebagaimana amanat Pasal 14 ayat (4) UU No.  48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dissenting opinion bisa menjadi salah satu pilar peradilan yang transparansi dan akuntabel. (LDR)

Judicial Challenges in Dealing with Cryptocurrency

article | Opini | 2025-05-10 14:45:50

IntroductionAs stated in the publication of the 2010  Blueprint of the Judicial Reform of the Supreme Court of the Republic of Indonesia,  which outlines the vision of  the  Indonesian  courts and the long-term legal reform program from 2010  to  2035  for  four  judicial institutions below the Supreme Court, has accelerated the modernization of the judiciary in Indonesia.[1]Since the Supreme  Court  Regulation  Number  7  of  2022 was released, the Supreme  Court  finally accommodates  the  needs  of the  Indonesia society  in  terms  of  registering  cases (e-Filling), estimating trial fees (e-Payment), summoning  parties (e-Summons),  and  conducting trials electronically (e-Court).[2] Judicial modernization must also be accompanied by the readiness of the judges to keep up with the pace of the development of information technology. One of them is developments in the field of financial technology with the presence of cryptocurrencies.It is a huge challenge in the digital era for the judicial sector, researcher also as judges realized that few members of the judges were familiar with the development of blockchain technology and cryptocurrencies. Nonetheless, it is possible that in practice, the application of blockchain technology and cryptocurrencies will rise to conflict, and can even be used as a new mode of money laundering crime for financing terrorism and tax evasion.How Judges in predicting cryptocurrency issues?Currently, the crypto asset futures trading industry is a new financial sector in Indonesia. This position also has the opportunity to be misused by criminals as an instrument for committing money laundering crimes. Based on the Sectoral Risk Assessment of crypto asset trading in Indonesia, which was prepared by PPATK together with Bappebti and the Ministry of Trade, it was stated that, inter alia, entrepreneurs and PEPs (politically exposed persons) are customer profiles that have a very high risk of becoming perpetrators of money laundering crimes.[3]Furthermore, it also needs to be understood that cryptocurrency, in this case, its position as a crypto asset, actually has characteristics that can be recognized to ensure whether crypto assets have been misused in a criminal act or not by tracking the character of the coins. As in the table below, the types and characteristics of crypto assets will be explained:Kinds of CryptocurrenciesCoin CaratheristicsBitcoin (BTC) Pseudo AnonymousEthereum (ETH)Pseudo AnonymousRipple (XRP)Pseudo AnonymousBitcoin Cash (BCH)Pseudo AnonymousLitecoin (LTC) Pseudo AnonymousStellar (XLM) Pseudo AnonymousCardano (ADA)Pseudo AnonymousIOTA (MIOTA) Pseudo AnonymousNEO (NEO) Pseudo AnonymousMonero (XMR) AnonymousDash (DASH)AnonymousAnonymous is an asset that cannot (difficult) be tracked. Meanwhile, Pseudo Anonymous or pseudonymity is 'traceable anonymity', where with technical procedures association of individuals (service users) can be carried out, but if transactions are traced in general, the user's identity cannot be found.[4]The risk of misuse of crypto assets in money laundering crimes can be identified by mapping three variables, namely: (a) threats, which are based on the parties and predicate crimes that have the most potential to be exploited in money laundering by misusing crypto assets ; (b) Vulnerabilities, which are based on regulatory issues and weaknesses in crypto asset products that can be exploited by criminals to carry out money laundering; and (c) Impact, which is based on the impact on the financial system by money laundering crimes committed by misusing crypto assets.[5]Efforts to mitigate the risk of protecting crypto accounts belonging to nominees or strawmen have been strictly regulated in Bappebti Regulation No. 5 of 2019, which contains mandatory requirements for prospective physical traders of crypto assets to implement the APU-PPT program that has been determined by Bappebti, in terms of:To obtain approval to facilitate Customer transactions on the Physical Crypto Asset Market (vide Article 8 paragraph (1) letter e);In the case of trading crypto assets (vide Article 12 paragraph (4));As a requirement for using a Crypto Asset Customer Account (vide Article 12 paragraph (5)); AndTo be able to operate trading activities during the registration period (vide Article and 24 paragraph (8) letter b). [6]Therefore, after understanding the rules and characteristics of crypto assets as explained above, it will be easier for the judges to predict the type of cryptocurrency problems they will face.How Judges in examining cryptocurrency issues?In examining cases related to cryptocurrency, whether they result in criminal acts (follow up crime) of money laundering, pure money laundering (predicate crime), or tax evasion, judges are required to be able to understand the character of cryptocurrency and blockchain technology itself. This is explained in the section on how a judge can predict the type of crime related to cryptocurrency transactions.At this stage, the judge must also be able to separate between general crimes and specific crimes. In other words, whether an act criminal offense is a criminal act of pure fraud, or there was a tax evasion or money laundering scheme using cryptocurrency transactions?As in the following case example, despite Indra Kenz in his case, he had been sentenced to 10 years in prison and a fine of IDR 5 billion by the Tangerang District Court Decision Number 1240/Pid.Sus/2022/PN Tng due to declared proven to have violated Article 45A paragraph 1 in conjunction with Article 28 paragraph 1 Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 2008 concerning Information and Electronic Transactions and Article 3 of the Law Republic of Indonesia Number 8 of 2010 concerning the Prevention and Eradication of Crimes Money Laundering Crime. In fact, He wasn't declared proven to have violated since his Binomo App does not have a license from Bappebti.Furthermore, in 2021, PT Asabri (Persero) corruption case,[7] the suspects, namely Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, and Jimmy Sutopo, were alleged to have committed further criminal acts (follow-up crimes) by laundering money by buying and then storing a number of crypto assets at PT Indodax (one of a company that provides a crypto asset buying and selling platform that is registered with Bappebti as a physical crypto asset trader. In the end, those cases also declared them to have violated Corruption Crime and Money Laundering Crimes, neither cryptocurrency crimes.From both of those cases, we can infer that the judges in those district court always declared the suspect to have violated Corruption Crime and Money Laundering Crimes, neither declared as cryptocurrency crimesHow Judges in deciding cryptocurrency issues?Judges are still a human being who in making a decision is bound to a concrete event, while the law or statute that is used as the basis for deciding a case may be out of date with the rapid development of societal dynamics.In cryptocurrency crimes, there are many variables that have not been regulated firmly and clearly in a legal regulation but are only regulated in the Bappebti Regulation No. 5 of 2019, even though in its implementation it has been seen that there are many modus operandi for money laundering crimes that use crypto asset transactions that can escape from the radar of law enforcement. This is also confirmed by cases of illegal investment that are currently emerging in the public, where the perpetrators are also accused of the crime of money laundering, where they are suspected of using crypto assets to hide the proceeds of their crimes.[8]However, this instrument is not yet fully concerned with law enforcement officials in law enforcement of money laundering. Therefore, public awareness is needed regarding the risk of money laundering crimes whose instruments use crypto assets.[9]Finally, there is another possibility, there is a third party who receives the proceeds of the crime which are hidden or disguised by the perpetrator of the crime, whose origin is in a crypto account, which the other party knows or reasonably suspects there are proceeds of crime in the crypto account. In this case, the law is also not capable enough to regulate it. More importantly, that would show how Bappebti Regulation No. 5 of 2019 fails in successfully conceptualizing the subject matter.[10]SuggestionThe Supreme Court of the Republic of Indonesia has to the technology development. When technology developed sometimes it may be used by the criminal. Therefore, Supreme Court has to prepare their judge to adapt this condition.  Tiered socialization in the judicial context specifically concerning cryptocurrency is required immediately to support the readiness of the judges to handle cryptocurrency cases. Also, Supreme Court internal regulation regarding technology certification for judges in Writer’s opinion is a must.*Dandapala Managing EditorReference:The Supreme Court of the Republic of Indonesia,  Blueprint of the Judicial Reform/Cetak Biru  Pembaruan  Peradilan  2010-203,  (Jakarta, 2010).Supreme  Court  Regulation  Number  7  of  2022  regarding   Amendments   to  the  Supreme   Court Regulation Number 1 of 2019 regarding Electronic Administration  and  Trials  (hereinafter  referred  to as SC Regulation concerning Electronic Administration and Trials)Muh Afdal Yanuar, et.al.Jack M. Balkin et.al, Cybercrime: Digital Cops in a Networked Environment, (New York: New York University Press, 2006), 169.Muh Afdal Yanuar, et.al.Muh Afdal Yanuar, et.al.https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210421112844-37-239509/waduh-tersangka-asabri-diduga-cuci-uang-di-bitcoinMuh Afdal Yanuar, et.al.Muh Afdal Yanuar, et.al.Soonpeel Edgar Chang, et.al.

Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP

article | Opini | 2025-05-09 11:00:42

Untuk meningkatkan efektifitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup oleh hakim lingkungan hidup di pengadilan maka perlu didukung oleh suatu sistem manajemen perkara lingkungan hidup yang baik dan efektif di setiap pengadilan. Salah satu sistem manajemen perkara lingkungan hidup yang baik dan efektif adalah pemahaman Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan staf kepaniteraan terkait dalam memahami kriteria-kriteria untuk mengidentifikasi perkara lingkungan hidup yang dilimpahkan ke pengadilan untuk nantinya diklasifikasikan sesuai jenisnya kedalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pengadilan. Sebelum melakukan pengklasifikasian perkara lingkungan hidup maka langkah pertama yang dilakukan yaitu terlebih dahulu baik Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan Staf Kepaniteraan terkait mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perkara lingkungan hidup. Menurut Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Perkara lingkungan hidup meliputi perkara tata usaha negara, perdata, dan pidana yang menyangkut perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam:a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya;b. Undang-undang lain dan peraturan pelaksanaannya sepanjang terkait dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, perubahan iklim keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, atau pelindungan satwa dan tumbuhan liar; dan/ atauc. Undang-undang lain dan peraturan pelaksanaannya sepanjang terkait dengan perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Undang-undang lain sebagaimana dimaksud huruf b diatas meliputi peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan, perkebunan, tata ruang, sumber daya air, energi, perindustrian, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kelautan, pengelolaan sampah dan perubahan iklim. Setelah memahami yang dimaksud dengan perkara lingkungan hidup maka langkah kedua yaitu Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan staf kepaniteraan terkait melakukan identifikasi perkara yang didaftarkan apakah termasuk perkara tata usaha negara lingkungan hidup, perdata lingkungan hidup dan atau perkara pidana lingkungan hidup. Untuk lingkup peradilan tata usaha negara maka kriteria yang harus diperhatikan adalah:  Objek sengketa dalam perkara tata usaha negara lingkungan hidup terdiri Keputusan Tata Usaha Negara atau juga disebut Keputusan Administrasi Pemerintahan, yaitu izin, persetujuan atau Keputusan Administrasi Pemerintahan lainnya di bidang lingkungan hidup dan Tindakan Administrasi Pemerintahan. Dasar gugatan/ dasar pengujian keabsahan (toetsinggronden) yang terdiri atas peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagaimana diuraikan dalam Lampiran Buku Pedoman, asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan/atau prinsip-prinsip hak asasi manusia terkait lingkungan hidup Penggugat menguraikan dalam gugatannya bahwa penerbitan obyek sengketa TUN berpotensi atau telah menyebabkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup; atauObjek sengketa TUN diterbitkan karena telah terjadi adanya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup (misalnya, objek sengketa TUN adalah pencabutan izin oleh Pejabat TUN karena adanya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup). Untuk lingkup peradilan umum yaitu bagi pengadilan negeri maka Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan dan staf kepaniteraan terkait perlu mengidentifikasi perkara yang didaftarkan ke pengadilan negeri apakah termasuk perkara perdata lingkungan hidup dan atau perkara pidana lingkungan hidup.   Cara mengidentifikasi perkara perdata lingkungan hidup yaitu Panitera Muda Perdata dapat melihat dasar-dasar gugatan perkara perdata lingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup termasuk perubahannya oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU PPLH”). Seperti misalnya gugatan PMH (Pasal 87 UU PPLH). Lalu gugatan pertanggungjawaban mutlak atau strict liability (Pasal 88 UU PPLH). Dasar pertanggungjawaban mutlak pemegang hak atau perizinan berusaha akibat kebakaran hutan (Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) Selain memperhatikan dasar gugatan, Panitera Muda Perdata dapat juga melihat hak gugat (legal standing) dalam gugatan untuk mengidentifikasi hak gugat dalam UU PPLH sebagaimana terdiri atas Hak gugat pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 90 UU PPLH), Hak gugat masyarakat (Pasal 91 UU PPLH), dan hak gugat organisasi lingkungan hidup (Pasal 92 UU PPLH). Sementara cara mengidentifikasi perkara pidana lingkungan hidup yaitu Panitera Muda Pidana dapat memperhatikan pasal dakwaan penuntut umum yang diterapkan dalam surat dakwaannya yang mana pasal dakwaan tersebut mengacu kepada ketentuan pidana peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam defenisi perkara lingkungan hidup diatas. Lalu setelah memahami pengertian perkara lingkungan hidup dan kriteria dalam menentukan perkara lingkungan hidup maka tibalah waktunya untuk menentukan klasifikasi perkara lingkungan hidup tersebut. Sebagaimana diketahui dalam SIPP Pengadilan Negeri versi 5.6.6 terdapat 19 klasifikasi perkara lingkungan hidup yaitu: Lingkungan Hidup/Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan HidupLingkungan Hidup/Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkunganLingkungan Hidup/Kebakaran HutanLingkungan Hidup/Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Pertambangan (Mineral, Baru Bara), Minyak dan Gas BumiLingkungan Hidup/Kerusakan Terumbu Karang, Hutan Bakau (Mangrove), Lautan dan PesisirLingkungan Hidup/Konservasi Sumber Daya Alam  Lingkungan Hidup/Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) Lingkungan Hidup/Pembuangan LimbahLingkungan Hidup/Penangkapan Ikan (dengan racun, bahan peledak/bom ikan)Lingkungan Hidup/Pencemaran AirLingkungan Hidup/Pencemaran LautLingkungan Hidup/Pencemaran TanahLingkungan Hidup/Pencemaran Udara dan Gangguan (Kebisingan, Getaran, dan Kebauan)Lingkungan Hidup/Penebangan KayuLingkungan Hidup/Perubahan IklimLingkungan Hidup/Perubahan Kawasan Alam/Tata RuangLingkungan Hidup/Reklamasi PantaiLingkungan Hidup/Satwa Liar (Penangkapan, Perdagangan, dan lainnya)Lingkungan Hidup/Tanaman Yang Dilindungi. Tabel tampilan klasifikasi perkara lingkungan hidup di SIPP. Lalu lantas bagaimana Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan atau Staf Kepaniteraan terkait memilih klasifikasi perkara lingkungan hidup yang tepat terhadap suatu perkara lingkungan hidup yang didaftarkan ke pengadilan? Menurut Buku Pedoman Identifikasi dan Penomoran Perkara Lingkungan Hidup Bagi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (“Buku Pedoman”) yang merupakan juga materi pelatihan singkat kerjasama antara Mahkamah Agung RI dengan Leip dan Icel dan Norwegian Embassy diatur cara mengidentifikasi klasifikasi perkara lingkungan hidup yakni Panitera Muda Perkara dapat menelaah dampak perkara pada pencemaran/kerusakan lingkungan hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar gugatan/dakwaan. Lalu untuk memudahkan penelusuran klasifikasi perkara lingkungan hidup maka Panitera Muda Perkara dapat mengacu pada Lampiran I Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup dan peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana pada Buku Pedoman tersebut. Sementara menurut Pasal 1 angka 14 UU PPLH yang dimaksud dengan Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 17 UU PPLH yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan hidup adalah Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dengan kata lain Panitera Muda Perkara perlu mengecek apa yang menjadi dasar gugatan/dasar dakwaan dalam perkara tersebut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mana hal tersebut mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana defenisi tersebut. Seperti misalnya apabila ada suatu perkara perdata yang didaftarkan melalui E-court ke Pengadilan Negeri dimana sebuah Yayasan yang berfokus pada perlindungan hutan atas dasar hak gugat organisasi (legal standing) sebagaimana diatur Pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melakukan gugatan PMH terhadap sebuah perusahaan perkebunan atas dasar gugatan yaitu Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Lalu akibat dari kegiatan perkebunan Tergugat membuat Kawasan hutan menjadi berkurang seluas ± 700 Ha, hutan menjadi rusak dan berkurang dan juga mendorong terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Panitera Muda Perdata yang menerima pendaftaran perkara antara Yayasan melawan perusahaan perkebunan tersebut akan terlebih dahulu mengindentifikasi perkara perdata tersebut berdasarkan dasar-dasar gugatannya dan hak gugatnya. Oleh karena perkara tersebut termasuk gugatan PMH karena pelanggaran atruan kehutanan dan penggugat berhak atas hak gugat organisasi (legal standing) maka teridentifikasi sebagai perkara perdata lingkungan hidup. Selanjutnya Panitera Muda Perdata menelaah apa yang menjadi dasar gugatan Penggugat tersebut yaitu Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Lalu selanjutnya Panitera Muda Perdata juga akan menelaah dampak dari Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dalam posista gugatan tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup seperti berkurangnya Kawasan Hutan seluas 700 Ha, hutan menjadi rusak dan berkurang dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Setelah menelaah baik dasar gugatan dan dampaknya dari perbuatan Tergugat tersebut terhadap lingkungan maka selanjutnya Panitera Muda Perdata memilih klasifikasi perkara mana yang tepat terhadap gugatan tersebut, apakah Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup? apakah Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan? Apakah Perubahan Iklim? Atau apakah Perubahan Kawasan Alam/Tata Ruang. Apabila memilih klasifikasi perkara Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup adalah kurang tepat karena yang digugat bukan aktivis lingkungan hidup atau warga masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup. Justru yang digugat adalah perusahaan sawit oleh organisasi yang berfokus pada perlindungan hutan. Selain itu klasifikasi ini ditujukan untuk perkara Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP) dalam gugatan Perdata. Oleh karena opsi klasifikasi Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup kurang tepat maka tersisa 3 (tiga) klasifikasi perkara lingkungan hidup yang mana dampak perkara akibat perbuatan Tergugat kurang lebih bersesuaian dengan 3 (tiga) jenis klasifikasi ini yaitu kerusakan dan pencemaran lingkungan, Perubahan Iklim dan Perubahan Kawasan Alam/Tata Ruang. Selanjutnya untuk memilih klasifikasi perkara yang tepat dari 3 (tiga) pilihan jenis klasifikasi perkara, Panitera Muda Perdata harus mengacu kepada Lampiran I Buku Pedoman yang telah memuat Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup sesuai peraturan perundang-undangan terkait. Dalam hal ini Panitera Muda Perdata mencocokkan dasar gugatan yang dijadikan Penggugat dalam gugatannya dengan daftar klasifikasi perkara sekaligus daftar peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana dalam Lampiran I Buku Pedoman. Oleh karena Penggugat menggunakan dasar gugatannya adalah Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mana dasar gugatan tersebut berkesesuaian dengan Klasifikasi perkara Kerusakan lingkungan akibat usaha perkebunan dan peraturan perundang-undangan terkait yang mana mencakup juga  Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo. Pasal 36-37 UU Cipta Kerja sebagaimana hal. 36 Buku Pedoman maka klasifikasi perkara yang tepat untuk diinput oleh Panitera Muda Perdata dalam SIPP adalah Lingkungan Hidup/Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dalam gambar berikut: Gambar Klasifiksi Perkara dan Peraturan terkait dalam Buku Pedoman hal. 36. Lalu bagaimana apabila Panitera Muda Perkara salah menginput klasifikasi perkara lingkungan hidup dalam SIPP? Dalam Buku Pedoman diberikan prinsip bahwa apabila dikemudian hari diketahui terdapat kesalahan memilih klasifikasi perkara lingkungan hidup maka koreksi hanya dapat dilakukan atas perkara yang belum putus/berkekuatan hukum tetap. Lalu batas waktu perbaikannya dimulai pada saat masuknya jawaban/eksepsi dan paling lambat sebelum proses persidangan mencapai tahap pembuktian. Selain itu, apabila terdapat keraguan Panitera Muda Perkara untuk mengidentifikasi atau memiliih perkara lingkungan hidup dari daftar yang ada maka Panitera Muda Perkara dapat berkonsultasi dengan Panitera/Hakim Lingkungan/Wakil Ketua Pengadilan/Ketua Pengadilan. (LDR)

Menelisik Daluarsa Gugatan dalam Perkara Tanah

article | Opini | 2025-05-09 10:15:48

Membuka hasil kajian Bappenas tahun 2016, salah satu akar permasalahan kasus pertanahan disebabkan oleh sistem pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia berupa sistem publikasi negatif (stelsel negatif) yang bertendensi positif yang artinya pemerintah tidak memberikan jaminan atas kepastian hukum terhadap pemegang bukti sah (sertifikat). Pemerintah juga tidak bertanggung jawab atas data dan informasi yang ada di dalam sertifikat hak atas tanah. Data dan informasi dianggap benar sepanjang tidak ada pihak lain yang menggugat. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya berbagai masalah, seperti timbulnya kasus pertanahan antar berbagai pihak di beberapa wilayah di Indonesia. Penjelasan Pasal 32 ayat 2 PP 24/1997 secara gamblang menyatakan kelemahan sistem publikasi negatif ini, maka pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitive verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking. Rechtsverwerking diterjemahkan dengan kata Merelakan Hak, yang oleh beberapa sarjana termasuk J. Satrio, Sang Begawan Hukum Perdata diartikan sebagai suatu pelepasan hak, sebagai suatu sikap mengabaikan hak, yang nampak dari perilakunya, yang sedemikian rupa, sehingga akan bertentangan dengan itikad baik, kalau sesudahnya yang bersangkutan masih menuntut pelaksanaan haknya. Merelakan hak berkaitan dengan pelepasan hak yang biasanya dilakukan secara diam-diam, ditafsirkan dari perkataan, sikap, atau perbuatan pemilik hak.Secara umum untuk bisa melepas hak yang bersangkutan harus sudah memiliki hak yang akan dilepas, dapat dilakukan sepihak. Melepaskan hak kebendaan atas benda tetap dimungkinkan, asal kehendak untuk itu dinyatakan baik secara tegas ataupun diam-diam dan sikapnya mendukung hal itu. Kepatutan merupakan salah satu faktor pembenar untuk adanya pelepasan hak. Faktor lainnya seperti sikap tinggal diam (misal tidak protes) maupun melakukan tindakan tertentu. Disini tampak peran dari putusan hakim atas sengketa yang berkaitan dengan peristiwa pelepasan hak yang terjadi diam-diam, utamanya dalam memberikan kepastian hukum. Hal tersebut erat kaitannya dengan daluarsa, dalam konteks rechtsverwerking daluarsa ini bersifat extinctief yang dapat mempunyai pengaruh atas hilang/hapusnya hak tersebut.Secara hukum perdata pada umumnya berdasarkan KUHPerdata, dasar pengaturan daluarsa agar suatu hak tidak harus berlaku untuk waktu yang tidak terbatas. Apabila pemilik hak, untuk jangka waktu yang diatur peraturan perundang-undangan, tetap saja tidak menggunakan haknya, maka haknya bisa hapus karena daluarsa. Hilangnya hak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur daluarsa didasarkan atas lampaunya waktu tertentu sebagai yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Untuk daluarsa yang bersifat membebaskan (extinctief) disyaratkan lampaunya waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan secara umum 30 tahun (Pasal 1967 KUHPerdata).Namun, apakah ketentuan KUHPerdata tersebut tetap berlaku dalam gugatan benda tetap seperti tanah di Indonesia saat ini? Penulis dalam karya ini akan membahasnya dalam 2 kategori sebagai berikut:1.      Daluarsa gugatan sengketa tanah yang telah bersertifikat Menelaah ketentuan Pasal 32 ayat 2 PP 24/1997 jo. PP No. 18 Tahun 2021 memberikan jawaban, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.Dalam peristiwa demikian, maka orang yang merasa mempunyai hak atas tanah yang bersangkutan, sudah tidak bisa lagi menuntut pelaksanaan haknya, atau  dengan perkataan lain, dianggap telah merelakan (verwerken) haknya. Lembaga Rechtsverwerking sebagai dasar ketentuan pasal tersebut.Mengenai kriteria pihak beritikad baik yang dilindungi dapat merujuk pada Rumusan Hukum Kamar Perdata Tahun 2016 diantaranya a) melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundangan-undangan, b) melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah. Selain itu, dalam ketentuan PP tersebut yang bersangkutan harus juga secara nyata menguasai tanah tersebut. Hakim harus beralasan hukum, arif dan bijaksana dalam memaknai dan menentukan apakah pihak memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, agar perkara tersebut diputus berkeadilan sekaligus berkepastian hukum.2.      Daluarsa gugatan sengketa tanah belum bersertifikat Pasal 5 UUPA memuat ketentuan hukum agraria Indonesia berdasarkan hukum adat. Ketentuan tersebut juga dipertegas dengan Penjelasan Pasal 32 ayat 2 PP 24/1997, dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini. Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan ini bukanlah menciptakan ketentuan hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkret dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran tanah. Mengingat hukum adat tidak mengenal kadaluarsa sebagai yang dimaksud dalam KUHPerdata. Sesudah tahun 1960 (berlakunya UUPA) sepanjang mengenai tanah, yang dimaksud dengan istilah kadaluarsa adalah daluarsa menurut hukum adat, bukan terjemahan dari verjaring dalam KUHPerdata.Jadi tidak didasarkan atas lampaunya sekian waktu tertentu. Kalaupun ada disebutkan suatu angka tahun, angka itu hanya sekedar menunjukan bahwa hal itu sudah berlangsung lama. Dari sikap tinggal diam selama sekian tahun, membiarkan tanahnya dikuasai oleh orang lain, membawa akibat, bahwa menurut pembuat peraturan perundangan-undangan adalah lebih tepat untuk mengesahkan fakta yang ada, daripada membenarkan kedudukan hukum yang diabaikan oleh si empunya hak. Berbagai putusan pengadilan yang berkaitan dengan tanah berlaku asas hukum adat yang memakai Rechtsverwerking sebagai pertimbangan, diantaranya Putusan No. 14/Pdt.G/1990/PN.Tsm sebagaimana disinggung dalam Putusan MA No. 2370K/pdt/1992, Putusan No. 9/Pdt/G/2007/PN.Wtp sebagaimana disinggung dalam Putusan MA No. 2943K/Pdt/2009, Putusan No. 25/pdt/2008/PT.Mks sebagaimana dalam Putusan No. 2943K/Pdt/2009, Putusan No. 287/Pdt/2010/PT Sby sebagaimana dalam Putusan 1496K/Pdt/2011, Putusan No. 1496K/Pdt/2011, Putusan No. 268 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 695 K/Sip/1973, dan lainnya.*Penulis sebagai Hakim Pengadilan Negeri Sibolga Kelas IB sekaligus Redaktur Pelaksana Dandapala Ditjen Badilum tahun 2025 sampai saat ini. Sebelumnya ditahun 2024 Penulis mengemban amanah menjadi Sekretaris Redaksi sekaligus Redaktur Majalah Dandapala.Referensi:J. Satrio, Pelepasan Hak, Pembebasan Hutang dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking), RajaGrafindo Persada:2016.Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960. tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.Peraturan Pemerintah Nomor: 24 Tahun 1997 tetang Pendaftaran Tanah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.Yurisprudensi maupun putusan pengadilan lainnya.

Pergeseran Makna Putusan Lepas dalam RUU KUHAP dan Implikasinya

article | Opini | 2025-05-09 07:30:44

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia yang saat ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadi landasan penting dalam kerangka penegakan hukum pidana. Namun, seiring dengan perkembangan zaman serta kebutuhan untuk mewujudkan sistem peradilan yang diharapkan lebih adil dan modern, upaya pembaruan hukum acara pidana (revisi atas KUHAP) terus dilakukan. Salah satu aspek krusial yang menjadi perhatian dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP versi DPR RI tanggal 20 Maret 2025 (RUU KUHAP) adalah perluasan jenis putusan dari yang sebelumnya hanya dikenal 3 (tiga) bentuk putusan yakni putusan pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak), atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP menjadi 4 (empat) bentuk putusan dengan ditambahkannya satu bentuk putusan baru yakni putusan pemaafan hakim (rechterlijk pardon) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 RUU KUHAP. Perluasan jenis putusan sebagaimana telah disinggung di atas, pada umumnya merupakan hal yang wajar apabila terjadi perubahan kalimat sebagai bentuk penyempurnaan seperti adanya perubahan dalam pengaturan tentang putusan pemidanaan dan putusan bebas dalam RUU KUHAP, namun perubahan kalimat tersebut tetap memiliki makna yang sama sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam KUHAP. Akan tetapi, tidak demikian dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, sedangkan Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP menyebutkan bahwa “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Perubahan kalimat dalam pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP membawa pergeseran makna dan implikasi yang signifikan dibandingkan dengan pengaturan dalam KUHAP yang saat ini masih berlaku. Kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana (M. Yahya Harahap, 2021). Sedangkan, untuk kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam RUU KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa terdapat alasan yang meniadakan atau menghapuskan sifat pidana dari perbuatan tersebut. Makna secara tegas mengenai pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP adalah perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu tidak ada diatur dan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi mungkin termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum dagang, hukum asuransi, atau bidang hukum lainnya. Lain halnya dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP yang memiliki makna bahwa perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu diatur dan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi hakim tidak menjatuhkan pidana dengan alasan adanya dasar peniadaan pidana. Dalam konteks hukum pidana, dasar peniadaan pidana merupakan konsep fundamental berisi alasan-alasan hukum yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana (delik) tidak dapat dipidana oleh hakim. Secara garis besar, dasar peniadaan pidana dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Alasan pembenar adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dengan adanya alasan pembenar, perbuatan yang awalnya terlihat sebagai pelanggaran hukum menjadi dianggap sebagai perbuatan yang dibenarkan oleh hukum. Fokus utama dari alasan pembenar adalah pada perbuatannya itu sendiri (objektif) dan situasi yang melatarbelakanginya, seperti: keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), menjalankan perintah undang-undang (wettelijk voorschrift), atau menjalankan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang (ambtelijk bevel). Sedangkan alasan pemaaf adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus kesalahan (schuld) dari pelaku tindak pidana, meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku tidak dapat dipersalahkan atau diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Fokus utama dari alasan pemaaf adalah pada diri pelaku (subjektif) dan keadaan mental atau kondisi pribadinya pada saat melakukan tindak pidana, seperti: tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijk storing), daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer excess), atau menjalankan perintah jabatan yang tidak sah tetapi dilandasi dengan iktikad baik. Merujuk kembali pada konteks pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dalam praktik peradilan saat ini yang masih menggunakan KUHAP sebagai landasan hukum acara pidana, para hakim kerap memiliki pandangan yang berbeda ketika memformulasikan jenis putusan dalam perkara yang memiliki dasar peniadaan pidana. Sebagian hakim merumuskannya dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 72/Pid.B/2020/PN Enr,  671/Pid.Sus/2020/PN Ptk, dan 44/Pid.B/2021/PN Pts. Sementara itu, terdapat pula hakim yang merumuskannya dengan putusan bebas (vrijspraak) yaitu membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan penuntut umum sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 254/Pid.Sus/2014/PN.Tbt, 391/Pid.B/2014/PN.Psp, dan 119/Pid.Sus/2019/PN Mgl. Terjadinya perbedaan pendapat hakim dalam memformulasikan jenis putusan meskipun terhadap perkara dengan kondisi yang serupa (adanya dasar peniadaan pidana) tersebut terjadi karena pada dasarnya, baik jenis putusan bebas yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP tidak mengakomodir secara expressis verbis terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana. Menurut Yahya Harahap, apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi dasar peniadaan pidana, maka hal atau keadaan tersebut merupakan faktor alasan menjatuhkan putusan pembebasan terhadap terdakwa dari pemidanaan supaya penerapan tentang bentuk putusan bebas tidak semata-mata didasarkan pada hukum acara saja, tetapi juga yang diatur dalam hukum materiil (M. Yahya Harahap, 2021). Selain itu, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan khususnya pada bagian Tindak Pidana Umum poin nomor 14 memberikan kaidah hukum bahwa dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pembenar dan unsur dari dakwaan tidak terpenuhi maka terdakwa diputus bebas (vrijspraak), sedangkan dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pemaaf dan unsur dari dakwaan terpenuhi, tetapi terdapat hal eksepsional, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Dengan perubahan pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dalam Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP yang berbunyi “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, maka terdapat pergeseran makna dan kriteria dalam norma pasal a quo yang membawa implikasi bahwa terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana baik berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf, hakim harus secara konsisten memformulasikan putusannya hanya dengan (solely on) jenis putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). (WI, FAC, LDR) Referensi M. Yahya Harahap. (2021). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H.Calon Hakim Pengadilan Negeri Blitar

Intervensi dan Permasalahannya di Pengadilan

article | Opini | 2025-05-07 13:30:32

Dalam praktik peradilan perdata, dikenal suatu tindakan hukum oleh pihak ketiga yang merasa haknya terganggu atas suatu gugatan yang dikenal dengan istilah Intervensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Intervensi adalah campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya). Intervensi tidak diatur dalam HIR, RBg, ataupun Undang-Undang khusus sehingga berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk menigisi kekosongan hukum terhadap perkara Intervensi maka digunakanlah beberapa aturan diantaranya Pasal 70 RV dan 279 RV sebagai dasar hukum Intervensi di Pengadilan Indonesia sampai saat sekarang ini.Setelah melihat penegertian dan beberapa dasar hukum yang terdapat dalam RV terkait intervensi tersebut maka jelaslah terlihat bahwa diantara perselisihan dua pihak, ada pihak ketiga yang memiliki hak atau punya peran yang seharusnya hadir di dalam perkara tersebut akan tetapi belum diikutsertakan, pada praktiknya intervensi dibagi atas 3 (tiga) jenis atau bentuk intervensi yakni:Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada salah satu pihak; salah satu mantan Hakim Agung A. Mukti Arto memberikan pendapat terhadap pihak dalam voeging memiliki syarat-syarat yang diperlukan agar dapat ditetapkan sebagai pihak antara laim a) permintaan masuk sebagai pihak berisi tuntutan hak tertentu, b) adanya kepentingan hukum langsung dari pihak ketiga yang ingin dilindungi dengan mendukung salah satu pihak berperkara; dan c) kepentingan tersebut harus memiliki keterkaitan dengan pokok perkara yang sedang diperiksa.Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara pokok atas dasar inisiatif sendiri karena ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi jenis ini diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat;Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat), karakteristik vrijwaring sebagai berikut a) esensinya merupakan penggabungan tuntutan, b) salah satu pihak yang bersengketa, dalam hal ini tergugat menarik pihak ketiga ke dalam sengketa yang dihadapi, c) keikutsertaan pihak ketiga timbul karena paksaan, bukan karena inisiatif sendiri.PROSEDUR INTERVENSI DAN BERBAGAI PERMASALAHAN INTERVENSI DALAM PRAKTIK PERADILANPada praktik intervensi saat ini, prosedur beracara intervensi pun berubah, dengan adanya e-Court maka sebagaimana kita ketahui dalam SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik pada huruf C nomor 6 terkait gugatan intervensi huruf a sampai dengan k memuat dengan jelas prosedur gugatan intervensi yang mana pihak ketiga gugatan intervensi wajib memenuhi persyaratan sebagai pengguna terdaftar dan/atau pengguna lain dan segala sesuatu yang berkaitan dengan intervensi semuanya melalui e-Court mulai dari pendaftaran, pemberitahuan kepada pihak, sampai dengan ditutupnya akses pihak intervensi dalam e-Court apabila ditolak oleh Majelis Hakim.         Namun dalam praktik persidangan muncul permasalahan berkaitan dengan intervensi. Apakah semua Hakim punya kesamaan presepsi dalam mengambil keputusan dalam beberapa permasalahan diantaranya sebagai berikut:Apabila pihak intervenient telah diterima dan agenda sidang telah melewati jawab-jinawab, akan tetapi pihak Penggugat dalam perkara pokok mencabut gugatan dan Tergugat menyetujui pencabutan tersebut, apakah pihak Intervenient perlu dimintakan persetujuan atau tidak? Setelah penulis melakukan diskusi dan tanya jawab kepada beberapa Hakim, ditemukan pula 2 pendapat dalam mengambil tindakan pada kasus tersebut.Pandangan pertama berpendapat bahwa pihak intervenient tidak perlu dimintakan persetujuan oleh karena pada prinsipnya perkara intervensi tidak dapat berdiri sendiri sehingga apabila pokok perkara dicabut maka intervensi secara otomatis juga hilang;Pandangan kedua berpendapat bahwa pihak intervenient tetap perlu dimintakan persetujuan oleh karena telah diakui sebagai pihak dalam perkara tersebut melalui pemeriksaan yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim sehingga pencabutan tetap meminta persetujuan intervenient.Apabila terdapat perdamaian antara Penggugat dan Tergugat dalam perkara pokok, bagaimana dengan perkara intervensinya?Apabila terjadi seperti pertanyaan di atas maka langkah apa yang sebaiknya diambil oleh Majelis Hakim. Apakah Majelis Hakim dapat menganggap hal tersebut sebagai kabul sebagian sehingga dibuatkan acta van dading atau Majelis Hakim dapat memberikan nasihat sebagaimana Pasal 132 HIR/156 RBg kepada para pihak agar perkara tersebut dicabut sehingga apabila nantinya intervenient tetap merasa haknya dilanggar dapat mengajukan gugatan sendiri sehingga asas sederhana, cepat, dan biaya ringan tetap berjalan. Namun juga menjadi permasalahan apabila pihak Penggugat dan Tergugat tetap berkeinginan mendapatkan suatu acta van dading sehingga menjadi sebuah kerancuan terhadap posisi pihak intervenient sendiri dalam perkara tersebut, apakah dianggap secara otomatis hilang atau dapat mengambil langkah progresif dengan membuat acta van dading yang isinya juga memuat terkait pencabutan perkara intervensi itu sendiri.KESIMPULAN/PENUTUPPenulis sendiri berpendapat, bahwa untuk permasalahan nomor 1 setuju dengan pendapat pertama yang mana oleh karena pada prinsip dasarnya bahwa intervensi tidak dapat berdiri sendiri maka pihak intervenient tidak perlu dimintai persetujuan saat pencabutan gugatan. Selain itu juga terhadap permasalahan nomor 1 dan 2, demi terciptanya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan serta terkait dengan upaya hukum yang harus dilakukan oleh pihak intervenient karena nantinya apabila intervensi dilanjutkan maka tidak akan dapat dilakukan upaya hukum banding, dikarenakan perkara pokok telah selesai dengan adanya perdamaian. Sehingga lebih tepat apabila diberikan nasihat kepada pihak untuk mencabut gugatan apabila penggugat dan tergugat sudah berdamai. Dari beberapa permasalahan di atas, masih terdapat perbedaan pendapat diantara beberapa Hakim yang mana seharusnya hal ini dapat dijadikan satu pendapat yang sama sehingga tidak adanya perbedaan dalam mengambil keputusan dalam kasus posisi yang benar-benar sama. SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 hanya menyamakan presepsi terkait prosedural yang sudah tidak relevan lagi apabila melihat RV, akan tetapi tidak mengakomodir permasalahan teknis yudisial yang dijabarkan di atas, sehingga penulis berpendapat solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan membentuk suatu Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai pedoman tersendiri terkait intervensi atau melalui rapat pleno kamar, sehingga dapat menjadi pedoman bagi Hakim tingkat pertama khususnya dan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung untuk dapat memiliki satu presepsi tanpa adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan adanya disparitas penanganan masalah teknis terkait intervensi. (EES, FAC, MCNB)

Kaidah Hukum Citizen Lawsuit: Pemerintah Wajib Lindungi Masyarakat dari Jeratan Pinjol

article | Opini | 2025-05-07 10:00:47

Dalam perkara ini Nining Elitos dan kawan-kawan (19 orang) mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) kepada: 1. Presiden RI, 2. Wakil Presiden RI, 3. Ketua DPR RI, 4. Menkominfo, dan 5. Ketua Dewan Komisioner OJK. Para Penggugat mendalilkan negara telah gagal mengendalikan pinjaman online yang telah menyebabkan ribuan orang mengalami pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia.Para Penggugat berharap agar Para Tergugat sebagai pejabat pemerintahan dapat melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya, dalam hal ini yaitu pemenuhan hak atas privasi dan hak atas rasa aman dengan menerbitkan regulasi terkait penyelenggaraan pinjaman online yang melindungi kepentingan masyarakat dibarengi dengan pengawasan dan penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran hukum dalam pelaksanaan pinjaman online.Dalam peradilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan Putusan Nomor 689/Pdt.G/2021/PN Jkt.Pst tanggal 26 September 2022 yang menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara a quo, dengan pertimbangan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang didalilkan Para Penggugat adalah PMH dalam urusan pemerintahan (tindakan pemerintahan) sehingga menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan Putusan Nomor 274/PDT/2023/PT DKI, tanggal 7 Juni 2023.Pada akhirnya di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Para Penggugat dengan Putusan Nomor 1206 K/Pdt/2024, tanggal 24 April 2024. Dalam putusannya, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:Bahwa praktik peradilan selama ini, Peradilan Umum telah mengadili pokok perkara gugatan warga negara terhadap pejabat-pejabat negara atau pemerintah seperti Presiden, Menteri atau pejabat pemerintah lainnya yang didalilkan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang bersifat abstrak seperti dalam perkara: Sandyawan Sumardi tentang perlindungan hukum buruh migran Indonesia, Kristiono dan kawan-kawan yang menggugat penyelenggaraan ujian nasional, Said Iqbal dalam kasus Sistem Jaminan Sosial Nasional, Arie Rompas dalam perkara lingkungan hidup di Kalimantan dan Melanie Subono dalam kasus pencemaran udara di Jakarta.Bahwa demi menjaga kesatuan penerapan hukum dan atau konsistensi putusan hukum, maka Peradilan Umum harus dinyatakan tetap berwenang mengadili perkara a  quo karena pokok gugatan warga negara dalam perkara a quo tidak mengenai tindakan pemerintah yang bersifat konkrit dan individual. Dengan demikian, putusan Judex Facti yang menyatakan tidak berwenang harus dibatalkan dan Judex Juris dengan mendasarkan pada asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan berwenang mengadili pokok perkara ini.Bahwa tujuan utama diajukannya gugatan warga negara (citizen lawsuit) sebagaimana dalam perkara a quo, adalah mendorong penguasa untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dengan melahirkan peraturan sesuai kewajibannya, karena keadaan nyata kehidupan masyarakat yang terganggu, oleh karena itu gugatan warga negara (citizen lawsuit) tidak ditujukan pada ganti kerugian, tetapi pada pernyataan lalai terhadap penguasa sebab tidak menerbitkan peraturan yang melindungi masyarakat yang disebabkan adanya keresahan dengan bertebarannya pinjaman online.Bahwa merebaknya pinjaman online di satu sisi memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh pinjaman dana cepat, namun dengan bunga yang tinggi, mengakibatkan orang atau anggota masyarakat menjadi tergantung dan terjerat hutang tanpa putus, karena kegagalan membayar angsuran pada satu pinjaman online akan ditutup dengan pinjaman online lainnya, yang semuanya akan membawa masyarakat pada kondisi terjerat hutang dan berada dalam keadaan terperas keringatnya dengan bekerja yang hasilnya untuk membayar hutang.Bahwa Para Penggugat juga menunjukkan data hasil Pos Pengaduan Korban Pinjaman Online, antara lain:terdapat 14 (empat belas) pelanggaran  yang dialami para pengadu, yaitu bunga tinggi dan tanpa batasan, penagihan yang dilakukan tidak hanya kepada peminjam  atau kontak darurat, penyebaran  foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada  di hand phone peminjam, pengancaman dan fitnah, pelecehan seksual, penipuan, penyebaran data pribadi dan seterusnya;pengaduan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebanyak 89 (delapan puluh sembilan) aduan dari 25 (dua puluh lima) provinsi di seluruh Indonesia;72 % (tujuh puluh dua persen) pengadu adalah perempuan dan 28 % (dua puluh delapan persen) laki-laki;setengah jumlah pengadu menggunakan 1 sampai dengan 5 aplikasi pinjaman online dan ada yang menggunakan 38 aplikasi pinjaman online;84 % (delapan puluh empat persen) pinjaman di bawah Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);data-data tersebut, menunjukkan bahwa keberadaan pinjaman online mengakibatkan adanya kemudahan meminjam dan memperoleh dana cepat, tetapi menjerat dan hampir tanpa perlindungan hukum terhadap hak peminjam untuk memperoleh rasa aman dan terhormat.Bahwa gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat memberikan gambaran nyata bahwa keberadaan pinjaman online nampak seperti memberikan pertolongan, tetapi sebenarnya mengeksploitasi masyarakat untuk bekerja yang hasilnya diserahkan kepada pemberi pinjaman dengan aplikasi pinjaman online, oleh karena itu gugatan Para Penggugat harus dipandang sebagai ikhtiar, kepedulian dan kesungguhan Para Penggugat untuk melindungi masyarakat dari jeratan pinjaman online yang disebabkan tidak adanya peraturan yang melindungi dan menyeimbangkan  keadaan masyarakat sebagai peminjam dengan usaha pinjaman online yang memberikan dana pinjaman.Bahwa gugatan Para Penggugat yang pada pokoknya mohon agar Para Tergugat  dinyatakan  telah  lalai  karena  membiarkan  transaksi  pinjaman online tanpa adanya peraturan yang adil, dapat dibenarkan dan beralasan untuk dikabulkan.Bahwa sudah menjadi pengetahuan umum yang tidak memerlukan pembuktian lagi (notoir feiten), yaitu keadaan tersebut apabila berlanjut tanpa pengaturan secara hukum yang adil dan berkepastian hukum, keberadaan pinjaman online tidak akan membawa manfaat dan kebaikan bagi masyarakat, tetapi justru sebaliknya akan membawa  kehidupan masyarakat tenggelam pada keterpurukan secara ekonomi, tereksploitasi dan tidak dapat bangkit lagi.Bahwa berdasarkan alasan tersebut, gugatan Para Penggugat terhadap Para Tergugat justru membawa manfaat besar bagi masyarakat dalam upaya menghentikan jeratan dan eksploitasi pinjaman online, melalui dilahirkannya peraturan yang adil, berkepastian hukum dan komprehensif, yang semuanya itu menjadi kewajiban Tergugat I (Presiden RepubIik Indonesia) dengan dukungan Para Tergugat II, III, IV dan V.Dalam amar putusannya Mahkamah Agung menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Presiden, Wapres dan DPR dihukum untuk melakukan supervisi terhadap Tergugat IV (Menkominfo) untuk membuat peraturan yang menjamin perlindungan hukum bagi pengguna pinjaman online, membuat regulasi untuk memastikan izin pendaftaran aplikasi pinjaman online, membuat sistem pengawasan data pribadi dan melakukan penegakan hukum dalam aplikasi peer to peer lending atau pinjaman online. Presiden, Wapres dan DPR juga dihukum untuk melakukan supervisi terhadap Tergugat V (OJK) agar membuat peraturan yang menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna aplikasi pinjaman online antara lain regulasi uji kelayakan pengajuan pinjaman, batasan akses data pribadi, jaminan tidak adanya ketentuan baku, larangan penyebaran data pribadi, biaya administrasi yang wajar dan adil, batasan bunga pinjaman, larangan penagihan yang dilakukan dengan tindak pidana, mekanisme penyelesaian pengaduan/sengketa konsumen dan sanksi pencabutan izin usaha bagi yang melanggar. Tergugat IV (Menkominfo) dihukum untuk membuat aturan yang menjamin penghormatan, perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna pinjaman online, bekerja sama dengan perusahaan layanan distrubusi aplikasi digital untuk membuat regulasi yang memastikan pinjaman online dapat beroperasi, membuat sistem pengawasan perlindungan data pribadi yang terintegrasi dan melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana dalam praktik pinjaman online.Tergugat V (Dewan Komisioner OJK) dihukum untuk membuat regulasi yang menjamin penghormatan dan perlindungan bagi masyarakat pengguna pinjaman online. Regulasi tersebut antara lain mengatur proses uji kelayakan sebelum disepakatinya perjanjian pinjaman online, batasan akses data pribadi, jaminan tidak adanya ketentuan baku, larangan penyebaran data pribadi, biaya administrasi pinjaman, batasan bunga pinjaman, larangan penagihan dengan tindak pidana, mekanisme penyelesaian pengaduan dan sengketa konsumen, sanksi pencabutan izin usaha bagi aplikasi pinjaman online yang melanggar maupun pihak ketiga yang bekerja sama. OJK juga harus memastikan tidak ada lagi pelanggaran hukum dalam penggunaan aplikasi pinjaman online dengan melakukan pengawasan menyeluruh dan menjatuhkan sanksi bagi perusahaan yang melanggar.Semoga putusan Mahkamah Agung tersebut dapat dilaksanakan dan tidak ada lagi masyarakat yang terjerat pinjaman online sehingga berakibat melakukan berbagai tindakan yang merugikan dirinya sendiri maupun masyarakat. (ASN) *Hakim Yustisial MA RI-Redaktur Pelaksana Dandapala

Izin Cerai dari Atasan Bagi PNS, Apakah Mutlak?

article | Opini | 2025-05-07 07:10:19

PEGAWAI Negeri Sipil (PNS) merupakan unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang dianggap harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan anggapan tersebut, maka Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 10/1983). Sejak di awal kemunculan PP 10/1983, perdebatan dan kontroversi menyeruak. Dalam wawancara Majalah Tempo pada 7 Mei 1983, PP 10/1983 tersebut didukung oleh Ketua Dharma Wanita DKI Jakarta yang bernama Soeprapti Soeprapto. Ia menganggap perlindungan untuk istri pegawai negeri semakin kokoh. Memang setahun sebelum PP 10/1983 ini diterbitkan, Dharma Wanita mengusulkan kepada pemerintah agar masalah perkawinan dan perceraian di kalangan PNS harus diketahui dan diberi izin atasan. Alasannya karena sering terdapat keluhan bahwa suami kawin lagi, diam-diam punya simpanan atau menceraikan istrinya lalu kawin lagi. Dukungan juga datang dari Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama, HAS Wahid Hasyim, mengharapkan agar PP 10/1983 diberlakukan bagi semua orang.Namun, dari sisi sebaliknya, dalam wawancara Majalah Tempo pada 14 Mei 1983, Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran saat itu, Prof. Sri Soemantri Martosoewigno menilai bahwa beberapa ketentuan dari PP 10/1983 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku. PP 10/1983 tersebut dianggap menerobos UU yang berlaku. Pemerintah ingin mengatasi kecenderungan Pegawai Negeri ini untuk berpoligami. Namun seharusnya hierarki peraturan perundang-undangan tetap harus ditaati. Senada dengan hal tersebut, Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI Prof. Ismail Sunny menyatakan bahwa undang-undang dasar kita tidak pernah membedakan antara warga biasa dengan pegawai negeri. Contoh ketidakkonsistenan adalah misalnya izin bercerai tidak akan diberikan bila alasannya karena istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 hal tersebut diperbolehkan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PP 45/1990) menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. Pasal 3 PP 45/1990 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. (2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis; (3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.Pada perkembangannya, Lembaga Bantuan Hukum APIK yang kerap mendampingi perempuan yang berhadapan dengan hukum mengkritik PP 10/1983 tersebut. Dalam keterangan pers-nya tertanggal 20 Januari 2025 menyatakan bahwa PP 45/1990 yang mengubah PP 10/1983 merupakan peraturan yang minim kacamata gender dan cenderung mendiskriminasi perempuan.Jangka waktu pada Pasal 5 ayat (2) PP 45/1990 menyatakan bahwa izin perceraian dapat diajukan kepada dan atasan tersebut wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. Kemudian Pasal 12 PP 45/1990 menyatakan bahwa pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut. Hal ini yang dapat dinyatakan bahwa kacamata dalam pembuatan peraturan ini menggunakan kacamata yang bias gender. PNS perempuan yang menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tentunya membutuhkan waktu yang relatif cepat untuk mengajukan perceraian karena harus mengurus izin tersebut. Semakin lama proses perceraian, semakin lama juga ia menjalani proses pernikahan yang menyiksanya. Terlebih dalam catatan Komnas Perempuan dalam Refleksi Pendokumentasian Dan Tren Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan 2024: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024 yang diterbitkan 17 Maret 2025 mencatat Kekerasan terhadap istri paling tinggi dilaporkan sebagaimana terjadi dalam semua laporan tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Komnas Perempuan menerima pengaduan kekerasan terhadap istri sebanyak 672 kasus dan ini merupakan jumlah kasus tertinggi. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa data pengaduan Mitra Laporan Tahunan 2024 juga menunjukkan kasus kekerasan terhadap istri merupakan jumlah kekerasan perempuan yang paling banyak yaitu berjumlah 5.950 kasus. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa korban masih menghadapi hambatan saat membawa kasusnya ke ranah hukum dan peradilan.Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, staf pengajar Bidang Studi Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam wawancara kepada DANDAPALA menyatakan bahwa sebetulnya konteks PP itu adalah untuk melakukan kontrol terhadap pendataan perkawinan PNS, yang ujungnya adalah dalam rangka menjamin supaya gaji dan tunjangan atau hak lain yang diberikan, tidak diterima oleh pihak yang tidak berhak. Atasan dianggap adalah representasi dari negara, artinya dalam hal ini PNS yang bercerai sebetulnya bukan minta izin tapi menginformasikan. Namun, pengaturan dalam PP tersebut, yang diterbitkan saat Orde Baru, kewajiban “menginfokan” perceraian, berubah menjadi permohonan izin. Jika pengertiannya adalah sebatas “menginformasikan” pun sebenarnya pelindungan perempuan sudah terpenuhi. Misalnya hak istri terpenuhi dalam hal pemberitahuan supaya agar istri si PNS tidak dicerai tanpa sepengetahuan istri, termasuk juga menjaga hak istri pasca perceraian. Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo menambahkan bahwa ada pandangan lain yaitu aturan mengenai permohonan ijin bercerai itu bisa jadi merupakan intervensi negara pada keputusan ruang privat seseorang. Hal ini dapat menjadi lebih buruk jika atasan/pejabat yang berwenang memberikan izin tidak memiliki empati jika yang mengajukan permohonan cerai adalah PNS Perempuan dengan alasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menurutnya, campur tangan atasan bukan faktor yang menentukan mengenai izin perceraian. Apalagi jika dapat diduga atau ditemukan fakta terang bahwa kekerasan tersebut membahayakan keselamatan nyawa, kondisi fisik dan atau psikologis pihak yang mengajukan permohonan perceraian dan mengalami KDRT tersebut.Mengenai proses izin cerai PNS ini, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan Mahkamah Agung yang memberikan tafsiran lain atau menyimpangi izin cerai PNS sebagaimana diatur dalam PP 10/1983 maupun PP 45/1990.Pertama adalah Putusan Nomor 1178 K/Pdt/2016. Dalam perkara tersebut, Judex Facti menolak gugatan cerai karena menganggap izin cerai belum ditempuh secara benar. Namun, pada tingkat kasasi gugatan cerai tersebut dikabulkan. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan bahwa:Bahwa Judex Facti telah menolak gugatan perceraian atas dasar izin atasan Penggugat berdasarkan bukti surat bertanda P-3, belum ditempuh secara benar;Bahwa izin perceraian dari atasan soal administrasi saja tetapi yang perlu ditimbang dengan sungguh-sungguh adalah apakah rumah tangga tidak lagi harmonis atau sering terjadi percekcokan terus menerus;Bahwa secara formal izin perceraian dari atasan Penggugat berdasarkan bukti surat bertanda P-3 telah ada tetapi Judex Facti ternyata menelusuri lebih jauh dengan mencari pembuktian apakah atasan telah berusaha mendamaikan, pertimbangan Judex Facti tersebut tidak tepat dan salah karena hal itu bukan prasyarat menentukan; Menimbang bahwa fakta persidangan telah terungkap, Penggugat tidak lagi hidup bersama selama tiga tahun. Fakta ini membuktikan bahwa syarat untuk terjadinya perceraian yaitu ketidakharmonisan atas percekcokan terus menerus telah dipenuhi;Putusan kedua adalah Putusan Nomor 384 K/Pdt/2014. Dalam memori kasasi perkara tersebut, Pemohon Kasasi menyatakan bahwa Tergugat belum pernah menerima surat ijin yang dimaksud oleh Penggugat dari Pejabat Departemen Kesehatan selaku atasan Penggugat. Namun, Mahkamah Agung menolak hal tersebut dan menyatakan bahwa putusan Judex Facti telah tepat. Pertimbangannya adalah sebagai berikut:Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa secara saksama memori kasasi tanggal 21 Maret 2013 dan jawaban memori tanggal 28 April 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:– Bahwa benar untuk dapat hidup rukun dalam satu rumah tangga maka kedua belah yaitu suami dan istri harus mempunyai keinginan kuat untuk mewujudkannya;– Bahwa sesuai dengan fakta persidangan Penggugat dan Tergugat telah hidup pisah meja, ranjang dan tempat tinggal sejak tahun 2008 serta tidak ada keinginan dari pihak Penggugat untuk merajut kembali keutuhan rumah tangganya dengan Tergugat sehingga meskipun diinginkan oleh Tergugat maka sulit bagi Tergugat untuk hidup rukun kembali dalam satu rumah tangga yang bahagia dengan Penggugat sehingga terpenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975;– Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya Putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;Perkara ketiga adalah Putusan Nomor 27 K/Pdt/2008. Dalam perkara tersebut, pada memori kasasi disebutkan bahwa Hakim Tingkat Banding telah mengabaikan fakta hukum yaitu alat bukti T.7 yang pada pokoknya dalam surat tersebut atasan tidak memberikan izin bagi Terbanding/Termohon Kasasi untuk melakukan perceraian. Kemudian dalam perkara ini Mahkamah Agung juga menolak memori kasasi tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut:Bahwa alasan-alasan yang merupakan keberatan-keberatan dari Pemohon Kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi sudah tepat yaitu tidak salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku;Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tersebut harus ditolak;Kemudian yang keempat adalah Putusan Nomor 2082 K/Pdt/2012. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Tergugat/Pemohon Kasasi juga mengajukan rekonvensi untuk bercerai. Pertimbangan lengkapnya adalah sebagai berikut:– Bahwa gugatan Termohon Kasasi/Penggugat telah memenuhi Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;– Bahwa adapun izin cerai yang dikemukakan Pemohon Kasasi/Tergugat dalam memorinya tidak diperlukan lagi, karena dengan diajukannya gugatan rekonvensi oleh Pemohon Kasasi/Tergugat, berarti Pemohon Kasasi/Tergugat juga menganjurkan perceraian;– Bahwa para pihak sudah pisah meja dan tempat tidur, karena Pemohon Kasasi/Tergugat sejak tahun 2006 sudah meninggalkan rumah, oleh karena itu anak-anak ikut Pemohon Kasasi/Tergugat;– Bahwa lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;Yura P. Yudhistira (Tim Litbang DANDAPALA) 

Urgensi Reformulasi Peran dan Kedudukan Hakim dalam Revisi KUHAP 

article | Opini | 2025-05-05 15:30:23

SUDAH banyak diskusi mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan diperbaharui. Agenda pembaharuan sistem peradilan pidana (SPP) ini bukan hal yang baru, namun sudah diperbincangkan sejak tahun 2004. Urgensi pembaharuan SPP ini semakin kuat dikarenakan akan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Saat Rancangan KUHAP (RKUHAP) tengah dibahas di Komisi III DPR.Pembaharuan SPP harus dilakukan dalam semangat menjamin Hak Asasi Manusia (HAM), meskipun juga tidak dapat dihindari pembentukkan atau perubahan undang-undang merupakan proses politik. SPP harus dapat menyeimbangkan kepentingan penegakkan dan penjagaan ketertiban masyrakat dengan perlindungan HAM.Hal ini harus diwujudkan dengan adanya akuntabilitas yang efektif dalam SPP. Untuk terwujudnya hal tersebut pengadilan, baik secara kelembagaan sebagai pemangku kewenangan yudijatif maupun dilihat secara lebih spesifik sebagai hakim, memiliki peran yang krusial dan sentral. Kekuasaan yudisial yang hadir sebagai kekuasaan yang independen, objektif, dan imparsial diperlukan untuk dapat memperkuat pembentukan akuntabilitas dalam SPP yang efektif. Pengawasan yudisial juga dilakukan dalam hal menjaga keseimbangan kekuatan (equality of arms) antara negara dengan warga sipil.Hal ini tidak hanya diwujudkan oleh hakim dalam proses persidangan, namun seyogyanya juga pada tahap prapersidangan dan sesudah persidangan. Peran ini bukan hanya sekedar administrasi peradilan pidana, atau mengenai proses dari upaya hukum. Namun, perlu memastikan peran pengadilan yang bermakna  dan memegang peran krusial dikarenakan dalam setiap berkas pidana terdapat hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Hadirnya pengadilan dalam menjaga keseimbangan kekuatan dalam SPP dilakukan dalam pra-persidangan atau pra-penuntutan dikenal juga dengan judicial scrutiny. Ini merupakan pembahasan yang utama dan sangat penting dalam SPP. Dalam hal ini tentu sudah tidak asing bagi hakim denga apa yang disebut sebagai  Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) dan Pra-Peradilan. Kedua hal ini merupakan salah satu contoh kontrol dari kekuasaan kehakiman dalam proses SPP untuk menjamin akuntabilitas dan perwujudan dari checks and balances. Misalnya, dengan adanya HPP maka restorative justice yang dilaksanakan oleh penyidik atau penuntut umum harus melalui proses judicial scrutiny oleh pengadilan. Dalam pra peradilan diperlukan kepastian terhadap apa saja objek dari pra peradilan ini, dan siapa saja yang dapat mengajukan. Jangan sampai kewenangan pra-peradilan terlalu sempit sehingga tidak mewujudkan judicial scrutiny tadi. Namun, juga jangan sampai terlalu luas sehingga membuka ruang diskresi dan monopoli yang terlalu besar tanpa akuntabilitas. Dalam draft yang didapat penulis terakhir kali, Penyeldikkan tidak termasuk dalam kewenangan Pra Peradilan. Tidak lupa juga pentingnya, pengaturan mengenai proses pra-peradilan ketika perkara telah dilimpahkan ke pengadilan.Dalam proses persidangan, peran pengadilan tidak perlu dipertanyakan lagi. Salah satu hal yang terpenting dalam proses persidangan adalah mengenai restorative justice, dan pembuktian. Pengadilan harus terlibat dalam pembahasan mengenai alat bukti dan proses pembuktian. Misalnya mengenai apa yang dimaksud dengan saksi mahkota, keabsahan alat bukti elektronik, dan kemandirian ahli dalam memberikan keterangan. Hakim akan memperkaya diskusi pengaturan hal ini dikarenakan pengalamannya yang secara langsung menerapkan aturan ini. Selain itu, diskusi yang tidak kalah penting adalah apakah contempt of court perlu diatur dalam RKUHAP. Hal-hal diatas adalah segelintir dari isu-isu penting lainnya yang perlu menjadi perhatian khusus dari kita semua.Dalam konteks sesudah persidangan, salah satu peran hakim yang penting adalah mengenai Hakim Pengawas dan Pengamatan (Hakim Wasmat). Hakim Wasmat diharapkan dapat mengawasi bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dan menjadu bahan penelitian yang bermanfaat untuk pemidanaan. Dalam konteks penerapan KUHP baru ke depan, peran Hakim Wasmat ini menjadi sangat penting. Mengingat pendekatan KUHP baru yang disebut-sebut menjauhkan hukum pidan dari warisan kolonial,  lebih seimbang, dan betul-betul menerapkan pidana sebagai sebuah ultimum remidium.Peran-peran sebagaimana disebutkan diatas tentu akan menjadikan tugas pengadilan, terutama hakim, menjadi lebih berat, dan menantang. Namun, hal ini merupakan hal yang seyogyanya dilakukan. Praktik di berbagai negara misalnya Amerika Serikat menunjukkan peran pengadilan yang sentral dalam SPP. Hal ini misalnya melalui preliminary hearing, arraignment, sampai pretrial conference yang dilakukan pra-persidangan.Bahkan di Kamboja, terdapat hakim penyidik, yang betugas bukan untuk mengintervensi pengumpulan bukti, namun memastikan proses didapatnya bukti sesuai aturan hukum. Diskusi-diskusi terhadap hal ini harus segera diadakan baik secara internal, maupun dengan pihak eksternal seperti lembaga terkait atau akademisi. Selain itu, untuk menyeimbangkan tugas tersebut, urgensi diaturnya jabatan hakim yang lebih layak dan aman perlu kembali digaungkan. Tentu semua ini didorong dengan terlihatnya profesionalitas dan kemampuan para hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengadil.Pengadilan adalah pemangku kekuasaan kehakiman, salah satu kekuasaan yang menopang berdirinya negara ini. Pengadilan bukanlah sekedar lembaga administrasi atau lembaga stempel dalam SPP.  Sehingga sudah sewajarnya, memiliki peran yang aktif dalam pembentukkan dan penegakkan hukum di Indonesia. Mahkamah Agung sudah memainkan peran penting dengan melakukan pembaharuan dan berbenah diri secara terus menerus. Misalnya dari berbagai Perma yang melengkapi hukun acara, penggunaan SIPP dan E-berpadu. Hal ini menunjukkan kita juga memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan terus meningkatkan diri. Tentu kita lebih dari mampu untuk menjaga keseimbangan dalam SPP Indonesia.Amelia Devina Putri, S.H., LL.M(Hakim Pengadilan Negeri Prabumulih)Referensi:https://icjr.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/https://www.hukumonline.com/berita/a/koalisi-minta-pembahasan-rkuhap-transparan-dan-melibatkan-partisipasi-publik-bermakna-lt67f62c42a6955/M. yahya Harahap, Pembahasan Permaslaahn dan Penerapan KIHAP: Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedia), Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 38.Audti KUHAP: Studi Evaluasi terhadap Keberlakuan Hukum Acara Pidana Indonesia. Hlm. 35.https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2022/10/Judicial-Scrutiny-melalui-Hakim-Pemeriksa-Pendahuluan-dalam-RKUHAP.pdfhttps://www.hukumonline.com/berita/a/begini-peran-hakim-penyidik-dalam-menjaga-keadilan-sebelum-persidangan-lt67b9d2b3a574d/

Family Courts And Restorative Justice For Children In Criminal Cases

article | Opini | 2025-05-03 16:00:46

*Judge Flordeliz Cabanlit Fargas. Presiding Judge, Family Court Branch 5, Trece Martires City, Cavite Executive Judge, Regional Trial Court, Trece Martires City, Cavite Philippines.The criminal justice system is designed to deliver “justice for all.”[1] There are two approaches in dealing with a crime: Retributive Justice and Restorative Justice. Retributive justice is a response to criminal behavior that focuses on the punishment of lawbreakers and the compensation of victims.[2] In general, the severity of the punishment is proportionate to the seriousness of the crime. Restorative Justice, on the other hand, is a process through which remorseful offenders accept responsibility for their misconduct, particularly to their victims and to the community. It creates obligation to make things right through proactive involvement of victims, ownership of the offender of the crime and the community in search for solutions which promote repair, reconciliation and reassurance.[3]In the Philippines, restorative justice is practiced in the Family Courts when they deal with children. Pursuant to Republic Act 8369 (RA 8369), otherwise known as the Family Courts Act of 1997, the State shall protect the rights and promote the welfare of children in keeping with the mandate of the Constitution and the precepts of the United Nations Convention on the rights of the Child.[4] Thus, family courts were established to have exclusive original jurisdiction over child and family cases. Among these cases are criminal cases where one or more of the accused is below eighteen (18) years of age but not less than nine (9) years of age or where one or more of the victims is a minor at the time of the commission of the offense.[5]A “child” refers to a person under the age of eighteen (18) years.[6] When a child is alleged, accused of, or adjudged as, having committed an offense under Philippine laws, the child is called a child in conflict with the law (CICL). Under Republic Act No. 9344, otherwise known as the Juvenile Justice and Welfare Act of 2006, and in relation to Article 40 of the United Nations Convention on the Rights of the Child, the State recognizes the right of every child alleged as, accused of, adjudged, or recognized as having infringed the penal law to be treated in a manner consistent with the promotion of the child's sense of dignity and worth, taking into account the child's age and desirability of promoting his/her reintegration. Whenever appropriate and desirable, the State shall adopt measures for dealing with such children without resorting to judicial proceedings, providing that human rights and legal safeguards are fully respected. It shall ensure that children are dealt with in a manner appropriate to their well-being by providing for, among others, a variety of disposition measures such as care, guidance and supervision orders, counseling, probation, foster care, education and vocational training programs and other alternatives to institutional care.[7]While the CICL is given a second chance to reform and be eventually reintegrated in the society after rehabilitation, the child victim is not forgotten. The State, through the Department of Social Welfare and Development (DSWD), is tasked to provide assistance such as temporary shelter, medical/surgical treatment, psychological and psychiatric evaluation, treatment, counselling and/or therapy, legal assistance, financial and educational assistance, protection and security provisions, skills training, and livelihood development services, among others not only to the child victim but[8] also to his/her family who may be affected by the trauma.[9]It is therefore imperative for a Family Court Judge to strike a balance between opposing sides- that is, of ensuring that the rights of the CICL are exercised and, at the same time, the rights of the child victim are sustained while resolving the issues at hand.While protection of rights start from the time the commission of a crime/offense is reported, the author will limit the discussion of the interplay of the protection of these rights when an information is already filed in the Family Court wherein the offender is a CICL and the victim is a child. For brevity, the Family Court shall be referred to as the court and a Family Court Judge shall be referred to as the Judge. The unlawful act shall be referred to as the offense. In each court, there is a Diversion Committee composed of its Branch Clerk of Court, as chairperson; the prosecutor, a lawyer of the Public Attorney’s Office assigned to the court, and the social worker assigned by the court to the child, as members. In the absence of a Branch Clerk of Court, the chairperson is designated by the judge.[10] The Diversion Committee determines if the CICL be diverted and referred to alternative measures or services when the imposable penalty for the offense is not more than 12 years. Parenthetically, the court releases the child on recognizance to the parents, guardian, or nearest relative; or a youth rehabilitation center which shall be responsible for the presence of the child during the diversion proceedings. If the Diversion Committee determines that diversion is not proper, or when the child objects to the diversion, or when there is failure of the diversion program if undertaken by the child, it shall submit a report to the court recommending that the case be subjected to formal criminal proceedings.[11] Otherwise, arraignment is suspended and a diversion conference is called with the CICL and the child victim together with their respective parents or guardians.Mediation, family conferencing and conciliation in consonance with restorative justice is facilitated by the Diversion Committee. The CICL, the child victim and their parents or guardians must be present. A rehabilitation program will be formulated which shall cover socio-cultural and psychological services for the CICL which may include: reparation of the damage caused, counselling, participation in available community-based programs, or in education, vocation, and life skills program. The court may include, reprimand, fine or institutional care and custody. The individualized program is tailored fit depending on the CICL’s feeling of remorse; the ability of the parents or guardians and the reformation center to supervise, the child victim’s acceptance of the terms and conditions of the diversion contract; and the availability of barangay-based programs for the CICL’s rehabilitation and reintegration.It must be emphasized that diversion is also done in the barangay, the law enforcement officer and the prosecution if the imposable penalty is not over 6 years.[12]As previously stated, rehabilitation is not only for the CICL but also for the child victim. Pursuant to law, the Judge ensures that the DSWD provides medical, physical, psychological or psychiatric examination and treatment and even financial assistance, among others, to the child victim.[13]  The DSWD monitors his/her condition to confirm that the effects of the trauma are extinguished. The DSWD sees to it that the child victim continues schooling and/or undergo livelihood skills training if it is for his/her best interest.If the CICL is not qualified to a diversion, trial proceeds. If the CICL is convicted but is still under 21 years old, service of sentence is suspended[14] and disposition proceedings is conducted, this time to be done by the judge. The procedure is just like diversion. In both diversion and disposition, upon compete rehabilitation of the CICL, the case is considered closed and terminated and records of the CICL are sealed and can only be opened upon order of the court. Strict confidentiality of the proceedings and the records is maintained. [15]In view of the foregoing, it clear that Family Courts in the Philippines which have jurisdiction over cases involving children are catalysts towards restorative justice. Through the diversion and disposition proceedings, the CICL admits the commission of the offense,[16] and the harm he/she has caused; undertakes to compensate the child victim for the injury; engages in activities which would prevent him/her from doing a misconduct and productive programs for his/her well being, the family and the community. The child victim, on the other hand, participates in the proceedings because his/her concerns are heard; the needs are addressed; and the government provides support and services throughout the trial. The community like the barangay is given the opportunity to provide support for a holistic reformation so that the CICL can be reintegrated to the society. More importantly, the implementation of restorative justice is for the best interest of the child.Edited by : Maria Christine N. Barus (Sei Rampah District Court)Reference:https://www.goodwin.edu/enews/importance-of-the-criminal-justice-system/#:~:text=The%20criminal%20justice%20system%20is,it%20keeps%20our%20citizens%20safe, 24 February 2024, 10:45 a.m.https://www.britannica.com/topic/retributive-justice, 24 February 2024, 2:03 p.m.https://probation.gov.ph/restorative-justice/#:~:text=WHAT%20IS%20RESTORATIVE%20JUSTICE%3F,victims%20and%20to%20the%20community, 24 February 2023, 2:05 p.m.Section 2 of R.A. 8369, otherwise known as the Family Courts Act of 1997.Section 5 (a) of R.A. 8369.Section 4 (e ) of R.A. 9344, otherwise known as the Juvenile Justice and Welfare Act of 2006.Section 2 (d) of R.A. 9344.See Section 8 (c ) of A.M. No. 22-04-06-SC dated 19 April 2022.See Section 6, paragraph (b ) in relation to Section 8 (C ) paragraph 1, subparagraph (a) of A.M. No. 22-04-06-SC dated 19 April 2022.Section 29 of A.M. No. 02-1-18-SC, Supreme Court Revised Rule On Children In Conflict with the Law.Section 30 of A.M. No. 02-1-18-SC, Supreme Court Revised Rule On Children In Conflict with the Law.Section 23 (a)  and  Section 31 of R.A. 9344.Section 8 © paragraph 1 of A.M. 22-04-06-SC dated 19 April 2022.Section 38 in relation to Section 40, second paragraph of R.A. 9344.Section 43 of R.A. 9344. Section 26 of R.A. 9344.With the author's permission, this article has also been published in www.iawj.org with the same title.

Merawat Integritas Melalui Keteladanan

article | Opini | 2025-05-01 13:30:26

Integritas bukan hanya sekadar atribut moral, melainkan inti dari keadilan itu sendiri. Bagi seorang hakim, integritas adalah telos (tujuan akhir) dan prinsip penggerak dalam setiap putusan. Di tengah gelombang relativisme etika moral dan krisis legitimasi institusi, menjaga integritas tidak lagi cukup hanya dengan aturan melainkan integritas juga harus hidup sebagai keteladanan dalam sikap, keputusan, dan kehidupan sehari-hari. Socrates, Imanuel Kant, dan Bauman memberikan pandangan tentang integritas. Socrates mengajarkan bahwa integritas adalah keutuhan antara pikiran, perkataan, dan Tindakan, sehingga ia lebih memilih kematian sebagai bagian dari integritasnya. Socrates menunjukkan bahwa integritas bukan kompromi seperti yang selalu dijaga dalam bahasa koordinasi antar instansi selama ini, tetapi integritas adalah kesetiaan pada kebenaran, bahkan saat semua orang menolak. Immanuel Kant menyatakan bahwa tindakan moral harus berlandaskan kesadaran universal, bukan karena pragmatisme, sehingga dalam pandangan Kant keputusan yang benar adalah Keputusan yang bisa diuji oleh nalar universal, bukan oleh tekanan politik, opini publik, atau keinginan tersembunyi. Dalam dunia yang sarat heteronomi, integritas adalah kemampuan untuk tetap mandiri, namun, seperti kata Bauman, nilai-nilai seperti integritas menguap di tengah arus pragmatisme dan ketidakpastian. Di sinilah dilema besar muncul: bagaimana menjadi penjaga prinsip dalam masyarakat yang tak lagi percaya pada prinsip? Keteladanan di Tengah Tantangan Keteladanan bukan terletak pada pidato, ceramah atau simbol, tetapi ia adalah tapak-tapak pada keseharian. Apa yang diucapkan akan hilang menguap bersama gelombang udara, tetapi apa yang dicontohkan memberi pesan dan kesan yang lebih kuat pada siapapun. Banyaknya perkara korupsi di Indonesia menjadi bukti bahwa integritas bukan asumsi, melainkan pertaruhan moral yang nyata, namun walupun begitu, tidak berarti pula bahwa semuanya telah gelap, masih banyak lilin-lilin keteladanan, di dunia peradilan dan penegakan hukum publik mengenal sosok seperti Artidjo Alkostar (mantan Ketua Muda Pidana MARI), Sunarto (Ketua MARI), Baharuddin Lopa (mantan Jaksa Agung RI), Jenderal Hoegeng (mantan Kapolri), serta tokoh lainnya di Mahkamah Agung yang memimpin dengan keteladanan. Mereka semua konsisten menolak intervensi dan berdiri pada nuraninya, bahkan di tengah badai pertaruhan wibawa lembaga sekalipun. Empat Pertaruhan Besar Integritas Hakim 1.   Integritas: Legal Positivisme dan keadilan substantif Legal positivisme memisahkan hukum dari moralitas, sebagaimana dalam teori hukum murni Hans Kelsen. Keadaan ini kerap menjadi tameng untuk membenarkan putusan yang sah tapi tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam situasi ini integritas moral diuji: apakah hakim sekadar menjadi the speaker of law, atau menjadi the soul fo justice yang menghidupi teks-teks hukum yang mati dari nilai keadilan. Dalam konflik struktural, dalam sengketa yang melibatkan para aktor kuat dan terdidik, hakim yang berintegritas tidak melulu membatasi diri pada rumusan teks, tetapi lebih dari itu mampu memberi jiwa (tafsir) pada teks untuk bergerak menuju keadilan substantif. 2.   Era Digital, Krisis Otoritas Moral, dan post truth Sosial media yang massif, talk show di tv nasional yang melibatkan para ahli dan praktisi seolah telah menciptakan "pengadilan bayangan", yang membentuk persepsi publik seolah-olah bahwa itulah yang benar, sehingga mengakibatkan krisis kepercayaan pada proses dan putusan pengadilan. Dalam situasi seperti ini integritas adalah ketenangan di tengah badai hujatan, tidak reaktif, dan tetap objektif. Ketika masyarakat sakau dengan agitasi keadilan berdasarkan opini semata, maka hakim yang berintegritas adalah penyeimbang yang tidak goyah pada halusinasi keadilan sosial tanpa basis data yang akurat. 3.   Politik, Hukum dan Independensi Etis Politik sering berusaha mempengaruhi atau mempunyai niat terselubung untuk menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan. Keterbatasan anggaran, fasilitas yang belum memadai serta sejumlah permasalahan yang timbul di lapangan yang harus diselesaikan melalui mekanisme koordinasi, menunjukkan bahwa kemungkinan tekanan terhadap hakim adalah nyata bahkan dari pimpinannya sendiri. Dalam situasi ini, integritas bukan hanya soal pribadi, tapi juga soal keberanian untuk berkata "tidak" demi menyelamatkan kemandirian. 4.   Kepentingan aktual, uang dan social savety Akhirnya juga kita harus realistis, Hakim dengan segela atribut mulia yang menyertainya adalah manusia, dengan semua kebutuhan dan tanggungjawabnya. Dalam konteks ini hakim tidak boleh dibiarkan serta tidak semestinya memperjuangkan sendiri kesejahteraannya, karenanya harus ada kesadaran untuk secara terus menerus meningkatkan kesejahteraan hakim, karena tanpa itu akan selalu ada helai demi helai dari dedaunan integritas yang gugur lalu pada akhirnya apapun yang menjadi cita-cita integritas akan sirna terbawa hembus angin kehidupan yang berlalu. Merawat Integritas: Jalan Filosofis di Tengah Dunia yang Luka Hakim hidup dalam paradoks sebagai manusia biasa yang bisa salah, namun karena jabatannya, hakim tetap dituntut untuk menjadi simbol moral yang sempurna. Dalam pengertian Ihsan sebagai suatu kesadaran transcendental, menekankan bahwa integritas adalah jalan spiritual yang menuntut kesadaran diri tiada henti. Tantangan eksistensial muncul ketika godaan dan tekanan sistemik dari baik dari internal maupun eksternal menguji komitmen tersebut. Oleh karena itu merawat integritas tidak akan cukup hanya secara individual, ia harus menjadi system dan keteladanan kolektif yang juga meliputi kepentingan actual hakim dalam realitas sosialnya. Penutup Albert Camus pernah berkata: “Integrity has no need of rules.” Integritas sejati adalah hukum batin, bukan sekadar kepatuhan pada norma tertulis. Artidjo Alkostar juga pernah mengatakan bahwa “kejujuran (integritas) tidak ada sekolahnya, kejujuran (integritas) tumbuh dari hati yang bersih”. Hakim berintegritas akan dikenang bukan karena jabatannya, melainkan karena jejak keteladanan moral yang ia torehkan dalam sejarah peradaban. Di tengah masyarakat yang tertutup kabut untuk melihat Cahaya integritas, hakim dengan berintegritas dan keteladanannya seperti lilin memberi petunjuk arah jalan yang benar. Hakim beritegritas berani menegaskan bahwa hukum bukan sekadar alat, tetapi refleksi keluhuran jiwa manusia yang terus mencari kesejatian yaitu keadilan dalam hidup. (LDR)

Keterbukaan Informasi di Pengadilan: Menjaga Transparansi Tanpa Mengabaikan Privasi

article | Opini | 2025-05-01 07:30:15

Pendahuluan Dalam perkembangan sistem peradilan modern, keterbukaan informasi publik telah menjadi salah satu prinsip fundamental yang melegitimasi lembaga peradilan di mata masyarakat. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menegaskan bahwa setiap badan publik, termasuk lembaga peradilan, berkewajiban menyediakan akses informasi yang transparan, akurat, dan akuntabel. Mahkamah Agung RI melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan, telah menegaskan bahwa layanan informasi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bagian dari pemenuhan hak konstitusional warga negara atas informasi, sekaligus instrumen untuk memperkuat akuntabilitas lembaga peradilan. Namun, di tengah laju digitalisasi layanan pengadilan dan tuntutan masyarakat terhadap keterbukaan, muncul tantangan baru yang tidak boleh diabaikan, yakni potensi pelanggaran hak atas privasi dan keamanan data pribadi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU Pelindungan Data Pribadi) menjadi isyarat kuat bahwa keterbukaan informasi harus dijalankan secara berimbang, tanpa mengabaikan perlindungan hak individu atas data pribadinya. Fenomena seperti doxxing, peretasan, atau bahkan ancaman fisik yang disebabkan oleh kebocoran data melalui informasi pendukung yang dipublikasikan di website pengadilan, menjadi contoh konkret betapa ketidakhati-hatian dalam menampilkan informasi dapat menimbulkan risiko serius terhadap hak atas privasi, bahkan mengancam independensi dan keamanan aparatur peradilan. Dalam konteks ini, menjaga transparansi informasi di pengadilan tanpa mengabaikan pelindungan privasi menjadi sebuah keniscayaan sekaligus tantangan praksis bagi Mahkamah Agung RI. Penulis, melalui artikel ini bermaksud menyampaikan opini, sebagai media untuk merefleksikan dinamika tersebut, dengan menelaah dasar hukum yang mengatur keterbukaan dan pelindungan data pribadi, menilik kembali realitas implementasi di lingkungan peradilan, serta menawarkan gagasan mengenai keterbukaan informasi yang ideal, dan tetap menghormati prinsip independensi serta keamanan aparatur peradilan. Pengaturan Keterbukaan Informasi dan Perlindungan Data Pribadi Keterbukaan informasi publik dalam lingkungan peradilan di Indonesia berakar dari pengaturan normatif melalui UU KIP yang secara tegas menetapkan bahwa informasi dalam penguasaan badan publik adalah milik masyarakat. Setiap warga negara berhak mengakses informasi tersebut sebagai bagian dari partisipasi dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Tindak lanjut Mahkamah Agung RI atas mandat tersebut wujud melalui SK KMA Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 yang merinci standar pelayanan informasi publik di pengadilan, termasuk klasifikasi informasi, mekanisme pemberian informasi, dan prosedur pengecualian atas dasar perlindungan kepentingan tertentu. Prinsip keterbukaan tersebut memang tidak berjalan dalam ruang hampa. Dinamika transformasi digital yang memperluas ruang distribusi informasi, menjadikan tuntutan kebutuhan untuk menjaga hak atas privasi semakin mengemuka. UU Pelindungan Data Pribadi memberikan kerangka baru yang menegaskan bahwa data pribadi adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dilindungi, termasuk dalam lingkup badan publik seperti lembaga peradilan. Konsekuensinya, keterbukaan informasi di satu sisi menjadi keharusan untuk membangun akuntabilitas dan kepercayaan publik, sementara di sisi lain, lembaga peradilan wajib memastikan bahwa keterbukaan itu tidak mengorbankan data pribadi—khususnya para aparatur peradilan—yang bersifat sensitif. Pertemuan antara rezim keterbukaan dan rezim pelindungan data pribadi mengharuskan adanya interpretasi yang seimbang terhadap kedua kerangka hukum tersebut. Lembaga peradilan dituntut untuk tidak sekadar menjalankan keterbukaan sebagai kewajiban administratif, melainkan juga sebagai bentuk penghormatan terhadap hak konstitusional warga negara atas informasi dan privasi. Dalam konteks ini, keterbukaan informasi tidak boleh dipahami sebagai keterbukaan yang seluas-luasnya, melainkan keterbukaan yang cerdas, selektif, dan terbatas dengan berbasis perlindungan hak. Integrasi nilai-nilai ini menjadi pondasi utama dalam membangun pelayanan informasi publik yang akuntabel dan berintegritas di lingkungan peradilan. Implementasi-Realitas: Capaian dan Tantangan dalam Pelayanan Informasi Dalam praktiknya, lembaga peradilan kita telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam mengartikulasikan prinsip keterbukaan informasi melalui pelayanan konkret kepada masyarakat. Salah satu bentuk keberhasilan tersebut adalah penerapan kebijakan anonimisasi dalam putusan atau salinan putusan, terutama pada perkara anak, KDRT, atau kesusilaan serta perkara tertentu yang mengandung dimensi perlindungan khusus. Upaya pengaburan identitas para pihak dalam putusan, penghapusan data personal dalam publikasi elektronik, serta pengamanan terhadap informasi sensitif penerima layanan bantuan hukum mencerminkan kesadaran lembaga untuk mengedepankan keseimbangan antara transparansi dan pelindungan privasi. Meskipun demikian, dalam tataran realitas masih saja terdapat sejumlah celah yang membuka ruang bagi potensi pelanggaran terhadap hak atas privasi. Salah satu contoh yang perlu dicermati adalah keterbukaan informasi melalui publikasi Daftar Riwayat Hidup aparatur pengadilan dalam dokumen-dokumen pendukung Zona Integritas maupun data pribadi berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di dalam website pengadilan. Data pribadi seperti Nomor Induk Pegawai (NIP), NIK, yang memuat unsur tanggal lahir menjadi pangkal dari doxxing atau peretasan yang bahkan pernah dialami oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak Isnurul Syamsul Arif, S.H., M.Hum. Kondisi ini bukan hanya menunjukkan betapa besarnya risiko pencurian data pribadi (identity theft) dapat terjadi, tetapi juga menempatkan aparatur peradilan, khususnya para hakim, pada potensi ancaman keamanan fisik maupun siber. Realitas ini memperlihatkan bahwa meskipun kesadaran terhadap keterbukaan telah tumbuh, pemahaman mengenai batasan keterbukaan, khususnya terkait perlindungan data pribadi, belum sepenuhnya terinternalisasi dalam standar operasional prosedur layanan informasi di pengadilan. Pengelolaan informasi publik belum sepenuhnya berbasis pada prinsip selective disclosure, sehingga membuka ruang inkonsistensi antara semangat akuntabilitas dan kewajiban melindungi hak pribadi. Situasi ini menunjukkan perlunya pembenahan sistemik agar keterbukaan informasi benar-benar berjalan seiring dengan perlindungan terhadap martabat, keselamatan, dan privasi individu yang berinteraksi dengan lembaga peradilan. Keterbukaan Informasi di Pengadilan: Antara Transparansi, Privasi, dan Independensi Penerapan keterbukaan informasi di pengadilan sudah seharusnya mengedepankan prinsip integritas-akuntabilitas publik dengan tanpa mengalienasi penghormatan terhadap hak-hak dasar individu. Dalam konteks ini, keterbukaan tidak boleh diartikan sebagai pembukaan informasi secara serampangan, melainkan harus dijalankan secara selektif dan proporsional. Informasi yang menyangkut proses peradilan, layanan publik, dan laporan pertanggungjawaban keuangan memang perlu diakses luas oleh masyarakat. Namun sebaliknya, informasi yang berkaitan dengan data pribadi, keamanan individu, serta perlindungan terhadap kelompok rentan harus diperlakukan dengan ekstra hati-hati. Lebih lanjut, sejujurnya, penerapan keterbukaan informasi berkelindan dengan perlindungan terhadap independensi dan keamanan aparatur peradilan, khususnya para hakim. Publikasi data pribadi aparatur yang bersifat sensitif, seperti pencantuman NIP, NIK, alamat, atau bahkan riwayat kehidupan pribadi dalam dokumen-dokumen peradilan, dapat membuka celah bagi ancaman terhadap keselamatan dan independensi hakim. Padahal, prinsip judicial independence sebagaimana termuat dalam Prinsip-Prinsip Dasar Independensi Kehakiman PBB (1985) dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman harus dipahami secara integral dengan adanya jaminan bahwa hakim harus bebas dari tekanan, ancaman, atau pengaruh eksternal dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, keterbukaan informasi yang ideal bukan hanya bicara soal integritas dan akuntabilitas kepada publik semata, melainkan juga tentang bagaimana menjaga ruang aman bagi hakim dan aparatur peradilan lainnya dalam menjalankan tugasnya secara merdeka. Untuk itu, menurut hemat penulis, perlu adanya pendekatan evaluatif terhadap keterbukaan informasi dan layanan publik di lingkungan peradilan, yakni keterbukaan yang cerdas (smart openness). Pendekatan ini menuntut kita untuk melakukan klasifikasi dan seleksi informasi secara ketat, menerapkan prosedur secara konsisten, serta meningkatkan mekanisme audit keamanan informasi yang berkelanjutan di dalam lembar kerja evaluasi peradilan (baca: AMPUH Badilum). Selain itu, literasi data digital bagi aparatur peradilan juga harus ditingkatkan melalui forum formal-informal (pengawasan bidang, rapat bulanan, atau bahkan coffee morning) agar setiap bentuk keterbukaan informasi senantiasa mempertimbangkan prinsip perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak atas privasi dan rasa aman. Dengan demikian, keterbukaan informasi di dalam lembaga peradilan akan benar-benar menjadi instrumen untuk memperkuat kepercayaan publik (public trust), dan bukan menjadi sumber ancaman terhadap integritas lembaga peradilan. (LDR) Radityo Muhammad Harseno, Hakim Pengadilan Negeri Putussibau

Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

article | Opini | 2025-04-30 09:30:09

Setelah ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 2 Januari 2023, tidak lama lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) akan efektif berlaku menggantikan KUHP lama peninggalan Belanda pada tanggal 2 Januari 2026 mendatang, tepat tiga tahun setelah diundangkan sesuai Pasal 624 KUHP baru. Pergantian KUHP lama ke KUHP baru itu tidak sedikit membawa perubahan peraturan di dalamnya, termasuk pengaturan mengenai Pengulangan Tindak Pidana (Recidive). Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (In kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi (Barda Nawawi Arief, 2012). Baik dalam KUHP lama dan KUHP baru pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai alasan pemberat pidana. Meskipun masih sama-sama sebagai alasan pemberat pidana, namun apabila dicermati terdapat perbedaan ketentuan antara Recidive pada KUHP lama dan Recidive yang terdapat dalam KUHP baru. Lantas apa saja perbedaan antara pengaturan pengulangan tindak pidana (recidive) dalam KUHP lama dan KUHP baru? dan bagaimana pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya perbedaan pengaturan tentang recidive dalam KUHP baru? Perbandingan Pengaturan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP Lama dan KUHP Baru; Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP lama tidak diatur secara umum dalam Aturan Umum Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu, baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam Buku III KUHP lama. Adapun untuk recidive kejahatan, KUHP lama membedakannya menjadi dua yaitu pertama, recidive kejahatan “Tertentu Sejenis” yang tersebar dalam sebelas pasal buku II KUHP yaitu Pasal 137 ayat (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2). Kedua, Recidive “Kelompok Kejahatan” yang diatur dalam Pasal 486 KUHP (kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan), Pasal 487 KUHP (kejahatan terhadap orang), dan Pasal 488 KUHP (kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan) dengan pasal-pasal tertentu yang diatur di dalamnya. Sementara untuk Recidive pelanggaran pengaturannya tersebar dalam 14 (empat belas) pasal yang terdapat dalam Buku III KUHP yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549. Dengan diaturnya ketentuan recidive dalam KUHP lama terbatas pada tindak pidana, maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KUHP lama menganut sistem recidive khusus atau pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana tertentu baik itu kejahatan atau pelanggaran (Barda Nawawi Arief, 2012). Berbeda dengan KUHP lama yang tidak mengatur secara umum tentang ketentuan recidive, namun pengaturannya khusus berada di pasal-pasal tertentu. Dalam KUHP baru pengaturan tentang Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) kini telah diatur secara umum dalam “Buku Kesatu Aturan Umum”, atau lebih tepatnya dalam paragraf 6 Pasal 23 KUHP baru yang termasuk dalam Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Dengan diaturnya Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) pada “Buku Kesatu Aturan Umum” KUHP baru dan tidak lagi diatur secara khusus untuk tindak pidana tertentu saja seperti halnya KUHP lama, maka sistem Recidive yang berlaku pada KUHP baru terdapat pergeseran dari yang semula menganut sistem Recidive Khusus (KUHP lama) menjadi menganut sistem Recidive Umum (KUHP baru). Dalam ranah hukum pidana, konsep Pengulangan Tindak Pidana (recidive), terbagi ke dalam 2 (dua) macam sistem. Pertama adalah algemeene recidive atau recidive umum yang merujuk pada pengulangan tindak pidana tanpa mempertimbangkan jenis tindak pidana yang diulang, selama terdakwa kembali terlibat dalam perbuatan pidana apa pun setelah adanya putusan hakim yang tetap (In kracht) maka dapat disebut recidive. Sementara yang kedua adalah speciale recidive atau recidive khusus yang mengacu pada pengulangan tindak pidana yang serupa atau sejenis dengan peristiwa pidana yang sebelumnya menyebabkan hukuman dijatuhkan sesuai dengan sistem recidive yang ada pada KUHP lama (Arifin et al., 2023). Meskipun telah bergeser ke sistem recidive umum (berlaku pada tindak pidana apa pun), namun pembatasan dan syarat-syarat tertentu tetap berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 23 KUHP baru. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: Melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa;Mencakup tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III;Berlaku juga untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan. Pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya pergeseran sistem recidive khusus ke sistem recidive umum dalam KUHP baru; Baik dalam KUHP lama ataupun dalam KUHP baru, pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai pemberatan. Adapun Pemberatan sebagaimana dimaksud adalah maksimum ancaman pidananya dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga). Namun oleh karena dalam KUHP baru telah ada pergeseran menjadi sistem recidive umum, maka dikatakan seseorang sebagai recidive sekarang tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja. Melainkan pengulangan tindak pidana apapun yang dilakukan oleh seseorang setelah ada putusan hakim yang tetap adalah dianggap sebagai recidive sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru. Contoh: seseorang menjalani pidana penjara selama 3 (tiga) tahun karena kasus pencurian, kemudian menjalani pembebasan bersyarat pada tahun 2022. Pada tahun 2024 orang tersebut melakukan tindak pidana penganiayaan sehingga mengakibatkan luka berat, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan pengulangan tindak pidana (recidive) dengan pidananya dapat diperberat (Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, 2025). Hal seperti itu tidak berlaku pada pengaturan recidive dalam KUHP lama yang menganut sistem recidive khusus dan berlaku sebatas pada kejahatan tertentu sejenis serta kelompok kejahatan, sehingga apabila seseorang melakukan tindak pidana pencurian telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan hakim yang tetap dan kemudian melakukan tindak pidana lagi namun bukan pada kelompok kejahatan yang sama, misalkan penganiayaan atau pembunuhan, meskipun belum lewat waktu maka ketentuan mengenai recidive yang dapat menjadi pemberatan pidana bagi pelaku tidak dapat diterapkan. Bahkan dalam KUHP lama untuk pasal kesusilaan seperti tindak pidana perkosaan juga tidak masuk dalam ketentuan pasal 487 KUHP (recidive kelompok kejahatan terhadap orang). Sehingga apabila misalkan orang melakukan tindak pidana perkosaan telah dipidana penjara dan setelah keluar kembali melakukan tindak pidana perkosaan lagi, ketentuan recidive tidak dapat diterapkan. Dengan berlakunya ketentuan baru dalam KUHP baru khususnya mengenai recidive yang berubah ke sistem recidive umum, maka cakupan mengenai pengulangaan tindak pidana (recidive) yang dapat menjadi pemberat pidana pidana tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja, namun menjadi lebih luas dan berlaku pada semua tindak pidana sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru. Kesimpulan Pengaturan tentang pengulangan tindak pidana (recidive) dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami perubahan dari KUHP lama ke KUHP baru. Sebagaimana KUHP lama, recidive diatur secara khusus dan terbatas pada tindak pidana tertentu saja, baik kejahatan maupun pelanggaran, yang tersebar dalam pasal-pasal tertentu. Dengan demikian, pemberatan pidana untuk recidive hanya dapat diterapkan bila pengulangan terjadi atas tindak pidana sejenis atau dalam kelompok kejahatan tertentu yang telah ditentukan, dan pengulangan tindak pidana yang berbeda tidak dapat dikenai pemberatan recidive. Berbeda dengan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), pengaturan recidive telah diatur secara umum dalam Buku Kesatu Aturan Umum, tepatnya Pasal 23. Dalam KUHP baru menganut sistem recidive umum, yang memungkinkan penerapan pemberatan pidana terhadap setiap bentuk pengulangan tindak pidana apa pun, tanpa terbatas pada jenis kejahatan tertentu, asalkan memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2023. Secara penerapan, baik dalam KUHP lama maupun baru, recidive tetap menjadi dasar pemberatan pidana dengan ketentuan maksimum pidana dapat ditambah hingga satu per tiga. Namun, cakupan recidive dalam KUHP baru menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada jenis tindak pidana tertentu seperti dalam KUHP lama. (LDR) Referensi Arifin, B., Arfarizky, R. A., & Windari, R. (2023). Perbandingan Konsep Recidive dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan Criminal Act of South Korea Abstrak. 45(2). Barda Nawawi Arief. (2012). Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut (Cetakan IV). Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Rajawali Pers. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Cultural Shock Amidst The New Indonesia Criminal Code

article | Opini | 2025-04-26 09:05:24

IntroductionOn January 2026, the Law Number 1 of 2023 on Criminal Code (Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)(hereafter as “KUHP Nasional”) will be fully prevail. Some key elements will alter the culture or the way Indonesian people implement their criminal law. This situation may lead to a “cultural shock”, which often refers to the situation where strain and anxiety result from contact with a new situation and the feeling of confusion resulting from loss of accustomed cultural cues and social rules.[1] In other research, cultural shock happens when a person cannot understand a new situation or behaviour. The result is the person may become confused or even get stressed. In the final stage, the person may fail to communicate what to say and what to do or act around the new situation.[2]The impacts of cultural shock are varied, from only resulting stress to a destructive effect. Based on Anugerah’s research, one of the cultural shock symptoms is the rejection of the new situation or rules.[3] This rejection may cause the failure of the new regulation. For instance, the cultural shock may be a significant obstacle for the Indonesia government to apply the KUHP Nasional in this remaining transition period (more or less 8 months). Therefore, in this article, the Writer will discuss on two main issues: 1) What are the key changes on KUHP Nasional?; and 2) How does cultural shock affect the implementation of KUHP Nasional?The Key ChangesAs the KUHP Nasional has enacted, several new rules have been introduced. These new rules are claimed may change the implementation of criminal law in Indonesia. Among these new rules, the Writer will highlight the most anticipated, which based on the Writer’s opinion, will be the game changer: 1. Living Law IssuesArticle 2 (1) KUHP Nasional raises another issue of living law implementation. In the future, there is a possibility that a person will be sentenced based on living law or customary law that live in certain area. This provision will conflict with the Legality Principle, which demands that only regulated acts may be sentenced. Although Article 2 (3) KUHP Nasional stated the implementation of living law will be further regulated under government regulation. However, the uncertainty on how these rules will be implemented remains unknown. There is a possibility that unwritten living law will be used by the law enforcer.We shall travel back to the Roman Empire era to learn the main purpose of the Legality Principle. The principle was born as a critic toward the tyranny that restrained the people democratie in the past. Before the legality principle, criminal law utilized the principle of crimine extra ordinaria, which allows the unwritten criminal act to be used by the law enforcer. The excess, many people have been sentenced by the king over an uncertain regulation in that era[4]. Therefore, as an antithesis, the Legality Principle was introduced. 2. Decriminalization and RevocationArticle 3(4) KUHP Nasional introduces a new methodology on how a criminal sentencing shall be banished by the law. In terms of the court decision has had a permanent legal force (berkekuatan hukum tetap or BHT), however the criminal act that occurred is no longer a crime based on the new laws (decriminalization)[5], hence the criminal sentencing should be stopped. Another issue is related to revocation. Many criminal acts have been repealed and declared invalid by Article 622 KUHP Nasional. At least there are more than 28 regulations that are revoked without any explanation and proper public socialization. At a glance, there is some confusion between decriminalization and revocation. The revocation does not always end with decriminalisation. Example Article 111 Law No. 35 of 2009 is revoked but re-regulated under article 609 KUHP Nasional. People will be confused about which one is only revoked then re-regulated and which one is the decriminalisation. This situation is even worse in the absence of proper public socialization from the government.3. The New Sentencing GoalIn the early stages of Indonesia's independence, the law emerged as a tool of power and politics. The government often uses force to maintain law and order, due to the old criminal code promotes the retributive theory. This theory suggests that law enforcement should use force in responding to criminals (such as imprisonment). This approach is also confirmed in Law No. 8 of 1981 on the Code of Criminal Procedure.[6] In fact, over 98% of criminal acts in the old criminal code only used jail as the sole sentencing option.[7]Almost every criminal act ends with imprisonment in Indonesia. Eventually, law experts come up with the idea of restorative justice as the antithesis of the retributive theory.[8] As we may refer to Article 51(c) KUHP Nasional, the new regulation does not only include the retributive theory but also promotes the restoration over the crime impact. Article 71 (1) KUHP Nasional demands that imprisonment should not be imposed if the judge finds several conditions such as the suspect is a minor, over 75 years old or another 15 conditions.  To achieve the restoration, Article 65 KUHP Nasional introduced several new sentencing methods, among others provision (probation) and community service. Article 54 KUHP Nasional also introduced the concept of judicial pardon, where judge may not impose any sanction although the crime act is proven. However, at least for 400 years since the colonial era, Indonesian already accustomed with idiom “evil (criminals) should be jailed”. The negative sentiment over free or even low sentencing is outrageous in Indonesia. Since “no viral, no justice” is being hyped, every court decision that does not suit the people will be poorly judged.Culture Shock: The AftermathCultural shock often refers to the context of cultural migration, when a person moves to another place with a different culture from his origin. However, regarding regulation shifting, this term is also relevant in the writer's opinion. We may see that one of culture shock cause is the implementation of new rules.[3] When new rules are applied, people may lose cues. Losing cues also means losing signs, daily life routine patterns, or even an accustomed way of life (driving, walking, communing, etc.). The impact of culture shock may cause someone to fear living in the new situation, leading him to refuse the new situation, and when they fail to adapt the negative stigma over the new situation will rise (stereotype).[9] Hence, there are adversarial effects of cultural shock that may be occurred when the KUHP Nasional is implemented:1. Fear of FailureFear of failure indicates a lousy involvement in several things, such as actions taken or choice of tasks. This condition indirectly affects decision making, such as avoiding the cause of fear or avoiding the implementation of certain conditions.[10] This fear may be caused by the lack of understanding over KUHP Nasional. As mentioned, several fundamental changes in KUHP Nasional alter the old principle in the previous rule. Such as the living law regulation that may alter the legality principle. If this view is unclear, fear will surround the law enforcement perception. Fear of failure may also cause law enforcement to avoid the new sentencing method in KUHP Nasional. Thus, imprisonment will remain as the main option of our sentencing method, or they will hardly try to avoid the new rules, only implementing the one that is still in line with the old way. 2. Negative Sentiment and Rejection The new goal of KUHP Nasional to restore the criminal impact may be achieved by the new sentencing method. Not only by imprisonment, but the judge also may impose community service and supervision (probation). But, law enforcement is facing negative sentiment from the people. In Indonesia, whatever the case, when judges impose a low sentence or declare the suspect innocent, the people will respond with negative sentiment. As note, negative sentiment may impact decision making, as common sense humans will avoid negative sentiment. Thus, they will avoid or reject the action or rules that may bring the negative sentiment, which is the new regulation or the new sentencing method. So, we will face an era when regulation only remains on paper.   3. Losing of Public Trust In the final stages, when negative stigma and rejection surround the KUHP Nasional, law enforcement will lose the public trust. As we know, law enforcement is a process that ensures people will follow the rules so order may be achieved. When people lose their trust in law enforcement, it is possible that it could damage the legal system that has maintained order in the society.[11] Closing For almost 400 years, the Wetboek Van Strafrecht has been implemented in Indonesia. The birth of KUHP Nasional for indonesia is similar to a conditioan when a long married couple that just been blessed with a biological child. However, the key changes contained in KUHP Nasional required a long adaptation process. Cultural shock will eventually occur and become a significant obstacle in the implementation. The role of the government is very central in helping both law enforcers and the community to adapt. Change is inevitable in life, but those who succeed in adapting are those who always struggle to learn and fight.Bagus Sujatmiko(Larantuka District Court Judge)References:[1] M. Winkelman, “Cultural Shock and Adaptation,” Journal of Counseling & Development, vol. 73, no. 2, pp. 121–126, 1994, doi: 10.1002/j.1556-6676.1994.tb01723.x.[2] D. A. Rafika, “Culture Shock Experienced by Foreign Workers,” Archives of Business Research, vol. 6, no. 4, Apr. 2018, doi: 10.14738/abr.64.4331.[3] A. Salon Bidang, E. Erawan, and K. A. Sary, “PROSES ADAPTASI MAHASISWA PERANTAUAN DALAM MENGHADAPI GEGAR BUDAYA (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantauan di Universitas Mulawarman Samarinda),” Onilne, 2018.[4] “nurdhin,+(6)+Asas+Legalitas-Tahir”.[5] D. Handoko Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Persada Bunda, “KLASIFIKASI DEKRIMINALISASI DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA (Classification of Decriminalization in Law Enforcement in Indonesia),” Desember, vol. 10, no. 2, pp. 145–160, 2019, doi: 10.30641/ham.2019.10.143-160.[6] Fachrizal Afandi, “Mendesak, Reformasi Hukum Acara Penyidikan,” Kompas.Id.[7] Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, 1st ed., vol. 1. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009.[8] B. Sujatmiko and M. Istiqomah, “MENDORONG PENERAPAN PIDANA BERSYARAT PASCA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDRAL BADAN PERADILAN UMUM NOMOR 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 SEBAGAI ALTERNATIF KEADILAN RESTORATIF,” Jurnal Bina Mulia Hukum, vol. 7, no. 1, pp. 46–62, Sep. 2022, doi: 10.23920/jbmh.v7i1.787.[9] T. Intan, “GEGAR BUDAYA DAN PERGULATAN IDENTITAS DALAM NOVEL UNE ANNÉE CHEZ LES FRANÇAIS KARYA FOUAD LAROUI,” 2019.[10] K. Akan et al., “Prosiding KONFERENSI ILMIAH MAHASISWA UNISSULA (KIMU) 2 The Relationship Between Perception Of Parental Expectations and Self-Efficacy With Fear Of Failure In Students Who Finishing Final Thesis,” 2019.[11] Aristo Pangaribuan, “Sistem Hukum Tanpa Kepercayaan,” https://www.hukumonline.com/berita/a/sistem-hukum-tanpa-kepercayaan-lt4bf4f6fef3d1f/ . 

Hakim Sebagai Manusia Renaissance

article | Opini | 2025-04-25 10:45:45

Ius Curia Novit. Hakim harus dianggap tahu hukum yang berlaku. Namun, sebenarnya di dalam adagium itu, tersembunyi makna bahwa Hakim harus mengetahui segalanya. Ini dikarenakan di dalam Filsafat dan Teori Hukum mengatakan bahwa hukum tidak hanya membahas hukum tertulis, tetapi juga semua variabel yang menyusun peradaban. Pada dasarnya, Hukum itu sendiri adalah peradaban. Oleh karena itu, maka Hakim harus dianggap tahu segala hal yang menyusun peradaban tersebut. Hakim tidak hanya dianggap tahu hukum tertulis, namun juga harus dianggap tahu ekonomi, sosiologi, filsafat, matematika, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Di sinilah alasan mengapa Hakim tidak terikat akan pendapat ahli. Karena pada dasarnya, Hakim “dianggap” lebih mengetahui hal-hal tersebut sehingga diberi kewenangan menilai sendiri.Konsep manusia Renaissance sangat relevan dalam konteks ini. Konsep ini mengacu pada individu yang tidak hanya ahli dalam satu disiplin ilmu, tetapi juga memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, seorang Hakim yang dianggap sebagai manusia Renaissance adalah sosok yang tidak hanya memahami hukum positif, tetapi juga memiliki wawasan yang mendalam di bidang psikologi, sosiologi, budaya dan lainnya. Dengan penguasaan berbagai bidang ini, Hakim dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan adil dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor yang melampaui aspek hukum positif semata.Konsep dan RelevansinyaKonsep manusia renaissance mengacu pada individu yang memiliki pengetahuan yang luas di berbagai bidang ilmu dan seni. Pada era Renaisans, mayoritas tokoh besar, seperti Leonardo da Vinci dan Michelangelo tidak hanya menguasai seni, tetapi juga memiliki pemahaman tentang sains, filsafat, dan teknologi (Richard H. Shaffern, 1992: 56-58). Karakter ini pun tepat untuk dimiliki oleh Hakim, yang tidak hanya terfokus pada hukum tertulis semata, tetapi juga menguasai berbagai disiplin ilmu yang membantu mereka membuat keputusan yang lebih bijaksana.Seorang Hakim yang mengadopsi konsep manusia Renaissance harus memiliki kemampuan untuk memahami berbagai perspektif, mulai dari perspektif hukum itu sendiri hingga sudut pandang sosial, budaya, psikologis dan lainnya. Pengetahuan tentang psikologi, misalnya, akan membantu Hakim untuk memahami kondisi mental Terdakwa dan Korbannya, serta menentukan demarkasi yang pas untuk hukumannya berdasarkan pertimbangan rasa sakit para pihak serta cara pemulihannya sehingga mampu memberikan besaran hukuman pidana yang dapat dipertanggungjawabkan.Contoh lain adalah pengetahuan sosiologi memungkinkan Hakim untuk memahami faktor-faktor sosial yang melatarbelakangi tindakan kriminal seperti kemiskinan, ketidaksetaraan sosial, ataupun lingkungan yang tidak sehat yang turut menyebabkan kemunculan tindak pidana. Serta, dengan mengetahui Sosiologi dan Antropologi, Hakim juga dapat mengetahui hukum kebiasaan (Customary Law) yang berlaku di masyarakat itu. Ke depannya, mengetahui hal-hal ini menjadi kewajiban bagi Hakim sebagaimana telah diatur dalam pasal 54 KUHP Nasional yang Baru (S. T. Santoso, 2019: 123-125).Tantangan dalam Mengembangkan Pengetahuan Multidisiplin di Kalangan HakimSalah satu tantangan terbesar dalam menerapkan peran Hakim sebagai manusia Renaissance adalah keterbatasan waktu dan sumber daya. Hakim sering kali terjebak dalam rutinitas yang padat, dengan puluhan perkara yang harus diputuskan dalam waktu yang singkat. Meskipun pendidikan formal di luar hukum dapat memperkaya pemahaman Hakim, keterbatasan waktu dan akses terhadap pelatihan multidisiplin menjadi hambatan utama.Selain itu, dalam sistem peradilan yang cenderung kaku, penerapan pengetahuan multidisiplin memerlukan keterampilan khusus. Tidak semua Hakim memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan wawasan dari berbagai disiplin ilmu dalam setiap kasus yang mereka hadapi. Meskipun hal ini sangat penting, penerapan pengetahuan tersebut memerlukan latihan dan dukungan yang lebih intensif agar dapat diterapkan secara efektif.Solusi untuk Mewujudkan Hakim sebagai Manusia RenaissanceUntuk mewujudkan Hakim sebagai manusia Renaissance, beberapa langkah perlu dilakukan:Pendidikan dan Pelatihan MultidisiplinSistem peradilan harus memberikan pendidikan berkelanjutan bagi Hakim, yang mencakup berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, filsafat, dan lainnya. Dengan adanya pelatihan ini, Hakim dapat mengembangkan wawasan yang lebih luas dan mampu mengintegrasikan berbagai perspektif dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi, jikalaupun tidak ada waktu dan dana untuk memfasilitasi itu semua, maka yang paling fundamental untuk diberikan kepada Hakim adalah Pendidikan Filsafat. Karena filsafat adalah akar dari segala ilmu. Sehingga, menguasai filsafat hampir menguasai segala ilmu yang ada. Setidaknya, Hakim mengetahui akar dari fundamental dari segala ilmu. Dengan begitu, Hakim dapat mengetahui mana pendapat ahli yang “abal-abal” dan pendapat ahli yang genuine dengan yakin penuh.Mempermudah Akses LiteraturHakim memerlukan akses ke literatur dan sumber daya yang memungkinkan mereka memperdalam pengetahuan di luar hukum. Pustaka peradilan yang lengkap dan seminar-seminar multidisiplin dapat membantu Hakim memperkaya pengetahuan mereka. Mahasiswa Hukum di Uni Eropa misalnya memiliki akses untuk berbagai buku elektronik yang tersedia dalam Perpustakaan mereka. Seharusnya, hal ini juga tersedia untuk Hakim.Mempermudah rekomendasi Putusan untuk kasus yang mirip:.Kadang, Hakim dapat belajar dari Putusan rekan sejawatnya dari Direktori Putusan. Sehingga, Para Hakim dapat mempelajari Putusan satu sama lain, sehingga terjadi proses dialektika antara Hakim yang mengakibatkan peningkatan pengetahuan antara Hakim, serta menyeragamkan Putusan yang meningkatkan Kepastian Hukum. Memudahkan rekomendasi ini dapat menggunakan Kecerdasan Buatan, dimana Kecerdasan Buatan (AI) akan membaca Gugatan, Permohonan atau Dakwaan yang masuk kedalam SIPP dan kemudian memberikan notifikasi rekomendasi kepada Majelis Hakim. Ketika Hakim mendapatkan kasus yang variabelnya sama seperti Putusan yang lainnya, Hakim dapat menjadikan Putusan sebelumnya itu menjadi acuan. Sehingga, untuk kasus yang variabelnya berulang (“kasus yang itu-itu saja”), Hakim dapat menggunakan rekomendasi Putusan, sehingga Para Hakim dapat fokus untuk mempelajari kasus yang memiliki variabel yang unik dan berdampak. (SNR/LDR)Refrensi:Richard H. Shaffern, The Renaissance Man: Leonardo da Vinci, New York: Harper & Row, 1992.S. T. Santoso, Hukum Pidana Sosial: Pendekatan Sosiologi dalam Pengadilan. Jakarta: Gramedia, 2019.

Menguatkan Peran Suporting Unit Anggaran Demi Komitmen Perubahan Pimpinan di Satker

article | Opini | 2025-04-25 10:05:02

RAPAT Pimpinan Makamah Agung (MA) pada Selasa (22/4) menjadi tolak ukur baru para Pimpinan MA untuk memlilih para Ketua Pengadilan Negeri (PN). Yaitu yang berintegritas dan berkinerja sesuai data- data yang dihimpun dari hasil profiling Badan Pengawasan dan hasil kinerja yang terpantau di Aplikasi Satu Jari Badilum. Sesuai arahan Pak Ketua MA setelah Rapim yang menyampaikan kepada pimpinan pengadilan untuk menghindari layanan yang bersifat transaksional. Artinya peran supporting unit anggaran sangat penting dalam upaya mendukung program para Ketua yang terpilih dan diyakini berintegritas ini. Secara keseluruhan di MA dan satuan kerja di bawahnya telah ada Jabatan Fungsional (JF) Analis Pengelolaan Keuangan APBN / Pengawas Keuangan Negara sebanyak : JF Analis Pengelola Keuangan APBN / Pengawas Keuangan Negara saat ini berjumlah 306 orang.- Ahli Pertama : 76 - Ahli Muda : 228- Ahli Madya : 2 Untuk JF Pranata Keuangan APBN saat ini berjumlah 300 orang. - Terampil : 60 - Mahir : 125- Penyelia : 115 Jika para Pejabat Fungsional ditugaskan sesuai dengan nomenklatur yang ditetapkan Peraturan Kementrian Keuangan yaitu, PPK, PPSPM, Bendahara, Penyusun Laporan Keuangan, maka Para JF ini akan mendukung Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam hal pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Karena pada Jabatan Fungsional ini ada IKI mandatory yang menjadi target dari Kemenkeu untuk para Pejabat Fungsional ini melaksanakan tugas.  Salah satunya target Indikator Kinerja Anggaran (IKPA) yang merupakan tolak ukur hasil kinerja pengelolaan anggaran setiap triwulan satuan kerja/ organisasi. Saat ini, masih banyak Pejabat Fungsional APK APBN di satker yang hanya ditugaskan sebagai Penyusun Laporan Keuangan. Padahal mereka sudah memiliki sertifikat PPK (PNT) dan PPSPM (SNT). Dan para kasub ada yang ditugaskan merangkap menjadi pengelola keuangan. Hal ini dapat menghambat pelayanan karena tugas kasub yang tumpang tindih. Dengan harapan, jika satuan kerja yang sudah memiliki SDM Jabatan Fungsional APK APBN/Pengawas Keuangan Negara ditunjuk sebagai PPK/PPSPM/Bendahara (bersertifikat PNT/SNT/BNT) maka Ketua Pengadilan dapat dengan mudah melaksanakan program satker yang disupport oleh DIPA tanpa harus tergoda dengan layanan yang bersifat transaksional. 

Ada Panitera Muda, Apakah Ada Panitera Tua?

article | Opini | 2025-04-24 16:05:56

BEBERAPA waktu terakhir ramai berita tentang penangkapan aparat pengadilan. Salah satu yang ditangkap adalah seorang panitera muda. Alih alih bertanya ini dan itu, beberapa teman malah bertanya ; “Ooo, dipengadilan ada yang disebut panitera muda ya ? Berarti panitera tua juga ada ? panitera apa saja yang ada dipengadilan ?” Pertanyaan menarik.Harus diakui, masih banyak yang belum mengetahui jabatan apa saja yang ada di pengadilan. Lazimnya, orang mengenal hakim dan seseorang yang duduk tepat di samping kanan hakim sebagai panitera. Bahkan ada juga yang menyamakan pegawai pengadilan dengan pegawai kejaksaan.Dandafellas, Kepaniteraan adalah bagian utama pengadilan yang menjalankan administrasi pengadilan dan dukungan teknis persidangan. Kepaniteraan dipimpin oleh seorang Panitera yang bertanggung jawab langsung kepada Ketua Pengadilan. Nah, kepaniteraan di pengadilan negeri kelas II dan I B terdiri dari kepaniteraan pidana, perdata dan hukum. Untuk pengadilan kelas IA dan IA khusus, terdapat kepaniteraan khusus yaitu niaga, tipikor dan PHI (Perselisihan Hubungan Industrial).  Di Pengadilan Agama, terdapat kepaniteraan gugatan, permohonan dan hukum.Masing masing kepaniteraan ini dipimpin oleh satu orang yang di sebut panitera muda yang bertanggung jawab kepada Panitera. Ini adalah lingkup struktural pengadilan. Muncul pertanyaan, siapa yang bersidang membantu hakim ? umumnya yang bersidang adalah Panitera Pengganti. Meski tidak menutup kemungkinan Panitera ingin bersidang dengan menunjuk dirinya sendiri sebagai Panitera yang membantu hakim dalam perkara tertentu.Lalu apakah Panitera Muda juga dapat bersidang ? tentu saja. Panitera Muda dapat bersidang dalam kapasitas jabatan fungsionalnya sebagai panitera pengganti. Bingung ? jangan guys. Singkatnya, kecuali Panitera, mereka yang membantu hakim dengan duduk disampingnya membantu mencatat jalannya persidangan disebut Panitera Pengganti. Secara struktural, seorang yang telah menduduki jabatan panitera pengganti melalui proses promosi dapat menjadi panitera muda bahkan Panitera. Sederhananya lagi, dalam persamaan ala matematika, seorang panitera muda pasti menjabat sebagai panitera pengganti tapi seorang panitera pengganti belum tentu menjabat sebagai panitera muda.Well, apakah ada sebutan panitera tua ? gak ada yaa dandafellas. Hanya saja, siapapun, termasuk panitera, akan Tua pada waktunya.  (MT/asp)

To Kill a Mockingbird: Keadilan yang Informal

article | Opini | 2025-04-24 10:00:57

PADA awal abad ke 20 di suatu daerah bernama Maycomb County yang terletak di selatan Amerika Serikat tersebar berita dugaan pemerkosaan dan pemukulan kepada seorang perempuan kulit putih bernama Mayella Ewell oleh seorang kulit hitam bernama Tom Robinson.  Di masa ketika sentimen antar ras terasa sangat kental, berita itu sontak membuat gempar masyarakat. Tom Robinson ditangkap dan dibawa ke persidangan untuk diadili.Di persidangan, setelah melalui serangkaian pemeriksaan oleh para penegak hukum, terkuaklah fakta bahwa semua tuduhan yang diarahkan kepada Tom tidak terbukti. Semua orang yang hadir dan menyaksikan persidangan itu tahu, Tom tidak bersalah. Meski demikian, para juri (semuanya kulit putih) tetap memutuskan bahwa Tom bersalah dan layak dihukum mati. Orang-orang dewasa yang menyaksikan hanya dapat terdiam, meski dalam hati mereka terasa ada kejanggalan, mereka tampak tidak terkejut. Di sisi lain, tiga anak kecil yang menyelinap menyaksikan peristiwa tersebut itu sepakat bahwa ada yang salah dengan apa yang baru saja terjadi. Seorang anak menangis, seorang lagi mengeram marah, dan satu orang lagi tidak mampu berkata-kata. Di daerah yang sama, selang beberapa waktu kemudian, ditemukan seorang kulit putih bernama Bob Ewell tewas bersimbah darah dengan pisau dapur menancap di salah satu bagian tubuhnya. Setelah dilakukan penyelidikan oleh penegak hukum, akhirnya kasus kematian itu ditutup dan dianggap hanya sebagai kasus kecelakaan yang mengakibatkan kematian diri sendiri sehingga tidak diperlukan proses hukum lebih lanjut.Dua kasus di atas adalah fiksi yang terdapat dalam sebuah novel berjudul To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang berhasil memenangkan penghargaan bergengsi Pulitzer. Novel yang berhasil memancing perdebatan di kalangan para lawyers selama bertahun-tahun sejak diterbitkan ini sukses mengajak para pembacanya untuk memikirkan ulang hukum dari berbagai dimensi. Dari hasil refleksi dan retrospeksi setelah membaca novel ini, ada hal tersirat dari novel ini yang penulis soroti dan kira cukup penting. Hal ini menyangkut tentang begitu pentingnya partisipasi aktif para penegak hukum dalam mendorong penyelesaian 'beberapa' masalah hukum di luar pengadilan.Bagi mereka yang telah membaca novel ini, tentu tahu bahwa Bob Ewell sebenarnya tewas ditikam 'seseorang'. Para pembaca juga pasti tahu, fakta bahwa sebelum tewas, Bob Ewell tertangkap basah oleh orang yang menikamnya, sedang melakukan kekerasan terhadap dua anak kecil pada di malam hari. Namun demikian, setiap orang yang telah membaca buku ini akan setuju pula bahwa langkah dari penegak hukum (setelah melakukan penyelidikan) untuk tidak melanjutkan kasus ini ke persidangan sudah tepat. Bahkan terasa sangat adil terlebih jika kasus kematian ini dibandingkan pada kasus yang dialami Tom Robinson yang berakhir dengan begitu obscure sekalipun kasusnya diselesaikan dalam forum resmi tempat keadilan bersemayam (pengadilan).Hal inilah yang barangkali dapat menjadi pengingat bagi kita semua. Bahwa keadilan tidak hanya berada di satu tempat. Keadilan ada di mana-mana. Dan dalam 'beberapa' masalah hukum, keadilan hadir dengan wujudnya yang lebih kasual. Di luar pengadilan. Keadilan yang informal.Referensi:Harper Lee, 2015, To Kill a Mockingbird, Penerbit Qanita.

A Brief Analysis on Indonesia’s Law on Recognition & Enforcement of Foreign Judgments

article | Opini | 2025-04-20 07:05:41

THE PROVISIONS governing the legal relationship between Indonesian and foreign elements are specifically regulated under Articles 16, 17 and 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23) or AB. Article 16 AB stated that, “De wettelijke bepalingen betreffende den staat en de bevoeg dheid der personen blijven verbindend voor Nederlandsche onderdanen, wanneer zij zich buiten’s lands bevinden.Evenwel zijn zij bij vestiging in Nederland of in eene andere Nederlansche Kolonie, zoolang zij aldaar hunne woonplaats hebben, ten aanzien van het genoemde gedeelte van het burgerlijk recht onderworpen aan de ter plaatse geldende wet.” [The legal provisions regarding the status and competence of persons remain binding on Dutch nationals when they are abroad. However, if they are settled in the Netherlands or in another Dutch Colony, as long as they have their place of residence there, they are said part of civil law subject to the locally applicable law]. This article generally serves as a legal ground for Indonesian judges to declare that personal and family law of Indonesian is the law applicable in Indonesia even though they are staying or living abroad. On top of that, Article 17 AB stated that, “Ten opzigte van onroerende goederen geldt de wet van het land of plaats, alwaar die goederen gelegen zijn.” [Real property is subject to the law of the country where the property is located]. This article regulates movable and immovable objects which must be valued according to the laws of the country or place where the object is located, regardless of who owns the object (Lex rei sitae). While Article18 AB states that, “1. De vorm van elke handeling wordt beoordeeld naar de wetten van het land of de plaats, alwaar die handeling is verricht. 2. Bij de toepassing van dit en van het voorgaande artikel moet steeds worden acht gegeven op het verschil, hetwelk de wetgeving daarstelt tussen Europeanen en Inlanders.” [The form of every transaction is determined by the laws of the country where the transaction takes place. 2. With the application of the current as well as the previous article, consideration should be given to the differences between Europeans and natives as provided in the regulations]. In essence, this article stipulates that the law applicable to every legal relationship between individuals is the law where the legal relationship was created. These articles are remained effectively in force even though it has been enacted more than one hundred years ago (Article 1 of the Transitional Provision of the Indonesian Constitution 1945).After knowing the general overview of Indonesia's private international law, we will look further at the current regulations regarding the recognition and enforcement of foreign judgments in Indonesia. Basically, a foreign judgment cannot be recognized and enforced in Indonesia. That is because the Reglement op de Rechtsvordering (RV) is still intact and applicable under Indonesian law. RV is the code of civil procedure created for European residents during the Dutch colonial rule in Indonesia. As the same approach taken by AB, RV is adopted into the Indonesian legal system after the Indonesian independence to fill the gap until it is substituted by the prospective rules in the future. The article referred to in the RV is Article 436, which stipulates that, ““1. Alle vonnissen van buitenlandse rechtbanken zijn niet-afdwingbaar op Indonesisch grondgebied, behalve in de zaken genoemd in artikel 724 van het Wetboek van Koophandel en in andere regelgeving. 2. Die andere zaken kunnen opnieuw voorgelegd worden aan en berecht worden door Indonesische rechtbanken.” [1. All judgments delivered by foreign courts are unenforceable in Indonesian territory except in the matters mentioned in Article 724 of the Commercial Code and in other regulations. 2. Those other matters can be brought again in front of and be judged by Indonesian Courts.”] Based on this article, recognition and enforcement of foreign judgments cannot be implemented in Indonesia except for foreign judgments relating to conditions regulated in Article 724 of the Commercial Code, that is foreign judgments relating to the calculation and replacement of Avarij (compensation for losses in shipping). In practice, Indonesian legal scholars argue that Article 436 RV can be deviated. For certain types of judgments, such as declaratory and constitutive, Indonesian legal scholars agree that foreign judgments may be recognized and enforced in Indonesian territory. A declaratory judgment is a judgment made to validate a particular legal status or situation (for instance, the validity of a contract or heirship), while a constitutive judgment is a judgment that creates a new legal condition or abolishes an existing legal condition (for example, an adoption, an annulment of a contract or a divorce). The evidentiary practice of this recognition and enforcement can be seen in the decision issued by the High Court of Semarang in 2019, where the court recognized the decision of the Judicial State of Illinois Circuit County of Winnebago No. 2016 D 48 (Decision of the High Court of Semarang No. 473/PDT/2019/PT SMG). The case was about child custody dispute between two Indonesian citizens who live in Illinois, the United States. The parents of the child agreed to divorce but were unable to agree on custody. The Illinois tribunal had held that the applicant has a right to custody and prohibited the mother from taking the child out of the United States. However, the mother did not obey the decision and flew away with the child to Indonesia. Feeling aggrieved by the mother’s act, the applicant asked the High Court of Semarang to recognize and enforce the Illinois Court’s judgment. The High Court of Semarang did recognize the Illinois judgment by rendering a decision stating that the mother had unlawfully brought the child to Indonesia and ordering the mother to take the child back to the United States to live with the applicant. The mother appealed against this decision to the Indonesian Supreme Court. In her appeal, the mother argued that a foreign judgment is not recognizable and enforceable in Indonesia under Article 436 RV (Decision of the Supreme Court No. 2021 K/Pdt/2020). The Indonesian Supreme Court supported the mother’s argument and found that the Illinois judgment cannot be recognized and enforced in Indonesia. The Indonesia Supreme Court then annulled the applicant’s custody and gave the rights to the mother. The above-mentioned case illustrates the current practice of the recognition and enforcement of foreign judgments in Indonesia, which arguably seems inconsistent and does not provide legal certainty to the parties. In short, Article 436 RV has always been used as a basis for courts to refuse recognition and enforcement of foreign judgments even if courts acknowledge the existence of theories suggesting that recognition and enforcement of foreign judgments might still be possible. A former Supreme Court judge, M. Yahya Harahap, has expressed the view that the only way to recognize and enforce a foreign judgment in Indonesia is by using the judgment as the legal basis for filing a new lawsuit before an Indonesian court (M. Y. Harahap, 2016:136). Then, the foreign judgment can be used as prima facie evidence, particularly written evidence, either as an authentic deed or merely as a legal fact. The fourth Chief Justice of the Indonesia Supreme Court, Soebekti, later endorsed this viewpoint, asserting that foreign judgments hold the same weight as authentic deeds under Article 1868 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) (R. Subekti, 1981:28). In other words, the dispute must be retried before Indonesian courts to start over and examine the merits of the case. The government's reluctance to shift its perspective is a key factor in the continued relevance of Article 436 RV, as it maintains the stance that foreign judgments should not be recognized in order to safeguard judicial and territorial sovereignty (S. Gautama, 2002:277). In general, this stance could only be overridden if Indonesia has a reciprocal agreement with other states for the mutual enforcement of judicial decisions. As of now, Indonesia has not signed any international agreements, treaties, or conventions concerning the recognition and enforcement of foreign judgments, nor does it have any bilateral agreements on this issue.Dwi Satya Nugroho Aji (Hakim PN Dataran Hunipopu, Maluku)

A Study on Court Security from California Judge

article | Opini | 2025-04-19 09:55:54

JUDICIAL independence is one of the main factors in law enforcement in order to protect the human rights. Judicial body must be independent in balancing the powers held by the legislature and the executive. Based on the Basic Principles of Judicial Independence, this judicial independence must be guaranteed by the state as obligated in the constitution. Seeing the fact that maintaining independence is very vulnerable to any threats, therefore Court Security is an urgent. A few months ago, around October 2024, several judges from Indonesia had the opportunity to learn about court security from the District Court of California. Ni Wayan Wirawati – Judge East Jakarta District Court; Maria Chirstine Natalia Barus – Vice Chief of Sei Rampah District Court; Risky Edi Nawawi – Judge Sanggau District Court; and Nenny isfiany Sitohang – General Court Directorate were invited as the Indonesia delegates for the National Association of Women Judges 2024 Annual Conference in San Diego, California, United State of America.On this occasion, were discussed many aspects of judiciary one of them is regarding court security. Judge from the California District Court, David O. Carter, explained how they maintain safety in at the trials. Judge Carter showed 2 (two) videos, showed how tight the security was during the trial of the Mexican mafia gang as defendant regarding cases when they stabbed a black man 13 times in prison.At the trial, each defendant was closely guarded by a U.S. Marshal. However, one of the Defendants was still able to attack another defendant with a knife that he kept in his rectum. Judge David O. Carter said that there was a message of brutality that the defendant wanted to show to the government, or event to threat the judges. From the videos, Judge David Carter emphasized the importance of judicial security.In the United State of America, court security is carried out by the U.S. Marshals Service. This institution is an executive agency that assists the courts in security matters. The U.S. Marshals Service is tasked with protecting and ensuring the safe conduct of trial proceedings, and protecting federal judges, jurors, and members of the federal court. The US Marshals Service develops, manages, and implements security systems and screening every person and equipment that enter each courthouse. They also filter every explicit threats such as inappropriate communications against the judges and other court personnel. One of US Marshal agent, Marshal Richard P. Lumagui explained that some of the special technologies were built for the Federal court. Such as the judge's desks in the courtroom have been designed to be bulletproof and a panic buttons are directly connected to the Marshal's control room so that the Marshal may know any incidents that threaten the judge's security.To ensure judge’s security they also designed separate elevators for judges, court staff, public and the defendants. Judges also have their own separate parking area from the public. This is showing how serius the court an US Marshal maintain security for any person in the court, especially for their judges. The US Marshal also provides a securiy manual books for judges that covers any conditions:Inside House:Utilize home security systems such as using a panic room with a panic buttonIt is recommended not to open the door to strangers, always confirm their identity Outside House:always ensure a clear view for security cameras;put up stickers that show your house is under security servicesinstall lighting that can detect movement, make sure the house has proper lighting at nightSending and receiving letters/packagesbe wary of letters/packages without clear sender informationdo not pick up packages directly at the door. Make sure the sender has left your home areanever leave your mail in the mailbox overnight when travelingThis experience shows how serious the United States in ensuring the security of their judges. Not only in the courthouse but even at home, their security is really taken carefully. These lessons are very important for Indonesia in building the security system for judges and courts in the future.Maria Christine Natalia Barus, S.IP., S.H., M.H.(Vice Chief of Sei Rampah District Court, Indonesia)

Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

article | Opini | 2025-04-18 07:30:26

Herbert L. Packer dalam buku The Limits of The Criminal Sanction (1968) menggolongkan sistem peradilan pidana dalam dua jenis tipologi yakni crime control model dan due proces model, dimana due proces model merupakan kontra reaksi terhadap crime control model. Dua model sistem peradilan pidana tersebut secara prinsipil memang memiliki konsep dan karakter yang berbeda sebagai mesin operasionalisasi sistem peradilan pidana.Sistem crime control model tumbuh dilatarbelakangi oleh fenomena tingginya angka kriminalitas di Amerika. Atas kondisi tersebut, dibutuhkan sistem peradilan pidana yang efisien, artinya harus cepat dan tuntas agar kasus tidak menumpuk. Setiap perkara pidana yang masuk harus segera diproses dan diadili. Oleh sebab itu, asas yang digunakan adalah asas praduga bersalah (presumption of guilt). Bahwa setiap orang yang diperiksa dalam peradilan dianggap bersalah sampai dibuktikan sebaliknya.Crime control model memiliki beberapa ciri karakter khas diantaraya: tindakan represif sebagai reaksi terhadap terjadinya tindak pidana menjadi hal yang utama dalam proses peradilan pidana sehingga tersangka/terdakwa diletakkan sebagai obyek pemeriksaan, mengutamakan efisiensi waktu, penegakan hukum harus dilaksanakan berdasarkan prinsip cepat dan tuntas, menggunakan asas praduga bersalah (presumption of guilt), serta menitikberatkan kualitas temuan fakta administratif.Sedangkan due proces model, sebagai reaksi terhadap crime control model secara core menitikberatkan pada tiga aspek yakni perlindungan hak-hak individu (tersangka/terdakwa) dalam proses peradilan pidana, pengaturan kewenangan aparat penegak hukum secara limitatif, serta pengaturan kesetaraan kedudukan antara penuntut umum dan terdakwa dimana tersangka/terdakwa diletakkan sebagai subyek pemeriksaan bukan sebagai obyek pemeriksaan semata.Ciri dan karakter khas dari due proces model sebagai berikut: menekankan pada pencegahan dan penghapusan kesalahan mekanisme administrasi peradilan, menempatkan individu (tersangka/terdakwa) sebagai subyek yang dihormati hak-haknya dalam pemeriksaan, pengaturan kewenangan aparat penegak hukum agar tidak bertindak sewenang-wenang, asas praduga bersalah, pencarian fakta menggunakan prosedur formal, mengutamakan kualitas bukan kecepatan, dan kesetaraan hukum antara individu (tersangka/terdakwa) dan representasi negara (aparat penegak hukum).Konklusinya, crimes control model merupakan sistem peradilan pidana yang bersifat retributif dengan penekanan pada kontrol kekuasaan negara guna menciptakan ketertiban. Sedangkan due proces model merupakan sistem peradilan pidana yang bersifat protektif dengan penekanan pada pencegahan dan penghapusan kesalahan mekanisme administrasi peradilan, dengan menempatkan individu (tersangka/terdakwa) sebagai subyek pemeriksaan yang memiliki hak serta harkat-martabat sebagai manusia. Due proces model berusaha menjamin perlindungan individu dari kesewenang-wenangan representasi negara dalam penegakan hukum. Due proces model ini merupakan representasi dari prinsip due proces of law atau sistem penegakan hukum yang benar/adil. Karena pada prinsipnya, menegakkan hukum harus dilaksanakan dengan prosedur hukum yang fair, akuntabel, dan berkeadilan. Inilah esensi due proces of law.HIR dan KUHAPSecara retrospektif, sistem peradilan pidana di Indonesia sendiri pernah beraliran crimes control model yakni saat berlakunya Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku pada tahun 1941 sampai 1981. HIR merupakan pembaharuan dari Inlandsch Reglement (Stb. 1848 Nomor 16) yang berlaku di Hindia Belanda sejak 1848 sebagai aturan hukum acara pidana bagi warga Hindia Belanda (non Eropa) sedangkan bagi warga Eropa di Hindia Belanda berlaku Reglement op de Strafvordering (Stb. 1849 Nomor 63). Pada tahun 1981 melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dibentuklah KUHAP yang saat itu disebut “Karya Agung” bangsa Indonesia. Pembentukan KUHAP mengandung dua nilai yakni prinsip dekolonialisasi dan penguatan due proces of law dalam konteks hukum acara pidana.Secara substantif, HIR memang cenderung kental beraliran crimes control model sedangkan KUHAP cenderung masuk dalam tipologi due proces model yang belum matang mengingat pembentukan KUHAP dibentuk di era otoritarianisme orde baru. Berikut perbandingan substansial antara HIR dan KUHAP. Pertama: dalam sistem tindakan, HIR menonjolkan kekuasaan dari pejabat pelaksana hukum, sedangkan KUHAP mengutamakan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.Kedua: dalam sistem pemeriksaan, HIR memberi perhatian lebih diutamakan pada fungsionalisasi pejabat yang diserahkan kekuasaan dan menempatkan terdakwa sebagai obyek, sedangkan KUHAP memberi perhatian yang lebih besar ditujukan kepada pembinaan sikap petugas pelaksana hukum dengan pembagian wewenang dan tanggung jawab secara tegas dan tersangka/terdakwa dilindungi oleh asas-asas “praduga tak bersalah” serta perangkat hak-hak tertentu. Ketiga. dalam sistem pengawasan, HIR memiliki pengawasan secara vertikal (dari atasan pejabat yang baru), sedangkan KUHAP memiliki pengawasan secara vertikal sekaligus horizontal (dari sesama instansi dan atau unsur-unsur penegak hukum lainnya, misalnya penasihat hukum melalui lembaga pra peradilan atau mekanisme prapenuntutan). Keempat, dalam tahap pemeriksaan, HIR memiliki proses pidana terdiri atas pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan sidang pengadilan (dan upaya hukum), lalu pelaksanaan putusan Hakim, sedangkan KUHAP memiliki proses pidana terdiri dari penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan pengadilan (dan upaya hukum).Revisi KUHAPSetelah 44 tahun berlaku, revisi terhadap KUHAP merupakan sebuah konsekuensi logis dari kebutuhan dan dinamika berhukum kita khususnya terkait perubahan KUHP yang memerlukan substansi KUHAP yang sefrekuensi. Secara praktik, KUHAP masih memiliki banyak kekurangan khususnya terkait perlindungan hak-hak hukum tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana, misalnya praktik kekerasan dalam pemeriksaan yang terus berulang. Oleh sebab itu, revisi KUHAP menjadi urgen sebagai bagian memperkuat prinsip due proces of law dalam sistem peradilan pidana kita. Due proces of law merupakan sistem peradilan pidana yang menitikberatkan operasionalisasi peradilan pidana sebagai sarana untuk menjamin terciptanya proses peradilan yang fair, humanis, dan akuntabel guna mencegah praktik arogansi kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia.Revisi KUHAP sendiri saat ini tengah memasuki fase penyusunan. Berdasarkan Draft RUU KUHAP yang dibagikan oleh DPR, RUU KUHAP terdiri dari 20 Bab dan 334 Pasal dengan 7 hal substansi (dikutip dari Hukumonline.com, 15 April 2025). Pertama, RUU KUHAP tidak mengubah kewenangan aparat penegak hukum. Polisi masih sebagai penyidik utama, dan jaksa sebagai penuntut tunggal. Kedua, RUU KUHAP tak banyak mengubah banyak ketentuan KUHAP lama. Tapi intinya RUU KUHAP harus selaras kebaruan yang diusung dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku efektif 1 Januari 2026. Ketiga, RUU KUHAP berupaya maksimal mencegah kekerasan yang kerap terjadi dalam pemeriksaan. Misalnya, Pasal 31 RUU KUHAP mewajibkan setiap tahap pemeriksaan harus ada kamera pemantau atau CCTV, termasuk setiap tempat penahanan. Keempat, ada bab khusus memperkuat peran advokat. Berbeda dengan KUHP lama, di mana peran advokat sangat terbatas yakni duduk, mencatat, dan mendengar tak boleh mengajukan keberatan. Tapi RUU KUHAP mengubah ketentuan itu sehingga advokat bisa protes jika dalam pemeriksaan terindikasi ada intimidasi. Kelima, memaksimalkan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) yang diatur dalam bab khusus. Arah RJ menegakan hukum dengan mengakomodasi kepentingan korban dan ganti kerugian korban. RJ berlaku dari penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan. Jika dalam berbagai tahap itu ada kesepakatan untuk RJ, perkara yang berjalan bisa dihentikan. Keenam, RUU KUHAP melindungi kelompok rentan, perempuan, lansia, dan disabilitas. Ketujuh, syarat penahanan, di mana KUHAP lama mengatur penahanan itu berdasarkan 3 hal subjektif yang ditafsirkan penyidik yaitu kekhawatiran melarikan diri, mengulangi pidana, dan menghilangkan barang bukti. RUU KUHAP mengubah syarat tersebut, sehingga harus ada tindakan konkret akan melakukan ketiga hal yang dikhawatirkan penyidik itu. Pada hakikatnya, semangat dan core utama dalam revisi KUHAP diarahkan untuk memperkuat sistem peradilan pidana berdasarkan konsep due proces of law dengan mempertimbangkan konsep daad-dader-victim strafrecht dalam hukum pidana materil yang baru (KUHP baru). Beberapa kekurangan KUHAP terkait perlindungan hak-hak hukum tersangka/terdakwa akan diperbaiki, misalnya terkait perubahan pengaturan perihal penahanan. Dalam KUHAP lama, penahanan menjadi core utama sepanjang terpenuhi syarat obyektif, sedangkan syarat subyektif seakan hanya menjadi stempel saja. Syarat subyektif yakni kekhawatiran tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana. Kedepan, alasan penahanan tidak sekadar kekhawatiran semata yang sifatnya subyektif melainkan kekhawatiran tersebut harus dapat dibuktikan dan terukur secara nyata. Selanjutnya, perlindungan terhadap tersangka/terdakwa dari potensi kekerasan dalam pemeriksaan diperkuat melalui pemasangan cctv dan penguatan peran advokat dalam pemeriksaan. Pada intinya, revisi KUHAP baru dikonstruksikan untuk menopang sistem peradilan pidana yang humanis, akuntabel, dan restoratif dengan titik keseimbangan perlindungan terhadap pelaku dan korban. (ldr/snr)

Tantangan MA dan Peluang Menuju Peradilan Modern Berintegritas

article | Opini | 2025-04-17 17:00:56

Manajemen sebuah organisasi tentunya terdapat suatu dinamika yang dinamis dengan tujuan menuju ke arah perubahan yang lebih baik, namun dalam aplikasinya tentunya mengalami berbagai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.Begitu juga dengan Mahkamah Agung (MA) mengalami berbagai dinamika yang pada akhirnya menjadi sebuah tantangan untuk mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misinya menuju peradilan modern yang berbasis teknologi.Isu suap merupakan salah satu isu hangat yang senantiasa menjadi perhatian serius yang harus diantisipasi dan penanganannya dilakukan baik secara konvensional maupun berbasis teknologi modern, serta kerja sama antar lembaga guna untuk meminimalisir setiap tindakan yang bertentangan atau melanggar etika. Secara khusus seperti suap dan pelanggaran Kode Etik Pedoman Prilaku Hakim (KEPPH) bila ditinjau secara umum.Penanganan setiap peristiwa hukum yang bertentangan dengan KEPPH dilakukan secara konsisten dan terukur dengan menghormati proses hukum yang sedang berjalan hingga putusan yang berkekuatan hukum tetap dan azas praduga tidak bersalah guna memberikan penyelesaian masalah secara adil tanpa mendatangkan masalah lain secara hukum dan ketentuan perundangan-undangan.Setiap langkah yang ditempuh selanjutnya akan dilakukan evaluasi dalam bentuk laporan yang dilaporkan kepada publik setiap tahunnya dalam bentuk laporan yang di dalamnya memuat statistik. Mulai dari penyelesaian perkara secara teknis yudisial dan non teknis yudisial sebagai dasar acuan transparansi dan akuntabilitas peradilan modern yang kemudian dijadikan barometer kebijakan kedepan untuk jangka pendek, menengah maupun panjang.Pelaporan terkait KEPPH juga menjadi hal penting yang dilaporkan oleh Ketua MA dihadapan Presiden dalam setiap kegiatan Laporan tahunan (Laptah) yang di agendakan oleh MA dan laporan tersebut mencakup jumlah laporan KEPPH yang ditangani dan hasil tindaklanjutnya dinyatakan bersalah dengan hukuman tingkat berat, sedang dan ringan juga yang dinyatakan tidak bersalah dengan pemulihan nama baik yang kesemuanya di jatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.Dalam hal pelaporan tersebut untuk melakukan penilaian mandiri dan merupakan bahan penilaian secara umum dari instansi yang berwenang dengan pertimbangan yang holistik untuk memberikan reward atau punishment terhadap setiap organisasi dan juga MA.Ada segelintir pihak yang merasa malu terhadap kinerja hakim yang telah mencoreng profesi hakim secara profesi dan ada yang merasa pantas untuk di hakimi secara adat dan ada pula bertindak objektif dengan berbagai pertimbangan yang tidak menuhankan manusia dan dilandasi kajian yang holistik dan berkeadilan.Pelaporan dalam Laptah Tahun 2024 dari Ketua MA dihadapan Presiden mendapatkan apresiasi dari Presiden dengan beberapa langkah perubahan antar lembaga yang direncanakan kedepan. Mulai dari modernisasi peradilan berbasis IT guna mendukung Asta Cita Pemerintah, peningkatan dan pemenuhan hak hakim serta fasilitas pendukung lainnya seperti fasilitas rumah dinas, sarana transportasi dan uang kemahalan serta kesehatan yang dirasakan oleh hakim di daerah yang dirasakan oleh pembuat kebijakan dirasakan masih memprihatinkan.Komitmen tersebut sudah mulai berjalan dan secara objektif tidak dapat dijadikan penghenti langkah perubahan, namun harus terus dijadikan bahan evaluasi apakah dalam bentuk robotik sistem dalam penunjukan majelis hakim yang menangani sebuah perkara (terlepas dari pro dan kontra atas kewenangan Ketua baik di tingkat Pertama maupun Banding), sistem promosi dan mutasi hakim serta berbagai permasalahan lain non yudisial terkait besaran APBN yang akan di peruntukan kepada MA disamping tata kelola anggaran di internal MA yang terdiri dari 4 lingkungan peradilan yang berkeadilan dan akuntabel yang dilandasi kehati-hatian dalam tata kelola permerintahan yang baik dan profesional.Semua pihak menjadi penentu kebijakan dan kemajuan bangsa. Karenanya diperlukan perencanaan, proses, pelaporan dan evaluasi serta tindak lanjut nyata menuju Indonesia yang lebih baik dan dihargai di mata dunia.Komitmen MA untuk melakukan perubahan dan meningkatkan kinerjanya sudah mulai berjalan. MA juga melakukan evaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan efektif dan efisien. Dengan demikian, MA dapat mewujudkan peradilan modern yang transparan dan akuntabel berbasis teknologi dan berintegritas.Karenanya keseluruhan hasil evaluasi kinerja MA menunjukkan bahwa lembaga khususnya MA telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir kekurangan dan meningkatkan kinerjanya dan mewujudkan peradilan modern yang berbasis teknologi. Namun, masih ada tantangan yang dihadapi dan perlu diatasi untuk mencapai tujuan tersebut sehingga harus terus berbenah dan dengan komitmen serta evaluasi yang terus-menerus, MA dapat mewujudkan peradilan yang adil dan transparan bagi masyarakat Indonesia.

Absurditas Hukum dalam Novel Letranger Karya Albert Camus

article | Opini | 2025-04-17 08:20:33

Summum ius, summa iniuria adalah sebuah adagium klasik dalam tradisi ilmu hukum. Secara historis, adagium ini diajukan oleh Cicero untuk mengkritik penegakan hukum yang legalistik dan formalistis di era Romawi. Secara harfiah, summum ius, summa iniuria diartikan sebagai: keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi.Apa maksud adagium itu? Secara ideal, setiap hakim dalam memutus perkara pasti yakin bahwa putusannya berdasarkan keadilan. Namun secara realistis, dari sudut pandang terdakwa, korban, atau publik, putusan tersebut dapat dianggap tidak adil. Artinya, hukum itu relatif. Relativitas hukum ini bahkan diamini oleh Prof. J.E. Sahetapy, yang pernah menyatakan: Law is the art of interpretation (hukum adalah seni menafsirkan). Bahkan dengan gaya satir, Beliau mengumpamakan hukum seperti kecantikan. Kecantikan tergantung mata yang memandang.Potret keadilan yang bersifat relatif bahkan absurd digambarkan secara jelas, dramatis, dan tragis oleh Albert Camus dalam novelnya The Stranger (L’Étranger), yang terbit pada 1942 di Prancis. Terjemahan Indonesianya berjudul Orang Asing, diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Novel tersebut berkontribusi besar dalam membawa Camus meraih penghargaan Nobel Sastra pada 1957, dan mencatatkan namanya sebagai seorang filsuf absurditas, sejajar dengan Sartre dan Kafka. Novel L’Étranger mengisahkan seorang tokoh bernama Meursault, yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan karena dinyatakan bersalah telah membunuh seorang pria Arab di pantai. Namun, jika kita membaca novel tersebut dengan pendekatan ilmu hukum pidana modern, kita akan menilai bahwa Meursault bukanlah pembunuh yang layak dijatuhi hukuman mati. Mengapa? Karena hakim tidak menghukum Meursault berdasarkan alat bukti yang kuat atau saksi mata yang melihat langsung pembunuhan. Meursault justru dihukum karena hakim menilai moralnya tidak wajar. Ia dianggap “tidak berperasaan” karena tidak menangis atau menunjukkan kesedihan saat ibunya meninggal di panti jompo. Karena itu, ia dianggap tidak memiliki simpati. Dan karenanya, ia pasti tega membunuh pria Arab secara berencana. Sesederhana itu!Padahal, Camus menggambarkannya Meursault sebagai seseorang yang tengah mengalami krisis eksistensial (keterasingan). Ia adalah pribadi yang mempertanyakan segala nilai hidup: mengapa manusia harus hidup? Apa makna hidup? Ia tidak bersedih bukan karena tidak mencintai ibunya, melainkan karena ia sendiri tidak lagi menemukan titik makna dalam hidup. Ia tidak bisa berpura-pura merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan. Di tengah absurditas tersebut, ia justru diadili dan dihukum bukan semata karena perbuatannya, tetapi karena cara ia menjalani hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi sosial.Camus melalui tokoh Meursault memperlihatkan betapa kehidupan yang absurd dapat berakhir tragis dalam sistem hukum yang rigid dan hitam-putih. Meursault dianggap melakukan pembunuhan berencana, padahal jika ditelaah dari narasi peristiwa, ia menembak karena dorongan spontan dan situasi yang membingungkan, bahkan disebutkan karena silau matahari—sebuah metafora dari absurditas itu sendiri.Melalui novel L’Étranger, Camus menunjukkan bahwa dalam hidup manusia yang absurd, manusia harus berhadapan dengan hukum yang tak kalah absurd: bersifat rigid, objektif, dan mengabaikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang mengalami kebimbangan, kesepian, dan keterasingan. Novel seperti L’Étranger adalah pelajaran fiksi hukum yang wajib direnungkan. Sebab tantangan hukum modern, seperti dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, adalah: hukum modern tidak menjamin bahwa yang benar akan menang dan yang salah akan kalah. (LDR)

Mencermati Nebis In Idem dalam Perkara Perceraian

article | Opini | 2025-04-16 09:05:03

TUJUAN perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun ada kalanya suatu perkawinan tidaklah berjalan sesuai harapan. Permasalahan yang timbul terlalu kompleks hingga tidak ada ujungnya menyebabkan perceraian sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri ikatan perkawinan. Secara normatif perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Adapun yang menjadi alasan perceraian adalah Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut dijelaskan terdapat 6 (enam) alasan seseorang mengajukan gugatan perceraian.Dari beberapa alasan perceraian dalam Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 penulis tertarik untuk membahas alasan pengajuan gugatan perceraian yang sering digunakan oleh Penggugat yaitu Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 mengenai adanya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri secara terus menerus hingga tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam membina rumah tangga. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana jika gugatan tersebut pada sidang pengadilan dapat didamaikan oleh mediator atau gugatan tersebut telah mendapat putusan dengan amar ditolak karena Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pada kemudian hari permasalahan yang sama muncul hingga Penggugat mengajukan kembali gugatan pada pengadilan dengan alasan yang sama serta para pihak yang sama pula. Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai nebis in idem? Dalam hukum pengajuan gugatan dengan pokok permasalahan yang sama disebut dengan istilah nebis in idem. Nebis in idem merupakan salah satu asas dalam hukum perdata yang telah dijelaskan pada Pasal 1917 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa sebuah perkara tidak boleh diperiksa kembali untuk kedua kalinya oleh pengadilan yang sama dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) jika objek perkara, para pihak serta tuntutan didasarkan pada alasan yang sama;Untuk menghindari adanya pengulangan perkara dengan objek dan subjek yang sama serta telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara Yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem. SEMA tersebut tidak membahas secara khusus mengenai nebis in idem dalam gugatan perceraian, namun masih secara umum sebagai rambu-rambu bagi pejabat pengadilan mulai dari Panitera untuk lebih cermat memeriksa berkas perkara, ketua pengadilan memberi catatan untuk majelis hakim mengenai keadaan tersebut dan majelis hakim diberikan kewajiban untuk mempertimbangkan baik pada putusan eksepsi maupun pada pokok perkara, mengenai perkara serupa yang pernah diputus di masa lalu. Tidak adanya peraturan khusus mengenai pedoman mengadili gugatan perceraian untuk menghindari adanya perkara nebis in idem berakibat pada adanya inkonsistensi putusan pengadilan tentang penerapan asas tersebut dalam perkara gugatan perceraian; Menurut penulis pengajuan gugatan perceraian untuk kedua kalinya dengan alasan sebagaimana Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 harus dicermati lebih dalam, sehingga hakim tidak serta merta menyatakan bahwa gugatan tersebut nebis in idem. Hakim dalam menerima perkara tentunya akan membaca gugatan agar mengetahui akar permasalahan apa yang timbul sehingga menyebabkan seorang mengajukan sebuah gugatan di pengadilan. Meskipun pengajuan gugatan perceraian diajukan dengan alasan yang sama, maka hakim harus menilai apakah terdapat peristiwa hukum baru dalam pengajuan gugatan perceraian tersebut;Apabila diresapi lebih dalam, seorang yang mengajukan perceraian untuk kedua kalinya dengan alasan yang sama memperlihatkan bahwa Penggugat tidak mampu lagi untuk mempertahankan perkawinannya karena berbagai faktor. Beberapa faktor penyebab perselisihan yang sering muncul yaitu faktor ekonomi, agama, pendidikan, komunikasi, stres, pengaruh keluarga, serta permasalahan keluarga lainnya. Gugatan perceraian tentunya tidak dapat disamakan dengan gugatan perdata yang lain. Hal tersebut karena masalah perceraian melibatkan permasalahan hati nurani, emosi dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Perselisihan yang terjadi secara terus menerus dikarenakan faktor-faktor tersebut tentunya menyebabkan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat tercapai;Menurut penulis, alasan perceraian sebagaimana Pasal 19 huruf f tidak menjelaskan secara rinci faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pertengkaran secara terus menerus. Hal tersebut tentunya dapat menjadi celah bagi hakim untuk menggali lebih dalam fakta hukum yang sebenarnya terjadi, sehingga hakim dapat memberikan keadilan seadil-adilnya dalam putusan gugatan perceraian meskipun dengan alasan perceraian yang sama. Karena meskipun dengan alasan perceraian yang sama bisa jadi faktor utama penyebab perselisihan yang terjadi akan berbeda. Sebagai contoh pada saat pengajuan gugatan pertama pertengkaran tersebut bermula karena faktor ekonomi, namun oleh mediator dapat didamaikan atau pengajuan perceraian ditolak oleh pengadilan. Kemudian karena muncul permasalahan yang baru berakibat terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus. Peristiwa hukum baru dalam perselisihan dan pertengkaran pasca pengajuan permohonan gugatan perceraian yang ditolak oleh pengadilan bukan nebis in idem, tetapi merupakan kelanjutan peristiwa hukum yang mendeskripsikan puncak perselisihan sehingga tidak dapat rukun kembali. Tentunya alasan-alasan yang lebih mendasar itulah yang menjadikan objek alasan perceraian dapat bergeser.Hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan untuk menentukan bagaimana akhir dari perkara yang ditanganinya. Hakim dapat menggunakan hati nuraninya untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya, bukan hanya sekedar formalitas untuk mengakhiri sebuah perkara. Sehingga untuk menolak sebuah perkara dengan alasan nebis in idem harus dinilai lebih mendalam apakah akan bermanfaat jika gugatan tersebut ditolak dengan pertimbangan karena alasan perceraian yang digunakan adalah sama dengan perkara yang telah mendapat putusan sebelumnya, sedangkan dalam sebuah putusan, hakim bukan hanya memberikan formalitas untuk mengakhiri sebuah gugatan namun juga memberikan putusan yang dapat memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat. Dari pandangan tersebut menurut hemat penulis meskipun dasar alasan perceraian adalah sama, namun faktor utama yang mendasari adanya pertengkaran terus menerus antara suami istri adalah berbeda, maka alasan tersebut bukanlah nebis in idem. Dalam gugatan perceraian asalkan Penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya maka amar putusan dapat menjadi putusan yang positif, dengan pertimbangan-pertimbangan yang tentunya dapat diterima bagi para pihak. Untuk menghindari adanya inkonsistensi putusan gugatan perceraian dengan alasan yang sama, maka diperlukan pengaturan khusus tentang nebis in idem dalam gugatan perceraian yang dapat dituangkan dalam bentuk SEMA untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan dalam perkara gugatan perceraian. (ASN/LDR)Iva Amiroch (Calon Hakim PN Jepara)

Perubahan Iklim, Yurisprudensi dan Hukum Lingkungan Pakistan

article | Opini | 2025-04-15 12:05:05

SHAZIB Saeed, adalah seorang Hakim Distrik dan Sidang Pakistan, yang saat ini bertugas di Bahawalnagar. Beliau memiliki pengalaman akademis dan profesional yang luas. Di antaranya sebagai Staf pengajar tamu di Akademi Yudisial Punjab, Kolese Hukum Kinnaird, dan Kolese Hukum Quaid-e-Azam, Instruktur Senior, Direktur Riset, dan Direktur Administrasi di Akademi Yudisial Punjab. Selain itu, Shazib Saeed merupakan Ketua Pengadilan Lingkungan Punjab, dan menjadi Anggota Komite Penasihat Pengadilan Tinggi Yang Terhormat untuk Kehakiman Distrik. Beliau juga berkontribusi dalam membuat Kompilasi penilaian yang dilaporkan dan tidak dilaporkan dari Pengadilan Lingkungan Punjab yang kemudian diterbitkan sebagai "Keputusan Pengadilan Lingkungan Punjab". Shazib Saeed adalah penulis berbagai penilaian yang dilaporkan di bidang hukum lingkungan sehingga banyak berkontribusi pada pengembangan yurisprudensi lingkungan di Pakistan. Keahlian dan komitmen Shazib Saeed terhadap hukum lingkungan telah memberikan dampak yang signifikan terhadap lanskap peradilan Pakistan. Pada artikel ini, Shazib Saeed akan memaparkan isu krusial tentang Perubahan Iklim dan Hukum, Perkembangan Yurisprudensi dalam Kerangka Lingkungan Pakistan (Climate Change and the Law, Jurisprudential Developments in Pakistan's Environmental Framework). Berikut artikel lengkapnya:Shazib Saeed (Hakim Distrik Bahawalnagar, Pakistan)It is said Environment is no one’s property but everyone’s responsibility Pakistan is a country which is “more sinned against than sinning” on environmental issue. Since it contributes less than 01 percent in global carbon emission but stands amongst the vulnerable countries. Climate change has become a unique human rights issue of epic proportion for Pakistan. Recent floods are harbinger of Goliath lurking to strike. It is no exaggeration to say that right to life is blatantly threatened by menace of climate emergency which is catastrophic. It is ensnaring death trap for human civilization.The environmental hazards posed to the region due to rapid industrialization, urbanization, and agricultural development has led to common problems such as pollution of rivers; a rise in industrial waste and vehicle emissions; handling, storage, and transportation of dangerous goods; contamination of water, land, and coastal resources; air pollution; waterlogging; increase in the use of agrochemicals; and deforestation. All these threats to the environment call for an integrated approach.Word environment is not mentioned in our constitution however article 9 of the Constitution dealing with a fundamental rights provides that no person shall be deprived of life or liberty save in accordance with law. The word `life' has been interpreted in the case reported as Ms. Shehla Zia v. WAPDA (PLD 1994 SC 693) as under: "The word `life' in the Constitution has not been used in a limited manner. A wide meaning should be given to enable a man not only to sustain life but to enjoy it."However, it is now an internationally recognized principle that if there is conflict between a personal right and environment, the personal right must yield in favour of environment (1993 SCMR 1451).Judicial Activism in Developing Environmental JurisprudenceThe most significant feature in the environmental landscape of Pakistan is the judicial activism that has responded to public interest environmental litigation. The superior courts have been liberally responsive to environmental issues and complaints, including on the jurisdictional issue of locus standi, the main body of environmental jurisprudence in Pakistan has been laid down by the Supreme Court and the High Courts.Landmark Green PrecedentsIn the landmark decision in Shehla Zia vs. WAPDA,[PLD 1994 Supreme Court 693] the Supreme Court of Pakistan held that the right to a clean and healthy environment was part of the Fundamental Right to life guaranteed by Article 9 of the Constitution and the Fundamental Right to dignity provided in Article 14.  In this case, the Supreme Court also introduced the precautionary principle of environmental law, with specific reference to its inclusion in the Rio Declaration on Environment and Development, into Pakistani jurisprudence.In the Khewra Mines Case [1994 SCMR 2061] petitioners sought enforcement of the right of the residents to have clean and unpolluted water against coal mining activities in an upstream area. The Supreme Court affirmed its expansive approach to Article 184(3) and stated that 'the right to have unpolluted water is the right of every person wherever he lives.In dealing with noise pollution, the Supreme Court in Islamudin Case, [PLD 2004 SC 633) restrained the defendants from creating public nuisance in their workshops, stating that even noise made in carrying on a lawful trade, if injurious to the comfort of the community, is a public nuisance.The Supreme Court took suo moto action [Suo Motu case No. 13 of 2005, Report 2005-2006, SC of Pakistan, Golden Jubilee Edition, 106] in Islamabad Chalets and Pir Sohawa Valley Villas, restraining the construction of chalets and villas situated at a distance of two kilometers of the Margalla Hills, where the housing scheme was launched. The housing scheme in question would have had a direct bearing on the eco-system of the Margalla Hills.The Supreme Court also took suo moto action in the New Murree Project case [2010 SCMR 361] which posed grave environmental hazard as its initiation would have destroyed 5,000 acres of forest. The project was ultimately disbanded and the court reiterated the global environmental law principles of intergenerational equity as well as sustainable development in order to achieve goal of healthy environment, not only for present population but also for future generations.In the IMAX Cinema Case [2006 SCMR 1202] the Supreme Court opined that conversion of a public park into a shopping mall and setting up of the IMAX cinema without observing the codal formalities of the legal framework in particular non filing of the initial environmental examination was grossly illegal and was an offence under the Act.In the Canal Road Expansion Case [2011 SCMR 1743] the question before the Supreme Court was the environmental impact of widening the 14 km road along the banks of the canal that runs through Lahore. It was contended that not merely would the scheme devastate the green belt along both sides of the canal, but would even fail to achieve its stated objective of improving traffic flow in order to reduce traffic congestion in the city. The Court while holding that green belt around both sides of the canal was a public trust resource and hence could not be converted into private or any other use also observed that widening of the road was in fact a public purpose and as minimum area was being affected and project conformed with the Act thus the Doctrine of Public Trust, in circumstances, could not be said to have been compromised. Courts have recognized that there can be multiple stresses on the environment and there is sometimes a dynamic tension involved, which may mean that it may not be possible to redress one without to a certain extent leaving others unaddressed.The aim is not necessarily a perfect environment but a balanced one and the above referred judgment show that in such cases, the judicial approach has been appropriately nuanced. Later on in [2015 SCMR 1520], Supreme Court again examined the case to ensure that no direction of the court were being violated.In Land mark judgement Imrana Tiwana Case [P L D 2015 Lahore 522] full bench of the High Court raised concern about the legality of the environmental process adopted to review the EIA filed by the LDA in the light of Article 140A of the Constitution. It was observed that it the time to move on Environment and its protection has come to take center stage in the scheme of constitutional rights. It was held that EIA is nature’s first man made check post, nothing adverse to the environment is allowed to pass through it. It is through the tool of EIA that the authority gets to regulate and protect the environment and as a result the life, health, dignity and well-being of the people who inhabit the environment.In a recent case of C.P.L.A/2022; The Monal Group of Companies, Islamabad v. Capital Development Authority, the Supreme Court of Pakistan made significant observations regarding environmental protection. The court emphasized that the establishment and operation of restaurants within the Margalla Hills Park violate the Islamabad Wildlife (Protection, Preservation, Conservation and Management) Ordinance 1979. These observations reflect the judiciary’s commitment to upholding environmental laws and ensuring that development does not come at the cost of ecological integrity.The above referred precedents reinforce the fact that that the Courts have taken a broad and expansive view of their jurisdiction in relation to environmental issues.The road ahead for environmental Justice1. Judges and the judiciary at all levels need to be sensitized to environmental issues. Resolution of environmental issues is an integral aspect of delivering social justice which judiciary needs to keep in mind.2. To effectively address environmental issues within the framework of environmental law, judges must adopt an innovative and adaptable approach. The existence of a single Environmental Tribunal for the Province of Punjab is insufficient to tackle the extensive problem of climate degradation. A dynamic and multi-tiered approach is urgently needed. One crucial step is to amend existing legislation to empower District and Sessions Judges in the field across Punjab to handle environmental appeals and complaints within their respective districts. This decentralization will facilitate more localized and immediate responses to environmental concerns, addressing problems at the grass-root level.  In addition, judges should receive specialized training in environmental law through Punjab Judicial academy. Their approach to handling environmental cases should be flexible and open-minded.3. The current system may not be providing sufficient deterrence to prevent environmental violations. One significant problem with the current environmental tribunal and environmental magistrates is that it may lack effective deterrence. If fines on the basis of plea of guilt are too low or penalties are not stringent, they may not effectively discourage individuals or companies from violating environmental regulations. The practice of imposing nominal fines, especially when coupled with plea deals, can undermine the seriousness of environmental offenses. When fines are minimal, they may be viewed merely as a cost of doing business rather than a genuine consequence of unlawful actions. Tribunal is empowered by the legislature to impose substantial fines and penalties, even sentence of imprisonment in case of previous conviction that reflect the severity of the environmental harm caused. Instead of allowing offenders to settle for minor penalties, the tribunal could adopt a more rigorous approach to ensure that penalties are commensurate with the harm done.4. Proper enforcement mechanisms and increasing monitoring can help ensure that violations are detected and addressed more effectively. This might include more frequent inspections, better data collection, and improved reporting systems to track compliance and the effectiveness of penalties. As suggested earlier this can be conveniently done by the District and Sessions Judges working in the field if they are empowered through legislation5. Raising public awareness where remedy lies and the consequences of environmental violations can also help foster a culture of compliance. Public at large is not aware where the remedy lies in case of any environmental violation and they choose wrong forum, got exhausted and discouraged Educating stakeholders about the importance of adhering to environmental regulations and the potential consequences of non-compliance can contribute to better environmental practices. Legislative changes may be necessary to provide the tribunal with broader powers and more robust mechanisms for enforcement. This could involve updating laws to ensure that penalties are adequate and that the tribunal and the environmental magistrates have the authority to address violations effectively.6. All judicial academies need to develop curriculum for environmental law training. The concept of pre‐trial negotiations may be introduced in the proceedings before the Tribunals to enable the polluter to come up with, if possible, a mechanism for resolving the acts complained against, thus eliminating the environmental violation. EpilogBerdasarkan penjelasan di atas, pokok pikiran Shazib Saeed menekankan bahwa untuk penanganan masalah lingkungan hidup khususnya tentang perubahan iklim maka:1. Hakim dan lembaga peradilan di semua tingkatan perlu peka terhadap isu-isu lingkungan hidup karena penyelesaian permasalahan lingkungan hidup merupakan aspek integral dalam mewujudkan keadilan sosial yang perlu diperhatikan oleh peradilan.2. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup secara efektif, hakim harus menggunakan pendekatan yang inovatif dan mudah beradaptasi.3. Pengadilan diberi wewenang oleh badan legislatif untuk menjatuhkan denda dan hukuman yang besar bahkan pidana penjara, sebagai bentuk pendekatan yang lebih ketat untuk memastikan hukuman pelaku kerusakan lingkungan sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan.4. Peningkatan kepatuhan masyarakat untuk cinta lingkungan hendaknya dipicu oleh kesadaran masyarakat tentang konsekuensi pelanggaran hukum lingkungan hidup.5. Mekanisme penegakan hukum yang tepat dan peningkatan pemantauan dapat membantu memastikan bahwa pelanggaran terdeteksi dan ditangani dengan lebih efektif.6. Semua akademis peradilan perlu mengembangkan kurikulum untuk pelatihan hukum lingkungan hidup. (MCNB/LDR).Shazib SaeedDistrict and Sessions Judge Bahawalnagar. Served as Senior Instructor, Director Research and Director Admin, Punjab Judicial Academy. Remained Chairperson Punjab Environmental Tribunal and author of many reported judgments in the field of environment. Has complied reported and unreported judgments of the environmental tribunal.

Habis Liburan? Simak Tips Kembali Bekerja di Pengadilan

article | Opini | 2025-04-10 10:35:05

Tips. Usainya libur jangka panjang seperti dalam rangka Hari Raya Idul Fitri cenderung menyebabkan aparatur peradilan mengalami post-holiday blues yaitu rasa kesedihan dan kesulitan fokus pada kinerja. Fenomena tersebut memang wajar terjadi, namun ada hal yang dapat dilakukan untuk membantu kembali fokus kinerja khusus dalam administrasi perkara. Bagi panitera pengganti, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pengingat dan pemeriksaan ulang untuk tertib administrasi perkara, seperti: Habisnya masa tahanan;Kelengkapan berkas perkara upaya hukum yang hendak dikirimkan ke Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung;Tanggal persidangan pada berita acara yang dibuat untuk persidangan sebelum libur;Memastikan keberadaan berkas (apakah berada di panitera pengganti atau majelis hakim); Bagi majelis hakim, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pengingat dan pemeriksaan ulang untuk tertib administrasi perkara, seperti: Habisnya masa tahanan.Surat permohonan perpanjangan penahanan.Sesuainya tanggal penetapan hari sidang (one-day court date).Telah terunggahnya penetapan hari sidang, petikan putusan, dan putusan pada e-Berpadu; Bagi juru sita, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pengingat dan pemeriksaan ulang untuk tertib administrasi perkara, seperti: Memastikan relaas panggilan telah tersampaikan pada pihak yang dipanggil;Relaas panggilan yang disampaikan melalui surat tercatat (Pos) diperiksa atau tracing untuk mengetahui posisi terakhir;Membuat berita acara relaas dan melampirkan dalam berkas perkara; Saran-saran ini hanyalah beberapa hal yang dapat diingat untuk memudahkan aparatur peradilan untuk tetap optimal dalam berkinerja terkait administrasi perkara, khususnya dalam perkara pidana. Tentunya, petunjuk dan arahan dari atasan tetap dapat dijadikan pedoman utama. Selamat kembali bekerja, aparatur peradilan! (NP)

Strategi Jadi Mediator Perkara Lingkungan Hidup yang Profesional

article | Opini | 2025-04-10 06:30:37

MEDIATOR adalah pihak netral dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Tapi bagaimana bila dalam kasus lingkungan hidup?Merujuk Pasal 1 angka 2 Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi diatur Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Sertifikat Mediator menjadi syarat yang harus dimiliki oleh seseorang apabila bertindak sebagai mediator di pengadilan. Namun syarat ini tidak bersifat kaku karena apabila tidak ada mediator bersertifikat di suatu pengadilan maka ketua pengadilan dapat menunjuk hakim yang tidak bersertifikat untuk menjalankan fungsi mediator.Sertifikat Mediator ini berupa dokumen yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung atau Lembaga Sertifikasi Mediator yang pada pokonya menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi Mediator. Khusus untuk Lembaga Sertifikasi Mediator adalah Lembaga yang telah mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Dalam pelatihan sertifikasi mediator, seseorang akan dilatih dan didik 4 (empat) kompetensi utama yaitu kompetensi interpersonal, kompetensi proses mediasi, kompetensi pengelolaan mediasi dan kompetensi etis dan pengembangan diri mediasi. Kompetensi interpersonal bertujuan agar melatih seseorang mediator dapat membina hubungan yang saling percaya dengan para pihak dalam mediasi. Selanjutnya kompetensi proses mediasi bertujuan untuk melatih mediator dapat menggunakan keterampilan dan teknik mediasi sesuai kebutuhan guna membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa. Kemudian kompetensi pengelolaan mediasi bertujuan agar mediator dapat menciptakan lingkungan yang membuat para pihak memiliki kesempatan terbaik dalam mencapai penyelesaian. Terakhir adalah kompetensi etis dan pengembangan diri mediasi. Kompetensi ini bertujuan agar seseorang mediator menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik dan norma praktek mediator serta mediator melakukan pengembangan diri baik melalui training, variasi penanganan kasus, seminar, forum diskusi dan media serta sumber pembelajaran lainnya. Kumpulan 4 (empat) kompetensi tersebut disebut dengan Rumah Mediator. Di mana minat dan motivasi sebagai dasar dari Rumah Mediator tersebut.  Dinding berupa 2 (dua) kompetensi yang menjadi tembok yang kukuh yaitu kompetensi interpersonal, kompetensi proses mediasi. Plafon berupa kompetensi pengelolaan mediasi dan atap berupa kompetensi etis dan pengembangan diri mediasi yang menaungi kompetensi-kompetensi lain. Lalu bagaimana dengan kompetensi mediator dalam perkara lingkungan hidup? Sebagai seorang mediator, tugas utama yang dilaksanakan dalam setiap perkara yang dimediasi adalah  mendorong para pihak untuk mencari pilihan-pilihan penyelesaian yang adil dan terbaik bagi para pihak. Selain itu tentunya pilihan penyelesaian itu dapat dilaksanakan oleh para pihak dan tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, kesusilaan dan tidak merugikan pihak ketiga. Selain harus memiliki 4 (empat) kompetensi diatas dalam penanganan perkara lingkungan hidup, selanjutnya, dalam Pasal 41 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup diatur bahwa seorang mediator dalam membantu merumuskan kesepakatan perdamaian wajib memastikan kesepakatan perdamaian tidak merugikan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh karena kesepakatan perdamaian harus dipastikan oleh mediator tidak merugikan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup maka lantas seorang mediator dalam perkara lingkungan hidup harus memahami terlebih dahulu bagaimana aturan main perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.  Sehingga baik tektok maupun perdebatan dalam perumusan kesepakatan perdamaian dapat dibantu oleh mediator dengan menjelaskan pagar-pagar aturan seputar perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh karena itu sangat penting bagi seorang mediator dalam perkara lingkungan hidup memiliki kompetensi dalam memahami aturan-aturan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup baik sesuai jenis kasus lingkungan yang dimediasi maupun asas-asas hukum dalam penanganan perkara lingkungan hidup. Sehingga nantinya komunikasi Mediator dapat nyambung dengan para pihak dalam merumuskan opsi-opsi penyelesaian sengketa dan perkara lingkungan hidup pun dapat diselesaikan dengan perdamaian yang nantinya menjaga dan melindungi lingkungan. Seperti misalnya pemahaman Mediator akan asas kehati-kahatian sebagaimana diatur pasal 1 angka 10 Perma Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Disni Mediator dalam merumuskan kesepakatan perdamaian harus memfasilitasi para pihak akan opsi-opsi kesepakatan perdamaian yang mengutamakan tindakan pencegahan mengingat ketidakpastian pembuktian akan dampak serius yang akan terjadi dari pilihan-pilihan kesepakatan yang diambil oleh para pihak. Pemahaman mediator akan aturan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup tentunya dapat diperoleh baik melalui training baik yang diselenggarakan MA, seperti pelatihan singkat lingkungan hidup maupun pelatihan dari lembaga negara atau organisasi swasta yang menaungi lingkungan hidup. Selain itu selayaknya mediator tetap profesional untuk update pengetahuan dengan belajar dari berbagai media dan sumber seputar lingkungan hidup. Yosep Butar ButarMediator Hakim PN Teluk Kuantan

Potensi Pelanggaran Etik Hakim di Penggunaan AI dalam Bikin Putusan

article | Opini | 2025-04-09 17:50:56

Tren penggunaan kecerdasan buatan (AI) semakin meningkat di kalangan masyarakat. Perkembangan ini turut merambah pelayanan publik yang adaptif, termasuk di lingkungan lembaga peradilan. Sejarah mencatat, konsep kecerdasan buatan telah muncul sejak tahun 1955-1956 dengan program awal bernama Logic Theorist. Namun, adopsi masif terhadap AI baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kemunculan ChatGPT dari OpenAI. Produk ini memperkenalkan antarmuka interaktif yang mudah diakses, memungkinkan masyarakat umum merasakan langsung pengalaman berinteraksi dengan sistem AI. Berbagai pembaruan fitur membuat teknologi ini semakin menjanjikan, bahkan membuka peluang penggunaannya dalam penyusunan putusan pengadilan. Namun demikian, mengingat fungsi lembaga peradilan yang sangat prudent, analisa terhadap potensi pelanggaran etik menjadi krusial sebelum adopsi AI diterapkan dalam praktik peradilan. Bagaimana Kecerdasan Buatan Bekerja?Untuk memahami potensi pelanggaran etik, harus dipahami terlebih dahulu cara kerja kecerdasan buatan. Secara umum, teknologi ini mampu menyelesaikan persoalan menggunakan prinsip dasar logika premis jika–maka. Konsep ini menyerupai pola berpikir manusia dalam menarik kesimpulan berdasarkan kejadian tertentu. Seiring waktu, pendekatan tersebut berkembang menjadi lebih kompleks melalui penggunaan basis data yang luas dan pola-pola probabilistik. Kompleksitas ini mengaburkan batas premis sederhana dan menjadikan AI mampu menghasilkan kesimpulan yang kontekstual.Dalam konteks ChatGPT, setidaknya ada empat syarat agar AI dapat berfungsi sebagaimana mestinya:Basis data yang besar. AI dilengkapi dengan miliaran kata dari beragam sumber teks.Kemampuan memahami pola dan asosiasi antar data. AI tidak hanya menyimpan, tetapi juga memaknai konteks antar basis data.Kemampuan memahami instruksi (prompt). AI menerjemahkan pertanyaan, perintah, maupun sanggahan.Kemampuan merespons secara kontekstual dan dinamis. AI menyesuaikan jawaban dengan konteks dan dapat diperbaiki bila ada klarifikasi.Bagaimana dengan AI berbasis gambar, suara, atau animasi? Prinsip kerjanya serupa, hanya saja basis datanya berbeda. Misalnya, dalam pengolahan gambar, AI mengenali gaya (style) visual yang umum muncul. Gaya ini menjadi dasar penilaian terhadap elemen dalam gambar, seperti wajah, tubuh, atau latar belakang. Dengan demikian, instruksi seperti “hapus latar belakang” akan dieksekusi berdasarkan identifikasi pola visual. Prinsip yang sama berlaku pada AI yang memproses suara, animasi, dan lainnya. Bagaimana Hakim Menyusun Putusan?Penyusunan putusan oleh hakim dimulai dengan musyawarah untuk meneguhkan fakta hukum yang diperoleh dari pembuktian kemudian menentukan pertimbangan hukum untuk menuju pada amar putusan. Setelah musyawarah selesai, hakim menyusun putusan sesuai dengan konsep dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022. Dalam praktiknya, hakim akan memindahkan isi penting dari berita acara persidangan ke dalam konsep putusan, menuliskan pertimbangan hukum dan menuliskan amar dalam konsep tersebut. Setelah disusun, putusan direviu untuk menghindari kesalahan redaksional, lalu dibacakan dan ditandatangani. Bagaimana AI Dapat Mengambil Alih Penyusunan Putusan?AI berpotensi mengambil alih penyusunan putusan jika dipenuhi empat prasyarat tadi, dengan tambahan bahwa AI diberi akses pada data hukum dan yurisprudensi. Simulasi berikut menggambarkan skenario tersebut:Hakim mengunggah berita acara persidangan ke AI, dan AI diminta menyimpulkan fakta hukumnya. AI yang telah mempelajari alat bukti dan kekuatan pembuktian, akan menampilkan hasil berupa fakta hukum.Hakim memerintahkan AI menyusun pertimbangan dan amar putusan berdasarkan fakta tersebut. AI yang telah mempelajari berbagai dokumen hukum, akan menampilkan hasil berupa pertimbangan dan amar putusan. Hakim memerintahkan AI menyusun putusan lengkap sesuai format SK KMA. AI yang telah mempelajari konsep putusan, akan menampilkan hasil putusan yang siap dibacakan. Apakah Menyusun Putusan dengan AI Melanggar Etika?Etika hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dalam konteks ini, ada dua butir etika yang patut diperhatikan:Pelanggaran Etika Bertanggungjawab (Butir 6.2 KEPPH)Hakim dilarang mengungkap atau menggunakan informasi rahasia di luar tugas peradilan. Meski penyusunan putusan adalah tugas peradilan, ketika proses tersebut diserahkan pada sistem eksternal seperti ChatGPT, timbul potensi eksploitasi data. Terlebih, dalam Terms of Use ChatGPT (per-11 Desember 2024), dinyatakan bahwa input pengguna dapat digunakan untuk pengembangan layanan, termasuk kemungkinan dibaca oleh pihak manusia. Risiko kebocoran data—terutama dalam perkara asusila atau yang menyangkut rahasia negara—menjadi ancaman nyata terhadap integritas peradilan. Pelanggaran Etika Bersikap Profesional (Butir 10.4 KEPPH)Hakim wajib menghindari kekeliruan dalam membuat putusan. Namun, ChatGPT sendiri menyatakan bahwa output-nya tidak selalu akurat dan tidak dapat dijadikan sumber kebenaran tunggal. Dengan demikian, AI tidak bisa menjadi pengganti otoritas profesional hakim tanpa melanggar prinsip etik ini.Bagaimana Bersikap Adaptif terhadap AI?Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa AI memiliki keunggulan. Sikap adaptif dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:Baca Ketentuan PenggunaanKetahui batasan dan kebijakan layanan sebelum memakai AI. Jika bertentangan dengan etika hakim, sebaiknya dihindari.Gunakan Akun AnonimGunakan identitas acak agar penyedia layanan tidak mengaitkan identitas pengguna dengan data perkara. Selain itu, gunakan juga opsi pengecualian dalam melakukan perekaman data jika disediakan oleh penyedia.Hindari Mengunggah Dokumen PersidanganDokumen persidangan baik sebagian maupun seluruhnya yang dimasukkan, bisa masuk ke dalam basis data AI dan dapat muncul dalam sesi lain.Bangun AI Internal SendiriMasalah etika bukan pada teknologinya, melainkan pada siapa yang mengendalikannya. Lembaga peradilan sebaiknya membangun sistem AI sendiri, dengan jaminan keamanan dan kontrol terhadap data yang diproses. OpenLLM menjadi salah satu AI yang dapat dibangun dengan sumber daya internal.Jadikan AI Sebatas Rekan DiskusiKelebihan AI ada pada basis datanya, semakin banyak basis datanya maka semakin luas pemahamannya. Namun diantara seluruh kelebihan itu, masih dimungkinkan terdapat kekeliruan dalam pemahaman yang dirangkai oleh AI. Itu artinya, AI tidak dapat digunakan untuk menggantikan kecerdasan murni. Meskipun demikian, seluruh pemahaman yang dimiliki oleh AI dapat dimanfaatkan dalam nuansa rekan diskusi.Sebagai rekan diskusi, AI dapat digunakan untuk men-challenge logika hakim sebelum penyampaian pendapat ketika bermusyawarah. AI dapat juga digunakan untuk menjabarkan dasar hukum, itupun dengan verifikasi penuh oleh hakim. Rekan diskusi berbasis AI ini, selama anonimitas hakim terjaga, dapat menjadi gaya baru sebagai bahan musyawarah-penyusunan putusan hakim. AI secara umum tidak memiliki kepentingan untuk memberikan pendapat/penilaian, sehingga lebih netral dalam memberikan sudut pandang tertentu. PenutupAI memberikan banyak peluang untuk efisiensi kerja, namun dalam konteks penyusunan putusan oleh hakim, kehati-hatian menjadi hal yang mutlak. Etika, kerahasiaan, dan tanggung jawab profesi tetap menjadi pilar utama yang tidak boleh dikompromikan. Referensi Gugerty, Leo. (2006). Newell and Simon's Logic Theorist: Historical Background and Impact on Cognitive Modeling. Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual Meeting. 50. 880-884. 10.1177/154193120605000904.Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022https://openai.com/policies/privacy-policy/https://openai.com/policies/row-terms-of-use/

Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP

article | Opini | 2025-04-07 14:05:02

KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht/KUHP) yang berlaku di Republik Indonesia selama ini merupakan warisan kolonial Belanda dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Wetboek Van Strafrecht dilandasi oleh aliran klasik yang terfokus pada perbuatan atau tindak pidana terjadi, sehingga dalam perkembangannya sudah tertinggal jauh dan tidak lagi mengakomodir kepentingan pelaku. Sementara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), mendasarkan pada pemikiran Neo Klasik yang terfokus menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan) dan faktor subjektif (sikap batin), dimana tidak hanya tertuju pada perbuatan atau tindak pidana namun tertuju pada aspek individual pelaku.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat maka tingkat kejahatan semakin kompleks sehingga perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana materiil sudah dilakukan pemerintah dengan mengesahkan dan mengundangkan KUHP Baru pada tanggal 2 Januari 2023, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026, sedangkan pembaharuan hukum pidana formil (Rancangan KUHAP) saat ini masih dalam tahap pembahasan. Dalam Pasal 54 ayat (2) KUHH Baru memperkenalkan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Secara expressis verbis ketentuan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru menyatakan,”ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Menurut Penulis, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) merupakan putusan yang dijatuhkan Majelis hakim kepada Terdakwa yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan namun Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) berasal dari Negara Belanda dengan merevisi Wetbook van Strafrecht Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Beberapa Negara yang telah menggunakan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Tujuan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada pelaku tindak pidana yang sifatnya ringan sehingga pemidanaan tidak merendahkan martabat manusia namun hakim wajib menegakan hukum dan keadilan. Dimana pemidanaan merupakan ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum. Selain itu, dengan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) untuk mengurangi overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan yang selama ini terjadi. Berpedoman dalam ketentuan Pasal 51 dan Pasal 52 serta Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, terdapat tujuan pemidanaan salah satunya adalah menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Kemudian dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Sehingga tujuan pemidanaan sangat relevan dengan Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Bahwa Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dapat dilihat dari 3 (tiga) kategori yakni: Ringannya perbuatanKeadaan pribadi pelakuKeadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian. Dalam KUHP Baru, untuk frasa ringannya perbuatan diatur dalam beberapa pasal yaitu: Tindak Pidana Penghinaan Ringan, diatur dalam Pasal 436, menyatakan penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis  yang dilakukan terhadap orang lain baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang  yang dihina tersebut  secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan  dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penganiayaan Ringan, diatur dalam Pasal 471, menyatakan selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana denda paling lama banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Pencurian Ringan, diatur dalam Pasal 478, menyatakan dilakukan tidak dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dipidana karena pencurian ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penggelapan Ringan, diatur dalam Pasal 487, menyatakan jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak pidana Penipuan Ringan, diatur dalam Pasal 494, menyatakan dipidana karena penipuan ringan dengan pidana denda paling banyak kategori II jika barang yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492 bukan ternak, bukan sumber mata pencaharian, utang, atau piutang yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau nilai keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 493. Selanjutnya untuk frasa keadaan pribadi pelaku  dapat  berpedoman dalam Pasal 70  Ayat (1) KUHP Baru,  berbunyi dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan, jika dijumpai keadaan: Terdakwa adalah Anak;Terdakwa berumur di atas 70 (tujuh puluh) tahun;Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;Terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;Korban tindak pidana mendorong  atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut;Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;Pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga dan/ atau;Tindak pidana terjadi karena kealpaan. Selanjutnya keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian.   Menurut Penulis  frasa keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian sebagai alasan pemaafan hakim  (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Bary, dimana  maksud frasa ini apakah perbuatan tindak pidana tersebut dilakukan direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte rade) atau tindak pidana tersebut dilakukan dengan kesengajaan (dolus) atau dilakukan karena kelalaian (culpa), kalau tindak pidana dilakukan dengan kelalaian (culpa) maka termasuk tindak pidana ringan, kemudian apakah tindak pidana tersebut masuk dalam tindak pidana percobaan (poging) atau tindak pidana yang merupakan delik yang selesai baik tindak pidana formil (menitik beratkan pada perbuatan dilarang) dan materil (menitik beratkan pada akibat dilarang), apabila tindak pidana dilakukan merupakan percobaan (poging) maka termasuk tindak pidana ringan dan selanjutnya apakah tindak pidana tersebut masuk dalam kategori tindak penyertaan yakni pleger, doen pleger, medepleger, uitloking, atau masuk dalam membantu tindak pidana (medeplictige), kalau ternyata pelaku hanya berperan sebagai medeplictige maka termasuk kategori tindak pidana ringan. Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) di Negara Belanda selain diatur dalam hukum pidana materiil juga diatur dalam hukum pidana formil. Di Negara Belanda mengenal 4 (empat) jenis putusan yakni putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas dan putusan pemaafan. KUHP yang saat ini berlaku (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) termasuk KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), sama sekali tidak mengatur mengenai konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon), sehingga ada kekosongan norma. Selama ini Hakim dalam menjatuhkan Putusan Perkara Pidana terhadap Terdakwa mengenal 3 (tiga) bentuk Putusan yakni: Putusan Pemidanaan (verrordeling). Jika Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 Ayat 1 KUHAP).Putusan bebas (vrij spraak). Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP).Putusan lepas (onslag van recht vervolging). Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat 2 KUHAP). Penulis mencermati adanya pertentangan antara Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP. Dimana konsep pemafaan hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru, menyatakan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat menjadi dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenai tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam arti Majelis Hakim dalam putusan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana namun Terdakwa tidak dikenakan atau dijatuhi pidana baik pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Sedangkan dalam KUHAP saat ini, ketika Hakim dalam putusannya menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Hakim dalam putusannya terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana atau tindakan. Apabila salah satunya tidak ada dijatuhi pidana atau tindakan maka mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) dan (2) KUHAP. Sehingga pengaturan terhadap Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) tidak dapat hanya diatur dalam KUHP Baru yang hanya memuat hukum pidana materil, namun pengaturan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) harus diharmonisasikan dengan Rancangan KUHAP, sehingga adanya kepastian hukum. Sehingga konsep pemaafan hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru perlu diharmonisasikan dalam Rancangan KUHAP menjadi:Pemidanaan (verrordeling)Putusan Bebas (vrij spraaak),Putusan lepas (onslag van recht vervolging);Putusan pemaafan Hakim (rechterlik pardon)

Ini Cara Panitera Pengganti Membuat Berita Acara Sidang Berbasis AI

article | Opini | 2025-04-07 09:00:38

Pada hari Kamis, 6 Maret 2025 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan telah berhasil mengimplementasikan Grok AI dalam proses pembuatan putusan. Hal tersebut merupakan inovasi yang luar dalam menggali potensi LLM AI (Large Language Model Artificial Intelligence). Selain dapat digunakan dalam pembuatan putusan oleh para hakim, LLM AI juga dapat digunakan oleh para panitera pengganti dalam membuat berita acara sidang (BAS). Dalam tulisan ini Penulis akan membuat skenario dimana LLM AI akan diminta untuk menganalisa sebuah BAS, BAS yang digunakan adalah BAS rekaan yang diisi dengan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam praktik persidangan. Dalam skenario ini Penulis menggunakan LLM AI yang berbeda dengan yang digunakan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, Penulis menggunakan DeepSeek R1 dengan pertimbangan Deepkseek R1 relatif lebih hemat sumber daya ketika dijalankan secara lokal. Idealnya, LLM AI untuk lembaga peradilan dijalankan pada server khusus. Hal ini krusial mengingat dokumen persidangan sering memuat data sensitif, seperti informasi pribadi atau masalah keamanan negara.Berikut adalah 3 skenario yang dapat digunakan oleh Para Panitera Pengganti dalam membuat BAS:Skenario 1. Kesalahan pengetikan pada perkara perdataPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan dalam pengetikan.Respon DeepSeek R1: “Berikut adalah hasil pemeriksaan dan perbaikan untuk dokumen BAS yang Anda kirimkan. Perbaikan mencakup penyesuaian ejaan dan tata bahasa:"Fotocopy" → "Fotokopi" (sesuai KBBI)."bukrti" → "bukti" (paragraf ke-4)."mahssiawa" → "mahasiswa" (pada identitas saksi ke-2)."dilahkrn" → "dilahirkan" (jawaban saksi ke-2)."Pemohin" → "Pemohon" (terdapat di beberapa bagian)."tohan lahir" → "tahun lahir" (pertanyaan Hakim kepada saksi ke-2).”Skenario 2. Kesalahan diksi pada perkara perdataPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan diksi.Respon DeepSeek R1Berikut hasil pemeriksaan konsistensi dan perbaikan untuk dokumen Berita Acara Sidang:“Meskipun dalam berita acara akhir disebutkan perubahan ijazah sekolah (yang tidak tercantum dalam permohonan awal), hal ini kemungkinan merupakan kesalahan administratif. Oleh karena itu, penetapan harus dipastikan hanya mencakup perubahan nama, bulan lahir, dan jenis kelamin sesuai permohonan asli.”Skenario 3. Kesalahan diksi pada perkara pidanaPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan diksi.Respon DeepSeek R1:“Berikut hasil pemeriksaan konsistensi dan alur perkara untuk dokumen Berita Acara Sidang ketiga (perkara pidana):Barang bukti yang disebutkan (pahat, palu, jaket, topi) konsisten di seluruh dokumen. Namun, pada keterangan saksi ke-3 , disebutkan barang bukti berupa "alat GPS dan Radio Orari milik M. Isa". Ini tidak konsisten dengan barang bukti sebelumnya.→ Rekomendasi: Perjelas apakah barang bukti ini relevan dengan perkara.Pertanyaan Hakim kepada Saksi ke-3:"Sehubungan dengan masalah apa Saksi dihadapkan kepersidangan ini?"Jawaban: "Sehubungan dengan masalah Terdakwa telah melakukan percobaan pencurian sarang motor honda."→ Ketidakkonsistenan: Perkara yang dibahas adalah pencurian sarang burung walet, bukan motor honda.→ Rekomendasi: Perbaiki jawaban saksi agar sesuai dengan konteks perkara.”Dari ketiga skenario di atas, dapat disimpulkan bahwa AI memiliki manfaat signifikan dalam proses pembuatan BAS, terutama dalam memeriksa kesalahan penulisan dan alur perkara. Para Panitera Pengganti dapat lebih mendalami potensi LLM AI dengan memanfaatkannya untuk tugas-tugas yang lebih kompleks, seperti analisis konsistensi fakta atau penyusunan dokumen hukum.Keberhasilan penggunaan LLM AI bergantung pada kemampuan prompting (pemberian perintah). Misalnya, perintah 'Periksa kesalahan ejaan dalam BAS berikut' akan menghasilkan output berbeda dengan 'Identifikasi ketidakkonsistenan fakta antara kesaksian dan dakwaan.' Untuk itu, pelatihan teknis bagi panitera dalam merumuskan perintah yang spesifik dan terstruktur menjadi kunci efektivitas LLM AI.;LLM AI tidak sepenuhnya menghasilkan jawaban yang tepat, Panitera Pengganti tetap berperan sebagai pemeriksa akhir dari sebuah berita acara sidang maka dari itu dibutuhkan kekritisan dalam menelaah produk LLM AISampai saat ini Mahkamah Agung Republik Indonesia belum memiliki LLM AI khusus, yang tersedia adalah yang sifatnya umum seperti Grok, Deepseek dan ChatGPT yang memiliki resiko pada keamanan data. Jika Para Panitera Pengganti ingin memanfaatkan LLM AI umum tersebut lebih baik menghapus dulu data-data penting yang ada didalam BAS. Penggunaan LLM AI dalam praktek persidangan adalah fondasi baru bagi peradilan modern dengan mengurangi beban kerja dan meningkatkan kualitas dari produk Pengadilan. Mari kita bersama terus berinovasi untuk mewujudkan peradilan yang unggul dan tangguh. (FAC)*Hakim Pengadilan Negeri Bobong

Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi

article | Opini | 2025-04-06 14:10:59

Dalam perkembangan penegakan hukum dan penyelesaian perkara tindak pidana saat ini, masing-masing instansi penegak hukum telah menggaungkan atau berlomba-lomba melakukan penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice). Berkaitan dengan penyelesaian perkara tindak pidana melalui penerapan keadilan restoratif (restorative justice) tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perkap Tentang Keadilan Restoratif dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja tentang Keadilan Restoratif serta untuk Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana  Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perma tentang Keadilan Restoratif). Dalam Perma tersebut pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan yang dimaksud dengan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan. Berkaitan dengan penjelasan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, lalu timbul pertanyaan yakni bagaimana seandainya apabila ternyata Penyidik Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim pada Pengadilan berhasil menyelesaikan perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif? Apakah perkaranya bisa dihentikan pada tingkat Penyidikan, Penuntutan maupun Pengadilan? Menurut Penulis jawabannya yakni kalau pada tingkat Penyidikan atau Penuntutan, baik Penyidik maupun Penuntut Umum dapat melakukan langkah hukum/prosedur penghentian penyidikan/penuntutan melalui aturan internal Kepolisian Negara Republik Indonesia/Kejaksaan Agung Republik Indonesia, salah satunya yaitu Perkap tentang Keadilan Restoratif dan Perja tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana penyelesaian perkara pidana pada Pengadilan melalui pendekatan keadilan restoratif? Berdasarkan Perma tentang Keadilan Restoratif pada pokoknya menerangkan apabila tercapai penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif dengan mengedepankan perdamaian antara pelaku dan korban serta pihak terkait, maka hanya menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Terdakwa/pelaku dalam menjatuhkan putusan dan tidak serta-merta menghentikan perkaranya. Berdasarkan kondisi tersebut diatas, kesimpulannya yakni ternyata masing-masing instansi penegak hukum seperti Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki aturan tersendiri mengenai penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif (Restorative Justice). Sampai saat ini belum ada Undang-undang yang mengatur secara khusus tentang jenis-jenis perkara pidana apa saja yang bisa diselesaikan melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) serta bagaimana syarat dan tata cara (Hukum Acara) penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui mekanisme Keadilan Restoratif (Restorative Justice) tersebut, karena Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana saat inipun belum mengatur bagaimana tata cara/mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif tersebut, sehingga perlu dibentuk payung hukum berupa Undang-undang atau aturan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum dan keseragaman dalam penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa bagi instansi penegak hukum termasuk pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Keadilan Restoratif dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan umum UU SPPA dengan menyebutkan Keadilan Restoratif merupakan suatu proses diversi. Artinya semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka menurut pendapat Penulis, apabila suatu Instansi Kepolisian/Kejaksaan/Pengadilan berhasil melakukan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif sebaiknya sama halnya dengan melakukan penyelesaian perkara yang pelakunya anak yakni melalui keadilan restoratif dan juga “diversi”, sehingga apabila penyelesaian perkara pidana tersebut berhasil melalui keadilan restoratif dan juga “diversi” dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan, maka sebaiknya hal tersebut dilaporkan kepada Ketua Pengadilan untuk selanjutnya dikeluarkan Penetapan. Penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan tersebut, menurut pendapat penulis sama halnya dengan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, artinya meskipun penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa berhasil dilakukan dengan keadilan restoratif dan diversi maka tersangka/terdakwa dianggap telah terbukti melakukan suatu tindak pidana, sehingga apabila tersangka/terdakwa mengulanginya maka terhadap tersangka/terdakwa tersebut tidak bisa dilakukan penyelesaian perkaranya melalui keadilan restoratif maupun diversi karena telah berulang melakukan suatu tindak pidana. Dengan demikian penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi ini selain bertujuan untuk mencapai keadilan dimasyarakat tentunya sebagai sarana pencegahan bagi tersangka/terdakwa itu sendiri, supaya tidak berulang melakukan tindak pidana. Dalam kesepakatan perdamaian melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut juga, jika berhasil sebaiknya mengenai barang bukti apabila dalam perkara tindak pidananya terdapat barang bukti, maka harus dimuat juga mengenai status barang bukti tersebut dalam Penetapan Diversi. Dengan tercapainya penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dalam tingkat Penyidikan/Penuntutan/Pengadilan yang dilaporkan serta dikuatkan dengan Penetapan oleh Ketua Pengadilan setempat sebagaimana penyelesaian perkara pidana melalui “Diversi” dalam perkara pidana yang pelakunya “Anak”, maka Penulis berpendapat itulah keadilan yang sesungguhnya yang memenuhi Asas Kepastian Hukum, Asas Kemanfatan dan Asas Keadilan serta Asas Peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan dalam penyelesaian suatu perkara tindak pidana.   Sejalan dengan hal tersebut, maka Penulis berpendapat bahwa Instansi Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Agung Republik indonesia dapat bersama-sama untuk menyelaraskan aturan penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif yang dituangkan dalam suatu undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif dengan dukungan penuh dari lembaga eksekutif atau setidak-tidaknya dibuat aturan yang mengikat bagi masing-masing instansi penegak hukum yang dapat mengadopsi aturan penyelesaian perkara pidana melalui “keadilan restoratif” dan “diversi” yang termuat dalam UU SPPA. Penulis berpendapat penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat memungkinkan juga untuk diselesaikan melalui Diversi (Pengalihan Penyelesaian Perkara dari Proses Peradilan ke Proses di Luar Peradilan Pidana). Mengapa demikian? karena ketika sudah terjadi perdamaian dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif melalui pemulihan keadaan semula yang dituangkan dalam kesepakatan perdamaian yang dapat dilakukan dengan atau tanpa ganti kerugian. Misalnya bentuk pemulihan terhadap korban dalam perkara tipiring pencurian buah kelapa sawit yang pelaku/tersangka/terdakwanya tertangkap tangan bersama barang bukti berupa buah kelapa sawit, maka hal tersebut tentunya tidak membawa kerugian yang signifikan bagi korban, sehingga penyelesaiannya dapat ditempuh melalui diversi dengan mengupayakan keadilan restoratif yang melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang dianggap perlu dengan dibantu fasilitator diversi dengan penyelesaian/perdamaian tanpa ganti rugi tetapi dengan syarat para pihak harus saling memaafkan atau pelaku diberikan sanksi sosial untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi khalayak umum seperti membersihkan/melakukan pelayanan di tempat ibadah/fasilitas umum dan lain sebagainya. Hal ini merupakan bentuk/bagian yang termasuk keadilan restoratif yang bertujuan untuk mempererat hubungan baik para pihak (hubungan sosial) agar tidak ada dendam, artinya keadilan restoratif ini jangkauan dan manfaatnya sangat luas terutama dalam hal pencegahan tindak pidana atau misalnya dalam perkara penganiayaan ringan dimana pelaku dan korban sudah saling memaafkan dengan perdamaian melalui ganti rugi biaya pengobatan, maka contoh-contoh perkara tersebut sebaiknya dapat diselesaikan melalui diversi yang pelakunya sudah dewasa sebagaimana diversi dalam perkara pidana anak artinya penyelesaiannya tidak mesti melalui persidangan. Selain itu, apabila memungkinkan dibentuknya undang-undang atau setidak-tidaknya aturan hukum yang mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum mengenai penyelesaian perkara tindak pidana melalui keadilan restoratif dan diversi bagi pelaku yang sudah dewasa. Maka hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana yakni asas ultimum remedium yang pada pokoknya memiliki arti bahwa pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum di Indonesia. Apabila suatu perkara tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain dengan cara kekeluargaan, negosiasi, mediasi dan lain sebagainya yang dapat berujung pada perdamaian para pihak yang berperkara pidana, maka hendaknya cara-cara tersebutlah yang harus terlebih dahulu dilakukan apalagi dalam penanganan perkara tindak pidana ringan yang kategori ancaman hukuman maupun akibat perbuatan pelaku tindak pidana dalam kategori ringan. Penyelesaian perkara tindak pidana yang pelakunya sudah dewasa sangat perlu diselesaikan tidak hanya melalui proses keadilan restoratif (restorative justice) akan tetapi dapat mengacu dan mengadopsi penyelesaian perkara pidana melalui “diversi” sebagaimana penyelesaian perkara pidana yang pelakunya “Anak”. Hal inilah yang menjadi alasan penting untuk melakukan pembaharuan hukum acara pidana berkaitan dengan penyelesaian perkara pidana yang pelakunya sudah dewasa melalui keadilan restoratif dan diversi tersebut. Penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa yang pelakunya sudah dewasa dan memenuhi persyaratan atau kualifikasi untuk diupayakan melalui keadilan restoratif dan diversi ini menurut Penulis juga merupakan salah satu bentuk implementasi terhadap nilai-nilai Pancasila dan  Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 karena budaya masyarakat Indonesia yaitu menyelesaikan masalah dengan cara bermusyawarah untuk mufakat mencari solusi penyelesaian terbaik. Sehingga harus dibuat aturan khusus mengenai hukum acara pidana terkait penyelesaian perkara tindak pidana ringan/singkat/biasa melalui aturan undang-undang/aturan hukum lainnya yang berlaku mengikat bagi seluruh instansi penegak hukum di negara indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan sesuai dengan keadaban publik saat ini dimana penanganan perkara pidana pada masing-masing instansi penegak hukum harus mudah dijangkau oleh masyarakat/pencari keadilan dan bersifat transparan.

Perma Restorative Justice: Jalan Moderat Di Tengah Kekosongan Hukum

article | Opini | 2025-04-06 09:00:43

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan, yang merupakan anti tesis dari sistem pemidanaan yang hanya befokus pada Terdakwa.Dalam konteks negara hukum penyelesaian perkara pidan melalui pendekatan restorative justice memerlukan legimitasi yuridis agar pemberlakuannya mempunyai daya ikat, menciptakan kesatuan hukum, kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam pelaksanaannya, selain itu dasar hukum juga diperlukan untuk memberi batasan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif.Sejalan dengan itu Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) pada tanggal 02 Mei 2024 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang secara resmi diundangkan pada tanggal 07 Mei 2024, dan bila merujuk pada konsideran menimbang dalam Perma 1 tahun 2024 tersebut. Terdapat dua alasan utama yang menjadi latar belakang terbitnya Perma 1/2024, pertama, pergeseran sistem pemidaaan dari yang semula semata-mata hanya beroerientasi pada pemidaan Terdakwa bergeser ke arah penyelarasan kepentingan pemulihan korban. Kedua, Pendekatan keadilan restoratif telah menjadi diskurus pada proses peradilan tetapi belum cukup diatur dalam sistem peradilan pidana terutama mengenai jenis perkara, syarat, dan tata cara penerapannya dalam proses peradilan yang termuat pendekatan keadilan restoratif.Kebijakan Mahkamah Agung tentang Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara PidanaSyarat suatu tindak pidana dapat diadili berdasarkan Perma 1/2024, meliputi:Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.b. Tindak pidana merupakan delik aduan.c. Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;d. Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil.e. Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.2. Terdakwa harus mengakui perbuatan/pengakuan bersalah (plea bargaining) pada tingkap pemeriksaan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), meliputi pengakuan akan perbuatan tanpa disertai keberatan atas berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan, proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme Keadilan Restoratif. Ketentuan ini menegaskan bahwa harus ada pembenaran atas perbuatan untuk bisa dilakukan mekanime retoratif justice, sehingga keberatan baik untuk sebagaian atau seluruhnya dengan sendirinya menggugurkan penggunaan mekanisme retoratif justice berdasarkan Perma 1/2024.3. Hakim Berwenang Melakukan Koreksi kesepakatan perdamaian diatur dalamPasal 9 ayat (1) yang memberi wewenang kepada hakim untuk memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara Terdakwa dan Korban tujuannya adalah untuk menghindari adanya kesesatan, paksaan, atau penipuan serta penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak.4. Pembuatan atau Pembaruan kesepakatan dengan prakarsa hakim, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 15, di mana dalam konteks pembaruan kesepakatan sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (3) dapat dilakukan oleh Hakim dalam hal Terdakwa menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat sebelum pemeriksaan perkara. Sementara dalam konteks Pasal 15 bila sebelumnya belum ada kesepakatan damai. Hakim dalam mengupayakan kesepakatan baru menggali informasi berupa, dampak tindak pidana terhadap Korban, kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana, biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang sudah dan akan dikeluarkan Korban, kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan, ketersediaan layanan untuk membantu pemulihan Korban dan/atau Terdakwa; dan/atau informasi lain yang menurut Hakim perlu untuk diperiksa dan dipertimbangkan.5. Kesepakatan perdamaian menjadi pertimbangan dalam putusan Hakim (vide Pasal 12 ayat (3)) sebagai alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi dasar pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 19) serta dalam perkara delik aduan kesepakatan dapat berupa pencabutan pengaduan sepanjang masih dalam tenggang waktu yang secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim (vide Pasal 14).6. Bentuk kesepakatan perdamaian, meliputi:a. Terdakwa mengganti kerugian;b. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atauc. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.7. Larangan dalam kesepakatan perdamaiana. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.b. Melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia.c. Merugikan pihak ketiga; ataud. Tidak dapat dilaksanakan.8. Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidanaKetentuan Pasal 3 ayat (2) dalam Perma 1/2024 menegaskan ciri klasik dari hukum pidana yang kita anut, di mana perdamaian tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, karena penindakan pelanggaran pidana yang inisiatifnya dari negara bertujuan untuk melindungi ketertiban umum, bukan kepentingan korban semata.9. Hakim tidak berwenang menerapkan Perma 1/2024, dalam hal:a. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian.b. Terdapat Relasi Kuasa.c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.Manfaat Restorative Justice Bagi Pengadilan1. Dapat menyelesaikan perkara secara sederhana, cepat dan biaya murahSejalan dengan prinsip penyelesaian perkara sederhana, cepat dan biaya murah, penerapan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif menyiapkan mekanisme yang lebih sederhana dan mendekati model plea bargaining. Kecepatan dalam penanganan perkara serta penjatuhan pidana yang ringan atau penjatuhan pidana selain pidana penjara juga dapat menghemat biaya yang timbul selama penahanan, persidangan serta pembinaan sebagai narapida di lembaga pemasyarakatan.2. Dapat mendorong Akuntabilitas dan Transparasi Penjatuhan PidanaMelalui penerapan restorative justice penjatuhan pidana bisa lebih transparan dan akuntabel, artinya pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif pastilah berbeda dengan pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya tidak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.3. Memberi kepastian pada arah putusan hakimMekanisme keadilan restoratif yang dijalankan secara benar dan konsekuen, pastilah akan melahirkan suatu gambaran mengenai putusan yang predictable (dapat diprediksi), sehingga Terdakwa atau keluarga Terdakwa tidak perlu ragu untuk membuat komitmen perdamaian dengan korban tindak pidana, karena komitmen tersebut akan meringankan hukuman Terdakwa.PenutupPerma 1/2024 merupakan jalan yang paling moderat yang diambil oleh Mahkamah Agung di tengah kekosongan hukum mengenai restorative justice pada tingkat peradilan.Perma 1/2024 menyeragamkan pandangan mengenai keberlakuan pendekatan keadilan restoratif selama proses peradilan, sekaligus memberi dasar bagi hakim untuk melakukan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. (SNR, MNJ, FAC)*Hakim pada Pengadilan Negeri Bangkalan, sejak tanggal 05 Agustus 2024.

Profesi Hakim: Refleksi Etika, Keadilan dan Kebijaksanaan

article | Opini | 2025-04-05 14:05:44

Momen Idulfitri selalu menghadirkan kisah-kisah reflektif yang menggugah perasaan. Salah satunya adalah peristiwa sederhana namun sarat makna: seorang pria bertato yang tanpa diminta menunjukkan jalan kepada seorang hakim menuju pintu masjid. Sekilas, kejadian ini mungkin tampak sepele, tetapi jika dilihat lebih dalam, ia menyimpan pesan kuat tentang keadilan, etika profesi hakim, dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.Pengalaman Penulis di Masjid  Jami Al Barokah, Bojong Larang GarutSebagai seorang hakim, pengalaman ini dialami sendiri oleh penulis ketika mudik ke kampung istri di kabupaten Garut. Saat hendak menunaikan salat Idulfitri yang berolokasi di Masjid Jami Al Barokah, Bojong Larang, penulis sedikit kebingungan mencari pintu masuk utama masjid karena ramainya jamaah yang memadati area sekitar. Tiba-tiba, seorang pria bertato yang berdiri di dekat gerbang dengan ramah menunjukkan arah yang benar.Awalnya, penulis sempat terkejut karena pria tersebut memiliki penampilan yang mungkin bagi sebagian orang akan dianggap mencurigakan atau kurang pantas berada di lingkungan masjid. Namun, sikapnya yang penuh keramahan dan keikhlasan membuat penulis tersadar bahwa kebaikan bisa datang dari siapa saja, tanpa memandang latar belakang atau penampilan fisik. Momen ini menjadi refleksi mendalam bagi penulis, sebagai seorang yang sehari-hari bergelut dengan hukum dan keadilan, bahwa sering kali kita terjebak dalam prasangka tanpa sadar.Hakim dan Kewajiban Menegakkan Keadilan Tanpa PrasangkaHakim adalah simbol keadilan dan kebijaksanaan. Dalam tugasnya, ia harus menegakkan hukum secara adil, tanpa pengaruh prasangka atau stereotip. Prinsip ini tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang mengamanatkan hakim untuk menjunjung tinggi nilai kemandirian, integritas, kepantasan, kesopanan, dan profesionalisme. Selain itu, pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebut kewajiban hakim untuk bersikap adil terhadap pihak-pihak yang berperkara dan tidak memihak.Namun, dalam realitas sosial, sering kali terdapat kecenderungan untuk menilai seseorang berdasarkan penampilan atau latar belakangnya. Stigma terhadap pria bertato, misalnya, masih kerap muncul di masyarakat. Padahal, seperti dalam kisah ini, kebaikan tidak selalu datang dari sosok yang tampak “ideal” menurut standar sosial. Hal ini sejalan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan prinsip equality before the law yang menegaskan bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya dan memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi.Lebaran: Momentum Perenungan bagi Hakim dan MasyarakatIdulfitri bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga kesempatan untuk merenungkan nilai-nilai moral yang mendasari kehidupan. Peristiwa ini memberikan pelajaran bagi seorang hakim bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan di ruang sidang, tetapi juga dalam interaksi sosial sehari-hari. Seorang hakim yang baik harus memiliki kepekaan sosial dan moral, serta mampu menilai seseorang secara adil, tanpa terjebak oleh prasangka.Di sisi lain, kisah ini juga mengajarkan kepada masyarakat bahwa nilai-nilai kebaikan dapat ditemukan di tempat yang tak terduga. Pria bertato yang menunjukkan jalan menuju pintu masjid menggambarkan bagaimana setiap orang, terlepas dari tampilan luar atau label yang diberikan oleh masyarakat, tetap memiliki potensi untuk melakukan kebaikan.Refleksi: Menjadi Masyarakat yang Lebih Adil dan InklusifKisah ini tidak hanya relevan bagi hakim, tetapi juga bagi kita semua. Di era modern ini, penting untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif, tanpa diskriminasi berbasis penampilan atau latar belakang sosial. Stigma dan prasangka hanya akan menghambat keharmonisan sosial dan keadilan yang sejati.Sebagai penutup, kisah pria bertato yang membantu hakim menuju pintu masjid menjadi pengingat bahwa keadilan sejati tidak hanya diukur dari hukum tertulis, tetapi juga dari sikap dan perlakuan kita terhadap sesama. Lebaran mengajarkan kita untuk membuka hati, menerima perbedaan, dan menilai seseorang bukan dari tampilan luar, tetapi dari nilai-nilai moral yang mereka bawa dalam kehidupan sehari-hari.

Hukuman Disiplin dan Ruang Refleksi Diri

article | Opini | 2025-04-05 09:00:45

Dalam perjalanan hidup, manusia sering kali dihadapkan pada berbagai rintangan dan ujian. Tidak terkecuali bagi para hakim dan aparatur peradilan, yang mengemban amanah besar sebagai penegak keadilan. Di dunia peradilan, kedisiplinan bukan sekadar tuntutan formalitas, tetapi roh yang menjaga marwah institusi hukum itu sendiri. Tanpa kedisiplinan, kepercayaan publik akan runtuh, dan hukum hanya menjadi bayang-bayang keadilan yang semu.Hukuman disiplin bagi hakim dan aparatur peradilan adalah sebuah keniscayaan dalam sistem hukum yang sehat. Dalam setiap sistem yang menjunjung tinggi akuntabilitas, selalu ada mekanisme kontrol yang memastikan bahwa setiap roda keadilan berputar dengan lurus. Mahkamah Agung RI melalui Badan Pengawasan secara berkala mengumumkan sanksi disiplin yang dijatuhkan, baik dalam kategori ringan, sedang, maupun berat. Ini bukan sekadar daftar nama dan hukuman, melainkan cerminan dari upaya terus-menerus menjaga integritas dan profesionalisme peradilan. Disiplin: Pilar Kehormatan ProfesiSeorang hakim bukanlah sekadar seorang pemutus perkara; ia adalah simbol keadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap peradilan harus dijaga dengan sebaik mungkin. Filsuf Romawi, Seneca, pernah berkata, "Hanya mereka yang belajar untuk menguasai dirinya sendiri yang dapat menguasai orang lain dengan adil." Dalam konteks ini, disiplin bukan hanya tentang kepatuhan terhadap aturan formal, tetapi juga mengenai pengendalian diri dan kesadaran moral.Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa dalam praktiknya, selalu ada individu yang tergelincir. Pelanggaran kode etik dan disiplin yang terjadi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari tekanan pekerjaan, godaan eksternal, hingga kelemahan pribadi. Apa pun alasannya, setiap pelanggaran harus ditindak tegas. Ketegasan ini bukanlah bentuk kebencian, melainkan bagian dari pendidikan moral. Sebab, seperti kata pepatah, "dibalik bencana pasti ada kencana." Hukuman yang diberikan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan peluang untuk introspeksi dan perbaikan diri.Hukuman Bukan Akhir, Tetapi Awal yang BaruBanyak yang menganggap hukuman sebagai aib dan akhir dari karier. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, hukuman disiplin bisa menjadi titik balik menuju kebangkitan. Sejarah telah membuktikan bahwa banyak individu besar yang pernah jatuh, tetapi kemudian bangkit menjadi lebih kuat. Seperti yang dikatakan oleh seorang filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, "Apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat." Hal demikian dapat dimaknai sebagai penegasan bahwa penderitaan dapat membuat seseorang menjadi lebih tangguh. Penegasan bahwa seseorang dapat tumbuh dan memaksimalkan potensinya di tengah kesulitan. Hukuman, sejatinya, adalah peluang untuk berefleksi, belajar, dan memperbaiki diri agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.Seorang hakim atau aparatur peradilan yang terkena sanksi disiplin seharusnya tidak berkecil hati. Justru ini adalah momen untuk merenung dan menata ulang langkah. Dunia tidak berakhir hanya karena sebuah hukuman. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang menghadapi dan bangkit dari keterpurukan itu.Refleksi Diri: Jalan Menuju PerubahanSetiap manusia pernah berbuat salah. Bahkan hakim yang paling bijaksana sekalipun tidak luput dari kelemahan. Namun, yang membedakan seseorang adalah bagaimana ia menyikapi kesalahannya. Orang bijak belajar dari kesalahannya, sementara orang bodoh terus mengulanginya. "Kesalahan adalah guru terbaik," kata Konfusius. Jika demikian, hukuman disiplin bisa menjadi sarana pembelajaran yang sangat berharga. Bagi mereka yang terkena sanksi, inilah saatnya untuk merenung: Apa yang membuat saya sampai pada titik ini? Apa yang bisa saya lakukan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama? Bagaimana saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik? Refleksi yang jujur akan menghasilkan jawaban yang mengarah pada perubahan positif. Sebagai bagian dari sistem peradilan, setiap hakim dan aparatur memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kehormatan profesi. Hukuman yang diberikan bukan sekadar teguran, tetapi juga panggilan untuk kembali ke jalan yang benar. Dengan introspeksi yang mendalam, seseorang bisa bangkit dengan semangat baru dan komitmen yang lebih kuat terhadap integritas.Motivasi untuk Melangkah MajuSetiap ujian dalam hidup membawa hikmah tersendiri. Hukuman disiplin bukanlah kutukan, melainkan ujian untuk menilai sejauh mana seseorang mampu bangkit dari keterpurukan. Kegagalan hanya menjadi akhir bagi mereka yang menyerah. Sebaliknya, bagi mereka yang berani bangkit, kegagalan adalah batu loncatan menuju kesuksesan yang lebih besar. Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, "Di tengah kesulitan, selalu ada peluang." Hal ini memiliki kedalaman makna bahwa di saat segala sesuatu tampak sulit, selalu ada kesempatan untuk membalikkan keadaan. Hukuman disiplin bisa menjadi titik awal bagi seseorang untuk menemukan kembali jati dirinya, memperbaiki kesalahannya, dan membangun kembali integritasnya. Yang terpenting adalah sikap mental dalam menghadapi cobaan ini. Jangan biarkan satu kesalahan mendefinisikan siapa kita selamanya. Sebaliknya, jadikan itu sebagai pelajaran berharga untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.PenutupHukuman disiplin dalam dunia peradilan bukanlah sekadar hukuman, tetapi juga bentuk pembelajaran. Setiap hakim dan aparatur peradilan yang menerima sanksi harus melihatnya sebagai peluang untuk refleksi diri dan perbaikan. Disiplin bukan sekadar aturan yang harus dipatuhi, tetapi nilai yang harus dijunjung tinggi demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap peradilan. Seperti kata pepatah lama, "Tak ada gading yang tak retak." Namun, retakan itu bisa diperbaiki dengan kesadaran, tanggung jawab, dan tekad untuk berubah. Dalam setiap bencana, selalu ada kencana. Hukuman bisa menjadi batu sandungan, tetapi juga bisa menjadi batu loncatan bagi mereka yang berani mengambil pelajaran darinya. Yang terpenting adalah bagaimana kita meresponsnya: dengan keputusasaan, atau dengan semangat untuk menjadi lebih baik. Sebab, pada akhirnya, hanya mereka yang mau belajar dan berkembang yang akan bertahan dalam ujian waktu. 

Hakim: Bukan Sekadar Pengadil, Tetapi Juga A Healer

article | Opini | 2025-04-04 15:05:49

MENJADI seorang Hakim adalah panggilan jiwa yang luhur, profesi yang terbilang sangat mulia. Hakim tidak dipilih hanya sebatas pada kepintarannya, tetapi Tuhanlah yang memilihnya bahwa ia layak dan mampu menjalankan tanggungjwab yang berat itu. Tidaklah mudah menyandang predikat Yang Mulia dimata para pencari keadilan. Bahkan orang menyebut Hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan atau wakil Tuhan, ditangan Hakimlah berada nasib seseorang ketika berhadapan dengan suatu permasalahan hukum. Dalam menangani suatu perkara Hakim tidak semata-mata merujuk pada aturan yang telah ada, tetapi seorang Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat. Profesi Hakim telah lama dianggap sebagai profesi penyembuh konflik manusia. Seorang Hakim dianggap sebagai figur yang bertugas memulihkan martabat seseorang dan mengatasi kondisi yang tidak diinginkan. Peran atau perspektif ini sepenuhnya konsisten dengan filosofi humanistik atau kemanusiaan yang telah dipegang oleh banyak Hakim. Seorang Hakim dalam melaksanakan tugasnya dintutut untuk memiliki sifat yang jujur tanpa cela, sikap adil yang tegas dan kemampuan yudisial yang mumpuni. Hakim dituntut untuk bersikap obyektif dan tidak boleh membiarkan emosi pribadinya masuk ke dalam proses pengambilan keputusan. Namun, pada saat yang sama, seorang Hakim diharapkan untuk berbelas kasih, pemaaf, dan penuh pengertian, terutama ketika menerapkan kebijaksanaan yudisial. Nilai-nilai yang dipegang seorang Hakim dapat terlihat setiap kali keputusannya muncul. Proses pengambilan keputusan itu sendiri sangat penting dan sulit. Tanggung jawab Hakim terhadap putusannya serta berbagai pengawasan yang dilakukan terhadap Hakim sering kali membatasi keinginan atau kemampuan Hakim untuk bersikap humanis pada saat yang sama. Ditambah proses pengambilan keputusan adalah tugas yang terstruktur dan dilakukan dalam konteks terbatas pada fakta-fakta dan hukum yang berlaku. Dalam proses peradilan yang menuntut objektivitas tinggi dari sang pengambil keputusan yang diharuskan bersikap netral, seorang Hakim dapat dibenarkan untuk menghindari menunjukkan perspektif apa pun yang dapat digunakan oleh pengamat untuk menentukan pandangan atau keprihatinan pribadi Hakim. Berdasarkan hal tersebut Hakim biasanya memilih untuk tetap sedekat mungkin tidak terlihat, cenderung menjaga jarak, kaku dan tetap tidak mencolok. Dalam banyak latar belakang sejarah, peran pengadilan dipandang sebagai penyembuh. Meskipun saat ini seringkali arahan atau tuntutan khususnya di bidang administratif kepada Hakim lebih banyak mementingkan keterampilan manajerial dan administratif, namun masih ada ruang untuk mempertimbangkan perspektif humanistik atau kemanusiaan sebagai salah satu alat yang paling penting bagi Hakim. Persepsi masyarakat pada umumnya tentang Hakim adalah orang yang mengadili perkara di lembaga peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipandang sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang Hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam tentang Hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum. Posisi Hakim sangat strategis dalam upaya penegakan hukum. Hakim adalah benteng terakhir, bila hakim hancur maka tidak ada gunanya segala pranata dan sistem hukum walaupun sangat baik. Di tangan hakim tempat keluarnya keadilan, Ia ibarat krain yang menyalurkan keadilan dari sumber- sumber keadilan terdalam dan tersembunyi dari pandangan masyarakat awam. Oleh karenanya hakim bukan corong peraturan perundang-undangan atau sekedar penerap hukum namun lebih daripada itu hakim juga diharapkan sebagai a healer atau penyembuh. Adagium klasik “Ius est ars boni et aequi,” memiliki arti hukum adalah seni dari kebaikan dan keadilan. Adagium ini mengingatkan kita bahwa hukum lebih dari sekedar pasal yang kerap kali dianggap sebagai kumpulan aturan yang kaku dan teknis. Padahal, hukum adalah seni yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara moralitas dan legalitas. Meskipun adagium ini terlihat sangat sederhana, sebenarnya adagium ini memiliki makna yang sangat mendalam. Hukum bukan hanya sekadar alat untuk menghukum atau mengatur, tetapi sebuah seni untuk membawa kebaikan dan memastikan keadilan ditegakkan. Misalnya, seorang Hakim tidak hanya menerapkan undang-undang secara tekstual, yakni membaca dan menerapkan pasal demi pasal secara literal. Hakim juga dituntut untuk memahami konteks sosial dan moral yang melingkupi sebuah perkara. Dapat disimpulkan, seorang Hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di masyarakat, yang kerap kali tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh bunyi aturan. Dalam kasus pidana ringan seperti pencurian kecil yang dilakukan karena kebutuhan yang mendesak, jika menerapkan hukum hanya berdasarkan aturan yang tertulis besar kemungkinan pelaku akan mendapatkan hukuman berupa penjara sesuai dengan pasal yang berlaku. Namun, jika hakim melihat dari sudut pandang rasa keadilan masyarakat, keputusan yang lebih manusiawi seperti mediasi atau rehabilitasi dapat lebih diterima. Hal ini sejalan dengan adagium “Ius est ars boni et aequi,” di mana hukum dipraktikkan tidak hanya untuk menghukum tetapi juga untuk mengembalikan harmoni sosial dan melindungi martabat manusia. Pendekatan ini menegaskan bahwa seorang Hakim memiliki peran sebagai seniman keadilan. Hakim menggunakan intuisi, empati, kebijaksanaan, serta berbagai pertimbangan matang lainnya untuk memastikan hukum tidak hanya terlihat adil, tetapi juga dirasakan adil oleh semua pihak yang terlibat. Dalam konteks modern, adagium ini tetaplah relevan. Sebagai contoh, diterapkannya keadilan restoratif di Indonesia pada beberapa kasus pidana ringan yang di mana menunjukkan bahwa hukum dapat mendamaikan pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memperbaiki hubungan sosial yang rusak. Di era teknologi dan globalisasi ini, adagium ini menjadi pengingat bahwa hukum harus adaptif, tetapi tetap memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Ada masa dimana seorang Hakim mengikuti aturan Hukum yang telah ada guna memberi kepastian hukum bagi masyarakat, ada masa menyimpanginya, ada masa dituntut untuk memahami sendiri aturan yang telah ada, ada masa menciptakan aturan hukum yang belum ada. Jadi seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum melihat dan menilai berbagai aspek keadilan. Mengadili sebuah perkara butuh keilmuan yang tidak hanya berdasarkan satu sisi pertimbangan. Seorang dokter misalnya, dalam mendiagnosa penyakit yang diderita oleh seorang pasien sebelum diberikan dosis obat yang tepat harus terlebih dahulu menganalisa berdasarkan teori yang pernah dipelajari atas gejala apa yang terlihat pada pasien tersebut. Beda halnya dengan seorang Hakim. Kasus yang sama tidak mesti diputus berdasarkan hukum dan pertimbangan yang sama. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memutus perkara. Tidak semata-mata berdasarkan hukum tertulis yang ada, tetapi dituntut untuk menggali hukum yang tidak tertulis, misalnya adab dan budaya masyarakat setempat. Tugas berat ini sangat jelas tertera dalam pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia. Setiap Hakim selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Terkadang ia tidak selalu bisa bertanya pada orang lain tentang kesulitan yang dihadapinya, oleh karena itu ia dituntut untuk mengasah kepekaaan nurani dan bekal ilmu pengetahuan yang memadai. Putusan yang dibuatnya bisa jadi menyembuhkan masyarakat namun bisa juga melemahkan dan mengecewakan. Untuk itu seorang Hakim diharapkan tidak hanya semata-mata mengadili, ia harus punya sensivitas sosial. ia harus paham kondisi dan situasi yang dialami zaman. Ia mempunyai kewajiban yang besar untuk membela mereka-mereka yang seringkali terpinggirkan dan tertindas. Namun yang tak kalah penting ialah Makna Hakim sebagai penyembuh atau "the judge as a healer" di mana Hakim tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang memberikan putusan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan berkeadilan, tetapi juga berupaya untuk memperbaiki hubungan sosial dan emosional antara para pihak yang berkonflik. Konsep ini berorientasi pada keadilan yang holistik, di mana Hakim menjadi sosok yang membantu menyembuhkan luka sosial dan emosional yang timbul akibat konflik hukum. Perubahan paradigma yang terjadi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari retributif menuju restoratif mendorong munculnya pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada keadilan substantif. Hal ini memberikan kesempatan kepada para Hakim untuk dapat lebih aktif berperan dalam membantu mengurangi ketegangan emosional para pihak yang berperkara, mendorong mediasi, dan menciptakan ruang dialog yang konstruktif. Dengan pendekatan yang lebih humanis, Hakim dapat membantu mencegah dampak sosial yang lebih luas, seperti dendam, trauma, atau ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem peradilan. Salah satu kualitas yang sangat penting dimiliki seorang Hakim sebagai penyembuh atau a healer adalah empati. Bagaimana perlakuan Hakim terhadap semua yang terlibat dalam ruang sidang, termasuk staf, pengacara, saksi serta pihak yang berperkara untuk menunjukkan adanya kepedulian yang lebih jauh terhadap kebutuhan manusia (memanusiakan manusia). Empati adalah elemen dasar dari semua penyembuhan. Empati yang dimiliki oleh seorang Hakim khususnya terhadap pihak yang berperkara, dapat ditunjukkan dengan beberapa cara. Seperti dengan memperhatikan kata-kata yang dipilih dan cara penyampaiannya pada saat persidangan, kemudian kemampuan untuk mendengarkan para pihak yang berperkara sehingga mereka merasa dihargai, gerak tubuh, proses atau keputusan Hakim yang sekali lagi menunjukkan bahwa orang lain memiliki nilai di mata pengadilan. Saran ini tidak mengharuskan Hakim untuk mengabaikan prosedur beracara yang rigid, tetapi hanya menyarankan bahwa ketika tiba saatnya pihak berperkara berbicara Hakim berusaha mendengarkan. Seorang Hakim yang secara aktif mendengarkan akan menunjukkan sikap tenang dan penuh perhatian. Bagi sebagian orang, bersikap empatik adalah sesuatu yang naluriah dan alamiah. Bagi sebagian lainnya, keinginan untuk bekerja dari dasar ketidakpahaman mungkin membutuhkan upaya yang gigih untuk "menempatkan diri mereka diposisi orang lain." Terakhir Maimonides pernah menulis: "Adalah kewajiban positif bagi hakim untuk mengatakan kepada para pihak di awal kasus, 'Apakah Anda benar-benar ingin mengajukan kasus ini, atau tidakkah Anda lebih suka menyelesaikannya secara damai.” Hakim yang ideal adalah hakim yang tidak hanya memberi sanksi, tetapi juga membangun. Sebab pada akhirnya, seni dari Hakim terletak pada kemampuannya untuk merajut kebaikan dan keadilan dalam setiap putusannya. Namun, dalam sistem pengadilan saat ini, tampaknya sulit bagi para hakim untuk menciptakan dan mempraktikkan peran sebagai penyembuh. Jumlah kasus yang sangat banyak dan rumit yang harus ditangani serta tekanan untuk mengikuti prosedur hukum yang cenderung menghilangkan nilai-nilai humanis. Namun, dengan adanya pergeseran paradigma sistem peradilan di Indonesia saat ini dari retributif menuju restoratif serta melalui perubahan sikap yang dilakukan secara sadar, baik secara individu maupun kolektif, Hakim tetap dapat mempertahankan dan menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang dihargai oleh masyarakat. Dengan menjalankan peran sebagai penyembuh, Hakim dapat meningkatkan kualitas proses pengadilan sehingga memberikan kepuasan bagi semua pihak yang terlibat.Diana Melati PakpahanCalon Hakim PN Wonosobo

Antara Antrapologi dan Filosofi Tradisi Carok Di Suku Madura

article | Opini | 2025-04-04 13:15:37

Carok, sebuah tradisi duel di Madura, Jawa Timur,  telah lama menjadi bagian dari sejarah dan budaya masyarakat setempat. Dalam pandangan akademis, tradisi ini erat kaitannya dengan dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Madura. Profesor Khoirul Rosyadi, Guru Besar Sosiologi dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), menjelaskan bahwa carok bukan sekadar aksi kekerasan, melainkan juga sebuah fenomena budaya yang memiliki akar dalam sejarah Madura. Sebagai informasi, carok merupakan pertarungan antara orang Madura dengan senjata tajam yang biasanya berupa celurit untuk memulihkan harga diri seseorang. Lalu, bagaimaan sejarah kemunculan tradisi carok? Mungkin dilestarikan tanpa adanya korban jiwa?   Akar Sejarah Carok di Madura Menurut jurnal Tradis Carok Adat Madura dalam Perspektif Kriminologi dan Alternatif Penyelesaian Perkara Menggunakan Prinsip Restorative Justice, yang dituis Aina Aurora Mustikajati, Alif Rizqi Ramadhan, dan Riska Andi Fitrioni terbit November 2021, carok berarti perkelahian dalam bahasa Kawi Kuno. Carok merupakan duel tradisional yang menggunakan celurit sebagai senjata utama. Penulis menelusuri awal mula kemunculan carok yang terjadi sejak abad ke-19. Berdasarkan buku yang dituliskan oleh dua antropolog Belanda De Jonge dan Touwen Bouswma, carok dipercaya berawal dari seorang mandor kebun tebu bernama R. Sakera. Sakera melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda menggunakan celurit, senjata khas Madura. Tindakan Sakera yang berani menginspirasi masyarakat Madura untuk melawan penjajah, meskipun hanya menggunakan senjata tradisional. Dari sinilah, carok mulai diidentifikasi sebagai sarana penyelesaian konflik di kalangan masyarakat Madura, khususnya terkait masalah kehormatan, persengketaan tanah, atau balas dendam. Dalam masyarakat Madura, kehormatan adalah nilai yang sangat tinggi, sehingga tindakan yang dianggap merendahkan harga diri seseorang dapat berujung pada duel carok. Carok sebagai Penyelesaian Konflik Pada awalnya, carok digunakan sebagai mekanisme penyelesaian konflik antar-kelompok atau antar-individu, terutama dalam lingkup keluarga. Duel ini diyakini memberikan solusi yang adil bagi pihak yang berselisih, dengan melibatkan keberanian dan rasa tanggung jawab. Dalam konteks sosiologis, carok juga dipandang sebagai cara untuk menjaga keseimbangan sosial dan mempertahankan norma-norma lokal. Masyarakat Madura, yang hidup di bawah tekanan ekonomi dan politik kolonial pada masa itu, sering kali melihat carok sebagai upaya mempertahankan hak-hak mereka. Namun, carok juga memiliki konsekuensi serius, yakni korban jiwa. Banyak duel carok berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak. Meskipun dalam beberapa kasus, carok tidak dimaksudkan untuk mematikan, tetapi sifat duel yang melibatkan senjata tajam membuat risiko kematian sangat tinggi. Filsafat Budaya dan Tradisi Carok Dari perspektif filsafat budaya, tradisi carok bisa dilihat sebagai simbol keberanian, harga diri dan perjuangan melawan ketidakadilan. Dalam masyarakat tradisional, carok seringkali dipandang sebagai tindakan yang melibatkan keberanian moral dan fisik dalam membela kehormatan. Filosofi di balik carok menekankan pentingnya membela martabat keluarga atau kelompok, yang sering kali dianggap sebagai tugas yang melekat pada individu dalam masyarakat. Namun, dalam perkembangan zaman, nilai-nilai yang diusung oleh tradisi carok mulai dipertanyakan. Masyarakat modern cenderung mengkritisi carok sebagai tindakan kekerasan yang tidak lagi relevan dengan norma hukum yang ada yang mana banyak carok, mengingat zaman sekarang istilah carok tidak asing didengar masyarakat indonesia karena banyak di viralkan oleh media baik cetak maupun media sosial. Filosofi carok yang berfokus pada kekerasan fisik mulai digeser oleh pendekatan penyelesaian konflik yang lebih damai, seperti mediasi atau negosiasi.                          Kesimpulan Tradisi duel ini sudah menelan banyak korban. Selama kurun waktu tahun 2024 silam. Salah satu peristiwa terjadi pada tanggal 12 Januari 2024, setidaknya enam orang terlibat carok di Bangkalan, Madura. Hal ini terjadi karena timbulnya rasa tersinggung. Mereka lantas menyelesaikan konflik dengan cara carok sebagai cara penyelesaian konflik, fatalnya insiden tersebut menewaskan empat orang. Penulis berharap upaya pemerintah Pusat dan Daerah sama sama untuk memberikan edukasi kepada masyarakat Madura untuk menggantikan tradisi carok dengan bentuk yang lebih aman seperti dialog, mediasi dan menyerahkan penyelesaian konflik yang terjadi ke ranah hukum agar budaya carok yang cenderung main hakim sendiri mengatasnamakan budaya tidak akan terjadi. Refrensi Arianto, H., & Krishna. (2013). Tradisi Carok Pada Masyarakat Madura. Diakses melalui https://www.esauggul.ac.id/tradisi-carok-pada-masyarakat-adat-madura/   Aisyah, B., & Muttaqin, D. (2021). Aspek-aspek psikologis dalam budaya Carok. Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, diakses melalui https://doi.org/10.32528/ins.v17i2.2059.

Pengadilan, Rule of Law dan Kesejahteraan

article | Opini | 2025-04-04 09:00:46

Di tahun 2024 panitia hadiah nobel ekonomi memberikan hadiah nobel ekonomi kepada Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson atas kontribusinya yang menjelaskan bagaimana peran institusi terhadap kesejahteraan di suatu negara. Penjelasan mengenai hubungan institusi terhadap kesejahteraan dibahas dengan lugas di dalam buku Why Nations Fail yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Pada intinya, buku ini mencoba mematahkan anggapan umum bahwa kesejahteraan suatu negara ditentukan oleh posisi geografis (berhubungan dengan sumber daya alam) dan kultur (berhubungan dengan agama atau etos kerja) negara tersebut. Di dalam bukunya, Acemoglu dan Robinson berpandangan bahwa institusi yang inklusif mendorong terciptanya kesejahteraan di dalam suatu negara (lead to prosperity) dibandingkan dengan institusi yang ekstraktif yang hanya menciptakan kesejahteraan di kalangan para elit dan tersentralisasinya kekuasaan oleh segelintir orang (lead to poverty). Institusi yang ekstraktif hanya akan menjadikan suatu negara menjadi negara yang gagal. Dalam hal ini, ciri-ciri dari institusi yang inklusif yaitu institusi yang mendorong partisipasi yang demokratis, mendorong supremasi hukum dan keadilan, dan mampu melindungi hak milik. Sementara itu, institusi yang ekstraktif yaitu institusi yang dikuasai oleh segelintir elit, tidak ada partisipasi yang demokratis, dan tidak bisa menyediakan insentif untuk inovasi dan investasi. Pengadilan dan Rule of LawSalah satu aspek yang menjadi sorotan dalam menghasilkan institusi yang inklusif adalah bagaimana penegakan hukum atau rule of law diberlakukan di masyarakat. Perihal institusi ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa eropa di abad ke-15. Di dalam praktiknya, bangsa eropa melakukan dua jenis pendekatan terhadap negara atau wilayah yang dijajah. Pertama, pendekatan ekstraktif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi masyarakat lokal dan sumber daya alam demi keuntungan negara penjajah. Kedua, pendekatan inklusif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan tujuan jangka panjang karena wilayah tersebut nantinya akan dijadikan tempat tinggal oleh bangsa eropa. Pengadilan sebagai salah satu cabang kekuasaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu pada praktiknya selalu dimarjinalkan dalam pembangunan institusi. Hal ini terlihat ketika bangsa Belanda menjajah nusantara ide-ide revolusioner yang salah satunya adalah ide pemisahan kekuasaan sebagaimana yang diterapkan di Perancis tidak pernah diterapkan secara komperhensif di tanah jajahan. Sebagaimana yang dituliskan oleh Sebastiaan Pompe di dalam buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung bahwa upaya pemerintah kolonial untuk menerapkan doktrin pemisahan kekuasaan secara formal diawali dengan Laporan Nederburgh tahun 1803. Pada prinsipnya Laporan Nederburgh menyatakan bahwa tidak boleh ada campur tangan otoritas politik terhadap jalannya peradilan dan campur tangan administratif hanya diperbolehkan untuk hal-hal tertentu saja. Namun, dalam praktiknya kolonialisme selalu ingin tampil dominan dibandingkan doktrin pemisahan kekuasaan. Gubernur Jenderal sebagai penguasa tanah kolonial seringkali menggunakan kewenangannya secara sepihak tidak melibatkan peran pengadilan. Bahkan, seorang Gubernur Jenderal mempunyai kewenangan untuk menyatakan seseorang berbahaya atau tidak bagi ketertiban umum secara sepihak tanpa ada proses yudisial. Kewenangan yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal secara eksplisit memang tidak mengubah doktrin pemisahan kekuasaan namun membuat peran pengadilan menjadi kerdil dan terbatas. Peran pengadilan yang kerdil dan terbatas kemudian terus berlanjut setelah kemerdekaan, orde lama, dan orde baru. Baru pada era setelah reformasi, kekuasaan yudisial diperkuat secara struktural dengan hadirnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang kekuasaan yudisial, dan sistem satu atap di Mahkamah Agung yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengatur para hakim yang berada di badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kondisi yang secara struktur sudah ideal namun di dalam praktiknya masih terdapat kendala. Salah satu fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah dengan adanya prasangka kekuasaan yudisial digunakan oleh kekuasaan eksekutif untuk melegitimasi kebijakan kekuasaan eksekutif yang dirasa bermasalah oleh publik. Padahal, seharusnya kekuasaan yudisial menjadi kekuasaan yang mengoreksi kebijakan kekuasaan eksekutif apabila bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai keadilan. Fenomena ini secara signifikan berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap penerapan rule of law atau supremasi hukum di Indonesia. Memperkuat Institusi Kekuasaan YudisialSalah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar penerapan rule of law atau supremasi hukum dapat berjalan dengan baik adalah dengan memperkuat institusi kekuasaan yudisial. Bagaimana pun institusi kekuasaan yudisial adalah institusi yang terbuka bagi seluruh warga negara. Hanya di pengadilan seorang warga negara bisa menggugat kebijakan atau perbuatan negara yang dirasa merugikan warga negara dan menang. Hal ini dikarenakan secara historis dan filosofis institusi kekuasaan yudisial lahir untuk melindungi warga negara dan menegakan hak asasi manusia. Upaya penguatan yang bisa dilakukan terhadap kekuasaan yudisial yaitu: 1. Menjamin kemerdekaan kekuasaan yudisial baik secara fungsi, organisasi, maupun finansial/anggaran. Dalam hal ini secara fungsi dan organisasi kekuasaan yudisial di Indonesia sudah terlepas dari kekuasaan eksekutif namun belum untuk finansial. Institusi kekuasaan yudisial masih harus meminta anggaran kepada kekuasaan eksekutif yang mana hal tersebut secara tidak langsung membuka ruang untuk intervensi kepada kekuasaan yudisial.2. Meningkatkan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan kualitas hakim di setiap badan peradilan. Apabila menggunakan pendekatan sistem yaitu input, process, dan output maka hakim yang berkualitas sudah bisa diperoleh dari sisi hulu yaitu rekrutmen hakim. Dari sisi input harus ada upaya yang dapat dilakukan agar para sarjana hukum terbaik di fakultas hukum terkemuka di Indonesia tertarik menjadi hakim. Faktanya, para sarjana hukum terbaik di Indonesia lebih memilih menjadi advokat dibandingkan menjadi hakim; 3. Evaluasi berkala terhadap hakim. Bagaimana pun profesi hakim dijalankan oleh manusia yang tidak bebas dari kesalahan. Oleh sebab itu, perlu dibuat mekanisme yang objektif, transparan, dan akuntabel dalam menilai kinerja seorang hakim. Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah eksaminasi putusan. Putusan hakim yang merupakan produk pemikiran dari seorang hakim harus bisa dijadikan dasar dalam menilai apakah hakim ini berkompeten atau tidak.

Memaknai Status “Kawin Belum Tercatat” pada Dokumen Kependudukan

article | Opini | 2025-04-03 08:10:40

Akhir-akhir ini khususnya dalam perkara Permohonan sering para Hakim menemui dokumen Kartu Keluarga yang diajukan sebagai bukti dalam persidangan pada status perkawinan tertulis "kawin belum tercatat” hal tersebut merupakan sesuatu yang tergolong baru mengingat bahwa sebelumnya pada Kartu Keluarga (KK) di kolom status perkawinan yang sering ditemui hanya terdapat status “kawin” atau “belum kawin”. Selain itu jika kita mengamati lebih lanjut terhadap KK yang berstatus "kawin belum tercatat” akan ditemui pada kolom status hubungan keluarga untuk yang laki-laki paling atas tertulis “kepala keluarga” sedangkan yang perempuan di bawahnya tertulis “istri” selanjutnya di bawahnya tertulis juga “anak”. Jika dibaca sekilas maka terasa adanya kontradiktif antara kolom status hubungan dalam keluarga (sudah tertulis kepala keluarga, istri, anak) dengan status perkawinan yang dinyatakan belum tercatat. Oleh karena itu menarik untuk dikaji bagaimana sebenarnya makna kawin belum tercatat tersebut agar Hakim di Pengadilan tidak salah menentukan hubungan hukum dan akibat hukum bagi pihak-pihak yang berstatus kawin belum tercatat.Keabsahan Perkawinan menurut UU PerkawinanPasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut UU Perkawinan) menjelaskan bahwa “perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, ini berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan telah memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam agamanya maka perkawinan tersebut telah dianggap sah menurut agama dan kepercayaan yang bersangkutan. Sedangkan Pada ayat (2) nya menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, Pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan harus dimaknai secara kumulatif, yang artinya komponen-komponen dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dari hal tersebut bisa disimpulkan meskipun pernikahan telah dilangsungkan secara sah berdasarkan hukum agama, tetapi jika belum dicatatkan maka instansi yang berwenang baik Kantor Urusan agama untuk yang beragama Islam atau kantor catatan sipil untuk non Islam, maka perkawinan tersebut belum bisa di akui oleh negara.Sebenarnya pencatatan perkawinan itu tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi untuk menyatakan bahwa peristiwa perkawinan tersebut memang ada dan terjadi. Dalam penjelasan umum UU Perkawinan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian. Pencatatan perkawinan memiliki tujuan sebagai memberikan kepastian dan perlindungan untuk para pihak yang melangsungkan perkawinan, yang dapat memberikan kekuatan buku otentik yang telah terjadi peristiwa pernikahan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan Hukum. Sebaliknya tidak dicatatkannya perkawinan, jika pernikahan telah dilangsungkan oleh pihak maka mereka tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan perkawinan yang diakui oleh negara atau yang dianggap sah oleh negara adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan agama atau kepercayaannya dan telah dicatatkan.Latar belakang dan Makna status “kawin belum tercatat”Saat ini dokumen kependudukan menjadi sangat penting bagi masyarakat karena hampir setiap kegiatan membutuhkan dokumen kependudukan, setidaknya KTP yang selalu diminta atau dilihat untuk mengkonfirmasi identitas seseorang. Tidak hanya KTP dalam perbuatan seperti mendaftar sekolah, mendaftar pekerjaan, mendapatkan program bantuan pemerintah dan lain sebagainya dibutuhkan dokumen kependudukan yang lebih lengkap yaitu KTP, KK dan Akta Kelahiran. Tidak lengkapnya dokumen tersebut atau adanya kesalahan pada isi dokumen tersebut menjadikan yang bersangkutan akan kesusahan saat melakukan perbuatan tertentu. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU Nomor 24 Tahun 2013 mendefinisikan Kartu keluarga selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.Pada awalnya dalam KK untuk status perkawinan terbagi menjadi empat kategori yaitu “Kawin”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati” dan “Cerai Hidup”, kategori tersebut diatur dalam lampiran formulir-formulir pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Formulir Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, namun dalam perkembangannya setelah munculnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Permendagri Nomor 108 tahun 2019), dalam formulirnya status perkawinan berubah menjadi berubah dan terbagi menjadi enam kategori yaitu “Kawin Tercatat”, “Kawin Belum Tercatat”, “Belum Kawin”, “Cerai Mati”, “Cerai Hidup dan “cerai hidup belum tercatat”.Untuk mengetahui makna kategori kawin belum tercatat tersebut maka perlu di lihat pada Permendagri Nomor 108 Tahun 2019 pada Pasal 10 ayat (2) menyatakan “Penerbitan KK Baru karena membentuk keluarga baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden mengenai persyaratan dan tata cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan dilengkapi dengan syarat lainnya berupa surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat”.  Sedangkan yang dimaksud surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) dijelaskan dalam Permendagri Nomor 109 tahun 2019 yaitu Formulir surat pernyataan tanggung jawab mutlak perkawinan/perceraian belum tercatat sebagai salah satu persyaratan pencantuman status perkawinan/perceraian dalam KK bagi Penduduk yang tidak mempunyai dokumen perkawinan berupa buku nikah, akta perkawinan atau kutipan akta perceraian. Dalam format SPTJM tersebut dibuat dua pihak yang pada pokoknya mereka menyatakan sebagai suami isteri yang telah terikat perkawinan dengan mencantumkan tanggal perkawinannya dan mencantumkan juga nama anak-anaknya serta ditandatangani oleh 2 orang Saksi.Uraian Pasal 10 ayat (2) Permendagri Nomor 108 tahun 2019 dihubungkan dengan penggunaan dan substansi SPTJM maka pada pokoknya aturan tersebut mengatakan bahwa pasangan suami istri yang sudah melangsungkan perkawinan namun belum tercatat atau tidak memiliki buku nikah dapat juga mendapatkan KK baru dengan melengkapi syarat-syarat pembuatan KK ditambah dengan menandatangani SPTJM Perkawinan Belum Tercatat. Dengan menambahkan SPTJM tersebut maka dapat diterbitkan KK dengan kalimat tambahan yang menerangkan status perkawinan yang bunyinya “Kawin belum tercatat”. Jadi status kawin belum tercatat tersebut pada intinya adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah dilakukan secara sah berdasarkan agamanya namun belum dicatatkan.Lebih lanjut, berdasarkan status kawin belum tercatat tersebut berimplikasi juga dengan akta kelahiran anak dari pasangan tersebut, pada Akta kelahiran anak yang dilahirkan dari perkawinan yang belum tercatat tersebut, maka pada kutipan akta kelahiran akan tetap tertulis nama ibu kandung dan ayah kandung, dengan menambahkan frasa "yang perkawinannya belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan”, karena sebelumnya jika pasangan tidak memiliki buku nikah/akta perkawinan maka pada akta anak hanya tertulis nama ibunya saja.Ketentuan adanya status “kawin belum tercatat” tersebut menurut Dirjen Dukcapil kementerian Dalam Negeri dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa ada lebih dari 34 juta pasangan suami istri yang sudah menikah namun masih belum tercatat dengan alasan tidak adanya bukti akta perkawinan atau buku nikah, sehingga mereka tidak membuat akta kelahiran dengan alasan kalau membuat akta kelahiran hanya ditulis sebagai anak ibu saja. Atas hal tersebut Dukcapil Kemendagri mencari solusi untuk melindungi istri-istri dan anak-anaknya agar mendapatkan kepastian hukum, Dukcapil  tidak melegalkan perkawinan akan tetapi hanya mendata siapa yang nikah siri siapa yang nikah tercatat dan pendataan itu dimasukkan kedalam kartu keluarga dengan syarat melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) perkawinan belum tercatat.Sebelumnya, jika seseorang yang telah menikah tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan maka pada saat pasangan tersebut memiliki anak dan bermaksud membuat kartu keluarga maka nama ayah dari anak tersebut tidak dapat dicantumkan pada kartu keluarga maupun pada akta kelahiran anak yang bersangkutan, sehingga yang tertulis hanya nama Ibu anak tersebut. Pasal 36 UU Nomor 23 tahun 2006 menyatakan “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan”  sedangkan pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Dari kedua pasal tersebut dihubungkan dengan penerbitan KK maka apabila pasangan suami isteri tidak memiliki buku nikah atau akta perkawinan maka untuk mengesahkan perkawinannya harus mendapatkan penetapan terlebih dahulu dari Pengadilan, yaitu bagi muslim mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama sedangkan yang beragama selain islam memohon penetapan untuk mencatatkan perkawinan terlambat dicatatkan. Dengan penetapan tersebut barulah pada kartu keluarga bisa tertulis “kawin” dan nama ayah juga dapat ditulis pada KK. Beberapa Konsekuensi dari Status “Kawin belum tercatat” Khususnya sebagai Hakim yang terpenting adalah bagaimana secara hukum memahami status “kawin belum tercatat” tersebut, karena salah dalam memahami makna dari status tersebut maka akan salah dalam memahami hubungan hukum lainnya. Terhadap status kawin belum tercatat tersebut terdapat isu hukum dari segi perdata dan pidana yang perlu dibahas.Meskipun dalam KK seorang laki-laki dan seorang perempuan pada kolom status hubungan dalam keluarga telah tertulis “kepala keluarga” sedangkan si perempuan tertulis “istri” serta pada status perkawinan telah tertulis “Kawin belum tercatat” namun sebagaimana telah diuraikan diatas arti dari kawin belum tercatat tersebut adalah pernikahan sah secara agama namun belum dicatatkan ke Negara sehingga perkawinan yang demikian tidak diakui oleh Negara atau dalam islam biasa disebut nikah sirri. Akibatnya juga akan berpengaruh terhadap anak yang dilahirkannya, Pasal 42 UU Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Berdasarkan pasal tersebut meskipun pada KK nama ayah dari anak tersebut tertulis begitupun juga pada akta kelahiran anak tersebut, namun karena pada dasarnya perkawinan yang demikian belum diakui negara maka anak yang dilahirkan tersebut bukan merupakan anak yang sah sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya. Bagitu juga mengenai kewarisan, karena anak yang dilahirkan pada perkawinan yang belum diakui oleh negara maka anak tersebut bukan merupakan ahli waris dari ayahnya.Lebih jauh perlu dianalisis hubungan perkara Pidana dengan status perkawinan belum tercatat, dalam KUHP terdapat delik-delik yang menggantungkan unsurnya pada adanya perkawinan. Misalnya dalam pasal perzinahan yaitu Pasal 284 KUHP, apabila untuk membuktikan unsur adanya perkawinan dalam pasal tersebut menggunakan KK yang tertulis berstatus “kawin belum tercatat” maka sesuai dengan pembahasan sebelumnya bahwa perkawinan yang demikian belum diakui oleh negara maka unsur adanya perkawinan menjadi tidak terbukti.KesimpulanStatus kawin belum tercatat tersebut pada intinya adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah dilakukan secara sah berdasarkan agamanya namun belum dicatatkan, sehingga perkawinan tersebut belum diakui Negara. Tujuan adanya status tersebut semata-mata agar seluruh penduduk yang menikah namun tidak dicatatkan (Nikah secara agama saja) memiliki KK dan juga Akta kelahiran bukan pengesahan sebuah perkawinan. Adapun konsekuensi dari kawin belum tercatat tersebut antara lain anak yang dilahirkan bukan merupakan anak yang sah dalam perkawinan sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, begitu juga dalam perkara pidana status “kawin belum tercatat” pada KK tidak dapat membuktikan unsur adanya suatu perkawinan dalam suatu pasal pidana.

Victim Impact Statement? Menelisik Peranannya dalam UU TPKS dan PERMA 1 Tahun 2022

article | Opini | 2025-04-02 13:05:25

Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian terhadap posisi dan pemenuhan hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana telah mengalami perkembangan yang cukup bagus. Salah satu konsep yang bertujuan untuk mengakomodasi hak-hak korban adalah dengan adanya penerapan victim impact statement (VIS). Konsep VIS ini muncul pertama kali setelah peristiwa tragis yang terjadi pada 20 Juli 1969 di California, Amerika Serikat (AS), yaitu pembunuhan massal yang dilakukan oleh pengikut Charles Manson, yang menyebabkan tujuh orang tewas, termasuk aktris Sharon Tate yang sedang hamil delapan bulan. Kejadian ini mempengaruhi ibu Sharon, Doris Tate, yang menderita depresi dan menjauh dari dunia luar selama lebih dari sepuluh tahun. Pada tahun 1982, Doris mengetahui bahwa salah satu terpidana, Leslie Van Houten, dijadwalkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Doris yang merupakan seorang aktivis, kemudian mendirikan Coalition for Victims’ Equal Rights, yang memperjuangkan pengesahan Victims’ Bill of Rights pada tahun 1982 di California. Salah satu poin penting dari undang-undang ini adalah hak bagi korban untuk menyampaikan pernyataan di pengadilan. Jika korban meninggal, hak ini diberikan kepada anggota keluarga. Sebelumnya, korban hanya bisa memberikan jawaban atas pertanyaan dari pengacara.Sebagaimana dalam penelitian Booth Robert dan Edgar menyatakan bahwa : “VIS allow victims (i.e. individuals directly targeted by the crime and family members of directly targeted individuals who died as a result of the crime) to tell legal decision makers (i.e. jury members and/or judges), either orally – live on audio, or on video – or in written format. Adapun kalimat tersebut dapat diartikan bahwa VIS memberikan ruang bagi korban kejahatan, termasuk anggota keluarga korban yang meninggal, untuk berkomunikasi secara langsung dengan pembuat putusan hukum (juri dan/atau hakim) tentang dampak kejahatan terhadap kehidupan mereka. Hal ini dapat dilakukan secara lisan, baik secara langsung, melalui rekaman audio atau video, atau dalam bentuk tertulis. VIS ini menggambarkan apa saja akibat yang diterima korban secara langsung sebagai akibat dari tindak pidana yang telah dialami dan sekaligus untuk membantu hakim dalam mempertimbangkan hukuman sebelum menjatuhkan vonis bagi terdakwa.Berkaitan dengan konsep VIS telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana (PERMA 1/2022). Namun sebelum lebih jauh memahami VIS dan peranannya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia maka harus dipahami dahulu apa itu tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana limitasi penulis akan mengaitkan VIS dengan korban tindak pidana kekerasan seksual dalam pengajuan restitusi baik selama proses persidangan maupun pasca persidangan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap (BHT) dan Model Rekomendasi VIS yang tepat yang bisa digunakan oleh korban atau keluarga korban dalam pengajuan permohonan baik secara langsung atau tertulis. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU TPKS bahwa TPKS adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam UU ini. Adapun definisi korban pada Pasal 1 ayat 4 UU TPKS adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan TPKS. Sedangkan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.VIS dengan restitusi sangat berkaitan karena keduanya bertujuan untuk memberikan pemulihan kepada korban tindak pidana. VIS memungkinkan korban untuk menyampaikan dampak yang mereka alami akibat kejahatan tersebut, baik secara fisik, psikologis, sosial, maupun ekonomi, yang menjadi dasar bagi Hakim di pengadilan untuk menentukan jumlah restitusi yang adil. Restitusi sendiri merupakan hak yang diberikan kepada korban untuk mengganti kerugian yang dialami, dan VIS memberikan informasi yang diperlukan agar restitusi yang diberikan sesuai dengan dampak yang ditanggung oleh korban. Dengan kata lain, VIS berfungsi sebagai alat yang membantu hakim menetapkan besaran restitusi yang proporsional dan mencerminkan kerugian korban secara menyeluruh. Adapun bentuk restitusi yang diatur dalam Pasal 4 PERMA 1/2022 meliputi: ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti rugi materiil dan immateriil akibat penderitaan langsung dari tindak pidana, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, serta ganti rugi atas kerugian lain akibat tindak pidana. Selanjutnya syarat permohonan restitusi menurut Pasal 5 PERMA 1/2022 mencakup identitas pemohon, identitas korban (jika pemohon bukan korban itu sendiri), uraian tindak pidana, identitas terdakwa/termohon, uraian kerugian yang diderita, dan besaran restitusi yang diminta. Mengenai syarat permohonan restitusi untuk korban anak, permohonan dapat diajukan oleh orang tua, keluarga, wali, ahli waris, kuasa hukum, atau LPSK secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. Permohonan diajukan langsung kepada ketua pengadilan atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum.Lalu? Bagaimana cara pengajuan restitusi itu sendiri, Pertama, pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam Vide Pasal 8 s/d 10 PERMA No 1 Tahun 2022. Permohonan ini dapat diajukan langsung oleh korban, atau melalui LPSK, penyidik, atau Penuntut Umum. Dalam hal permohonan diajukan melalui penyidik atau LPSK, mereka wajib menyampaikan berkas permohonan kepada Penuntut Umum, baik sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan, atau paling lambat sebelum Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana. Jika korban tidak mengajukan permohonan restitusi, hakim wajib memberitahukan hak korban untuk memperoleh restitusi, yang dapat diajukan sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan atau setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dalam putusannya, hakim harus memuat pernyataan mengenai diterima atau tidaknya permohonan restitusi, beserta alasan untuk menerima atau menolak permohonan tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya. Selain itu, hakim juga wajib mencantumkan besaran restitusi yang harus dibayarkan oleh terdakwa, atau oleh orang tua terdakwa jika yang bersangkutan adalah anak, dan/atau oleh pihak ketiga yang berkaitan. Restitusi yang diputuskan oleh hakim bertujuan untuk memulihkan kerugian yang dialami korban, baik dalam bentuk materiil maupun immateriil.Permohonan restitusi tidak menghapuskan hak korban, keluarga, ahli waris, atau wali untuk mengajukan gugatan perdata. Hal ini dapat dilakukan apabila terdakwa diputus bebas atau lepas, atau jika terdapat kerugian yang diderita korban yang belum dimohonkan restitusi kepada pengadilan, atau yang telah dimohonkan tetapi tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Oleh karena itu, meskipun restitusi diberikan, korban tetap memiliki hak untuk menuntut ganti rugi melalui jalur gugatan perdata jika terdapat kerugian yang belum terakomodasi. Kedua, permohonan restitusi juga dapat diajukan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap Vide Pasal 11 s/d 15 PERMA No 1 Tahun 2022, dengan waktu pengajuan paling lama 90 hari sejak Pemohon mengetahui putusan tersebut. Dalam hal ini, terpidana menjadi pihak termohon dalam permohonan restitusi, sementara Jaksa Agung atau Jaksa bertindak sebagai pihak terkait dalam proses permohonan tersebut. Dengan demikian, meskipun restitusi dapat diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, proses pengajuannya tetap dilakukan melalui mekanisme yang jelas untuk memastikan hak-hak korban tetap terlindungi.Sebagaimana inti Pasal 8 ayat 4 PERMA 1/2022 apabila korban tidak mengajukan permohonan restitusi, maka hakim wajib memberitahukan hak korban untuk memperoleh restitusi, maka disini peranan VIS masuk dalam menyuarakan hak-hak korban yang bisa secara langsung membuat permohonan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan baik secara langsung atau melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum Pasal 5 ayat 4 PERMA 1/2022. VIS menjadi jembatan bagi korban untuk mengungkapkan secara resmi dan terstruktur dampak yang mereka alami akibat tindak pidana, sekaligus memungkinkan mereka untuk mengajukan permohonan restitusi dengan lebih mudah dan jelas.Berikut merupakan Model VIS yang diusulkan oleh penulis di mana dalam model ini, penulis merujuk pada Pasal 4 dan 5 PERMA 1/2022, yang mengatur tentang restitusi bagi korban kejahatan. Selain itu, VIS harus memuat syarat-syarat permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, yaitu: “identitas Pemohon, identitas Korban (jika pemohon bukan korban langsung), uraian Tindak Pidana, identitas Terdakwa/Termohon, uraian Kerugian yang diderita, besaran Restitusi yang diminta.”Gambar 1.1Model Victim Impact Statement (Pernyataan Dampak Korban)Model VIS yang diusulkan bertujuan untuk memberikan panduan yang jelas dalam melindungi hak-hak korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana. Model ini digunakan apabila LPSK tidak mengajukan rekomendasi penetapan restitusi kepada Penuntut Umum atau Pengadilan. Dengan adanya format yang terstruktur, VIS dapat dengan mudah dipergunakan oleh korban atau perwakilannya untuk menyampaikan dampak yang mereka alami.Selain itu, VIS juga memberikan kemudahan bagi hakim dalam memahami tingkat penderitaan korban, sehingga putusan yang diambil bisa lebih adil dan berpihak pada korban (victim centered-oriented). VIS ini sangat penting di mana tidak hanya untuk mengakomodir penderitaan korban, tetapi juga dalam aspek pemulihan yang harus diterima oleh korban akibat dari tindak pidana tersebut. Restitusi yang tercantum dalam VIS mencakup berbagai bentuk pemulihan, baik finansial maupun psikologis. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, dampak yang dialami sering bersifat jangka panjang dan dapat mempengaruhi aspek sosial dan pendidikan korban. Oleh karenanya penggantian biaya medis dan psikologis menjadi bagian vital dalam VIS, agar korban memperoleh perawatan yang diperlukan.VIS juga berfungsi untuk memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dalam proses peradilan. Identitas pemohon dan korban yang tercantum dalam VIS bertujuan untuk memberikan kepastian tentang siapa yang berhak mengajukan pernyataan ini, yang sangat penting dalam kasus korban di bawah umur. VIS dapat diajukan oleh orang tua, wali, atau pihak yang mendampingi korban secara hukum. Kejelasan ini mempermudah proses hukum dan menghindari penyalahgunaan hak korban dalam sistem peradilan. Uraian tindak pidana dalam VIS memiliki peranan untuk menjelaskan kronologi kejadian yang dialami korban secara rinci dan sistematis, sehingga dapat menggambarkan dampak nyata dari kejahatan tersebut. Informasi tentang identitas terdakwa atau termohon dalam VIS juga krusial untuk memastikan bahwa tuntutan restitusi diarahkan pada pihak yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut.Selain itu, uraian tentang kerugian yang diderita korban dalam VIS harus dijelaskan secara spesifik, meliputi dampak fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Penjelasan yang detail akan menjadi bahan pertimbangan utama bagi hakim dalam menentukan jenis pemulihan yang paling tepat untuk korban. Terakhir, besaran restitusi yang diminta dalam VIS harus dijelaskan dengan jelas dan didukung oleh bukti yang relevan, seperti kwitansi pengobatan, laporan psikologis, atau dokumen lain yang mendukung klaim korban. Dengan VIS yang terstruktur dan standar yang jelas, diharapkan keadilan bagi korban kekerasan seksual pada anak dapat lebih terwujud dalam sistem hukum Indonesia.

Paradigma Restorative Justice dalam Peradilan Pidana Modern

article | Opini | 2025-04-02 08:10:01

Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, restorative justice atau keadilan restoratif adalah istilah yang sangat jamak digunakan pada konteks penegakan hukum pidana. Dari hasil penelusuran Google Trends misalnya, kata kunci “restorative justice” mulai menunjukkan tren peningkatan pada tahun 2012. Salah satu penyebabnya karena UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang terbit pada tahun tersebut. Beleid ini merupakan aturan positif yang pertama kali memperkenalkan istilah “keadilan restoratif”. Prinsip keadilan restoratif terwujud dalam bentuk diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana. Walaupun kini merupakan terminologi ilmu hukum, akan tetapi embrio awal restorative justice justru ditulis oleh psikolog bernama Albert Eglash. Dalam publikasi tahun 1958 bertajuk Creative Restitution. A Broader Meaning for an Old Term, Eglash mengemukakan upaya restitutif pada proses penghukuman sebagai “bentuk pendekatan mental, membangun kekuatan diri, mengembangkan ego yang sehat”. Kerangka ini dikembangkan lebih lanjut pada tahun 1990 oleh kriminolog asal Amerika Serikat Howard Zehr melalui Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Zehr yang kini dikenal luas sebagai the grandfather of restorative justice mengkritik paradigma sistem peradilan retributif (pembalasan) karena hanya cenderung menghukum pelaku tanpa memperhatikan kebutuhan korban. Maka dari itu, restorative justice hadir untuk mengakomodasi kepentingan korban dan mendorong pemulihan keadaan seperti semula.Di Indonesia, restorative justice memang merupakan paradigma penegakan hukum yang relatif baru. Pendekatan ini mulai diperhatikan pada sekitar tahun 2012 pasca kasus pencurian kakao Mbok Minah yang kala itu benar-benar menggegerkan publik. Minah, 55 tahun, dijatuhi pidana penjara selama 1 bulan dan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan karena terbukti mencuri 3 buah kakao. Perkara inilah yang selanjutnya melahirkan memorandum Nota Kesepahaman Mahkumjakpol tahun 2012 mengenai penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana ringan. Di samping itu, Mahkamah Agung juga menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Pada ketentuan ini, seluruh nilai denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali lipat agar sesuai dengan inflasi, sedangkan nilai kerugian pada beberapa delik tindak pidana ringan disesuaikan menjadi Rp2,5 juta.Pada tanggal 7 Mei 2024, Mahkamah Agung meluncurkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam aturan tersebut, terdapat beberapa poin penting yang akan mengubah lanskap praktik hukum acara pidana. Pertama, mekanisme restorative justice tidak bisa diterapkan jika tak ada kesepakatan antara terdakwa dan korban, merupakan pengulangan tindak pidana sejenis dalam jangka waktu tiga tahun, serta jika terdapat relasi kuasa. Timpangnya kedudukan antara pelaku dan korban karena relasi kuasa inilah yang kerap luput dari perhatian penegak hukum. Akibatnya, korban terpaksa menyetujui kesepakatan damai disebabkan intimidasi, eksploitasi, atau kesenjangan hierarki status sosial. Hal ini terjadi contohnya dalam penghentian perkara kasus pelecehan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan alasan korban telah dinikahkan dengan pelaku. Kedua, mekanisme restorative justice di persidangan dimulai setelah penuntut umum membacakan surat dakwaan. Apabila terdakwa membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan dan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi), maka hakim melanjutkan agenda sidang dengan pemeriksaan saksi korban. Hakim kemudian menanyakan tentang kronologis tindak pidana yang dialami, kerugian yang timbul dan kebutuhan korban, serta adanya perdamaian dengan terdakwa sebelum persidangan, termasuk realisasinya. Pada tahap ini, hakim memiliki peran aktif untuk menggali informasi mengenai dampak tindak pidana, kerugian ekonomi, dan biaya medis korban serta kemampuan terdakwa dalam melaksanakan kesepakatan perdamaian. Dengan menyampaikan permasalahan dan kebutuhan masing-masing, terdakwa dan korban akan terlihat sebagai individu yang lebih manusiawi. Melalui paradigma restorative justice, korban dapat mengerti apa motif dan tujuan seseorang melakukan tindak pidana, sedangkan terdakwa memahami bagaimana dampak perbuatannya akan mempengaruhi kehidupan seseorang.Ketiga, kesepakatan perdamaian antara korban dan terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan berupa pidana bersyarat/pengawasan (voorwaardelijke straf). Demi memastikan terdakwa melaksanakan kesepakatan perdamaian, hakim juga dapat memasukkannya sebagai syarat khusus dalam diktum putusan. Dengan demikian, restorative justice dapat mendorong alternatif pemidanaan selain pidana penjara dan berpotensi mengurangi tingkat overcrowding lapas/rutan yang kini telah menyentuh angka 92%. Hal ini sekaligus membantah kekeliruan umum bahwa tujuan restorative justice pasti bermuara ke penghentian perkara. Padahal, penerapan prinsip keadilan restoratif sama sekali tidak menihilkan pertanggungjawaban pidana.Restorative justice merupakan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan keadaan dan kondisi korban dengan melibatkan peran serta pelaku. Pada sistem peradilan pidana modern, restorative justice menuntut peran sentral hakim dalam proses penegakan hukum yang lebih humanis. Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2024, tugas hakim kini bukan hanya sekedar menjatuhkan hukuman, akan tetapi juga turut mengupayakan kesepakatan perdamaian. Dengan demikian, proses peradilan dapat memastikan agar hak-hak korban terpenuhi, mendorong partisipasi pelaku, serta membuka alternatif pemidanaan selain penjara.

Mengawal Masa Depan: Peran Hukum dalam Memastikan Kemajuan Teknologi yang Etis

article | Opini | 2025-04-01 08:10:47

Dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi, kita menghadapi peluang besar sekaligus dilema etis. Inovasi ini menjanjikan transformasi dalam kesehatan, pertanian, dan berbagai aspek kehidupan. Namun, juga menghadirkan risiko atas hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Kerangka hukum yang kuat berbasis etika manusia-sentris dan lingkungan sangat penting untuk menjawab tantangan zaman yang baru ini.Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan teknologi sering melampaui regulasi hukum. Akibatnya, masyarakat menghadapi konsekuensi inovasi yang tidak terkendali. Potensi kerusakan lingkungan (akibat pemakaian energi yang kian tinggi seiring meningkatnya kecanggihan teknologi) dan ketidaksetaraan sosial adalah beberapa contohnya. Kini, dengan perkembangan pesat AI dan bioteknologi, taruhannya semakin tinggi. Perlindungan hukum diperlukan untuk memastikan teknologi ini menguntungkan seluruh umat manusia, bukan hanya segelintir orang beruntung yang kebetulan sudah terlanjur kaya.Etika Manusia-sentris dalam Regulasi TeknologiSelaras dengan pendapat John Rawls, hukum jelas harus melindungi hak individu dan menegakkan keadilan sosial. Lebih lanjut, Martha Nussbaum pun menekankan pentingnya meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan manusia. Dengan memprioritaskan kerangka etis ini, kita dapat mengembangkan regulasi yang melindungi martabat manusia dan memperjuangkan kebaikan bersama.Etika Lingkungan dan Dampak TeknologiHans Jonas pada prinsipnya menekankan kewajiban mempertimbangkan dampak jangka panjang tindakan kita terhadap generasi mendatang dan lingkungan. Prinsip ini relevan dengan regulasi AI dan bioteknologi. Lebih lanjut, Aldo Leopold pun memandang manusia sebagai anggota komunitas ekologi yang lebih luas. Pendapat-pendapat tersebut dapat membimbing pembuatan perundang-undangan yang melindungi lingkungan alam kita. Bahkan sejak zaman dahulu, perspektif spiritual dalam banyak kepercayaan animisme pun memiliki penghormatan khusus terhadap alam dan kesakralan elemen alami. Kita sebaiknya menghormati dan melindungi lingkungan sebagai entitas hidup, dan dengan demikian berusaha untuk seoptimal mungkin menyelaraskan kemajuan teknologi dengan preservasi alam semesta.Mengatasi Ketidakadilan Sosial dalam Penggunaan TeknologiAda beberapa jenis teknologi yang bersifat selaras dengan semangat keadilan sosial, seperti contohnya internet. Orang yang sangat kaya kini boleh jadi menikmati hiburan yang sama dengan anggota kelas menengah pada umumnya, selama mereka sama-sama memiliki gawai. Dengan hanya bermodalkan wi-fi, anggota kelas menengah yang memiliki pendapatan minimum kabupaten sudah dapat menikmati film seri yang sama dengan yang ditonton oleh miliuner ibukota di Netflix.Namun ada juga jenis teknologi yang boleh jadi memperbesar jurang antara si kaya dan si miskin. Misalnya terkait rekayasa genetika. Selama ini kita tahu bahwa belum tentu orang kaya secara karakter maupun kecerdasan lebih baik dari orang miskin. Namun apabila dengan rekayasa genetika si orang kaya dapat menentukan sendiri keturunan macam apa yang dia inginkan. Misalnya memiliki potensi tinggi badan, otot seperti atlet namun disertai dengan potensi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual setara para pemimpin besar dunia. Apabila teknologi seperti CRISPR hanya dapat diakses oleh orang kaya karena harganya yang mahal, boleh jadi ketidaksetaraan genetik akan terjadi. Apabila tidak diatur dengan baik, bisa jadi di masa depan orang kaya memang akan selalu lebih baik (dalam hal bentuk fisik, karakter, dan kecerdasan) dibandingkan dengan orang miskin. Terkait hal ini, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memperingatkan tentang ketimpangan kekuasaan dan kekayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.Kita memerlukan perundang-undangan yang memastikan akses adil terhadap kemajuan teknologi. Ini termasuk mengatur harga penggunaan CRISPR dan bioteknologi lainnya agar lebih terjangkau. Sedangkan terhadap AI, pedoman lebih ketat juga diperlukan untuk menghilangkan bias dalam pengkodean dan penerapannya.Kerangka Hukum Indonesia dan InternasionalMengkaji kerangka hukum yang ada penting untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan area yang perlu diperbaiki. Perjanjian internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Deklarasi Universal UNESCO tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia boleh jadi memberikan prinsip-prinsip dasar yang diperlukanDi Indonesia sendiri masih diperlukan perundang-undangan yang lebih spesifik tentang masalah etika terkait dengan AI dan bioteknologi. Ada kebutuhan mendesak untuk kerangka hukum komprehensif yang mengintegrasikan etika manusia-sentris dan lingkungan dalam tata kelola teknologi.Tujuan Akhir InovasiTujuan akhir inovasi adalah meningkatkan kebahagiaan manusia dan menjawab misteri alam semesta. Berdasarkan kerangka hukum pada etika manusia-sentris dan lingkungan, serta menangani risiko sosial ekonomi dalam teknologi ini, kita memastikan manfaat dari AI dan bioteknologi dibagikan secara adil dan berkelanjutan.Masa depan perkembangan teknologi ada di tangan kita. Terserah kita untuk memastikan bahwa itu dipandu oleh prinsip-prinsip yang mencerminkan standar etika tertinggi dan penghormatan terdalam kita terhadap jalinan kehidupan yang saling terkait.

Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian

article | Opini | 2025-03-31 08:10:06

Restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif adalah salah satu konsep pendekatan pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang telah dikenal oleh sistem hukum negara-negara dunia maupun di Indonesia. Terminologi Restorative justice berasal dari kata dasar “restore” berarti mengembalikan, memulihkan atau memperbaiki. Lebih lengkap "restorative justice" berasal dari gabungan dua kata yaitu "restorative" (pemulihan) dan "justice" (keadilan). Istilah "restorative" mengacu pada proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan yang rusak atau terganggu ke kondisi semula atau lebih baik. Dalam konteks keadilan, ini berarti memulihkan kerugian yang diderita oleh korban dan memperbaiki dampak kejahatan terhadap masyarakat dan pelaku. Sedangkan istilah “justice” adalah prinsip moral dan hukum yang memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan cara yang benar, adil, dan setara. Ini melibatkan pemberian hak yang sesuai dan penanganan yang adil terhadap pelanggaran hukum. Konsep Restorative justice secara garis besar berfokus pada pemulihan kerugian yang dialami oleh korban, rehabilitasi pelaku, dan pemulihan hubungan sosial di masyarakat yang terganggu akibat perilaku tindak pidana. Tahun 2024 lalu, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mengukuhkan prinsip-prinsip restorative justice ini dalam sistem peradilan Indonesia. Sebelum restorative justice disebutkan secara eksplisit dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, konsep restorative justice telah ditemukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).Ketentuan pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan” dilanjutkan pada Pasal 5 ayat (1) UU SPPA berbunyi” Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. bunyi pasal tersebut menjelaskan dalam sistem peradilan pidana anak mengutamakan pendekatan restoratif dalam penanganan kasus anak sebagai pelaku.Selang sewindu setelah konsep pendekatan restorative justice sering didengungkan, institusi-institusi penegak hukum menerbitkan peraturan internal mereka antara lain Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Badilum) Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan beberapa ketentuan lain yang tidak secara langsung mengatur restorative justice tetapi pengaturannya telah menggunakan pendekatan yang lebih restoratif.Empat tahun setelah Badilum menerbitkan pedoman tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tersebut dengan tujuan mendukung kelancaran penyelenggaraan peradilan, mengisi kekosongan dalam hukum dan sebagai letigimasi pengaturan restorative justice. Pasal 1 angka 1 Perma Nomor 1 Tahun 2024 menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait lainnya untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma tersebut menjelaskan pada pokoknya restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidana ringan, delik aduan, tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara, pelaku anak yang diversinya tidak berhasil, dan tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan. Namun, Pasal 6 ayat (2) Perma tersebut juga membatasi kewenangan Majelis Hakim pada perkara yang tidak dapat menerapkan restorative justice, antara lain jika korban atau terdakwa menolak perdamaian, terdapat relasi kuasa, atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun.Mekanisme yang diatur dalam Perma ini singkatnya adalah pada sidang pertama, jika terdakwa membenarkan perbuatan dan tidak ada nota keberatan, proses dilanjutkan dengan mekanisme restorative justice (vide Pasal 7). Majelis hakim memeriksa kehadiran korban dan meminta keterangannya mengenai kronologis tindak pidana, kerugian, dan perdamaian sebelumnya (vide Pasal 8). Jika sudah ada perdamaian, majelis hakim memeriksa kesepakatan tersebut dan menjadikannya pertimbangan dalam putusan (vide Pasal 9).Jika perdamaian belum terjadi atau belum dilaksanakan sepenuhnya, majelis hakim mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh kedua belah pihak. Kesepakatan harus dicapai tanpa kesesatan, paksaan, atau penipuan (vide Pasal 10-13).Dalam kasus delik aduan, kesepakatan antara terdakwa dan korban dapat berupa terdakwa melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan penarikan pengaduan. Jika ditandatangani di hadapan majelis hakim, penuntutan dianggap gugur. Jika belum ada perdamaian, majelis hakim akan menganjurkan terdakwa dan korban untuk mencapai kesepakatan. Jika disetujui, majelis hakim membantu mencapai kesepakatan (vide Pasal 14-15).Majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum memanggil pihak terkait, seperti tokoh agama atau masyarakat, untuk mendukung kesepakatan perdamaian. Mekanisme restorative justice harus dilakukan sebelum tuntutan pidana diajukan, dengan memperhatikan masa penahanan terdakwa dan jangka waktu penyelesaian perkara (vide Pasal 16-17).Implementasi dalam putusan majelis hakim setelah mekanisme mengadili berdasarkan restorative justice telah dilalui sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan kesepakatan perdamaian yang berisi penggantian kerugian, pelaksanaan atau tidak melaksanakan perbuatan tertentu adalah majelis hakim menerapkan dalam putusan menjadi pertimbangan yang meringankan hukuman atau sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan (vide Pasal 18-19). Adapun tanda pengukuhan bahwa restorative justice telah diterapkan yaitu majelis hakim akan mencantumkan ketentuan peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya (vide Pasal 21).Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang lebih komprehensif daripada sekadar perdamaian. Namun, sering kali ditemukan dalam praktik peradilan pidana, baik pada tahapan sejak penyidikan hingga penuntutan di persidangan, ditemukan terjadi pergeseran pemahaman dimana restorative justice menjadi sekadar upaya untuk mencapai perdamaian antara pelaku dan korban. Dalam beberapa kasus, pendekatan restorative justice diinterpretasikan sebagai mediasi sederhana tanpa adanya upaya untuk mengatasi dampak-dampak dari kejahatan yang terjadi. Misalnya, dalam kasus tertentu, pelaku dan korban lebih ditekankan untuk berdamai tanpa menekankan upaya untuk memperbaiki kerugian yang dialami korban atau rehabilitasi bagi pelaku, ketika ada permaafan dari korban. Pencapaian restoratif berupa pemulihan seolah menjadi asesor. Seolah ada atau tidak ada ketentuan pemulihan yang ditetapkan tidak menjadi masalah asalkan perdamaian telah tercapai.Contoh keresahan mengenai pergeseran paradigma mengenai restorative justice antara lain dapat dilihat dalam tulisan Nurul Nur Azizah yang berjudul “Riset Komnas Perempuan: Restorative Justice Harus Berperspektif Korban, Realitasnya Belum” (2023). Ia menyebutkan bahwa restorative justice tidak seharusnya dianggap sebagai upaya untuk mendamaikan korban dan pelaku demi melupakan kasus atau menyelesaikan kasus dengan menikahkan pemerkosa dan korbannya.Dalam tulisan Nurul Nur Azizah tersebut juga menyajikan data dari riset Komnas Perempuan bahwa dari 68 responden, 45 orang merasa belum pulih, sementara 21 lainnya merasa lebih pulih dengan hasil atau kesepakatan yang dicapai. Jumlah korban yang merasa pulih relatif merata di tiga wilayah, tetapi yang merasa belum pulih lebih banyak di wilayah timur (18 orang) dibandingkan dengan wilayah barat (15 orang) dan tengah (12 orang). Data tersebut menunjukkan masih banyak divergensi persepsi akan penerapan restorative justice yang ditunjukkan dari riset hasil yang dirasakan oleh korban-korban.Tercapainya suatu perdamaian bukanlah hal buruk dalam suatu perkara pidana karena sejak dahulu dalam praktik peradilan pidana, perdamaian juga sering disebutkan sebagai keadaan yang meringankan terdakwa.  Akan tetapi, apabila membahas mengenai perkara yang dinyatakan telah menerapkan pendekatan restorative justice hanya ketika perdamaian telah tercapai adalah belum tepat sepenuhnya karena konsep tercapainya perdamaian dibandingkan penerapan restorative justice adalah berbeda. Restorative justice semestinya memiliki mekanisme yang bertujuan untuk mengedepankan bentuk pemulihan kepada korban. Hal itu merupakan kesatuan dari perdamaian, keterlibatan pihak terkait, batasan syarat, batasan waktu pelaksanaan, mekanisme proses berjalan, memperhatikan hak korban dan tanggung jawab Terdakwa, sehingga mencapai pemulihan yang berkeadilan.Restorative justice dalam perspektif Perma Nomor 1 Tahun 2024 memberikan uraian baik teknis maupun administratif dalam Sistem Peradilan Pidana, terkhusus kepada para hakim dalam mengadili perkara pidana dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan restoratif. Artinya, restoratif dianggap telah diterapkan ketika mekanisme telah dilaksanakan sesuai ketentuan tersebut hingga pelaksanaan bentuk pemulihan yang dihadirkan kepada seluruh pihak terkhusus bagi korban. Selanjutnya, pergeseran paradigma keadilan restoratif berupa anggapan restorative justice telah diterapkan bila pencapaian perdamaian telah terlaksana tetapi tanpa menekankan pemulihan masih perlu dikoreksi, karena tidak sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan oleh restorative justice. Di sisi lain beberapa kalangan memandang kehadiran Perma tersebut dirasa membatasi ruang gerak untuk menerapkan restorative justice dalam beberapa perkara karena pengaturan batasan kategori-kategori dan mekanisme yang cukup kompleks. Pada akhirnya, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai penerapan restorative justice, kehadiran Perma tersebut dengan segala ketentuan yang terkandung di dalamnya, membantu mempertahankan paradigma mengenai restorative justice agar tetap sesuai dan tidak diartikan sederhana sekadar perdamaian.

Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak

article | Opini | 2025-03-30 13:00:01

Pendahuluan Sistem peradilan pidana anak di Indonesia telah mengalami pembaharuan. Terakhir pembaharuannya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Tujuan pembaharuan ini adalah untuk mendedikasikan sistem peradilan yang lebih berfokus pada perlindungan hak-hak anak, kepentingan terbaik bagi anak, serta perampasan kemerdekaan dan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Namun, dalam pelaksanaannya, masih terdapat kendala, yaitu belum diterapkannya pidana peringatan oleh hakim yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a Jo. Pasal 72 UU SPPA. Hal ini disebabkan karena masih adanya kekaburan hukum mengenai jenis tindak pidana dan bentuk template putusan pidana peringatan ini sendiri. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara (Nashriana, 2014). Dengan demikian anak seharusnya mendapatkan pembinaan dan perlindungan, mengingat keadaan fisik dan mentalnya masih labil, yang dalam banyak hal perlu mendapat perlakuan dan perlindungan khusus, terutama terhadap perbuatan yang dapat merugikan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan diri si anak. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pengaturan anak sebagai pelaku tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 Angka 3 UU SPPA menyatakan bahwa “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Sejak diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, terdapat perubahan jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) dan (2) UU SPPA, yaitu: Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. Pidana peringatan; b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga; 2.  Pelayanan masyarakat; atau 3.  Pengawasan. c.   Pelatihan kerja; d.  Pembinaan dalam lembaga; dan e.  Penjara. 2.  Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat. Dari sekian jenis pidana yang menjadi perhatian penulis adalah pidana peringatan yang diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA. Selanjutnya Pasal 72 UU SPPA menyatakan bahwa “Pidana Peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak”. Pidana peringatan selain diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) Jo. Pasal 72 UU SPPA juga diatur dalam Pasal 115 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) dan Pasal 4 huruf a Jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak. Berbeda dengan pidana peringatan dalam Pasal 71 UU SPPA, KUHP Nasional tidak menyebutkan definisi pidana peringatan. Namun disisi lain terdapat persamaan antara Pasal 71 UU SPPA dengan Pasal 115 huruf a KUHP Nasional yang hanya menyebutkan “cukup jelas” dalam penjelasan UU tersebut. Kemudian untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71 Ayat (5) dan Pasal 82 Ayat (4) UU SPPA, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2022 tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan Terhadap Anak (PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak) yang mengatur mengenai pidana peringatan dalam Pasal 7 dengan ketentuan sebagai berikut: Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak.Pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dijatuhkan kepada Anak dengan tujuan agar Anak tidak mengulangi perbuatannya.Putusan pemidanaan yang memuat pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diucapkan Hakim dalam persidangan.Dalam hal putusan pidana peringatan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dilakukan oleh Jaksa dengan cara membacakan peringatan dari putusan pengadilan kepada Anak yang didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan/atau orangtua/wali. Dalam penjelasan dari Pasal 7 Ayat (2) PP Pidana dan Tindakan Terhadap Anak disebutkan bahwa “Pidana peringatan antara lain berupa teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran”. Dalam praktiknya terdapat banyak putusan yang telah menerapkan pidana peringatan terhadap anak, diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sitoli Nomor 7/Pid.Sus-Anak/2024/PN Gst yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 72/PID.SUSAnak/2024/PT MDN tanggal 12 Desember 2024 dan Putusan Nomor 2189 K/Pid.Sus/2025 tertanggal 3 Maret 2025. Penempatan pidana peringatan pada urutan ke-1 (kesatu) dalam Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA bukanlah tanpa maksud, hal tersebut dimaksudkan sebagai salah satu bentuk proteksi terhadap anak pelaku tindak pidana serta memberikan alternatif jenis pidana bagi hakim dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada anak selain pidana penjara. Pidana penjara sendiri diletakkan pada posisi terakhir dalam Pasal 71 Ayat (1) UU SPPA yang berarti pidana penjara adalah sebagai upaya terakhir dalam penjatuhan pidana (ultimum remedium). Pembahasan Penjelasan atas UU SPPA menyatakan bahwa prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan hasil ratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak) dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun kemudian UU Pengadilan Anak ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga digantikan oleh UU SPPA yang dilakukan dengan tujuan agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Hakim dalam memeriksa suatu perkara akan menuangkan hasil pemeriksaannya di dalam putusan, termasuk apabila hakim memutus perkara pidana anak yang menjadi pelaku pidana. Putusan pengadilan ini adalah ujung dari proses perkara dimana perkara tersebut gagal dilakukan upaya diversi dalam setiap tingkat penanganan perkara, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan. Aturan tentang penjatuhan pidana terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sangatlah beragam dan telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari KUHP, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU SPPA yang jika dibandingkan aturan pidana pokoknya dapat dilihat dari tabel berikut: KUHP Lama UU 3 Tahun 1997 Pasal 10 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tututan Pasal 23 Ayat (2) a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan UU 11 Tahun 2012 UU 1 Tahun 2023 (KUHP Nasional) Pasal 71 Ayat (1) a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga 2. Pelayanan masyarakat 3. Pengawasan c. Pelatihan kerja d. Pembinaan dalam lembaga e. Penjara Pasal 65 Ayat (1) a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda e. Pidana kerja sosial   Pasal 115 a. Pidana peringatan b. Pidana dengan syarat: 1.  Pembinaan di luar lembaga 2. Pelayanan masyarakat 3. Pengawasan c. Pelatihan kerja d. Pembinaan dalam lembaga e. Pidana penjara   Dari perbandingan dan pembaharuan jenis pidana pokok pada kolom di atas, terdapat hal yang menarik perhatian, yaitu adanya pidana peringatan dalam UU 11 Tahun 2012 atau UU SPPA dan UU 1 Tahun 2023 atau UU KUHP Nasional yang memberikan perubahan dalam hal perlindungan terhadap anak. Mengapa pidana peringatan ini menjadi menarik perhatian untuk dibahas? Hal ini dikarenakan pidana peringatan sebelumnya tidak ada di dalam KUHP Lama maupun di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian peringatan menurut Kamus Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional adalah 1) nasihat (teguran dsb) untuk memperingatkan, 2) kenang-kenangan; sesuatu yang dipakai untuk memperingati, 3) catatan, 4) ingatan, 5) hal memperingati (mengenang dsb). Sedangkan definisi pidana sendiri memiliki berapa unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Priatno yang terdiri dari: Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Priyatno, 2006). Setelah dijelaskan dan dipahami unsur-unsur atau ciri-ciri pidana, maka dapat dijelaskan mengenai pengertian pemidanaan itu sendiri. Menurut Muladi, pemidanaan adalah sinonim dari penghukuman yang dapat diartikan bahwa penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim (Muladi dan Barda Nawawi, 2005). Tujuan pemidanaan menurut UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional yang akan berlaku Januari 2025) adalah: Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat.Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Jika kita berkaca kembali ke dalam Pasal 72 UU SPPA yang menyatakan bahwa “Pidana Peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan Anak”, maka dapat disimpulkan bahwa pidana peringatan itu bentuknya dapat berupa teguran dan peringatan yang diterima oleh anak yang menjadi pelaku pidana agar anak tersebut tidak melakukan pelanggaran atau kesalahan yang dapat merugikan atau menyakiti orang lain.  Penjatuhan pidana peringatan terhadap Anak mempunyai maksud untuk melindungi dan menghindarkan anak dari penjatuhan pidana penjara. Menurut Nurini Aprilianda, dengan adanya pidana penjara pada pilihan akhir dalam urut-urutan jenis sanksi pidana pokok, harapannya hakim memprioritaskan penjatuhan jenis sanksi pidana pokok yang lain (Nurini Aprilianda, 2017). Pasal 71 Ayat (5) UU SPPA menyebutkan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana peringatan diatur dengan peraturan pemerintah, yaitu dengan terbitnya PP tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan terhadap Anak. Ketentuan tentang pidana peringatan dalam PP tersebut diatur dalam Pasal 4 Jo. Pasal 7 PP Nomor 58 Tahun 2022.  Pidana peringatan dapat berupa teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran. Dalam praktiknya putusan penjatuhan pidana peringatan membuat hakim cenderung menjatuhkan pidana pokok lainnya terhadap anak, terutama menjatuhkan pidana penjara daripada pidana peringatan. Menurut pendapat penulis, penjatuhan pidana peringatan terhadap Anak dapat dilakukan oleh hakim apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana sebagai berikut: Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian korban bernilai tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.Tindak pidana merupakan delik aduan.Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil.Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.Tindak pidana yang berupa pelanggaran, atauTindak pidana tanpa korban. Ketentuan jenis tindak pidana yang dapat dikenakan pidana peringatan terhadap Anak yang telah dijabarkan di atas sebenarnya telah terdapat juga dalam UU SPPA dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (PERMA RJ). Perlunya dilakukan pengaturan mengenai template dan pedoman penulisan putusan bagi hakim yang akan menjatuhkan pidana peringatan terhadap Anak. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kemudahan dan keseragaman bagi seluruh hakim yang menangani perkara Anak dan akan menjatuhkan pidana peringatan. Saat ini aturan terkait template dan pedoman penulisan putusan diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/ Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan Dibawah Mahkamah Agung (SK KMA 359). Namun nyatanya dalam SK KMA 359 tersebut belum mengatur mengenai template dan pedoman penulisan putusan pidana peringatan ini. Berikut adalah contoh amar putusan pidana peringatan yang dapat dijatuhkan terhadap Anak, yaitu: Mengadili Menyatakan Anak tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ……………………… sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum.Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Anak dengan pidana peringatan berupa ……….. (teguran, nasihat, wejangan, himbauan, atau anjuran).Memberikan peringatan kepada Anak agar menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana.dst. Jika melihat posisi peletakan pidana peringatan di dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a UU SPPA, maka seharusnya pidana peringatan ini menjadi jenis pidana pokok yang utama dapat dijatuhkan kepada anak yang menjadi pelaku pidana dibandingkan dengan menjatuhkan sanksi pidana penjara yang berada di urutan kelima (terakhir) pidana pokok dalam UU SPPA atau sebagai upaya terakhir penjatuhan pidana (ultimum remedium) dalam penyelesaian perkara anak. Dengan adanya jenis pidana pokok berupa pidana peringatan terhadap Anak merupakan salah satu pembaharuan sistem pemidanaan terhadap Anak dalam sistem peradilan pidana anak agar terciptanya sistem peradilan pidana anak sesuai yang diatur dalam UU SPPA yang mana dalam Pasal 2 UU SPPA dinyatakan bahwa sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas perlindungan, asas kepentingan terbaik bagi anak, serta perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir.   Penutup Pidana pokok berupa pidana peringatan terhadap anak yang menjadi pelaku pidana sebagaimana dalam UU SPPA memberikan perubahan dalam hal perlindungan hukum terbaik bagi anak. Pidana penjara ditempatkan pada urutan terakhir pidana pokok dengan tujuan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian perkara Anak (ultimum remedium), namun dalam praktiknya hakim lebih cenderung dan lebih banyak menjatuhkan pidana penjara terhadap Anak. Selain itu, secara konkrit juga saat ini belum ditegaskan tindak pidana apa saja yang dapat dijatuhi dengan sanksi berupa pidana peringatan. Dalam pembuatan putusan juga, belum ada bentuk template putusan pidana peringatan. Sehingga diperlukan kebijakan dari Mahkamah Agung untuk menjadi pedoman dan mengisi kekosongan dalam mengadili perkara Anak khususnya mengenai sanksi berupa pidana peringatan. Refrensi Aprilianda, Nurini. 2017. Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Teori dan Praktik. PERSADA Universitas Brawijaya. Muladi & Arief, Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni Nashriana. 2014. Perlindungan Hukum Pidana Anak di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT. Relika Aditomo. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa.

Harmoni di Balik Palu Keadilan: Simfoni Indah dalam Menjalankan Peradilan

article | Opini | 2025-03-30 08:10:41

Di balik setiap ketukan palu di ruang sidang, ada alunan simfoni yang tidak selalu terdengar. Hakim, sebagai maestro keadilan, memimpin jalannya peradilan dengan kebijaksanaan dan ketegasan. Setiap putusan yang diambil bukan sekadar hasil dari pemikiran seorang diri, tetapi merupakan buah dari kerja kolektif yang terjalin harmonis di dalam sistem peradilan. Di sisi lain, ada tangan-tangan tak terlihat yang memastikan bahwa setiap dokumen tersusun rapi, administrasi berjalan tanpa hambatan, serta pelayanan terhadap masyarakat tetap prima. Mereka adalah aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di kepaniteraan dan kesekretariatan, tulang punggung yang menopang keagungan mahkota keadilan. Hakim adalah pilar utama yang menegakkan hukum, pewaris kebijaksanaan, dan penjaga marwah keadilan. Keberanian dan keteguhan seorang hakim tidak sekadar terletak pada kemampuannya membaca dan menerapkan hukum, tetapi juga pada ketulusannya dalam mendengar, mempertimbangkan, dan memutuskan perkara dengan hati yang jernih. Setiap keputusan yang diambil adalah cerminan nurani dan integritas, sebuah wujud tanggung jawab yang tak hanya kepada negara, tetapi juga kepada kemanusiaan itu sendiri. Namun, seagung apa pun tugas hakim, ia tidak bisa berjalan sendirian. Seperti bintang yang bersinar indah di langit malam, sinarnya menjadi lebih terang karena ada hamparan langit luas yang menjadi latarnya. ASN dalam kepaniteraan dan kesekretariatan adalah cakrawala itu—memastikan setiap proses administrasi hukum berlangsung dengan ketertiban dan ketepatan. Kepaniteraan dan kesekretariatan bukan sekadar roda penggerak administrasi, tetapi juga jantung yang memastikan peradilan tetap berdetak dengan ritme yang sempurna. ASN yang bekerja di kepaniteraan bertanggung jawab dalam memastikan setiap berkas perkara tersusun rapi, sidang berjalan sesuai jadwal, serta setiap putusan terdokumentasi dengan baik. Sementara itu, ASN di kesekretariatan memastikan keberlangsungan sistem birokrasi yang mendukung kelancaran tugas peradilan. Mereka adalah para penjaga ketertiban di balik layar, memastikan bahwa panggung besar peradilan tetap megah dan berjalan sesuai hukum yang berlaku. Namun, harmoni dalam peradilan tidak terjadi begitu saja. Ia lahir dari kesadaran bersama bahwa setiap peran, sekecil apa pun, adalah bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Sinergi antara hakim dan ASN bukan hanya sekadar hubungan struktural dalam institusi peradilan, tetapi sebuah kemitraan yang harus dijaga dan dipupuk. Forum-forum diskusi yang melibatkan hakim dan ASN menjadi jembatan yang mempererat hubungan profesional sekaligus membangun rasa saling menghormati. Dalam ruang-ruang pelatihan bersama, mereka tidak hanya berbagi ilmu dan pengalaman, tetapi juga merajut kebersamaan dalam menjalankan amanah keadilan.Pendidikan bersama menjadi fondasi penting dalam menciptakan pemahaman yang lebih mendalam tentang tugas dan tanggung jawab masing-masing. Dengan mengikuti pelatihan yang sama, baik dalam aspek hukum maupun administrasi, hakim dan ASN dapat melihat peradilan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Selain itu, kerja sama dalam peningkatan kualitas layanan peradilan juga menjadi kunci utama dalam membangun sistem yang lebih transparan, efisien, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Peradilan yang harmonis adalah peradilan yang bekerja dalam satu irama. Layaknya sebuah orkestra, hakim dan ASN memiliki peran masing-masing, tetapi hanya dengan kebersamaan mereka dapat menciptakan simfoni yang indah. Di ruang sidang, hakim adalah pemegang kendali utama dalam menegakkan hukum, tetapi di baliknya ada ASN yang memastikan bahwa panggung itu tetap berdiri kokoh. Tidak ada nada yang lebih tinggi atau lebih rendah, karena setiap nada memiliki perannya sendiri dalam menciptakan harmoni. Pada akhirnya, keberhasilan peradilan bukan hanya dinilai dari seberapa tegas palu diketuk, tetapi juga dari seberapa baik semua elemen di dalamnya bekerja dalam satu kesatuan. Hakim, dengan kebijaksanaan dan keteguhannya, bersama ASN, dengan dedikasi dan ketelitiannya, adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Mereka adalah penjaga keadilan yang bekerja dalam kesunyian, tetapi dampaknya bergema luas di tengah masyarakat. Semoga sinergi ini terus terjaga, tidak hanya sebagai kewajiban profesional, tetapi sebagai bentuk pengabdian yang tulus bagi negeri ini. Sebab, di balik setiap putusan yang diambil, ada kerja keras yang tak terlihat, ada harmoni yang harus terus dirawat, dan ada tanggung jawab besar yang diemban bersama. Inilah wajah peradilan yang sesungguhnya—tempat di mana keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dirayakan dalam semangat kebersamaan dan kehormatan.

Kewenangan Hakim Mengoreksi Dominus Litis Penuntut Umum

article | Opini | 2025-03-29 13:10:00

PendahuluanDalam sistem peradilan pidana, jaksa sebagai penuntut umum memegang peran penting untuk mewakili kepentingan negara dalam menuntut pelaku/terdakwa yang diduga telah melakukan tindak pidana. Peran penting ini sering kali dikaitkan dengan konsep dominus litis, yaitu pihak yang memiliki kuasa untuk mengendalikan jalannya suatu perkara dalam proses hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur kewenangan penuntut umum menentukan jenis delik yang diancam kepada terdakwa. Namun, bagaimana apabila delik yang didakwa dalam surat dakwaan tidak terbukti akibat ketidakcermatan & kelalaian penuntut umum sendiri, sedangkan fakta pemeriksaan persidangan menunjukkan perbuatan terdakwa terbukti dalam jenis delik yang lain yang tidak didakwakan? Apakah Terdakwa dapat begitu saja dibebaskan tanpa mempertimbangkan aspek kerugian korban/keadilan masyarakat? Apalagi Terdakwa sudah mengakui perbuatannya? Disisi lain, KUHAP juga telah menetapkan batasan Hakim dalam menjatuhkan vonis. Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP telah mengatur bahwa dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, Hakim/Majelis Hakim tetap mendasarkan pada fakta hukum yang terbukti di persidangan dan musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan.Asas dominus litisAsas dominus litis berasal dari istilah latin yang berarti "pemilik perkara". Dalam konteks peradilan pidana, dominus litis adalah pihak yang berhak untuk menentukan arah dari proses hukum, baik itu dalam bentuk penuntutan, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan perkara, serta mengambil keputusan strategis lainnya terkait dengan jalannya perkara. Dalam sistem hukum Indonesia yang berlaku saat ini, jaksa sebagai penuntut umum bertanggung jawab atas proses penuntutan tindak pidana yang rincian fungsi utamanya sebagai berikut: Mengawasi dan mengendalikan penyidikan: Jaksa memiliki peran untuk memeriksa dan mengawasi jalannya penyidikan oleh pihak kepolisian, serta memberikan petunjuk dan keputusan apakah penyidikan harus dilanjutkan atau dihentikan.Mengajukan dakwaan: Setelah penyidikan selesai, jaksa berhak untuk memutuskan apakah dakwaan akan diajukan ke pengadilan atau tidak. Jaksa juga memiliki kewenangan untuk memilih dakwaan yang akan digunakan berdasarkan bukti yang ada.Menuntut di pengadilan: Jaksa mempresentasikan dakwaan di persidangan dan bertanggung jawab untuk membuktikan kesalahan terdakwa.Menuntut hukuman: Jaksa berperan dalam meminta hukuman yang sesuai dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Perlukah kewenangan mengoreksi dominus litis penuntut umum setelah pemeriksaan dinyatakan selesai?Hakim memiliki peran sentral dalam menentukan nasib terdakwa. Peran itu meliputi sebagai kewenangan untuk menilai alat bukti yang diajukan dipersidangan, menentu kebenaran materiil, dan memberikan putusan berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam menjalankan tugas utama tersebut, tidak jarang hakim menemukan situasi tertentu yang sifatnya debatable, seperti kebenaran materiil yang terungkap di persidangan merupakan delik yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum. Sebagai contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 1 Juli 1986 yang mana Terdakwa didakwa atas dakwaan primer Pasal 365 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP dan subsider Pasal 362 jo. 55 KUHP. Kemudian Mahkamah Agung menjatuhkan putusan dan menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP (yang notabene tidak didakwa oleh Penuntut Umum). Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung juga menegaskan kembali apabila Terdakwa didakwa dan terbukti melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Pasal 365 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHP), artinya delik pencurian dalam arti lain yang lebih ringan (Pasal 363 Ayat 1 ke 4 KUHP) sudah termasuk di dalamnya (meski tidak didakwakan). Lebih lanjut, putusan ini telah menjadi yurisprudensi yang memuat kaidah hukum bahwa "Pengadilan dapat menjatuhkan vonis diluar dakwaan penuntut umum sepanjang satu rumpun dan jenis delik yang lebih ringan". Kaidah hukum ini kemudian diterapkan pada putusan Nomor 404/Pid.B/2013/PN.Jr tanggal 2 Oktober 2013 yang memeriksa perkara narkotika dengan dakwaan Pasal 112 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hingga muaranya Hakim menjatuhkan vonis diluar pasal/delik yang didakwa oleh penuntut umum dengan menyatakan Terdakwa terbukti sebagai penyalahguna narkotika. Namun, praktik ini kemudian disikapi oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang menyatakan “dalam hal yang terbukti di persidangan pasal 127 Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor  35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan, Terdakwa  terbukti sebagai pemakai dan jumlah relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus”.Kemudian, hal itu ditegaskan kembali oleh Mahkamah Agung dalam Pada Point 2 huruf a Rumusan Hukum Kamar Pidana SEMA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dengan menyatakan “dalam hal Penuntut Umum tidak mendakwa Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata terdakwa terbukti sebagai Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi dirinya sendiri, Mahkamah Agung tetap konsisten pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 angka 1, sebab selain hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara tetap mendasarkan putusanya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan, musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP”.Dua situasi tersebut cukup jelas menunjukkan adanya dualisme pandangan hakim dalam memutus perkara yang kebenaran materiilnya diluar delik/pasal yang didakwa penuntut umum. Aktualnya, Putusan Nomor 14/Pid.B/2025/PN Bkl tanggal 26 Februari 2025 yang memuat perbedaan pendapat akibat Penuntut Umum hanya menyusun dakwaan tunggal pencurian (Pasal 362 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP), namun Majelis Hakim dalam perkara tersebut menilai perbuatan Terdakwa yang terbukti terkualifikasi delik penggelapan yang tidak didakwa Penuntut Umum. Majelis Hakim dalam perkara tersebut juga mengutip pendapat Bernardus Maria Taverne (anggota Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda) yang pada pokoknya menyetujui terhadap putusan hakim yang masih mentolerir kekurangcermatan dalam penyusunan surat dakwaan, asalkan tidak mengganggu tujuan hukum acara pidana yakni mencari kebenaran materil. Selanjutnya, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa "terhadap kelalaian penuntut umum tersebut cukuplah menjadi perhatian dari institusinya agar memperhatikan pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar tidak terulang lagi dikemudian hari, sementara perbuatan Terdakwa tersebut tetap diputus guna perlindungan kepentingan umum dengan menerapkan pendekatan genus yang sama dimana baik kejahatan pencurian maupun kejahatan penggelapan masih termasuk dalam genus yang sama sebagai kejahatan terhadap harta benda”.Momentum Pembahasan RKUHAPErrare Humanum Est, Turpe In Errore Perseverare (membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan). Penulis berpendapat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana belum memberikan ruang bagi hakim untuk melakukan koreksi terhadap implementasi dominus litis Penuntut Umum ketika kebenaran materiil yang terungkap di persidangan merupakan perbuatan yang tidak didakwa penuntut umum. Saat ini, Hakim menyimpangi pasal/delik yang didakwa Penuntut Umum setelah pemeriksaan dinyatakan selesai masih dikualifikasikan sebagai judicial activism. Penulis mengusulkan kewenangan mengoreksi tersebut perlu digagas atau setidaknya dipertimbangkan dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai pengecualian "kaidah musyawarah berdasarkan surat dakwaan" yang bersifat limitatif demi kepentingan korban dan masyarakat umum. Penulis berharap RKUHAP dapat memperkuat kewenangan hakim sebagai tokoh sentral dalam menyeimbangkan aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Selamat Hari Kehakiman Nasional & Dirgahayu IKAHI ke-72.

Saminisme Dalam Semangat Perubahan Satuan Kerja

article | Opini | 2025-03-29 09:00:22

Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki ribuan pulau dan keanekaragaman kebudayaan dimana masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Beberapa budaya yang masih kuat eksistensinya dan masih dilestarikan, salah satunya yaitu budaya pada masyarakat Samin. Masyarakat Samin ini berlokasi di pedalaman Blora, Jawa Tengah, tepatnya pada Kampung Samin Klopoduwur yang beralamat di Dukuh Karangpace, Desa Klopduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Lokasi tersebut berjarak kurang lebih 13 km dari Pengadilan Negeri Blora Kelas IB.Untuk diketahui, Masyarakat Samin sering mendapatkan stereotip dari sebagian masyarakat luar Samin (Blora, Pati, Rembang, Kudus, Bojonegoro). Masyarakat Samin ini sering dianggap sebagai kelompok masyarakat yang ngeyel (keras kepala), tidak bisa diatur, suka membantah dan bertindak sak karepe dhewe (apa maunya sendiri). Kondisi yang menjadikan Masyarakat Samin seperti itu banyak dipengaruhi oleh faktor sejarah terbentuknya Masyarakat Samin ini.Masyarakat Samin merupakan keturunan  pengikut Samin Soerontiko. Samin Soerontiko ini mengajarkan sedulur sikep, yaitu mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk di luar kekerasan. Sedulur Sikep telah dikenal  tersebar di pantai utara Jawa Tengah, seperti Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi. Samin Soerontiko sering juga dikenal sebagai Raden Kohar. Ia masih berdarah Bangsawan Majapahit yang hidup pada zaman kolonial Belanda. Karena alasan tertentu, Samin Soerontiko memutuskan meninggalkan gemerlap dunia para bangsawan. Ia mendalami keilmuan spiritual. Dimana keilmuan spiritual saat itu sudah mulai diintervensi oleh kepentingan kelompok tertentu, khususnya agama-agama baru dan tata kehidupan kolonial. Disamping itu, Mbah Samin juga mendalami nilai-nilai budi luhur serta beladiri menentang penjajahan Belanda. Lalu setelah Mbah Samin menguasainya kemudian Ia mengajarkannya kepada para muridnya. Dari penggambaran tersebut, dapat disimpulkan begitu menonjolnya sikap Mbah Samin terhadap tatanan kehidupan saat itu. Oleh karena itu, hingga kini banyak orang yang mengatakan ”dasar orang Samin” pada tindak-tanduk serupa.Ajaran Samin atau Saminisme berkembang dari konsep penolakan terhadap budaya kolonial dan kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan. Saminisme dikenal memiliki prinsip yang terdiri dari pedoman, tuntunan, dan larangan bagi masyarakat Samin. Pedoman dalam ajaran Samin dikenal dengan Kitab Kalimosodo. Sementara enam prinsip dasar Ajaran Samin yang menjadi tuntunan dalam beretika yaitu berupa pantangan, meliputi Drengki (membuat fitnah), Srei (serakah), Panasten (mudah tersinggung), Dawen (mendakwa tanpa bukti), Kemeren (iri hati), dan Nyiyo Marang Sepodo (berbuat nista terhadap sesama). Sedangkan lima pantangan dalam berinteraksi, meliputi Bedok (menuduh), Colong (mencuri), Penthil (mengambil barang yang menyatu dengan alam), Jumput (mengambil barang yang menjadi komoditas di pasar), dan Nemu Wae Ora Keno (pantangan menemukan barang). Masyarakat Samin juga memegang teguh prinsip bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur. Jika diterjemahkan artinya “tidak boleh menyia-nyiakan orang lain, cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara”. Selain itu, pokok ajaran Samin yang lainnya yakni:Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan iri hati dan jangan suka mengambil milik orang lain. Bersikap sabar dan jangan sombong. Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur “ketidakjujuran‟ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Sikap konsisten dan eksklusif masyarakat Samin dalam memegang teguh ajaran leluhur tersebut, mendapat berbagai cemooh dan stereotip negatif dari sebagian masyarakat. Namun masyarakat Samin tetap berpegang teguh dalam berinteraksi dengan lingkungan dan alam. Terhadap tekanan eksternal dan masuknya nilai-nilai modernitas, Masyarakat Samin selalu beradaptasi dengan melawannya secara pasif. Yakni, dengan tetap mempertahankan dan berjalan pada cara hidup yang mereka telah dianut sejak dahulu. Masyarakat Samin sekarang ini tidak lagi hanya mengandalkan mata pencaharian di sektor pertanian yang telah menjadi andalan mereka sejak dahulu. Namun mereka beralih menjadi pencari ikan di Sungai. Disebabkan, bagi mereka Sungai adalah milik khalayak umum dan dapat digunakan untuk kebutuhan semua orang dan tidak bertentangan dengan ajaran yang dianut. Masyarakat Samin juga berprofesi sebagai pengrajin (anyaman bambu, tukang kayu). Masyarakat Samin ini tidak ingin lagi disebut sebagai orang pemalas, mereka selalu bekerja giat untuk bisa tetap bertahan hidup. Masyarakat Samin selalu berpedoman pada ajaran ”sabar trokal, sabaré diéling-éling, trokalé dilakoni” (artinya: kerjakan sikap sabar dan giat, selalu ingat tentang kesabaran dan selalu giat dalam kehidupan). Kemudian untuk mencapai kesempurnaan hidup, maka pada Masyarakat Samin dikenal istilah “wong urip kudu ngerti uripé” (artinya: manusia harus mengetahui hakikat kehidupan). Selain itu, Masyarakat Samin memiliki kepribadian yang jujur dan polos. Hal ini mereka tunjukkan dengan sikap terbuka kepada siapapun termasuk kepada orang-orang yang bahkan belum mereka kenal sebelumnya. Sementara sifat jujur mereka tercermin dalam perilaku, sikap, maupun bahasa yang digunakan, serta terbuka kepada siapapun. Jujur merupakan salah satu dari sekian wujud sifat masyarakat Samin dari ajaran yang dianutnya. Masyarakat Samin terbuka akan modernisasi, baik dalam hal alat komunikasi ataupun berkehidupan sosial. Munculnya teknologi membuat mereka terbantu untuk mendapatkan pengalaman, terutama dalam pembangunan pertanian maupun program-program pembangunan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kerjasama seperti gotong royong, musyawarah, dan membantu ketika ada yang memerlukan. Kemajuan teknologi seperti komputer, telepon genggam, peralatan elektronik, dan listrik telah mereka gunakan. Namun, meskipun perangkat modern telah masuk ke wilayah mereka, masyarakat Samin tetap mempertahankan nilai luhur yang telah mereka pegang selama ini. Seperti menjunjung tinggi kejujuran, toleransi, kebersamaan, dan gotong royong.Semangat perubahan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai budaya leluhur dari Masyarakat Samin, inilah yang masih relevan dan perlu kita contoh sebagai warga pengadilan baik dalam melaksanakan tugas maupun dalam hidup keseharian kita. Dalam konteks organisasi, penerapan ajaran ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan berikut:Kesederhanaan dalam PengelolaanMenghindari birokrasi yang rumit.Menerapkan struktur organisasi yang sederhana dan fungsional.Fokus pada kebutuhan utama anggota organisasi, bukan pada formalitas yang tidak perlu.Kejujuran dan TransparansiMengutamakan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan.Memberikan akses informasi yang setara kepada semua anggota.Mendorong komunikasi yang jujur dan saling menghormati di antara anggota.Kerja Sama dan KolektivitasMenekankan pentingnya gotong royong dalam mencapai tujuan organisasi.Membuat keputusan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat, sebagaimana ajaran Samin menghargai kebersamaan.Penolakan terhadap KetidakadilanMelawan segala bentuk eksploitasi atau penyalahgunaan kekuasaan di dalam organisasi.Membangun budaya organisasi yang inklusif, di mana semua anggota merasa dihargai.Kemandirian dan KetahananMendorong anggota untuk mengandalkan sumber daya internal organisasi terlebih dahulu sebelum mencari bantuan eksternal.Mengembangkan program yang mempromosikan kemandirian anggota, seperti pelatihan keterampilan atau kompetensi.Dengan prinsip-prinsip ini, ajaran Samin dapat memberikan pondasi yang kuat untuk menciptakan satuan kerja yang beretika, inklusif, dan berkelanjutan guna mewujudkan Visi dan Misi Mahkamah Agung RI. (FAC, ZM, MR)Daftar PustakaMumfangati, dkk., 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Bilora. Propinsi Jawa Tengah. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah.Aziz, M. (2012). Identitas kaum Samin pasca kolonia pergulatan negara, agama, dan adat dalam pro-kontra pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Jurnal Kawistara, 2(3), 225-328Suripan Sadi Hutomo, 1996. Tradisi dari Blora. Semarang : Citra Almamater.Mukodi & Burhanuddin, Afid. (2015). Pendidikan Samin Surosentiko. Yogyakarta: Lentera Kreasindo.*Wakil Ketua Pengadilan Negeri Blora

Memahami Esensi Pidana Narkotika Dalam Kacamata Teleologis

article | Opini | 2025-03-27 15:15:56

HAKIM memiliki kewajiban untuk menjamin terselenggaranya kepastian hukum. Namun dalam beberapa hal undang-undang tidak menyebutkan secara jelas dan rinci mengenai perkara yang ditanganinya. Di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyebutkan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.  Kemudian di dalam Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat”. Untuk itulah kedua ketentuan di atas dapat dipahami bahwa hakim wajib memeriksa suatu perkara meskipun hukumnya tidak jelas baik salah satunya melalui penafsiran guna menangani perkara yang ditanganinya tersebut. Salah satu jenis penafsiran yang dibahas dalam tulisan ini adalah “Penafsiran Teleologis”. Menurut Prof. Soedikno Mertokusumo, penafsiran teleologis, atau dikenal juga sebagai penafsiran sosiologis, merupakan metode interpretasi hukum yang berorientasi pada maksud dan tujuan pembentukan suatu undang-undang. Penafsiran ini diperlukan ketika terjadi perubahan sosial yang tidak diikuti dengan perubahan norma hukum tertulis, sehingga makna dari suatu ketentuan hukum harus disesuaikan dengan kondisi sosial yang berkembang. Dalam konteks hukum pidana positif, apabila suatu rumusan delik dianggap kurang jelas, hakim dapat melakukan penafsiran teleologis dengan mempertimbangkan tujuan utama pembentukan undang-undang tersebut. Hakim dapat melihat dari sisi tujuan undang-undang tersebut dibentuk. Dalam konteks Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), Tujuan dibentuknya UU tersebut telah diatur dalam Pasal 4, dimana Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan; a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika; c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.Keberlakuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) adalah sebagai bagian dari strategi besar pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkotika (vide Pasal 4 huruf c), dengan sasaran keberlakuannya adalah mengarah pada subjek hukum “pengedar” dan “jaringan pengedar” narkotika dalam lingkup pemberantasan peredaran gelap narkotika, serta pada subjek hukum “penyalah guna”, “korban penyalahgunaan” dan “pecandu” narkotika dalam lingkup pemberantasan penyalahgunaan narkotika di mana pada UU Narkotika tersebut telah memilah dengan tegas pengaturan di antara keduanya, yakni dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pemberantasan peredaran narkotika dan prekursor narkotika di satu sisi, dan pasal-pasal  yang mengatur tentang penyalah guna narkotika dan pecandu  narkotika di sisi lainnya (vide Pasal 4 huruf d). Pola diferensiasi tersebut sudah jelas ditujukan dalam esensi pemahaman agar terdapat pola penanganan yang tepat terhadap masing-masing subjek hukum  tersebut, tidak terkecuali penanganan dalam lingkup penegakan hukumnya, karena alih-alih memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, kesalahan dalam fase memilah dan mengidentifikasi makna “perbuatan” dan masing-masing dari subjek hukum yang di maksud, justru akan berakibat pada penanganan dan penegakan hukum yang tidak tepat, yang pada akhirnya malah akan memicu peningkatan intensitas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, karena seorang pengedar atau seseorang dalam jaringan peredaran narkotika yan ditangani sebagai “penyalahguna” jelas tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi Upaya pemberantasan peredaran narkotika, Dimana selain dapat mencampakkan rasa keadilan, juga tidak akan menimbulkan dampak pembelajaran serta efek jera yang maksimal, baik bagi si pelaku tindak pidana maupun bagi Masyarakat luas pada umumnya. Demikian juga dengan seorang penyalahguna atau korban penyalahguna atau pecandu narkotika yang ditangani sebagai “pengedar” atau “bagian dari mata rantai peredaran narkotika”, jelas hal tersebut hanya akan menempatkan si pelaku dalam probabilitas yang tinggi untuk semakin menjadi “tidak baik” dan bukan tidak mungkin malah akan menyeret si pelaku dalam pusaran tindak pidana peredaran narkotika, sehingga pada akhirnya esensi pemberantasan tindak peredaran dan penyalahgunaan narkotika itu sendiri menjadi bias dan absurd.Pola diferensiasi pengaturan pelaku tindak pidana narkotika khususnya di dalam Pasal 114 dan Pasal 112 UU Narkotika  yang kedua pasal tersebut merupakan pasal-pasal yang ditujukan bagi mereka sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang terkualifisir sebagai pelaku tindak pidana dalam lingkup peredaran gelap narkotika, sehingga perbuatan pelaku tersebut harus dibatasi sebagaimana dimaksud dalam kedua ketentuan pasal diatas sebagai “perbuatan dalam mata rantai peredaran narkotika”, “perbuatan dalam lingkup sebagai anggota suatu organisasi kejahatan narkotika”, atau “perbuatan yang bersifat mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika”. Apabila perbuatan-perbuatan yang terbukti di dalam persidangan tidak sebagaimana termasuk dalam batasan di atas, serta narkotika tersebut ditujukan hanya untuk dipergunakan sendiri oleh si pelaku, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikualifisir sebagai perbuatan dalam tindak pidana yang dimaksud dalam pasal-pasal (112 dan 114) tersebut, melainkan harus dikualifisir sebagai perbuatan penyalahgunaan narkotika untuk tujuan digunakan bagi dirinya sendiri sebagaimana rumusan ketentuan Pasal 127 UU Narkotika.Definisi penyalahguna yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 yaitu “orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum” Dimana frasa “menggunakan” dalam pola pendefinisian tersebut sama sekali tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai “memakai atau mengkonsumsi” narkotika semata, karena pemahaman sempit seperti itu dapat mengaburkan esensi atau hakikat dari UU narkotika itu sendiri. Seorang penyalahguna narkotika baru dapat “menggunakan” dalam arti sempit “memakai/mengkonsumsi” narkotika, tentunya setelah terlebih dahulu ia harus melakukan perbuatan-perbuatan lain sebagai cara bagaimana ia mendapatkan narkotika tersebut, perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud seperti “membeli”, “menerima”, “menyimpan”, “menguasai”, “membawa”, atau “memiliki”, karena jelas tidak mungkin seseorang dapat mengkonsumsi narkotika tanpa terlebih dahulu melakukan rangkaian perbuatan di atas. Kemudian yang patut dipertanyakan adalah apakah saat ia (penyalah guna) baru dalam tahapan melakukan perbuatan-perbuatan dalam lingkup sebagai “cara mendapatkan” narkotika  tersebut dan kemudian tertangkap tangan sebelum sama sekali mengkonsumsi narkotika dimaksud, lalu serta merta secara serampangan ia harus dipersalahkan bukan sebagai penyalahguna,  melainkan sebagai pelaku tindak peredaran gelap narkotika? Maka jawabannya adalah tidak, sehingga oleh karenanya frasa “menggunakan” dalam definisi tentang penyalah guna dalam keberlakuan Pasal 127 UU Narkotika adalah harus dimaknai secara luas, tidak hanya menggunakan dalam arti “memakai” atau “mengkonsumsi” melainkan juga segenap perbuatan lain sebagai cara bagaimana narkotika yang akan dipakai / dikonsumsi tersebut sampai kepada si penyalah guna, namun dengan syarat limitatif bahwasanya perbuatan-perbuatan dimaksud adalah murni ditujukan untuk penggunaan narkotika bagi dirinya sendiri;Di dalam bab sanksi (pidana), terdapat diferensiasi dalam hal pengaturan maksimum khusus dan minimum khusus maupun diaturnya sanksi berupa tindakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam Bab I-VIII Buku I KUHP berlaku pula terhadap UU Narkotika. Dalam hal UU Narkotika menentukan suatu ketentuan yang sifatnya berlainan dengan ketentuan Bab I-VIII Buku I KUHP, maka ketentuan UU Narkotika yang akan dipergunakan dalam aturan yang khusus. Dalam hal ini, stelsel pidana dalam UU Narkotika mengikuti KUHP. UU Narkotika memberikan ancaman pidana atau Jenis pidana (strafsroot) berupa pidana mati, penjara, kurungan, seumur hidup dan denda. Dari keseluruhan tindak pidana yang diformulasikan dalam UU Tipikor, dapat kita lihat ada pola ancaman pidana dengan model perumusan yang berbeda. Ada pasal yang sanksinya diancam secara alternatif, kumulatif, dan gabungan/campuran. Perumusan pidana dalam UU Narkotika menganut ancaman minimal khusus. Hal ini berarti ketentuan umum pidana penjara dan denda sebagaimana diatur dalam KUHP tidak berlaku. Di dalam UU Tipikor ada ancaman pidana minimal khusus dan maksimum khusus di dalam perumusan deliknya. Ancaman pidana minimum dan maksimum khusus ini diterapkan pada pidana penjara dan pidana denda. Dimana masing-masing Pasal memiliki batas pidana minimum khusus dan maksimum khusus yang berbeda-beda. Dalam rumusan delik pada tindak pidana narkotika di dalam Pasal 112 dan 114 terdapat minimum khusus, yang mengandung arti bahwa tindak pidana dari kedua pasal yang termasuk dalam tindak pidana peredaran gelap narkotika tersebut memiliki dampak destruksi yang besar sehingga perumusan sanksi pidananya berat dengan adanya ancaman minimum khusus. Sedangkan terjadi perbedaan terhadap tindak pidana yang termasuk dalam golongan penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika. Rumusan sanksi pidana dari pelaku penyalahguna dan pecandu narkotika selain diatur ancaman pidana maksimum khusus juga diatur sanksi di luar pidana yakni sanksi Tindakan berupa Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (vide Pasal 127). Dilihat dari segi sanksi terdapat diferensiasi yang besar antara rumusan terhadap perbuatan yang termasuk peredaran gelap narkotika yang dirumuskan dengan adanya minimum khusus maupun terhadap perbuatan yang termasuk penyalahguna atau pecandu narkotika yang dirumuskan dengan ancaman pidana maksimum khusus maupun adanya rumusan mengenai Tindakan (rehabilitasi), sehingga penegak hukum khususnya Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana narkotika tidak hanya melihat dari segi gramatikal (rumusan kata pasal per pasal) semata, melainkan dapat menggunakan kacamata sosiologis / teleologis agar dapat mewujudkan penanganan (penegakan hukum) yang tepat terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

Antara Sarinah, Hakim Perempuan dan Istri Hakim

article | Opini | 2025-03-27 09:05:19

Bung Karno dalam bukunya Sarinah menegaskan bahwa perempuan memiliki peran fundamental dalam membangun bangsa. Pemikiran ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari pengalaman pribadinya bersama sosok Sarinah, seorang perempuan sederhana yang menjadi pengasuhnya di masa kecil. Sarinah bukan hanya merawat Bung Karno, tetapi juga menanamkan kesadaran sosial dalam dirinya. Dari Sarinah, Bung Karno belajar tentang penderitaan rakyat kecil, ketidakadilan sosial, dan betapa beratnya perjuangan perempuan dalam menghadapi kemiskinan dan diskriminasi.  Pelajaran dari Sarinah inilah yang kemudian mengilhami Bung Karno untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam Sarinah, ia menegaskan bahwa perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang, termasuk dalam sistem hukum. Perempuan bukan hanya pelengkap laki-laki, tetapi memiliki kapasitas dan ketangguhan untuk menjadi pemimpin, termasuk dalam bidang peradilan. Prinsip ini sejalan dengan amanat Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.Ratifikasi CEDAW mewajibkan negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam sistem peradilan. Ini berarti bahwa negara harus memastikan hakim perempuan memiliki akses yang sama dalam promosi jabatan, perlindungan dari diskriminasi, serta dukungan dalam menjalankan tugasnya. Sayangnya, dalam praktiknya, hakim perempuan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk stereotip gender yang membatasi peran mereka. Padahal, kehadiran hakim perempuan berperan penting dalam mewujudkan keadilan yang lebih inklusif, terutama dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Oleh karena itu, implementasi prinsip kesetaraan perlu terus diperkuat agar perempuan dalam peradilan benar-benar mendapatkan hak yang dijamin oleh hukum.Di luar aspek formal profesi hukum, ada peran lain yang sering luput dari perhatian, yaitu istri hakim yang mendampingi suami bertugas di daerah terpencil. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa suami istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga dan masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, banyak istri hakim harus mengorbankan karier dan kehidupan sosial mereka ketika mengikuti suami bertugas di pelosok negeri. Mereka sering kali meninggalkan pekerjaan, pendidikan, dan lingkungan sosial yang telah mereka bangun, tanpa ada perlindungan atau kompensasi dari negara.  Istri hakim di daerah terpencil menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan hingga keterpencilan dari jaringan sosial yang dapat mendukung perkembangan diri mereka. Sama seperti Sarinah yang dengan penuh ketulusan mendampingi Bung Karno dan menanamkan nilai-nilai perjuangan dalam dirinya, istri hakim juga berjuang dalam diam untuk memastikan suaminya dapat menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dengan baik.  Namun, kontribusi ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam sistem hukum kita. Negara belum memiliki kebijakan yang secara khusus memberikan dukungan bagi istri hakim di daerah terpencil. Padahal, jika merujuk pada prinsip keadilan sosial dalam Pancasila dan amanat CEDAW, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap perempuan, baik sebagai hakim maupun sebagai pendamping yang ikut berkorban dalam sistem peradilan.  Bentuk konkret perlindungan, dukungan, dan pengakuan bagi perempuan dalam sistem peradilan dapat diwujudkan melalui berbagai kebijakan. Untuk hakim perempuan, negara harus memastikan kesempatan yang sama dalam jenjang karier dan promosi jabatan, serta perlindungan dari diskriminasi berbasis gender. Regulasi harus diperkuat agar sistem peradilan lebih inklusif, termasuk dengan menyediakan fasilitas kerja yang ramah perempuan, seperti dipermudah dalam mendapatkan cuti melahirkan dan penitipan anak di lingkungan pengadilan, terutama bagi mereka yang bertugas di daerah terpencil.  Bagi istri hakim, negara harus memperhatikan kesejahteraan mereka dengan menyediakan akses pekerjaan di daerah penugasan suami, memberikan program pemberdayaan ekonomi, serta menjamin pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Salah satu organisasi istri hakim yang diikuti adalah Dharmayukti Karini juga perlu diperkuat dengan dukungan kebijakan agar lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga hakim di daerah terpencil. Selain itu, pemberian insentif tambahan bagi hakim yang bertugas di pelosok negeri juga perlu dipertimbangkan untuk memastikan kesejahteraan keluarga mereka.  Hari Perempuan Internasional menjadi momen yang tepat untuk menegaskan kembali pentingnya peran perempuan dalam hukum dan peradilan. Pemikiran Bung Karno dalam Sarinah harus menjadi inspirasi bagi negara untuk tidak hanya berbicara soal emansipasi dalam konteks formal, tetapi juga memberikan pengakuan nyata terhadap perjuangan perempuan dalam dunia hukum dan peradilan. Kesetaraan gender dalam hukum bukan hanya tentang membuka akses bagi perempuan untuk berkarier sebagai hakim, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap perempuan yang berkontribusi dalam sistem peradilan, termasuk istri hakim di pelosok negeri, mendapatkan perlindungan, dukungan, dan pengakuan yang layak. Implementasi kebijakan ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan perempuan dalam sistem peradilan, tetapi juga memperkuat profesionalisme dan integritas lembaga peradilan secara keseluruhan. Selamat Hari Perempuan Internasional! Jadilah pilar keadilan dan sumber inspirasi bagi dunia.Iqbal LazuardiHakim Pengadilan Negeri Pulau Punjung

Tapak Tilas: Role Model Sekretaris Support Untuk Supporting

article | Opini | 2025-03-26 13:05:04

Suatu pagi di penghujung tahun 2024, tepatnya tanggal 04 Desember 2024 sebuah pesawat mengangkasa dengan rute penerbangan Gorontalo-Solo dengan jarak tempuh kurang lebih 3227 KM, atau 2001 mil. Apabila jarak ini ditempuh dengan  dengan mobil, maka akan menghabiskan waktu 4197 menit, atau 70 jam. Pilihan yang terbaik adalah menggunakan pesawat dengan kecepatan jelajah 750 km/jam sehingga hanya membutuhkan waktu 2 jam dan 10 menit dari Gorontalo untuk sampai di Kota Solo.  Harus diakui Pesawat saat ini mampu menegasikan sebagai sebuah perangkat tercanggih yang bisa terbang di udara, membawa seseorang ke dalamnya. Ketika kita merefleksikan kembali, ide pesawat telah berproses selama berabad-abad, menjelajah mimpi manusia untuk terbang mengangkasa.  Kecerdikan mekanik, ketekunan, dan hasrat mendalam terhadap penerbangan bertemu dalam satu titik dan seiring berjalannya waktu, penemuan pesawat ini merevolusi dunia transportasi, dan mengubah cara orang bepergian dan berhubungan satu sama lain. Pesawat adalah bukti semangat manusia dan upayanya yang tak kenal lelah untuk melampaui batas. Kehadiran pesawat mengundang umat manusia untuk menjelajahi cakrawala baru. Dalam penerbangan Gorontalo-Solo ini, penulis duduk diantara deretan penumpang lainnya sambil mengiringi penerbangan ini dengan doa dan harapan keselamatan. Tak henti-hentinya mulut berzikir dan dari sudut pandang ketinggian sesekali takjub dengan Khasanah Allah SWT. Penerbangan ini dalam acara Penyerahan Penghargaan Sertifikat AMPUH berpredikat UNGGUL dan Penyerahan Penghargaan Abhinaya Upangga Wisesa akhir tahun 2024 lalu. Sebuah kegiatan yang dihelat untuk memberikan apresiasi terhadap Kinerja Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.  Pengadilan Negeri Tilamuta masuk dalam daftar penerima Penghargaan Sertifikat AMPUH berpredikat UNGGUL dan juga penulis selaku Sekretaris Pengadilan Negeri Tilamuta mendapatkan Penghargaan sebagai Role Model Sekretaris Pengadilan Negeri Kelas II Tahun 2024. Di ketinggian 38.000 kaki, teringat kembali momentum proses seleksi Role Model kemarin berdasarkan Surat Dirjen Badilum MA-RI Nomor 1174/DJU/KP3.4/IV/2024 tanggal 19 April 2024 tentang Penilaian Role Model Sekretaris Pada Satuan Kerja Di Lingkungan Peradilan Umum Tahun 2024.  Calon Role model sekretaris harus memenuhi 14 kriteria, yaitu: Berintegritas  dan  mempunyai jiwa  kepemimpinan;Responsif terhadap  kebijakan  Lembaga dan  Pimpinan;Inovatif;Kerja  sama  dan  koordinasi  baik  dengan pihak   internal  maupun  eksternal;Penghargaan  yang  diperoleh satker  di bawah kepemimpinan  calon  Role Model;Impelentasi Nilai-nilai   dasar   Aparatur    Sipil Negara  (ASN) Ber-AKHLAK;Cepat   tanggap   dan   proaktif   dalam    melaksanakan     tugas    dan   fungsi;Nilai   Indikator    Kinerja   Pelaksana    Anggaran    (IKPA) DIPA  01   dan    DIPA  03 periode  bulan    Maret   2024 dengan bobot   nilai   90  ke  atas;Nilai    AKIP pada tahun 2022 minimal   mendapat    kategori  BB  atau   "Sangat   Baik"   (nilai   70  ke  atas;Berperan aktif  dalam  meningkatkan tertib administrasi di bidang Kesekretariatan dan program Mahkamah Agung  antara lain pembangunan ZI dan  AMPUH;Ketepatan dalam    pelaporan LHKPN satuan kerja dan SPT Tahunan seluruh ASN;Pemenuhan    sarana   dan   prasarana    fasilitas   pelayanan    bagi   pencari   keadilan;Laporan   Keuangan    dan   Laporan   Catatan    atas    Laporan   Barang   Milik   Negara (CALBMN)Tahun 2023;Kecakapan   dalam    pengelolaan    teknologi   informasi   di  bidang   Kesekretariatan. Ketertarikan penulis bukan karena merasa sudah layak untuk menjadi Role Model, sekali lagi bukan karena itu, akan tetapi ketertarikan penulis karena melihat tujuan dari kebijakan ini sekaligus didorong oleh semangat untuk memastikan diri ambil bagian dari setiap momentum. Apalagi kegiatan ini diinisiasi langsung oleh Ditjen Badilum tentu penting untuk kita ikuti. Dorongan dari pimpinan pengadilan pada saat itu Jayadi Husain, untuk meyakinkan penulis menyiapkan diri mengikuti kegiatan ini. Dorongan dari Pimpinan ini dan bahkan dari Rekan Kerja lainnya semakin membuat penulis semangat untuk mengikutinya. Sehingga Persiapan pun dilakukan, semua ketentuan dicermati, administrasi dilengkapi dan dengan Bismillah dikirimlah dokumen persyaratan itu ke Panitia Ditjen Badilum, dan kami peserta menunggu menunggu hasil pengumuman Tahap 1 (Administrasi).. Setelah dilakukan verifikasi data dukung, para calon role model menjalani Tahap II yaitu penilaian online/kuis pada aplikasi quiziz. Kegiatan penilaian ini dipimpin langsung Sekretaris Ditjen Badilum, Kurnia Arry Soelaksono. Pada tahap ini peserta diuji pemahamannya tentang tugas dan tanggung jawab sekretaris di pengadilan. Hal yang menjadi catatan saya pada penilaian Online ini adalah disamping kita harus menjawab deretan soal yang berkenaan dengan tusi utama Sekretaris, juga kita dimintai jawaban tentang hal-hal yang menjadi ketentuan pada kegiatan AMPUH Badilum. Setelah dinyatakan lulus pada seleksi Tahap II, dan masuk Seleksi Tahap III (Wawancara). Pada tahapan ini, peserta diwawancarai oleh Dirjen Badilum H. Bambang Myanto, dan Tim. Banyak hal yang ditanyakan, banyak permasalahan yang dikupas, banyak kegiatan yang dikonfirmasi yang pada intinya keadaan ditanya, menjawab dan berdiskusi membalut suasana Wawancara seleksi Tahap III Pemilihan Role Model Sekretaris 2024.  “Para Penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Adi Soemarmo Surakarta mohon untuk tetap berada ditempat, memakai sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi dan membuka penutup jendela.” Atensi dari Pramugari mengembalikan pikiran saya dari kerja mengingat ngingat ke kerja Riil. Keadaan nyata didepan memaksa penulis untuk menjeda ingatan tentang proses Seleksi Role Model Sekretaris Tahun 2024 silam. Akhirnya Pesawat yang ditumpangi mendarat dengan mulus, perjalanan yang lancar ini penting untuk kita ucapkan Alhamdulillah. Kehadiran penulis di tempat penyelenggaraan acara Penyerahan Penghargaan Sertifikat AMPUH berpredikat UNGGUL dan Penyerahan Penghargaan Abhinaya Upangga Wisesa seakan mengkonfirmasi bahwa Syukur Alhamdulillah penulis terpilih menjadi Role Model Sekretaris Pengadilan Negeri Kelas II tahun 2024. Kegiatan Pemilihan Role Model Sekretaris Pengadilan adalah satu kegiatan positif yang disamping dapat memotret pelaksanaan tugas para Sekretaris, juga untuk memberikan motivasi bagi lingkungan kesekretariatan pengadilan sebagai Supporting Unit di dalam melaksanakan tugasnya dengan baik.  Kesekretariatan merupakan Layanan Pendukung dalam organisasi Pengadilan yang mempunyai fungsi memberikan Support terhadap kegiatan Layanan Utama baik itu kaitannya dengan segala kebutuhan Sarana dan Prasarana kerja, data maupun informasi, urusan  administrasi juga kaitan dengan layanan kesejahteraan Pegawai serta hak-hak kepegawaian lainnya. Fungsi Supporting unit ini menjadi sangat dibutuhkan dalam  rangka pencapaian tujuan   organisasi Pengadilan karena hal tersebut tidak lepas dari kebutuhan mendasarnya terhadap lingkup kegiatan yang diperankan oleh Kesekretariatan. Kesekretariatan bukanlah fungsi utama tapi sangat berperan menghantar yang utama menjadi berfungsi. Kesekretariatan bukanlah penentu jalannya roda peradilan, tapi kesekretariatan harus maksimal menjadikan roda peradilan itu sendiri berputar dengan baik tanpa kendala.  Kesekretariatan harus datang menjadi supporter bukan sebagai penonton. Ada output yang diberikan, ada inpact yang dihasilkan. Bukan sekedar melihat dan menjadi penikmat sebagaimana filosofi penonton.  Oleh Karena itu, dalam implementasi kinerja, seorang sekretaris harus mampu membawa kesekretariatan untuk memahami disaat kapan momentumnya berkinerja: dalam ilustrasi misalnya Sebelum Hakim mengetuk Palu, Kepaniteraan mencatat ketukan Palu maka terlebih dahulu Kesekretariatan memastikan Palu ada di meja persidangan. Kesekretariatan adalah sebuah elemen Penyemangat, yang harus disemangati dalam memberikan semangat. Hingga Semangatnya Sang Penyemangat dapat konsisten hadir dalam kinerja di Pengadilan.

Kode Etik Hakim: Ibarat Perahu Di Tengah Badai

article | Opini | 2025-03-26 07:30:58

Officium Nobile adalah istilah Latin yang berarti "profesi yang mulia" atau "tugas yang mulia." Dalam konteks hukum, istilah ini sering merujuk pada profesi hukum yang dianggap memiliki tanggung jawab etis dan moral yang tinggi dalam menjalankan tugas mereka.Profesi ini disebut "nobile" (mulia) karena fungsinya yang tidak hanya berurusan dengan aturan hukum semata, tetapi juga dengan keadilan, kebenaran, dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Mereka yang berada dalam profesi ini diharapkan untuk menjaga integritas, bertindak adil, dan menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.Salah satu profesi yang menyandang gelar Officium Nobile ini adalah Hakim. Profesi hakim memiliki sejarah panjang yang berakar pada perkembangan sistem hukum dan peradaban manusia. Pada masa peradaban awal, peran hakim sering kali dijalankan oleh pemimpin komunitas, kepala suku, atau tokoh agama yang dihormati. Di bumi Nusantara, pada masa kerajaan seperti Majapahit dan Sriwijaya, raja atau pejabat kerajaan bertindak sebagai hakim tertinggi. Hukum adat menjadi dasar peradilan. Memasuki masa penjajahan Belanda, sistem peradilan di Indonesia mulai diatur secara formal oleh pemerintah kolonial. Hakim berasal dari pejabat kolonial dan pribumi yang dilatih. Setelah merdeka, Indonesia membangun sistem peradilan nasional sendiri.Sebagai salah satu profesi tertua di dunia, Hakim memiliki peran penting dalam sistem peradilan. Hakim bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum yang berlaku.Setelah Perang Dunia II, profesi hakim mulai memiliki kode etik yang diakui secara internasional. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) pada Pasal 10 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak. Hal ini menekankan perlunya hakim yang berintegritas.Bangalore Principle yang terbentuk pada tahun 2001 menjadi panduan internasional bagi hakim dan terdiri dari enam prinsip utama. Perumusan prinsip ini dapat diterapkan di berbagai sistem hukum, baik common law maupun civil law. Enam prinsip utama yang dirancang untuk menjaga martabat Hakim dan Peradilan itu adalah independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepatutan (propriety), kesetaraan (equality), serta kompetensi dan ketekunan (competence and diligence). Di Indonesia, keenam prinsip ini berkembang menjadi 10 (sepuluh) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang diatur didalam Keputusan Bersama KMA dan Ketua KY No : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang berlaku sejak tanggal 8 April 2009. Di tahun 2012 Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Indonesia yang diatur didalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 –02/PB/P.KY/09/2012 yang berlaku sejak tanggal 27 September 2012.Sepuluh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tersebut adalah berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap professional.Menjadi hakim ideal dan profesional bukan perkara mudah. Hakim dihadapkan pada berbagai tantangan seperti intervensi pihak luar, kritik masyarakat dan pengaruh media sosial. Terutama juga harus menghadapi perkembangan hukum di tengah kemajuan teknologi pada masa digital saat ini. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam satu genggaman tangan dengan sekali klik, dibantu dengan berbagai aplikasi, artificial intelligence, dan sistem.Tampaknya asas res judicata pro veritate habetur atau putusan Hakim harus dianggap benar, sudah bergeser maknanya dimasa kini. Hakim memang tidak boleh mengomentari putusannya sendiri maupun putusan Hakim lainnya, tetapi tidak ada larangan untuk masyarakat dalam memberikan komentar terhadap putusan Hakim. Oleh karena itu menjadi Hakim bukanlah tugas yang mudah, selain menghadirkan keadilan, Hakim melalui putusannya juga harus mengedukasi masyarakat yang belum tentu semuanya memahami hukum. Di masa kini, masyarakat dapat dengan mudahnya salah paham terhadap putusan Hakim yang dinilainya tidak benar, padahal belum tentu seperti itu kenyataannya. Walaupun Hakim adalah profesi yang hebat, Hakim juga manusia, harus terus belajar agar bisa berkembang menjadi lebih baik. Gelar Wakil Tuhan hanya sebagai kompas moral bagi Hakim, petunjuk arah dan pengingat bagi Hakim dalam berjalan menyeberangi lautan perkara, membawa lentera keadilan untuk menerangi gelapnya ketidakadilan yang terjadi. Lautan perkara yang harus diselesaikan oleh Hakim itu bukanlah lautan yang selalu tenang, terkadang akan ditemukan badai-badai besar seperti kritikan masyarakat, tekanan dan ancaman dari luar, godaan-godaan dari berbagai pihak yang ingin mengguncang integritas dan menguji keteguhan hati seorang Hakim. Oleh karena itu untuk mengantarkan lentera keadilan itu, diperlukan perahu yang kokoh agar Hakim bisa menyelesaikan tugas-tugas beratnya dengan selamat, perahu itu adalah kode etik. Kode etik Hakim yang pertama adalah berperilaku adil. Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan. Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang bersangkutan. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan. Kode etik Hakim yang kedua adalah berperilaku jujur. Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality).Kode etik Hakim yang ketiga adalah berperilaku arif dan bijaksana. Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.Kode etik Hakim yang keempat adalah bersikap mandiri. Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Kode etik Hakim yang kelima adalah berintegritas tinggi. Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.Kode etik Hakim yang keenam adalah bertanggungjawab. Bertanggungjawab bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.Kode etik Hakim yang ketujuh adalah menjunjung tinggi harga diri. Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.Kode etik Hakim yang kedelapan adalah berdisiplin tinggi. Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.Kode etik Hakim yang kesembilan adalah berperilaku rendah hati. Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.Kode etik Hakim yang kesepuluh adalah bersikap professional. Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.Menjadi Hakim, merupakan suatu profesi terhormat dan sulit dicapai. Kode etik ini tentunya harus selalu diingat agar dapat menjadi standar dan motivasi dalam bekerja. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui siapapun, penulis pun masih harus banyak belajar, hanya karena kode etik ini merupakan aturan yang bersifat tetap dan melekat pada profesi, maka boleh untuk terus diingat dan disosialisasikan. Tulisan ini merupakan kerangka berpikir dan niatnya sebagai pembangkit semangat dan motivasi bersama untuk terus belajar dan memberikan yang terbaik dalam setiap pekerjaan di tengah kondisi apapun baik dalam kondisi yang tenang maupun dalam kondisi ada badai yang menerpa. Sebagai penutup, sebuah quotes dari Sydney Smith: “nations fall when judges are injust, because there is nothing which multitude thing worth defending” -  Bangsa akan runtuh manakala Hakim bertindak tidak adil, karena tidak ada lagi yang layak untuk menjadi pelindung. (FAC, AAR, IPS)*Calon Hakim PN Jambi

AI (artificial intelligence): Alat Bantu Dalam Pengambilan Putusan Hakim

article | Opini | 2025-03-24 08:30:36

Pernahkah kita membayangkan menjadi aparatur peradilan pada tahun 1980an? tentunya semua tugas yudisial harian dilakukan secara manual, baik dari proses registrasi perkara, distribusi, persidangan, pembuatan putusan sampai pemberitahuan putusan. Saat itu mungkin mesin ketik masih dapat dihitung jumlahnya yang tersedia di pengadilan-pengadilan kita. Bandingkan dengan tugas yudisial kita saat ini sudah sangat lekat dengan teknologi dan sistem informasi, bahkan proses manual hanya sebagai backup & mitigasi jika terdapat error pada sistem informasi. Dalam jangka waktu ini pekerjaan teknis yudisial di pengadilan sudah berubah hampir 180 derajat. Perkembangan penggunaan teknologi informasi di pengadilan meningkat pesat semenjak  tahun 2019 sampai saat ini.Terdapat 4 aplikasi utama saat ini terkait proses peradilan yang dipergunakan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan peradilan dibawahnya seperti SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara), E-Court, E-Berpadu, dan Direktori Putusan. Selain itu terdapat puluhan aplikasi lain yang beragam bentuk dan penggunaannya. Disadari atau tidak semua aplikasi yang digunakan saat ini masih terbatas pada mempermudah proses mengadministrasikan perkara dan belum menyentuh pada proses pengambilan keputusan hakim.“Ius est ars boni et aequi” hukum adalah seni menerapkan keadilan dan hal-hal yang baik. Adagium ini memberikan pandangan bagi kita bahwa salah satu tugas hakim dalam memutus perkara harus didasari atas “seni”, yang mana seni memerlukan rasa yang bersumber dari hati manusia. Saat ini hakim dituntut harus memiliki kemampuan seni untuk mengolah rasa dan teknologi sesuai perkembangan zaman secara bersamaan. Dalam praktik keseharian kita saat ini, hampir dapat dipastikan hakim mengandalkan referensi hukum dan ketentuan hukum yang didapatkan dari internet, baik yang dikeluarkan secara resmi oleh MA dalam Direktori Putusan, website, dll, maupun dari sumber-sumber lain yang tersedia secara bebas menggunakan peramban seperti “Google”, “Safari” dan yang mungkin lebih canggih lagi yang dilengkapi dengan AI (artificial intelligence) seperti Microsoft Copilot, ChatGPT, BingAI, dll.Perkembangan teknologi yang pesat ini mungkin sekali lagi akan mengubah wajah peradilan kita 10 tahun kedepan yang menyasar kerja-kerja teknis yudisial seperti pengambilan putusan. Hal ini mungkin akan lebih cepat terjadi, mengingat Ketua MA saat itu Muhammad Syarifuddin menyampaikan dalam laporan tahunan MA tahun 2023 pada bulan Februari 2024 bahwa kedepannya MA mengembangkan teknologi AI dalam bentuk  Decision Support System (DSS) yang dapat memberikan informasi kepada hakim jika terdapat kemungkinan kesamaan antara satu perkara dengan lainnya untuk mengurangi disparitas putusan dan aplikasi ini rencananya akan diujicobakan pada bulan September 2024.Perlu diakui kemampuan AI saat ini terus meningkat, pertimbangan etis, teknis, dan praktis tentang apakah AI dapat atau seharusnya mengambil alih atau membantu peran hakim di ruang sidang terus menjadi bahan perdebatan. Perkembangan AI dalam profesi hakim saat ini berkembang terkait dengan pemberian nasihat, membantu dalam analisis data hukum, pemilihan preseden/yurisprudensi, bahkan dalam menyimulasikan putusan pengadilan berdasarkan data historis. Dalam dekade terakhir ini beberapa negara telah mencoba mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan mereka seperti:Aplikasi Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions (COMPAS) yang dikembangkan oleh Equivant, perusahaan teknologi yang bekerja sama dan digunakan oleh pengadilan negara bagian New York di Amerika Serikat. Aplikasi ini menganalisis penilaian yang terstandarisasi yang mencakup penilaian atas residivisme, riwayat kriminal, sikap batin dalam melakukan kejahatan, personalitas terdakwa, latar belakang keluarga, keterikatan sosial terdakwa, latar belakang penggunaan narkoba, dan kesehatan mental yang akan di proses dan menghasilkan analisis referensi bagi hakim untuk menentukan pemidanaan yang cocok diberikan kepada terdakwa. Mahkamah Agung Brazil mengembangkan aplikasi “VICTOR” untuk menganalisis dan menyaring dokumen serta membantu dalam pengambilan keputusan hukum. VICTOR membantu dalam memilah kasus yang relevan untuk dipertimbangkan oleh hakim. Selain itu VICTOR juga membantu hakim dengan mengidentifikasi isu-isu hukum yang dikategorikan sebagai “General Repercussion” yaitu konsep yang digunakan MA Brazil dalam menentukan apakah suatu kasus memiliki dampak yang luas dan signifikan terhadap masyarakat yang melibatkan interpretasi prinsip hukum tertentu yang telah ditentukan. Aplikasi VIKTOR ini juga berhasil mengurangi jumlah perkara kasasi di MA Brazil dari 118.700 perkara pada tahun 2007 menjadi hanya 11.400 perkara pada tahun 2022.Tujuan penggunaan aplikasi-aplikasi ini secara umum adalah untuk memodernisasi sistem adjudikasi dan pengembangan kemampuan membuat putusan oleh hakim. Dengan AI, pengambilan keputusan dapat didasarkan pada analisis data yang objektif dan konsisten. Selain itu memperkecil adanya disinformasi atas suatu ketentuan hukum atau putusan terdahulu serta referensi lainnya yang dapat memperkaya khasanah pertimbangan hakim dalam putusannya. Inovasi-inovasi ini menunjukkan bagaimana teknologi, khususnya AI, dapat diintegrasikan ke dalam struktur hukum tradisional untuk meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan hukum. Namun tetap mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki seorang hakim dalam mempertimbangkan putusan atas suatu pokok permasalahan karena pada akhirnya AI hanya dijadikan alat bantu dalam membuat suatu putusan yang mencerminkan nilai keadilan, kepastian dan kebermanfaatan. Terdapat kritik dan tantangan sistem AI untuk membantu pengambilan keputusan hakim dalam menghadapi tantangan besar dalam hal transparansi dan keandalannya. Salah satu isu utama adalah kurangnya penjelasan tentang bagaimana rekomendasi dihasilkan oleh algoritma AI. Menurut David Searls Direktur Project VRM Harvard University, algoritma sering kali bertindak sebagai "Black Box”, dengan membuat rekomendasi tanpa menunjukkan bagaimana keputusan tersebut diambil, AI tidak dibuat untuk dapat menjelaskan bagaimana ia menganalisis suatu data, yang dapat dilakukan hanyalah proses dengan memasukan “Input” yaitu data-sata yang menjadi indikator dan akan menghasilkan “Output” berupa rekomendasi tanpa memberikan alasan-alasan kerja yang sering kali dibutuhkan hakim untuk membuat putusannya. Hal ini menimbulkan keraguan tentang apakah keputusan yang dibantu oleh AI dapat diandalkan sepenuhnya, mengingat kurangnya transparansi dapat mempengaruhi kepercayaan publik akan suatu putusan hakim. Penggunaan AI dalam hukum tidak boleh mengurangi peran hakim sebagai "seniman" dalam menilai dan mengolah fakta-fakta kasus. Hakim harus menggabungkan intuisinya yang bertahun diasah dengan analisis AI untuk mencapai putusan yang baik, hakim kedepan perlu melatih kemampuan membaca hasil AI dan menerapkan penilaian moral serta pengetahuan hukum.  Perubahan wajah peradilan kita adalah sebuah kepastian dan nampaknya perubahan itu akan menjadi lebih cepat, begitu pula dengan kerja yudisial didalamnya namun semua perubahan itu harus sejalan dengan nilai-nilai keadilan untuk memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan adil, bermanfaat dan berkepastian. (FAC, YBB, BS)*Calon Hakim Pengadilan Negeri Palangkaraya

Aplikasi Perkusi Badilum Sebagai Upaya Transparansi Pelaksanaan Eksekusi

article | Opini | 2025-03-23 07:30:20

Eksekusi terhadap putusan perdata yang tidak dilaksanakan secara sukarela merupakan titik paling akhir dan penting dalam proses penyelesaian perkara perdata. Terdapat indikator keberhasilan dalam pelaksanaan eksekusi. Pertama, adanya kepastian dan prediktabilitas atas prosedur. Kedua, adanya pelaksana eksekusi yang memiliki pemahaman dan kompetensi. Ketiga, adanya akses data bagi petugas eksekusi. Keempat, adanya sistem memonitor dan evaluasi pelaksanaan eksekusi secara transparan. Kelima, adanya kepastian waktu dan biaya. Keenam, adanya informasi yang kredibel dan dapat diakses oleh pencari keadilan dalam proses eksekusi.Namun demikian, terdapat beberapa kendala dalam proses pelaksanaan eksekusi sebagaimana hasil penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang berjudul Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa kendala-kendala proses pelaksanaan eksekusi antara lain sebagai berikut:Mekanisme upaya paksa yang saat ini ada kurang efektif, karena biaya dibebankan ke para pihak; Otoritas eksekusi terdesentralisasi ke unit kerja pengadilan terkecil yakni pengadilan negeri. Pengadilan harus melaksanakan sendiri putusan dengan sumber daya untuk melakukan eksekusi terbatas dan cenderung tergantung kepada lembaga eksternal;Tidak ada data terkonsolidasi tentang status pelaksanaan eksekusi, sehingga minim pengawasan tentang kemajuan proses eksekusi;Rendahnya pemahaman pencari keadilan terhadap hak-haknya;Pelaksanaan putusan pengadilan belum mampu mengisolasi pihak yang menolak melaksanakan putusan dari akses terhadap sumber daya dan pelayanan publik;Perspektif bahwa urusan perdata adalah urusan pribadi, sehingga negara tidak perlu terlalu banyak turut campur terhadap urusan individu;Masih banyak pelanggaran etika profesi dari praktisi yang menghambat efektifnya eksekusi.Untuk mengatasi kendala tersebut, sebenarnya Mahkamah Agung cq Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) telah melakukan beberapa upaya optimalisasi pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata, yakni dengan mengeluarkan inovasi berupa aplikasi Pengawasan Elektronik Eksekusi (Perkusi). Kelebihan dari aplikasi PERKUSI salah satunya adalah karena aplikasi ini bersifat open to public sehingga dapat diakses secara umum pada laman website Ditjen Badilum. Pada menu Pengawasan Eksekusi (PERKUSI) juga terdapat beberapa informasi dan menu yang dapat diakses oleh umum antara lain yakni:Statistik permohonan, aanmaning dan pelaksanaan eksekusi;Persentase jumlah permohonan eksekusi terhadap putusan pengadilan, jumlah permohonan eksekusi hak tanggungan di pengadilan, jumlah pelaksanaan aanmaning, jumlah pelaksanaan eksekusi (pelaksanaan, penyerahan hasil lelang, penetapan non eksekusi dan pencabutan);Informasi 5 (lima) pengadilan dengan permohonan eksekusi paling banyak;Informasi 5 (lima) pengadilan dengan pelaksanaan eksekusi paling banyak;Informasi 5 (lima) jenis perkara terbanyak yang diajukan eksekusi;Informasi tentang publikasi pelaksanaan eksekusi di lingkungan peradilan umum;Rekapitulasi sisa permohonan eksekusi pada tahun sebelumnya, jumlah pendaftaran permohonan eksekusi, pelaksanaan eksekusi dan sisa akhir permohonan eksekusi yang belum dilaksanakan pada seluruh pengadilan dilingkungan peradilan umum;Menu yang dapat digunakan untuk mengetahui tahapan akhir dalam suatu permohonan eksekusi. Berdasarkan informasi dan menu yang terdapat pada aplikasi PERKUSI tersebut, penulis menilai bentuk pengawasan yang dilakukan tersebut adalah pengawasan preventif, yakni dengan cara membuat suatu sistem yang meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi sehingga dapat menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa. Pengawasan preventif tersebut dilakukan dengan cara keterbukaan informasi dan kinerja dari lembaga peradilan dalam hal ini khususnya pengadilan negeri. Pengadilan harus secara tertib dan lengkap dalam pengisian tahapan mulai dari permohonan eksekusi tersebut didaftarkan hingga permohonan eksekusi tersebut dilaksanakan, sehingga masyarakat dapat memantau kinerja dari lembaga peradilan dengan mudah. Di sisi lain secara struktural mulai dari pengadilan tinggi, Ditjen Badilum, dan Mahkamah Agung dapat melaksanakan pengawasan secara real time terhadap perkara permohonan eksekusi di Pengadilan Negeri.  Pengawasan secara elektronik pada aplikasi PERKUSI dimunculkan dalam rangka meningkatkan transparansi lembaga peradilan. Transparansi terhadap permohonan eksekusi akan berhubungan dengan keterbukaan informasi publik mengenai permohonan eksekusi yang disediakan oleh pengadilan. Salah satu prasyarat penting dalam transparansi adalah keterbukaan informasi. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan termasuk dalam tahapan eksekusi dikarenakan minimnya informasi yang bisa diperoleh masyarakat pada saat tahapan eksekusi.  Efektivitas dari pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI dapat dikaji berdasarkan beberapa faktor yakni faktor hukum, faktor sarana prasarana, faktor masyarakat, dan faktor budaya. Faktor HukumDasar hukum yang digunakan dalam proses pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI saat ini yakni Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Nomor 1230/DJU/SK/HM.02.3/4/2021 tentang Pemberlakuan Aplikasi Layanan Elektronik Terpadu (LENTERA), Aplikasi Survei Pelayanan Elektronik (SISUPER) dan Aplikasi Pengawasan Elektronik Eksekusi (PERKUSI) dilingkungan Peradilan Umum. Menurut hemat penulis dasar hukum yang digunakan masih kurang tepat dan lengkap, perlu adanya aturan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung yang secara khusus mengatur bagaimana sistem atau tata cara pengawasan yang dapat dilakukan melalui aplikasi PERKUSI dalam rangka mendukung transparansi pelaksanaan eksekusi di Pengadilan.Faktor Sarana dan PrasaranaDalam pelaksanaan pengawasan eksekusi secara elektronik harus pula didukung oleh sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan teknologi informasi, dikarenakan segala kegiatan berkaitan dengan eksekusi harus diinput pada menu yang tersedia di aplikasi PERKUSI, tanpa adanya sumber daya manusia yang paham teknologi informasi serta perangkat yang menunjang hal tersebut, maka pengawasan eksekusi secara elektronik tidak dapat berjalan efektif. Sehingga menurut penulis Mahkamah Agung perlu melakukan pelatihan dan pembinaan untuk aparat peradilan guna menunjang keahlian teknologi.Faktor MasyarakatDikutip dari H. Salim seperti yang diutarakan Antony Allot yang mengatakan bahwa suatu hukum akan menjadi hukum yang efektif jika maksud dibuatnya hukum dan implementasinya dapat mencegah aktivitas yang tidak diinginkan dan bisa menghapus sebuah kekacauan. Apabila dikaitkan dengan pengawasan eksekusi secara elektronik, masyarakat menyikapi munculnya aplikasi PERKUSI adalah sebuah titik terang dalam proses eksekusi. Mulai dari internal pengadilan hingga masyarakat pencari keadilan. Aplikasi PERKUSI merupakan sarana pengawasan bagi masyarakat untuk mengawal proses pelaksanaan eksekusi di pengadilan, sehingga diharapkan keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi yang berbelit-belit dan tidak transparan dapat diatasi.Faktor BudayaPada faktor budaya, Mahkamah Agung perlu melakukan pembinaan terkait proses pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI tersebut, dikarenakan saat ini masih banyak pengadilan yang belum mengetahui urgensi pengawasan eksekusi secara elektronik tersebut, sehingga banyak ditemukan data pengisian yang kurang update pada aplikasi PERKUSI, hal ini sekaligus menjadi suatu kelemahan yang perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan secara berkala kepada pengadilan.*Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Magetan

Buah Beracun dalam Sistem Peradilan Pidana itu Bernama Penyiksaan

article | Opini | 2025-03-22 12:20:51

PENYIKSAAN hanya buah dari sebab “fruit of the poisenous tree”. Selama “pohonnya” tidak disehatkan maka selama itu pula buah-buah beracun itu akan ada setiap saat. Hal tersebut disampaikan oleh Luhut MP Pangaribuan, Advokat Senior dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi Penyiksaan dalam Peradilan Pidana yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan REVISI, pada 21 Maret 2025. Luhut juga melanjutkan pernyataannya bahwa penyiksaan dan peradilan ini secara diametral saling bertentangan. Karena jika berbicara Peradilan maka seharusnya wujudnya adalah suatu pengayoman yang religius. Oleh karena itu adanya “penyiksaan” dalam peradilan, yang religius dan konstitusional di Indonesia, sungguh menjadi hal yang tidak masuk akal.Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 28 September 1998 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut mengedepankan sebuah definisi mengenai tindakan-tindakan yang merupakan “penyiksaan” yang disepakati secara internasional. Pasal ini menetapkan bahwa:istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.Dalam acara yang sama, Ichzan Zikry (Direktur Eksekutif REVISI) memaparkan bahwa dari 150 putusan yang diindeksasi, tercatat hanya 63 perkara yang klaim penyiksaannya diperiksa oleh Pengadilan. Dari 63 perkara hanya 19 perkara yang klaimnya diterima Pengadilan. Data ini didapatkan dari proses indeksasi dan analisa atas 313 putusan pada tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali dalam kurun waktu 2005-2021. Zikry memandang perbedaan sikap Pengadilan ini dalam memeriksa atau tidak memeriksa klaim tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa tidak adanya mekanisme yang jelas untuk memeriksa klaim penyiksaan bahwa keterangan pihak pengaku yang diperoleh merupakan dari tindakan kekerasan.Perihal klaim penyiksaan dan kekerasan yang dialami Terdakwa, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan yang menerima klaim tersebut dan berujung pada bebasnya Terdakwa.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/PID/2013, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:putusan Judex Facti telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar bahwa saksi kunci SUANTO Bin SAIFUL HAQ dan saksi ROBY SUGARA Bin SUMADEN telah mencabut keterangan mereka di muka penyidik karena unsur tertekan dan takut, pencabutan keterangan itu beralasan karena mereka ditembak di kaki dalam keadaan mata tertutup. Sedangkan di muka persidangan kedua orang saksi ini menerangkan tidak pernah mencuri dua sepeda motor tersebut dan tidak pernah menyerahkannya kepada Terdakwa untuk dijual, bahkan kedua orang saksi ini telah diadili selaku Terdakwa kasus pencurian dua sepeda motor tersebut dengan putusan bebasDalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menolak kasasi Penuntut Umum yang mengajukan permohonan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Negeri Surabaya. Selanjutnya adalah Putusan Nomor 109 K/Pid/2019, Mahkamah Agung menyatakan:Bahwa di persidangan Terdakwa menolak dan menyangkal dengan keras tidak pernah melakukan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum kepadanya, sewaktu pemeriksaan pendahuluan di penyidikan Terdakwa terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dilakukan oknum penyidik, Terdakwa dipukuli, ditendang dan bahkan direndam dalam bak mandi;Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Padang Sidempuan telah tepat membebaskan Terdakwa dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum. Putusan lainnya adalah Putusan Nomor 1905 K/Pid.Sus/2017. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:Saksi Afrizon telah mencabut keterangannya di Berita Acara Penyidikan Polisi (BAP Polisi), demikian juga Terdakwa juga telah mencabutkan keterangannya di BAP Polisi, karena baik Terdakwa maupun saksi Afrizon masih mengalami trauma karena setelah ditangkap Terdakwa dan saksi Afrizon telah dibawa ke suatu tempat dan dipukuli oleh Polisi yang menangkap sehingga pada saat pemeriksaan oleh Penyidik masih merasa tertekan dan ketakutan;Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang telah membebaskan Terdakwa. (YPY)

Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum

article | Opini | 2025-03-21 13:00:37

Bicaralah kebohongan secara terus menerus, maka kebohongan itu akan menjadi kebenaran. Sebuah penggalan kalimat yang tentu sudah sangat sering kita dengar. Dalam bahasa yang lebih ilmiah hal diatas disebut sebagai Illusory Truth Effect, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempercayai informasi yang sering diulang meskipun informasi tersebut salah. Teori Illusory Truth Effect ditulis dalam jurnal yang berjudul Frequency And The Conference Of Referential Validity terbitan tahun 1977 yang diteliti oleh Lynn Hasher, David Goldstein, dan Thomas Toppino. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa kecenderungan seseorang untuk mempercayai informasi yang salah sebagai benar setelah paparan berulang. Illusory Truth Effect menjadi tantangan signifikan di era informatika seperti sekarang ini. Jika dikaitkan dalam konteks penegakan hukum, efek ini dapat berakibat terpengaruhinya opini publik terhadap suatu perkara yang sedang berjalan, legitimasi putusan hakim, atau bahkan kredibilitas institusi hukum. Informasi yang salah atau bias, jika terus-menerus disebarkan melalui media, dapat menciptakan persepsi yang keliru di masyarakat tentang suatu peristiwa hukum yang terjadi namun dianggap sebagai suatu kebenaran dalam masyarakat. Berhati- Hati dalam Menyebarkan InformasiPenyebab utama Illusory Truth Effect adalah dari tindakan aparatur penegak hukum tersebut sendiri terhadap pengelolaan informasi kepada masyarakat. Konferensi pers yang sering kali menyampaikan informasi dengan detail kejadian yang terjadi, motif pelaku, siapa saja yang terlibat atau bahkan sudah melakukan klaim sepihak terhadap besarnya kerugian Negara. Seluruh penegak hukum harusnya memahami hal-hal tersebut hanya dapat dipastikan kebenarannya melalui proses persidangan yang transparan dan imparsial.Selain penyebab utama di atas, kurangnya respon cepat dari aparat penegak hukum untuk menangkis pemberitaan yang keliru dapat menjadi penyebabnya. Dalam era informatika seperti sekarang ini, dalam hitungan detik seluruh informasi dapat menyebar dengan cepat sehingga perlu adanya tindakan yang responsif untuk mengatasi hal tersebut. Disisi lain media juga sering kali menggunakan narasi yang menarik perhatian untuk meningkatkan jumlah pembaca atau penonton dengan judul yang clickbait atau substansi berita yang didramatisir. Masyarakat dalam hal ini tentunya harus meningkatkan literasi hukum untuk menghindari dampak dari Illusory Truth Effect.Tekanan untuk Aparat Penegak HukumIllusory Truth Effect juga dapat menimbulkan tekanan pada aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Jika penegak hukum tidak dapat menjawab harapan masyarakat tersebut maka citra buruk dan narasi negatif akan dicap kepada lembaga tersebut. Padahal harapan tersebut dapat jadi bersumber dari informasi yang salah namun karena disampaikan berulang akan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat. Semisal dalam praktik, tindakan penuntut umum yang melakukan konferensi pers menjelaskan tentang informasi detail substantif dalam perkara, padahal informasi harus diuji terlebih dahulu kebenarannya melalui sebuah proses persidangan. Namun, informasi tersebut kemudian disampaikan berulang-ulang dan pada akhirnya membentuk sebuah opini dan harapan di masyarakat. Dalam proses persidangan ternyata terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sehingga terdakwa dinyatakan bebas. Harapan masyarakat yang bersumber pada konferensi pers tersebut akan menjadi sirna dan tentunya hal ini kemudian dapat mencoreng kinerja lembaga tersebut yang gagal membuktikan klaimnya sendiri dalam konferensi pers. Tindakan dengan sengaja menciptakan fenomena Illusory Truth Effect dalam penegakan hukum bukanlah hal yang arif dan bijaksana. Seluruh pihak harusnya menahan diri dan menghormati proses penegakan hukum yang berlaku. Konferensi pers bukanlah ajang untuk membentuk opini sehingga dapat mendongkrak popularitas semu suatu lembaga. Bahkan, jika dikaji lebih jauh lagi, dapat mencederai semangat supremasi hukum dalam Negara. Pengadilan Sebagai Otoritas Tunggal Penafsir KebenaranPengadilan berperan sebagai institusi negara yang memiliki wewenang untuk menafsirkan dan memutuskan kebenaran berdasarkan hukum yang berlaku. Kewenangan tersebut didasarkan pada prinsip negara hukum, bahwa segala perselisihan ataupun perkara harus diselesaikan melalui mekanisme hukum sesuai pasal 1 ayat 3 UUD 1945.Dalam hal memutuskan suatu perkara di pengadilan, para pihak di proses persidangan menghadirkan alat bukti masing- masing. Alat bukti tersebut kemudian diuji dan dilakukan konstatir oleh hakim yang kemudian dituangkan menjadi fakta hukum dalam putusan. Fakta hukum inilah yang harus diyakini sebagai kebenaran menurut hukum positif yang berlaku karena melalui proses yang transparan, imparsial dan sesuai dengan aturan perundang-undangan.Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Penemuan Hukum terdapat asas res judicata pro veritate habetur yang berarti putusan hakim harus dianggap benar. Hal ini kemudian memberi penegasan terhadap legitimasi putusan hakim dalam sebuah peristiwa terkait sengketa kebenaran dalam sistem hukum Indonesia. Demi Tercapainya Tujuan HukumGustav Radbruch, seorang filsuf hukum menyatakan bahwa ada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam konteks pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran juga dimaksudkan demi tercapainya kepastian hukum di tengah masyarakat. Tanpa kepastian hukum maka sistem hukum akan menjadi kacau, dapat jadi semua pihak akan mengklaim kebenaran mereka sendiri. Semua pihak merasa berhak untuk melakukan segala hal atas kebenaran yang mereka klaim sendiri. Jika hal tersebut sudah terjadi, banyak konflik yang akan terjadi di tengah masyarakat. Tanpa kepastian hukum maka dapat jadi Negara dalam keadaan bahaya. Dalam kaitannya dengan kemanfaatan hukum, pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran bertujuan agar adanya kesatuan pemahaman hukum sehingga proses hukum  dapt segera diselesaikan secara efektif dan tidak berlarut- larut, sehingga bermanfaat bagi proses rekonsiliasi secepatnya di masyarakat dan dapat memberikan solusi yang dapat diimplementasikan oleh para pihak dan mencegah terjadinya perselisihan serupa di masa depan. Dalam kaitannya dengan keadilan maka pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan. Hal tersebut dikarenakan proses persidangan mengedepankan prinsip- prinsip ideal dalam hukum yaitu prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial), prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence), prinsip mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem), prinsip transparansi dan prinsip independensi.Semangat Penegakan Hukum yang Integratif sebagai SolusiSemangat penegakan hukum yang integratif menjadi pendekatan strategis untuk menghadapi tantangan Illusory Truth Effect. Penegakan hukum yang integratif melibatkan sinergitas antara berbagai elemen dalam sistem hukum, yaitu KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan juga Pengadilan. Dengan semangat integrasi, tiap lembaga penegakan hukum memahami bahwa ada batas- batas kewenangan yang dimiliki dalam penyampaian informasi. Penyampaian informasi dalam konferensi pers juga tentunya dibatasi pada hal yang sifatnya formal prosedural bukan pada informasi substansi yang secara hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan. Pemahaman terhadap batas kewenangan masing-masing antar lembaga penegak hukum, transparansi proses hukum, serta edukasi publik yang baik menjadi pilar penting untuk memastikan bahwa masyarakat memahami dan menghormati prinsip hukum yang berlaku, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh Illusory Truth Effect. Dengan demikian, keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan secara objektif untuk menghalau Illusory Truth Effect di tengah kompleksitas era digital (FAC, AAR, Yunus)*Hakim PN Kefamenanu

Hikmah Ramadan: Puasa Sebagai Refleksi Integritas Bagi Insan Peradilan

article | Opini | 2025-03-19 10:45:23

Sudah lebih dari separuh bulan Ramadan berjalan menemani dan hadir di tengah-tengah kesibukan kita sebagai insan peradilan. Di antara tumpukan berkas perkara, jadwal sidang yang padat, dan tanggung jawab memberikan keadilan bagi masyarakat, bulan suci ini senantiasa menyapa dengan lembutnya. Kami sangat bersyukur bisa dipertemukan kembali dan ditemani bulan Ramadan. Bagi kami yang bekerja di institusi Mahkamah Agung RI, Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan momentum berharga untuk berkontemplasi dan memperkuat fondasi integritas dalam mengemban amanah.Sederhana Namun Sarat MaknaSetiap pagi selama Ramadan, sebelum memeriksa jadwal persidangan dan membuka berkas-berkas perkara, kami memulai hari dengan niat berpuasa. Hal yang sederhana namun penuh dengan makna. Sebuah tekad pribadi untuk menahan lapar, dahaga, dan segala keinginan hawa nafsu, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Kesederhanaan inilah yang justru sarat akan makna mendalam bagi kami seorang Hakim.Ketika seorang Hakim menahan hausnya kerongkongan di tengah persidangan yang panjang, seorang panitera yang tetap teliti mencatat jalannya sidang meski perut kosong, atau seorang pegawai pengadilan yang tetap melayani dengan ramah walau tenggorokan kering, di situlah integritas kita masing-masing dalam beribadah diuji dan dilatih secara nyata. Barangkali semua biasa terjadi tanpa adanya pengawasan CCTV, tanpa tatapan atasan, bahkan tanpa pengetahuan rekan kerja sekalipun.Bayangkan bagaimana seseorang yang berhasil menahan diri dari seteguk air minum di ruangannya yang sepi, padahal tak seorang pun akan tahu bila ia meminumnya. Bukankah orang seperti ini sudah seharusnya bisa lebih kuat menolak amplop suap yang disodorkan kepadanya secara diam-diam? Bukankah latihan spiritual ini dapat menjadi benteng integritas terkuat dalam melawan godaan?Melampaui Prosedur, Menggapai EsensiDi ruang sidang, kami terbiasa dengan prosedur. Ada hukum acara yang bersifat limitatif dan imperatif yang harus diikuti. Tahapan persidangan yang tak boleh dilewati, formalitas acara yang mesti dipenuhi. Namun kami sadar, terkadang kebiasaan mengikuti prosedur secara berlebihan bisa jadi membuat kami lupa pada esensi.Hal yang serupa terdapat pada puasa. Rasa-rasanya mudah bagi kami—sebagai orang dewasa—untuk sekadar “tidak makan dan minum” selama jam kerja. Namun jika demikian semata yang dirasa, pastilah kami akan kehilangan esensi pengendalian diri yang sesungguhnya. Sebagaimana puasa tanpa penghayatan hanya akan menghasilkan rasa lapar dan dahaga, begitu juga proses peradilan yang terpaku pada prosedur tanpa penghayatan nilai-nilai kode etik profesi, hanya akan menghasilkan pekerjaan atau putusan tanpa makna.Ketika azan Magrib berkumandang di masjid maupun surau-surau terdekat, kami merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang tidak hanya berasal dari waktunya berbuka, akan tetapi lebih dari itu, yaitu kesadaran diri bahwa kami telah bekerja dengan baik dan tetap menjaga integritas. Putusan telah dijatuhkan dengan adil, pelayanan telah diberikan dengan prima, dan godaan telah ditepis dengan tegas. Inilah berbuka yang sesungguhnya bagi insan peradilan.Refleksi dari Ruang SidangBulan Ramadan memberi kami ruang yang lebih dalam untuk muhasabah atau introspeksi diri. Membaca berkas dan memeriksa perkara di persidangan sambil menahan lapar dan dahaga membangkitkan sensitivitas rasa tersendiri dalam memahami dinamika batin para pihak yang berperkara. Setiap lembar tumpukan berkas, setiap keterangan saksi, dan setiap alat bukti terasa memiliki dimensi makna tersendiri ketika pikiran dan tubuh dilatih untuk bersabar.Puasa juga mengajarkan kita untuk mempertajam rasa kemanusiaan dan keadilan. Bagi seorang Hakim, pelajaran ini sangat penting dalam memutus sebuah perkara. Hakim harus mampu menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Inilah yang oleh Sir Wendell Holmes dikatakan sebagai, “the life of law has not been logic, it has been experience.” (Abdul Ghofur Anshori: 2018). Kondisi fisik yang tengah menahan lapar dan dahaga justru harus mendorong fokus yang lebih tajam, mencegah keputusan yang tergesa-gesa, dan menghadirkan pertimbangan yang lebih jernih, arif, dan bijaksana.Integritas dari Kesadaran DiriSetiap saat kami menyusun putusan dengan diawali kalimat, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat ini bukan sekadar formalitas sebuah dokumen putusan semata, melainkan pengingat bahwa setiap keputusan yang kami ambil harus dipertanggungjawabkan, tidak hanya kepada institusi dan masyarakat, tetapi yang lebih utama adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.Selama Ramadan, kesadaran ini terasa lebih nyata. Ketika perut kosong dan tenggorokan kering, pikiran justru menjadi lebih jernih untuk membedakan antara kewajiban menegakkan hukum dan keadilan dan kepentingan pribadi (baca: haq dan bathil). Sebagaimana pernah disampaikan dalam suatu kesempatan oleh K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau populer dikenal sebagai Gus Baha, tentang tingkatan derajat antara takwa dan syukur, kami menyadari bahwa menjaga integritas bukan hanya bentuk upaya meraih ketakwaan, tetapi juga wujud syukur atas amanah yang dipercayakan.Integritas yang tumbuh dari kesadaran diri jauh lebih tangguh jika dibandingkan dengan yang dipaksakan oleh pengawasan eksternal. Sudah seharusnya para insan peradilan menjaga integritas bukan semata karena takut pada sanksi atau sorotan media dan pengawasan, tetapi lebih kepada keyakinan diri bahwa setiap tindakan kita selalu diawasi oleh Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa.Transformasi Diri, Transformasi InstitusiTransformasi peradilan telah menjadi agenda urgen yang sejak lama didengungkan. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari pembaruan regulasi hingga penerapan teknologi-informasi. Namun kami menyadari, transformasi terdalam memang harus dimulai dari diri sendiri.Puasa di bulan Ramadan ini benar-benar memberikan model transformasi diri yang efektif. Dari latihan menahan diri, tumbuh kemampuan untuk mengendalikan ego pribadi. Dari kesederhanaan berbuka, tumbuh kepedulian dan kepekaan terhadap sesama. Dari ibadah yang konsisten, tumbuh etos kerja dan disiplin yang penuh komitmen. Hal ini sejalan dengan apa yang kurang lebih disampaikan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Bapak H. Bambang Myanto, S.H., M.H., dalam tulisan beliau di rubrik Dandapala Digital (27/02/2025), bahwa sudah seharusnya, nilai atau hikmah dari puasa di bulan Ramadan dapat diinternalisasi oleh seorang Hakim dalam bertindak sehari-hari.Ketika setiap insan peradilan berhasil mencapai transformasi diri semacam ini, perlahan namun pasti, Mahkamah Agung RI dan seluruh peradilan di bawahnya pun akan bertransformasi menjadi lebih baik. Dengan demikian, budaya integritas akan tumbuh dengan sendirinya, bukan karena dipaksakan, melainkan karena telah mendarah daging dalam diri setiap personilnya. Penutup: Pelajaran dari RamadanTidak lama lagi, bulan Ramadan akan berlalu. Namun, hal yang tak boleh luput bagi kita semua adalah hikmah atau pelajaran di dalamnya yang harus tetap hidup dalam keseharian kita sebagai insan peradilan. Kebiasaan menahan diri selama sebulan penuh harus ditransformasi menjadi wujud integritas yang konsisten sepanjang hayat.Bagi kami insan peradilan Indonesia, khususnya umat muslim, Ramadan adalah momentum sakral, bulan tarbiyah atau pendidikan yang intensif untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa, tak terkecuali integritas di dalamnya. Dari pengalaman spiritual ini, kami bertekad dan berharap dapat membangun Mahkamah Agung RI dan badan peradilan di bawahnya menjadi institusi peradilan yang bermartabat dan dipercaya oleh masyarakat.Saat Ramadan berakhir, nilai-nilai yang telah ditempa selama sebulan penuh sebelumnya harus menjadi suluh dalam setiap langkah di tengah kegelapan zaman. Dengan begitu, irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam putusan, dapat diaktualisasikan secara nyata melalui komitmen menegakkan hukum dan keadilan yang berintegritas. Itulah kiranya harapan dan warisan bulan suci Ramadan bagi insan peradilan di Indonesia. (LDR)* Hakim Pengadilan Negeri Putussibau

Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP

article | Opini | 2025-03-19 10:30:01

RUU KUHAP saat ini menjadi perbincangan hangat, mengingat keberadaanya masuk kedalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2025, sehingga perlu untuk diikuti perkembangan dan pembahasannya baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat. Dengan segala pro dan kontra yang ada, RUU KUHAP ini didorong sebagai wujud respon dari perubahan sistem ketatanegaraan, perkembangan hukum dalam Masyarakat, dan kemajuan teknologi yang sudah tidak sesuai, sehingga diperlukan penggantian yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru.RUU KUHAP saat ini, dimana penulis menggunakan rancangan per tanggal 3 Maret 2025, Terdiri atas 20 (dua puluh) BAB dan 334 (tiga ratus tiga puluh tiga) Pasal. Salah satu hal yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan diskusi yaitu terkait dengan pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP mengenai apa saja yang diatur, dan apa perbedaan pengaturan antara Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku saat ini. Perlu diketahui, konsep Praperadilan pada dasarnya berawal dari prinsip habeas corpus yang terdapat dalam sistem Anglo Saxon. Habeas Corpus Act 1679 menuntut pejabat polisi atau jaksa mengeluarkan perintah penahanan yang sah melalui surat perintah pengadilan. Hal ini bertujuan agar memberikan jaminan fundamental terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama dalam hal-hak kemerdekaan. Dengan demikian, terhadap dasar dari lahirnya Praperadilan, timbulah suatu perdebatan apakah KUHAP saat ini sudah mengatur perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut sebagaimana dasar semangat lahirnya Praperadilan.Dengan demikian, demi terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana maka selanjutnya undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Dikarenakan Tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh instansi penegak hukum termasuk kedalam bagian dari pembatasan kemerdekaan atas hak asasi manusia, maka Tindakan tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Dengan demikian, diperlukan Lembaga atau proses pengawasan yang dapat mencerminkan perlindungan atas hak asasi manusia tersebut akibat dari adanya upaya paksa. Lantas, bagaimana pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP saat ini? apakah pengaturan Praperadilan sudah memenuhi prinsip perlindungan atas hak asasi manusia? Apa saja poin penting perbedaannya?RUANG LINGKUP PRAPERADILANRuang lingkup praperadilan terhadap objek yang dapat diperiksa dan diputus diatur dalam ketentuan Pasal 149 dimana telah diakomodirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana sah atau tidaknya pelaksanaan upaya paksa termasuk kedalam ruang lingkup yang dapat dimintakan Praperadilan. Adapun yang dimaksud dengan upaya paksa sendiri juga diatur dalam Pasal 84 RUU KUHAP yang meliputi; (i) Penetapan Tersangka; (ii) Penangkapan; (iii) Penahanan; (iv) Penggeledahan; (v) penyitaan; (vi) penyadapan; (vii) pemeriksaan surat; dan (ix) larangan bagi Tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dimana istilah upaya Paksa tidak diatur dalam KUHAP hanya saja dapat diidentikan dengan segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun, Dimana diantaranya adalah (i) penangkapan; (ii) penggeledahan; (iii) penyitaan; (iv) dan pemeriksaan surat. Ketentuan Praperadilan dalam RUU KUHAP memberikan definisi dan ruang lingkup terhadap upaya paksa yang jauh lebih luas dibandingkan dengan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dengan demikian segala jenis upaya paksa yang terdapat dalam Pasal 84 RUU KUHAP dapat dijadikan objek praperadilan. Tidak hanya terhadap penetapan tersangka saja sebagaimana putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, melainkan juga termasuk didalamnya larangan bagi tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia dan penyadap. Akan tetapi, dalam penjelasan Pasal 149 ayat (1) RUU KUHAP terdapat pembatasan upaya paksa yaitu terhadap upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk kedalam objek praperadilan.GUGURNYA PRAPERADILANPengaturan dalam UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, didalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d dikatakan “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.” Hal ini ditindaklanjuti oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 dimana pada pokoknya dikatakan “Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.” Artinya adalah pengaturan KUHAP saat ini mengatur gugurnya praperadilan apabila terhadap perkara pokok telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara.Hal ini berbeda dengan apa yang diatur oleh RUU KUHAP dimana terdapat pengaturan yang sebaliknya. Disebutkan dalam Pasal 154 ayat (1) RUU KUHAP huruf d bahwa selama pemeriksaaan praperadilan belum selesai maka pemeriksaan pokok perkara di pengadilan tidak dapat diselenggarakan. Artinya adalah, dibenarkan bagi penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan kemudian disidangkan oleh Pengadilan Negeri apabila terhadap permohonan Praperadilan ini belum selesai dilakukan pemeriksaan. Hal ini berbanding terbalik dengan aturan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP saat ini. Dimana dalam RUU KUHAP tidak diatur gugurnya Praperadilan melainkan sebaliknya memberikan Batasan kepada Aparat Penegak Hukum untuk tidak memeriksa pokok perkara selama proses pemeriksaan praperadilan masih berlangsung. Dengan demikian, dua perbedaan diatas merupakan perbedaan yang cukup fundamental didalam proses pemeriksaan Praperadilan Dimana terdapat 2 (dua) perbedaan yang sangat penting yaitu terkait dengan ruang lingkup atau objek praperadilan dan mengenai gugurnya praperadilan. Selanjutnya, terhadap pembaruan tersebut, Kembali pada pertanyaan dalam pendahuluan di atas, apakah pembaruan praperadilan dalam RUU KUHAP ini sudah mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia sebagaimana yang diperjuangkan dari konsep praperadilan? atau dirasa kurang untuk memenuhi perlindungan atas hak asasi manusia itu sendiri? Tentunya ini akan menjadi pembahasan yang sangat menarik didalam tataran dunia akademis dan praktis.

Demarginalisasi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

article | Opini | 2025-03-14 18:50:35

Konstruksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia pada awalnya memang mengalami marginalisasi atau peminggiran secara normatif. Marginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana dilatarbelakangi oleh eksistensi hukum pidana materil (KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) yang beraliran daad-dader-strafrecht sehingga definisi korban pun tidak diatur dalam KUHP dan KUHAP. KUHP Nasional yang diberlakukan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibentuk pada tahun 1881 dan diberlakukan tahun 1886 yang masih sangat kuat beraliran daad-strafrecht (fokus pada perbuatan) dan kemudian daad-daader strafrecht (fokus perbuatan dan orang) dengan paradigma retributif yang kuat sehingga hal ini menyebabkan korban tidak mendapatkan atensi dan termarginalisasi dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan dalam konteks hukum acara pidana, sebelum eksistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), maka yang berlaku adalah HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang merupakan operasionalisasi paradigma retributif (fokus pada orang dan perbuatan) dari KUHP dengan atensi pada kecepatan penegakan hukum pidana sehingga hak-hak hukum pelaku seringkali tidak diperhatikan dan dilanggar. Kemudian keberlakuan KUHAP juga belum memberikan perhatian terhadap peran dan perlindungan terhadap korban mengingat spirit pembentukan KUHAP adalah memperkuat due process of law dalam hal ini terkait perlindungan hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana) dan akuntabilitas mekanisme kinerja penegak hukum. Fokus KUHAP adalah melindungi tersangka/terdakwa/terpidana dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum sebagaimana yang terjadi saat berlakunya HIR. Kondisi ini menyebabkan perhatian kepada hak dan perlindungan korban menjadi sangat minim dan termarginalkan. Secara historis, dinamika perkembangan korban dalam sistem peradilan pidana pada dasarnya dapat dilihat dalam tiga periodesasi hukum pidana Indonesia. Pertama, hukum pidana yang berorientasi pada pembalasan semata (retributif/absolut)/daad-strafrecht. Merupakan periodesasi di saat konsep pemasyarakatan belum dikenal dalam tata hukum Indonesia dan hukum acara pidana masih menggunakan HIR. Istilah pemasyarakatan sendiri dikenal pertama kali tahun 1963 yang dicetuskan oleh DR. Saharjo (Menteri Hukum dan Kehakiman saat itu) dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia. Secara formal konsep pemasyarakatan mulai memiliki landasan yuridis formal sejak diundangkannya UU Pemasyarakatan tahun 1995. Kedua, hukum pidana sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan tertentu (relatif/gabungan)/daad-dader-strafrecht. Periodesasi sejak UU Pemasyarakatan mulai diterapkan. Pada periodesasi ini, sanksi pidana tidak sekadar dijadikan alat pembalasan melainkan sebagai sarana reformasi untuk memperbaiki narapidana (resosialisasi). Pemasyarakatan merupakan obat bagi orang 'sakit' yakni narapidana agar sembuh dan dapat melebur kembali ke dalam masyarakat sebagai pribadi yang baik untuk mendukung pembangunan bangsa. Dalam periodesasi kedua ini pusat perhatian dalam penegakan hukum pidana terletak pada pelaku sehingga kemudian pada tahap ini dikenal konsep mengenai individualisasi pidana. Akan tetapi, dalam realitasnya, konsep pemasyarakatan mengalami disfungsi karena faktor over capasity akibat core pemenjaraan masih menjadi arus utama penyelesaian perkara pidana. Kemudian muncul pemikiran kontemporer agar penyelesaian perkara pidana tidak semua harus dengan sanksi perampasan kemerdekaan yang terbukti tidak efektif untuk menurunkan tingkat kejahatan dan juga mengabaikan kepentingan korban. Lalu munculah pemikiran periodesasi ketiga yang mengkonstruksikan konsep pemidanaan yang meletakkan peran strategis pada kepentingan korban. Sanksi pidana diarahkan untuk kepentingan korban. Ketiga, hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban. Jika pada periodesasi satu dan dua, sanksi pidana hanya berfokus pada perbuatan dan pelaku tindak pidana, pada periodesasi ketiga ini, sanksi pidana mulai memberikan perhatian terhadap korban sebagai pihak yang paling terdampak dari terjadinya tindak pidana. Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka tahun 2006 menjadi mailstones eksistensi hukum pidana yang berorientasi pada kepentingan korban, dari sinilah melembaga konsep restitusi dan kompensasi yang berfokus pada pemulihan hak-hak dan kepentingan hukum korban yang sebelumnya terampas akibat suatu tindak pidana. Meskipun demikian, sebelum UU Perlindungan Saksi dan Korban, konsep mengenai restitusi dan kompensasi telah dikenal dalam UU Pengadilan HAM namun hanya terbatas pada tindak pidana pelanggaran HAM berat. Setelah lahirnya UU Perlindugan Saksi dan Korban, konsep restitusi dan kompensasi melembaga dalam berbagai aturan pidana khusus seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU Sistem Peradilan Anak tahun 2012 melembagakan konsep diversi dalam penyelesaian perkara anak yang merupakan pelembagaan prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara anak dengan titik tumpu pada tanggungjawab pelaku, pemenuhan hak dan kepentingan korban serta restorasi hubungan antara pelaku dan korban dengan minimalisasi pemenjaraan. Transformasi demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana kemudian menjadi semakin bertumbuh dengan pembentukan peraturan-peraturan internal penegak hukum yang besifat keadilan restoratif dengan spirit keberpihakan pada korban seperti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntuan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, hingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Walaupun peraturan-peraturan internal penegak hukum tersebut masih memiliki berbagai kekurangan namun spirit untuk mengkonstruksikan korban dalam posisi centre of attention menjadi sebuah angin segar bagi perkembangan hukum pidana kedepan. Demarginalisasi korban dalam sistem peradilan pidana sendiri akan semakin kuat dengan berlakunya KUHP baru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pada 2 Januari 2026 mendatang ditambah dengan pemberlakuan revisi KUHAP yang akan mengatur secara lebih rinci hak dan perlindungan korban dalam hukum acara pidana. KUHP baru membawa tiga spirit keadilan secara integral dengan meletakkan korban sebagai salah satu subyek utama dalam operasionalisasinya yakni keadilan korektif, (bagi pelaku) keadilan rehabilitatif (bagi korban dan pelaku), dan keadilan restoratif (bagi korban). Sanksi pidana diletakkan dalam kerangka keseimbangan antara kepentingan dan tanggungjawab pelaku, perlindungan dan pemulihan korban serta pemenuhan aspek partisipatif-edukatif. Jenis-jenis sanksi pidana pun bergeser dari core utama perampasan kemerdekaan menjadi ke arah korektif, rehabilitatif, dan restitutif/restoratif. Sehingga pendekatan daad-dader-strafrecht mulai bergeser menjadi daad-dader-victim-strafrecht. Sanksi fisik yang hanya menyasar pelaku kini diseimbangkan dengan pendekatan edukatif (pidana pengawasan/rehabilitasi) serta pendekatan materil dan imateril kepada korban berupa restitusi (ganti rugi) dan rehabilitasi yang memiliki manfaat direct bagi pemulihan hak dan kepentingan korban.

Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

article | Opini | 2025-03-14 08:10:12

Pengantar Sengketa hak milik atas tanah yang diajukan ke pengadilan seringkali mempermasalahkan antara Sertipikat Hak Milik (SHM) dengan alat bukti bekas hak milik adat berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kekitir atau Verponding Indonesia namun tidak terbatas pada istilah itu saja. Masyarakat yang tidak memahami secara utuh tentang pengaturan hak atas tanah seringkali menjadi sasaran dari praktik-praktik mafia tanah, akibatnya sering timbulnya sebuah SHM tanpa sumber perolehan yang jelas di atas tanah bekas milik adat yang dikuasai secara nyata turun temurun oleh masyarakat. Pertentangan tersebut seringkali diajukan sebagai sengketa di pengadilan karena terdapat benturan hak atas tanah sehingga menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Sangat perlu dipahami dan disebarluaskan mengenai eksistensi alat bukti bekas hak milik adat terhadap bidang tanah agar praktik-praktik mafia tanah tidak semakin terorganisir dan menciderai nilai-nilai keadilan bagi pemegang hak atas tanah yang dilindungi oleh hukum. Penyelesaian sengketa di pengadilan haruslah menyelesaikan seluruh pokok permasalahan sampai ke akar-akarnya, namun akhir-akhir ini pengadilan seringkali dihadapkan pada problematika maupun kompleksitas, terutama yang mengandung sebuah penyelundupan hukum yang terorganisir, khususnya mengenai sengketa keabsahan kepemilikan hak atas tanah. Dalam hal yang demikian, sangat diperlukan kecermatan dan kesungguhan seorang Hakim dalam mengadili sengketa hak atas tanah, agar terhindar dan tidak tergelincir dengan uraian-uraian manipulatif dalam persidangan. Oleh karena itu, perlu diketahui dan dipahami bersama dasar hukum maupun penerapan khususnya mengenai alat bukti bekas hak milik adat. Dasar Hukum Pada tanggal 02 Februari 2021, Jokowi Widodo selaku Presiden Republik Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 96 peraturan tersebut menyebutkan bahwa: (1) Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini; (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka alat bukti tertulis tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah. Masih dalam peraturan tersebut, Pasal 97 menyebutkan bahwa surat keterangan tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis yang dimaksudkan sebagai keterangan atas penguasaan dan pemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah/camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah. Selanjutnya pada tanggal 23 Agustus 2021, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menerbitkan sebuah peraturan yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 76A peraturan tersebut menyebutkan bahwa: (1)  Alat bukti tertulis tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perseorangan berupa Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dinyatakan tidak berlaku setelah 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah berlaku; (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka: a. alat bukti tertulis tanah bekas milik adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah; dan b. status tanah tetap tanah bekas milik adat; (3) Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mekanisme pengakuan hak. (4) Permohonan pengakuan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan surat pernyataan penguasaan fisik dari pemohon dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menyatakan bahwa: a.  Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya merupakan tanah bekas milik adat bukan tanah Negara; b.  Tanah tersebut dikuasai secara fisik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut; c.   Penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; d.  Tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah yang dimiliki dan/atau tidak dalam keadaan sengketa; e.  Tidak terdapat keberatan dari pihak Kreditur dalam hal tanah dijadikan jaminan sesuatu utang; dan f.    Bukan merupakan aset Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dan tidak berada dalam kawasan hutan; (5) Unsur itikad baik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terdiri dari kenyataan secara fisik menguasai, menggunakan, memanfaatkan dan memelihara tanah secara terus menerus dalam waktu tertentu dan/atau memperoleh dengan cara tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; (6) Surat pernyataan penguasaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan ketentuan: a.   Disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang saksi dari lingkungan setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua, baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan merupakan benar sebagai pemilik dan yang menguasai bidang tanah tersebut; dan b. Dibuat berdasarkan keterangan yang sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara perdata maupun pidana apabila di kemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam peranyataannya; (7)  Surat Pernyatan Penguasaan fisik dibuat sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Disamping apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), kedua peraturan tersebut di atas harus menjadi rujukan dan pisau analisis dalam menangani sengketa hak atas tanah yang didalamnya menyoalkan mengenai alat bukti bekas hak milik adat demi mewujudkan kepastian hukum dan melindungi masyarakat dari praktik buruk yang dilakukan oleh mafia tanah. Oleh karena itu, pemaknaan alat bukti bekas hak milik adat dalam sengketa hak atas tanah yaitu dinyatakan berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak 02 Februari 2021 sampai dengan 02 Februari 2026 yang wajib didaftarkan dan dinyatakan tidak berlaku apabila melewati jangka waktu tersebut tidak didaftarkan yang akibat hukumnya tidak dapat digunakan sebagai pembuktian Hak Atas Tanah sehingga hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah. Perlu diperhatikan dengan seksama bahwasanya terdapat perbedaan mengenai kualitas sebagai alat bukti antara Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain dengan Surat Keterangan Tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis, yaitu yang diakui eksistensinya menurut hukum sebagai alat pembuktian adalah Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan nama atau istilah lain, sedangkan Surat Keterangan Tanah, surat keterangan ganti rugi, surat keterangan desa dan lainnya yang sejenis hanya diakui sebagai petunjuk dalam pendaftaran tanah, sebagaimana yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.   Best Practice Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Fenomena yang terjadi di pengadilan seringkali membentuk kesadaran maupun pemahaman masyarakat mengenai suatu sengketa yang diselesaikan melalui putusan pengadilan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan minimnya literasi mengakibatkan suatu persengketaan diadili tidak membawa keadilan bagi para pencari keadilan. Dewasa ini yang menjadi persoalan bukan hanya soal menang dan kalah di pengadilan, melainkan bagaimana Hakim menerapkan hukum dalam suatu sengketa yang diajukan kepadanya. Ketidaksesuaian penerapan hukum seringkali membawa akibat yaitu turunnya trust public terhadap badan peradilan, hal ini sebuah tanda serius bahwa Hakim harus benar-benar mewujudkan asas ius curia novit pada setiap perkara yang ditanganinya. Sudah tidak asing lagi di telinga bahwa masyarakat acapkali menganggap Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya tidak dapat mengalahkan Sertipikat Hak Atas Tanah (SHM/SHGB/SHGU). Sebab utama dari paradigma yang demikian adalah maksud dan tujuan dari sertipikat hak atas tanah memang untuk memberikan kepastian hukum bagi siapapun yang menjadi pemegang haknya, selain itu sering kali terlewat untuk dipertimbangkan bagaimana cara perolehan dari sertipikat tersebut, apakah diperoleh secara patut menurut hukum ataukah justru dari praktik-praktik yang melawan hukum. Berbicara mengenai sumber perolehan hak atas tanah, disinilah letak isu utama dari sebuah sengketa hak atas tanah. Mengapa demikian? Bahwasanya perlu dipahami segala sesuatu yang dilindungi dan dijamin oleh hukum haruslah diperoleh dengan cara-cara yang ditentukan hukum serta tidak diperbolehkan dengan cara yang melawan hukum. Segala sesuatu yang diperoleh dengan cara melawan hukum maka membawa akibat menjadi batal demi hukum. Hakim dalam melihat pokok persengketaan keabsahan kepemilikan atas adanya pertentangan antara Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir, Verponding Indonesia dan alat bukti bekas hak milik adat lainnya dengan Sertipikat Hak Atas Tanah harus mampu merumuskan apa yang menjadi permasalahan utamanya, peraturan mana yang berlaku, merumuskan fakta-fakta yuridis, menganalisa dengan menerapkan hukum yang berlaku dan mengambil kesimpulan untuk menjatuhkan putusan sebagai wujud penyelesaian perkara. Hakim dalam perkara perdata sebenarnya juga harus mewujudkan kebenaran materiil, namun apabila tidak dapat menemukan kebenaran materiil maka diperbolehkan untuk menjatuhkan putusan dengan dasar kebenaran formil. Sehingga maknanya bukan berarti Hakim dalam sengketa perdata tidak boleh menjatuhkan atas kebenaran materil, melainkan apabila tidak dapat tercapai maka diperbolehkan dengan basis legal formil. Hal ini sangat penting dengan kaitannya sengketa perdata yang mengandung unsur manipulatif, yakni mafia tanah seringkali sudah memiliki sertipikat hak atas tanah terhadap objek sengketa, namun secara materiil sumber perolehan haknya dilakukan dengan cara melawan hukum dengan tidak menghiraukan pemegang hak alat bukti bekas hak milik adat. Praktik terbaik penyelesaian sengketa perdata mengenai hak atas tanah harus dengan pendeketan yang komprehensif agar tidak tergelincir dengan mengedepankan legal formil semata. Dapat dikatakan bahwa alat bukti bekas hak milik adat memiliki kualitas pembuktian di atas sertipikat hak atas tanah dalam hal terungkap fakta bahwa pemegang hak dari alat bukti bekas hak milik adat memang secara nyata turun temurun menguasai dengan itikad baik dan tercatat dalam buku tanah desa setempat dimana tidak pernah ada pengalihan dari pemegang hak selaku orang yang berwenang melakukan perbuatan hukum terhadap tanah tersebut, serta pula terhadap sertipikat dari mulanya perolehan sampai dengan penerbitannya mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Sebagai contoh konkret bahwa suatu pemerintah daerah mendaftarkan sebidang tanah dan Kantor Pertanahan setempat menerbitkan Sertipikat Hak Pakai atas nama pemegang hak pemerintah daerah tersebut, sedangkan tanah tersebut bukanlah tanah terlantar atau tanah yang dilepaskan haknya, melainkan tanah yang dikuasai secara langsung dengan itikad baik berdasarkan alat bukti bekas hak milik adat. Dalam kasus tersebut maka terungkap sebuah kebenaran materil bahwa pemerintah daerah sebenarnya tidak memiliki dasar untuk mengajukan pendaftaran hak pakai terhadap tanah tersebut dikarenakan terdapat hak dari orang yang memiliki alat bukti bekas hak milik adat. Namun berbeda halnya apabila hanya memandang dari aspek legal formil, maka cenderung menerapkan hukum dengan pendekatan kekuatan dari sertipikat sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Disini terlihat betapa pentingnya kehatian-hatian (prudential principle) seorang Hakim dalam memutus perkara sengketa hak atas tanah. Sekalipun dalam pengadilan perdata, seorang Hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas dasar keyakinannya, namun tidak ada larangan bagi Hakim untuk menggali kebenaran yang sebenar-benarnya dari sengketa yang didadilinya demi mewujudkan keadilan yang nyata bagi pencari keadilan. Justru dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Hakim harus menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat untuk mewujudkan keadilan. Pembangunan hukum nasional dalam bidang perdata hari ini sudah harus mampu menjangkau kebutuhan hukum dari seluruh lapisan masyarakat dan menutup celah bagi para mafia tanah untuk menyalahgunakan keadaan maupun kerentanan dari pemegang hak berdasarkan alat bukti bekas hak milik adat. Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa sengketa hak atas tanah yang menyoalkan mengenai alat bukti bekas hak milik adat haruslah ditinjau secara yuridis tentang apakah masih berlaku dan berada dalam jangka waktu yang ditentukan, dikuasai secara nyata turun temurun, diperoleh dengan itikad baik dan tercatat dalam buku tanah desa/buku pajak setempat.   Kesimpulan Hakim dalam menangani sengketa perdata mengenai keabsahan kepemilikan hak atas tanah wajib mempertimbangkan sumber perolehan hak atas tanah tersebut, terutama sekali yang di dalamnya terdapat alat bukti bekas hak milik adat. Prinsip kehati-hatian (prudential principle) harus dikedepankan untuk mencegah tergelincirnya ke dalam sesat pikir dengan alih-alih legal formil sebagaimana praktik mafia tanah yang seringkali dilakukan di pengadilan. Hakim yang memiliki kewajiban mengkonstatir, mengkualifisir, mengkonstituir fakta dan hukum untuk menjatuhkan putusan, tidak dapat berpaling dari ketentuan yang diatur Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan demikian, maraknya penyelundupan hukum dalam bidang pertanahan khususnya sengketa hak atas tanah yang diajukan ke pengadilan dapat teratasi dan masyarakat mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang dijamin oleh undang-undang.

Merangkai Paramater Pembuktian Sederhana dalam Pemeriksaan Singkat: Dari Asas Contante Justice hingga Beban Kerja Hakim

article | Opini | 2025-03-12 12:30:03

Selasa, 26 Maret 2024 Penulis mengikuti sidang perkara pencurian. Singkatnya, Terdakwa mencuri handphone korban pada saat korban tertidur di Masjid lalu tertangkap tangan oleh korban melalui pelacakan handphone. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Hakim Ketua menanyakan kepada Penuntut Umum alasan perkara tidak dilimpahkan dengan acara cepat lalu Penuntut Umum menyampaikan nilai handphone yang dicuri sebesar Rp2.700.000,00 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah). Artinya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar  Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Pada pemeriksaan, Terdakwa mengakui seluruh perbuatannya dan dituntut pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan penjara.Kasus kedua, perkara membawa senjata tajam. Saat razia pihak kepolisian, Terdakwa tertangkap tangan membawa pisau dengan panjang sekitar 26 (dua puluh enam) cm. Oleh Penuntut Umum perkara dilimpahkan dengan Acara Pemeriksaan Biasa (P-31) sehingga pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. Pada saat persidangan, sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan di Kepolisian bahwa Terdakwa mengakui alasan membawa senjata tajam tersebut untuk berjaga-jaga dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya sebagai mekanik di bengkel motor. Penuntut umum lalu menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.Pada konteks perwujudan peradilan cepat dan sederhana, perkara-perkara diatas menimbulkan problematika hukum yang perlu didiskusikan bersama untuk menjadi bahan kebijakan Mahkamah Agung untuk menerbitkan SEMA atau Rancangan PERMA (RPERMA). Pertama, mengapa pemeriksaan tidak dilakukan melalui acara singkat? Kedua, mengapa pemeriksaan tersebut tidak disidangkan dengan Hakim Tunggal guna mengurangi beban kerja Hakim? Ketiga, dari sisi keadilan hukum sekaligus pendekatan KUHP baru, apakah Terdakwa dalam kasus pencurian tersebut dapat dihukum setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan kurungan? Mengingat kerugiannya hanya lebih Rp200.000,- (dua ratus ribu) dari ketentuan acara pemeriksaan cepat KUHAP yang sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).Mengenai permasalahan ketiga, telah disinggung oleh Penulis pada Artikel Opini Majalah Dandapala Volume IX/Edisi 51 Januari-Februari 2023. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP pada saat ini memang perlu kembali disesuaikan (2024) karena aturan tersebut sudah berlaku 12 (dua belas) tahun. Mahkamah Agung melakukan perhitungan dengan pendekatan harga emas tahun 1960 (Rp50,51,-/gram) dengan harga emas tahun 2012 (Rp509.000,-/gram) sehingga terdapat kenaikan sebesar 10.000 (sepuluh ribu) lipat. Pada saat ini, apabila menggunakan metode pendekatan harga emas maka harga emas tahun 2024 (Rp1.150.000,-/gram) atau sekitar dua kali lipat dari tahun 2012. Oleh sebab itu, kategori kerugian pada tindak pidana ringan dapat disesuaikan menjadi Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) atau diselesaikan melalui Perma 1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Permasalahan pertama dan kedua terletak pada hukum acara yang diatur KUHAP yang hanya memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menentukan jenis acara pemeriksaan (Biasa atau Singkat). Konsekuensinya, apabila Penuntut Umum berpandangan perkara tersebut tidak dapat dibuktikan dengan sederhana maka perkara akan dilimpahkan dengan acara biasa sehingga Ketua Pengadilan Negeri wajib menunjuk hakim dengan komposisi Majelis untuk memeriksa perkara tersebut. Akan tetapi perlu disadari, KUHAP sendiri tidak memberikan parameter “Pembuktian yang Sederhana” yang berakibat hampir seluruh perkara oleh Penuntut Umum dilimpahkan dengan acara biasa walaupun perkara tersebut (apabila dikaji) dapat diperiksa secara singkat dengan hakim tunggal. Kondisi tersebut tergambarkan dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Periode 2020-2023: PERBANDINGAN JENIS PERKARA BIASA DAN SINGKAT BERDASARKAN LAPORAN TAHUNAN MAHKAMAH AGUNG PERIODE 2020-2023 TAHUN JUMLAH PERKARA PIDANA BIASA JUMLAH PERKARA PIDANA SINGKAT PERSENTASE PERBANDINGAN PIDANA BIASA DENGAN PIDANA SINGKAT 2020 134.344** 454 0,336% * 2021 123.352** 190 0,1537% * 2022 119.109** 100 0,839% * 2023 117.773** 57 0,0484% *   *PERSENTASE PERKARA PIDANA SINGKAT DIBAWAH 1% DIBANDINGKAN PERKARA PIDANA BIASA **5 (LIMA) PERKARA MENDOMINASI ANTARA LAIN TINDAK PIDANA NARKOTIKA, PENCURIAN, PERLINDUNGAN ANAK, PENGGELAPAN, PENGANIAYAAN YANG JIKA DITELITI DAPAT DISELESAIKAN MELALUI ACARA SINGKAT Kondisi diatas memberikan beban kerja lebih kepada para hakim karena rata-rata beban per hakim adalah jumlah rasio perkara bagi setiap hakim dikalikan 3 (tiga). Karena persidangan dilakukan dengan majelis, setiap perkara didistribusikan kepada tiga orang hakim. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak. UU tersebut memberikan wewenang pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menilai sulit tidaknya pembuktian sehingga suatu perkara dapat ditangani oleh Hakim Tunggal atau Majelis. Penerapan Hakim Tunggal juga pernah diterapkan berdasarkan SEMA 4/1984 tentang Sidang-Sidang dengan Hakim Tunggal yaitu pemberian izin sidang dengan hakim tunggal kecuali perkara tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi dan tindak pidana yang menarik perhatian publik;Perbandingan kondisi tersebut mendorong penulis mengkaji parameter “Pembuktian yang Sederhana”. Melalui metode kajian 200 (dua ratus) putusan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Surabaya, perbandingan dengan RKUHAP dan perbandingan peraturan dengan negara lain, maka didapat parameter sebagai berikut:Jenis perkara mayoritas atau mendominasi di suatu daerah (seperti perkara senjata tajam, pencurian, penganiayaan, penipuan, pengedaran sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan, kecuali narkotika). Tiap daerah mempunyai jenis perkara mayoritas, misalnya di Pengadilan Tinggi Surabaya adalah perkara tindak pidana kesehatan (sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan secara ilegal) dan perjudian sedangkan di Pengadilan Tinggi Banjarmasin adalah perkara senjata tajam dan penganiayaan;Putusan terhadap perkara-perkara tersebut, rata-rata dibawah 2 (dua) tahun atau pidana bersyarat. Bandingkan dengan syarat Pemeriksaan Singkat pada RKUHAP yaitu Pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun;Terdakwa mengakui perbuatannya atau tertangkap tangan;Perkara diselesaikan dalam waktu kurang dari 1,5 (satu setengah) bulan;Dakwaan tunggal atau alternatif;Keterangan Saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya (Pengakuan dari Keterangan Terdakwa) dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi. Artinya, jumlah Saksi yang diperiksa tidak lebih dari 2-3 (tiga) orang;Jenis Perkara tersebut rata-rata (secara persentase) tidak diajukan upaya hukum;Bukan perkara yang menarik perhatian publik;Parameter tersebut dapat dituangkan dalam SEMA atau lebih teknis dapat diatur pada RPERMA tentang Pedoman Acara Singkat. Apa filosofinya? Kata “Sederhana” hanya ditemukan pada Pemeriksaan Acara Singkat padahal “Sederhana” merupakan asas utama dalam pemeriksaan akan tetapi tidak ada pasal pengaturan yang mewujudkan asas tersebut lebih konkret. Asas peradilan sederhana diatur secara tegas dan lebih jelas dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Kata “sederhana” yang berada di paling depan dibandingkan frasa “cepat” dan “biaya ringan” menjadi penekanan bahwa alur proses peradilan mengarah pada prinsip kerja yang efektif dan efisien dengan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.Bagaimana teknis pengaturannya? Pada RPERMA, diatur tiap pengadilan memberikan laporan kepada Pengadilan Tinggi terkait perkara-perkara yang mendominasi daerah tersebut dan memenuhi parameter diatas, lalu Pengadilan Tinggi memberikan persetujuan bahwa terhadap perkara-perkara tersebut dapat diadili dengan Hakim Tunggal. Ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk Hakim Tunggal, juga memperhatikan pengalaman hakim tersebut khususnya dalam memeriksa kasus serupa. Pemeriksaan dapat menyesuaikan, artinya Hakim dapat berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri, apabila khusus dalam pembuktian saksi memerlukan pemeriksaan secara majelis, sedangkan terkait dakwaan, tuntutan, pembelaan dan putusan tetap dilakukan oleh hakim tunggal. Pemeriksaan juga memperhatikan pengakuan Terdakwa setelah pembacaan dakwaan. Pasal 199 RKUHAP menentukan, “Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, Terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.”  Terakhir, diatur juga mengenai proses pembuktian dan format putusan yang lebih sederhana. Berdasarkan parameter diatas, maka penerapan pemeriksaan acara singkat sebagai penerapan asas contante justice dapat berkorelasi positif secara faktual dengan beban kerja hakim di Indonesia, karena pemeriksaan acara tersebut dapat dilakukan dengan hakim tunggal bukan majelis. Oleh sebab itu, Penulis berharap bahwa RPERMA dapat memberikan dampak positif dan langkah yang tepat untuk mengurangi beban kerja hakim khususnya dalam pemeriksaan dan pembuatan putusan, mengurangi antrian atau penundaan sidang di Pengadilan kelas IB / IA karena seringkali salah satu hakim yang memeriksa sedang berhalangan atau memeriksa perkara lain. Terakhir, RPERMA dapat menjadi salah satu jalan konkret perwujudan asas utama dalam peradilan yaitu Cepat dan Sederhana. (FAC Rd, LDR)*Calon Hakim Pengadilan Negeri Ponorogo

Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

article | Opini | 2025-03-11 17:00:33

PengantarSeorang hakim bukan hanya sekadar profesi Yang Mulia, tetapi sebuah amanah moral dan spiritual yang mengemban tugas suci dalam menegakkan keadilan. Di dalam sistem hukum modern, hakim terikat oleh kode etik yang mengatur integritas, independensi, hingga profesionalitasnya. Namun, jika kita melihat lebih dalam melalui perspektif agama Hindu, konsep etika hakim dapat diperkaya dengan tiga kerangka dasar agama Hindu, yaitu Tattwa (filsafat kebenaran), Etika (susila dan moralitas), dan Upacara (ritual dan pengabdian).Dalam agama Hindu, tugas seorang hakim dapat disamakan dengan peran seorang Dharmaraja, yang bertugas menegakkan hukum berdasarkan dharma (kebenaran dan keadilan). Seperti yang dicontohkan dalam kisah Raja Yudhistira dalam Mahabharata, seorang pemimpin harus menjunjung tinggi kebenaran dan tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi. Hakim yang bertindak sesuai dengan prinsip agama Hindu tidak hanya melaksanakan hukum positif, tetapi juga menyeimbangkan hukum dengan kebijaksanaan dan nilai-nilai dharma.Pembahasan1. Tattwa: Hakim dan Hakikat KebenaranDalam agama Hindu, Tattwa merupakan dasar filsafat yang mengajarkan tentang hakikat kebenaran dan realitas. Dalam konteks profesi hakim, hal ini berarti seorang hakim harus mampu memahami esensi dari keadilan itu sendiri. Bhagavad Gita (Bab 4. Sloka 7-8) menegaskan bahwa Tuhan akan selalu hadir untuk menegakkan dharma dan melenyapkan adharma (ketidakadilan). Dengan demikian, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus memiliki kesadaran spiritual bahwa setiap keputusan yang ia buat harus berlandaskan pada kebenaran sejati, bukan sekadar aturan hukum tertulis.Dalam sistem peradilan modern, seorang hakim sering dihadapkan pada dilema antara hukum positif dan nilai keadilan yang lebih tinggi. Agama Hindu mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya bersifat legalistik, tetapi juga moral dan kosmis. Oleh karena itu, seorang hakim yang memahami Tattwa akan selalu mencari keseimbangan antara aturan dan hati nurani dalam menjatuhkan putusan.2. Susila: Kode Etik Hakim dan Moralitas Agama HinduKonsep Etika dan Susila dalam agama Hindu mengacu pada standar moral yang harus dijalankan oleh setiap individu, terutama mereka yang memegang posisi penting dalam masyarakat. Seorang hakim dituntut untuk memiliki karakter yang jujur (Satya), tidak memihak (Nyaya), tanpa kekerasan (Ahimsa), dan penuh kebijaksanaan (Viveka).Dalam Manusmṛti atau dikenal dengan Manawa Dharmasastra, kitab hukum agama Hindu tertua, disebutkan bahwa seorang hakim atau raja yang memutuskan perkara dengan tidak adil akan mengalami penderitaan dalam kehidupannya maupun setelah kematian. Sloka VIII-18 dalam Manawa Dharmasastra menyebutkan: “Keputusan yang salah karena ketidakadilan oleh hakim, seperempat bagian dari kesalahan menimpa yang melakukan kejahatan, seperempat bagian kepada yang memberikan kesaksian palsu, seperempat bagian kepada semua hakim, seperempat bagian kepada raja (kepala negara)”. Ini selaras dengan prinsip kode etik hakim yang menekankan pentingnya kejujuran, integritas, berdisiplin tinggi dan profesional agar hakim terhindar dari kesalahan dalam mengambil putusan.Jika dikaitkan dengan profesi hakim saat ini, prinsip Etika menegaskan bahwa seorang hakim tidak boleh: 1) Memihak dalam suatu perkara karena tekanan politik atau ekonomi; 2) Menerima suap atau gratifikasi yang dapat memengaruhi putusan; dan 3) Menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Seorang hakim yang berpegang pada Etika akan menjadikan pekerjaannya sebagai sebuah laku spiritual, di mana setiap keputusan yang dibuat adalah bentuk persembahan kepada kebenaran itu sendiri.3. Upacara: Ritual dan Pengabdian sebagai HakimBagian terakhir dari tiga kerangka agama Hindu adalah Upacara, yang mencerminkan bentuk pengabdian dan ritual dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks hakim, Upacara bisa dimaknai sebagai disiplin, dedikasi, dan keterikatan pada tugas dengan penuh kesadaran.Dalam tradisi agama Hindu, seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan benar dianggap sedang melakukan Yadnya, yaitu pengorbanan suci tulus ikhlas untuk kesejahteraan banyak orang. Seorang hakim yang menjunjung tinggi kode etik dan menjalankan tugasnya tanpa pamrih juga dapat dikategorikan sebagai Yadnya dalam bentuk keadilan.Pengabdian seorang hakim tidak hanya terbatas pada ruang sidang, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya. Dalam Bhagavad Gita (Bab 3 Sloka 21), yang menyebutkan “Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia”. Laksana Krisna mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi contoh moral bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, seorang hakim dalam perspektif agama Hindu harus menjaga kehormatannya, baik dalam tugasnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Sebuah putusan hukum yang dibuat dengan kesadaran spiritual akan membawa dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar menyelesaikan perkara.KesimpulanKode etik hakim dalam perspektif agama Hindu bukan sekadar seperangkat aturan yang mengatur perilaku profesional, tetapi merupakan bagian dari jalan Dharma yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran. Melalui Tattwa, seorang hakim memahami bahwa hukum bukan sekadar aturan, tetapi juga memiliki makna spiritual yang lebih dalam. Dengan Etika, hakim menjunjung tinggi moralitas dan tidak terjebak hanya dalam kepentingan duniawi. Sementara Upacara menegaskan bahwa profesi ini adalah bentuk pengabdian yang harus dijalankan dengan disiplin dan penuh rasa tanggung jawab.Dalam dunia yang semakin kompleks dan dinamis, nilai-nilai agama Hindu ini dapat menjadi pedoman bagi para hakim untuk tetap berada di jalur kebenaran dan keadilan. Seorang hakim yang bekerja dengan kesadaran Dharma bukan hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga penjaga keseimbangan moral dan spiritual dalam masyarakat. Dengan demikian, keadilan yang ditegakkan bukan hanya berlaku di dunia ini, tetapi juga sejalan dengan hukum kosmis yang mengatur semesta. IKAW

Keadilan di Era Digital Nurani di Tengah Kemajuan Teknologi

article | Opini | 2025-03-11 11:00:43

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan fundamental dalam sistem peradilan di Indonesia. Langkah monumental diluncurkan oleh Mahkamah Agung RI berupa implementasi sistem e-Court dan e-Litigation sebagai upaya progresif dalam modernisasi peradilan. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga menerapkan berbagai macam inovasi yang mengandalkan teknologi-informasi untuk meningkatkan profesionalitas, integritas, akuntabilitas serta efektivitas dan efisiensi kinerjanya.Era digital saat ini, Hakim sebagai aparatur inti dari peradilan dituntut memiliki akses dan kompetensi terhadap berbagai macam tools (alat) teknologi-informasi. Sistem kecerdasan buatan atau masyhur disebut dengan Artificial Intelligence (AI) salah satunya.Implementasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia diharapkan bisa diterapkan untuk membantu proses analisis perkara dan hukumnya. Analisis yurisprudensi, deteksi terhadap pola dalam perkara-perkara yang sama, dan automasi tugas-tugas administratif peradilan bahkan prediksi putusan pengadilan. Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective, mengemukakan tentang komponen sistem hukum. Substansi hukum menjadi salah satunya yang mencakup penerapan isi, aturan, norma, dan prinsip-prinsip hukum berikut pertimbangan nurani dalam proses peradilan, khususnya sebuah putusan merupakan bagian penting dari peran Hakim. Hal itu tidak mungkin digantikan oleh siapa pun, apalagi sebuah mesin bahkan super-computer sekalipun.Putusan seorang Hakim tidak bisa didasarkan pada analisis komputasi algoritma semata, mengingat kompleksitas faktor sosial, budaya, dan kemanusiaan yang pasti melekat erat dalam setiap perkara. Oleh karena itu, di tengah kemudahan yang ditawarkan teknologi tersebut, muncul beberapa pertanyaan krusial bagi seorang Hakim yang juga seorang manusia tentang bagaimana mendudukkan peran teknologi AI dalam dunia peradilan khususnya bagi Hakim, peran nurani seorang Hakim dalam menyusun pertimbangan putusan khususnya di era serba digital ini, dan menyeimbangkan penggunaan teknologi AI dengan hati nurani dalam menyusun pertimbangan hukum suatu putusan. Peran Teknologi AI dalam Pertimbangan Hukum Putusan HakimTeknologi telah menghadirkan dimensi baru dalam proses pertimbangan hukum oleh para Hakim di Indonesia. Menurut Aharon Barak dalam bukunya Judicial Discretion, pertimbangan hukum Hakim merupakan kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk membuat pilihan diantara sejumlah alternatif yang masing-masing sah secara hukum. Dalam konteks era digital, teknologi berperan sebagai tools (alat) pendukung yang dapat memperkaya wawasan dan perspektif Hakim dalam menganalisis perkara.Richard Susskind dalam karyanya Online Courts and the Future of Justice, mengemukakan bahwa teknologi dalam peradilan modern berfungsi dalam tiga dimensi:Sebagai support system untuk analisis hukum;Sebagai basis data untuk penelusuran yurisprudensi; danSebagai alat prediktif untuk mengidentifikasi pola putusan.Penulis sendiri sudah mencoba memanfaatkan kemampuan teknologi AI untuk mengolah data berupa teks atau skrip dalam Berita Acara Sidang, menganalisis sebuah dakwaan, gugatan, dan permohonan. Selain itu, penulis pernah mencoba menganalisis konsistensi penerapan hukum dalam sebuah putusan, memahami pola-pola dalam perkara serupa, dan mencoba merumuskan fakta-fakta hukum dalam sebuah putusan.Sistem kecerdasan buatan benar-benar memudahkan manajemen dokumen elektronik juga memudahkan Hakim dalam mengorganisir berkas-berkas perkara, memungkinkan akses cepat terhadap informasi yang diperlukan dalam proses pengambilan pertimbangan dalam sebuah putusan.Hal ini sejalan dengan pendapat Richard Susskind dalam karyanya tentang Transformasi Hukum Di Era Digital yang menegaskan bahwa teknologi tidak hanya mengubah cara kerja praktisi hukum, tetapi juga mempengaruhi substansi dari praktik hukum itu sendiri. Namun dalam hal ini penulis menyadari bahwa ketergantungan berlebihan pada teknologi AI ini juga dapat menimbulkan tantangan dan risiko pengabaian terhadap aspek-aspek kualitatif yang tidak dapat diukur secara digital dan bahkan berpotensi munculnya dehumanisasi dalam peran seorang Hakim. Peran Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan Hakim di Era DigitalManusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang digelari sebagai aḥsani taqwīm (QS. at-Tin: 4 ) yang bermakna sebaik-baik bentuk dibekali nurani yang secara otentik menunjukkan jati diri dan potensi kebaikannya. Dalam penciptaannya, manusia diberi kemampuan akal dan hati untuk membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk. Nurani ini merupakan instrumen penting dari fitrah manusia (kecenderungan pada kebaikan), yang membimbingnya untuk menjalankan peran kekhalifahan di muka bumi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab.Dalam konteks peran atau profesi seorang Hakim, nurani menjadi kompas moral yang tidak tergantikan khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bismar Siregar dalam karyanya yang berjudul Hati Nurani Hakim dan Putusannya, "Hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dengan menggunakan hati nurani." Sementara itu, J.A. Pontier (2008: 94) berpendapat, nurani hakim berperan sebagai ultimate guidance yang memungkinkannya untuk melihat kearifan dan kebijaksanaan di balik formalitas hukum dan menemukan keadilan yang substantif.Di era digital yang sarat dengan kemajuan teknologi terutama AI atau kecerdasan buatan tersebut, peran nurani menjadi semakin vital sebagai penyeimbang dari kecenderungan mekanistik layaknya sistem komputer dan mesin-mesin industri. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, "Hukum bukan hanya urusan logika dan pasal-pasal peraturan, tetapi juga urusan nurani dan kepekaan sosial (2009: 67). Hal ini sejalan dengan pandangan Artidjo Alkostar yang menegaskan bahwa, "putusan hakim harus mencerminkan perpaduan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan kepekaan nurani (conscience sensitivity)” (Varia Peradilan 2009: Vol 48).Peran nurani dalam pertimbangan hukum putusan hakim di era digital merupakan aspek fundamental yang tidak tergantikan oleh kemajuan teknologi secanggih apa pun. Nurani, sebagai anugerah Ilahi yang melekat dalam fitrah manusia termasuk seorang hakim, menjadi instrumen vital dalam mewujudkan keadilan substantif yang melampaui sekadar kalkulasi algoritmik. Harmonisasi Teknologi AI dan Nurani dalam Pertimbangan Hukum Putusan HakimDalam rangka mencapai keseimbangan pemanfaatan antara teknologi dan nurani dalam pertimbangan hukum putusan Hakim, diperlukan berbagai langkah strategis dan sistematis. Menurut Ethan Katsh (Digital Justice: Technology and the Internet of Disputes: 2017), terdapat tiga aspek fundamental yang harus diperhatikan, peningkatan kapasitas hakim dalam literasi digital, pengembangan framework etis penggunaan teknologi, dan evaluasi berkala terhadap dampak implementasi teknologi dalam sistem peradilan.Dalam praktik penggunaan teknologi khususnya AI di pengadilan Eropa, Komisi Efisiensi Kehakiman (CEPEJ) dari Dewan Eropa telah mengembangkan lima prinsip etis fundamental yang diadopsi pada Desember 2018. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:Penghormatan terhadap hak-hak fundamental, yang menekankan bahwa desain dan implementasi layanan AI harus sejalan dengan hak-hak dasar seperti privasi dan peradilan yang adil;Perlakuan yang setara, yang mengharuskan penghindaran diskriminasi antar individu atau kelompok;Keamanan data, yang mewajibkan penggunaan sumber dan data tersertifikasi dalam lingkungan teknologi yang aman;Transparansi, yang mengharuskan metode pemrosesan data dapat diaudit dan diakses publik; danKontrol pengguna atas AI, yang menegaskan bahwa algoritma tidak boleh bersifat preskriptif dan pengguna harus memiliki kemampuan untuk menyimpang dari hasil algoritma.Hal di atas mengindikasikan bahwa peran nurani seorang Hakim tetap diperlukan dalam menilai hasil analisis atau rekomendasi dari AI untuk memastikan bahwa teknologi hanya berfungsi sebagai alat bantu dan bukan sebagai pengganti keputusan akhir yang tetap berada di tangan manusia. Sejalan dengan pendapat Dory Reiling (dikutip dari artikel Sobandi, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Paradigma Disrupsi Dalam Dunia Peradilan Indonesia: 2023) “Artificial Intelligence (AI) mampu membantu individu, pihak yang berperkara, dan hakim dalam mengatur informasi namun AI tidak dapat menggantikan peran hakim karena hakikatnya AI hanya dapat membantu dalam memberikan nasehat dan saran saja.” Dengan demikian teknologi AI idealnya diposisikan sebagai "alat bantu” atau “pendamping" yang membantu Hakim dalam memahami dan mengolah data secara lebih efisien, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendasari hukum.Selain itu, perlu adanya pengawasan terhadap hasil analisis yang dikerjakan oleh teknologi AI untuk mencegah ketergantungan penuh pada teknologi yang berpotensi mengandung bias atau keterbatasan tertentu yang mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai keadilan. Dengan demikian, pemanfaatan AI dalam proses hukum dapat tetap menghormati tanggung jawab moral dan nurani yang melekat pada peran seorang Hakim.Keseimbangan pemanfaatan teknologi AI dan nurani manusia diharapkan akan memudahkan kinerja Hakim khususnya dalam membuat pertimbangan hukum sebuah putusan pada setiap perkara. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa pemanfaatan teknologi tidak boleh mengesampingkan nurani. Mengutip ungkapan populis dari Satjipto Rahardjo (Membedah Hukum Progresif: 2008), "Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani hukum". Oleh karena itu, jika penulis boleh berpendapat dengan mengutip ungkapan Prof. Tjip di atas, “Teknologi juga adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Teknologi bertugas melayani manusia, bukan manusia yang harus melayani teknologi”. Jika hal tersebut—manusia (Hakim) melayani teknologi—sampai terjadi, maka yang akan timbul justru dehumanisasi keadilan. Integrasi teknologi AI dalam sistem peradilan di Indonesia perlu diimbangi dengan tetap menjaga peran nurani manusia, khususnya bagi seorang Hakim dalam membuat keputusan yang adil dan bijaksana. Hakim bukan hanya sekadar corong undang-undang, tetapi juga penjaga nilai-nilai keadilan yang berperan penting dalam melindungi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat luas. Keputusan akhir harus tetap berada di tangan Hakim, sementara teknologi digunakan sebagai alat bantu untuk memberikan informasi atau analisis pendukung, bukan sebagai pengganti pertimbangan nurani seorang manusia. Dengan cara ini, penulis berpendapat keadilan digital dan substansial dapat tercapai dengan tidak hanya mengedepankan efisiensi kinerja tetapi juga tetap mengedepankan aspek kemanusiaan yang esensial dalam hukum. (LDR,SEG)

Analogi Dalam Putusan Pidana, Apakah Terobosan Atau Kemunduran Hukum ?

article | Opini | 2025-03-09 16:00:39

Putusan hakim merupakan mahkotanya hakim. Putusan hakim adalah produk kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh hakim sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa atau perkara di tingkat pengadilan. Hakim wajib menjatuhkan putusan dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit) dan kemanfaatan (zwachmatigheit). Selain itu, dalam membuat putusan, hakim juga dituntut memiliki kemampuan intelektual, moral, dan integritas yang tinggi.Masyarakat pencari keadilan (Yustitiabelen) berharap bahwa pengadilan menjadi pihak yang netral dan mampu bersikap independen, sehingga menghasilkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan dan profesional. Putusan hakim harus disertai dengan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam bahasa hukum, pertimbangan yang memuat alasan-alasan faktual dan dasar hukum dari putusan itu disebut motivering.Putusan pengadilan juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Selain itu,pertimbangan hendaknya memuat aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Selanjutnya penulis menyampaikan opininya tentang bagaimana pertimbangan putusan hakim yang ideal dalam berbagai perspektif perkara yang beragam. Contoh saja Hakim legendaris Bismar Siregar pernah menggunakan penafsiran analogi dalam putusannya. Pada saat itu terdakwa MR Sidabutar terbukti melakukan tindak pidana pencurian. Amar putusan Bismar juga menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, yang berarti 10 kali lipat dari vonis hakim tingkat pertama. Yang membuat putusan Bismar mencuat adalah analogi alat kelamin perempuan sebagai barang, atau bonda dalam bahasa Tapanuli.Sidharta berpendapat agar suatu putusan dikatakan baik harus diterima di empat komunitas, yaitu komunitas peradilan, komunitas ahli hukum, komunitas masyarakat umum, dan komunitas para pihak. Faktanya, tak semua komunitas itu menerima putusan Bismar. MA bahkan kemudian membatalkannya.Dalam ilmu penafsiran hukum, mengisi kekosongan hukum atau ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-undangan dikenal dengan konstruksi hukum dan interpretasi (penafsiran). Konstruksi (rekayasa) Hukum adalah cara mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan dengan asas-asas dan sendi-sendi hukum. Konstruksi (rekayasa hukum) terdiri dari 3 (tiga) bentuk yaitu analogi (abstraksi), determinasi (penghalusan hukum) dan argumentasi a contrario.Akan tetapi dalam melakukan konstruksi hukum dan interpretasi hukum tersebut  perlu diperhatikan kepastian hukum yang berdasarkan kepada hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga tidak menjadi perluasan makna dalam konteks undang-undang sehingga bisa menjadikan putusan hakim berlandaskan pada pemikiran subyektif  saja.Menariknya bagaimana putusan Pengadilan itu untuk dikaji, apakah yang dilakukan hakim itu termasuk penafsiran atau perluasan, karena dalam penafsiran dan penemuan hukum tetap ada batasan-batasannya.Putusan pada dasarnya merupakan proses ilmiah Majelis Hakim sebagai poros utamanya. Majelis Hakim memegang peranan sentral dalam membuat putusan atas memutus sengketa yang sedang ditanganinya. Implementasi hukum dalam putusan Majelis Hakim mengacu pada kerangka pikir tertentu yang dibangun secara sistematik. Doktrin atau teori hukum (legal theory) memegang peranan penting dalam membimbing  Majelis Hakim menyusun putusan yang berkualitas dan mampu mengakomodir tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.Dalam mengambil putusan, masing-masing Hakim mempunyai hak yang sama dalam melakukan tiga tahap yang mesti dilakukan Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan benar. Pertama, tahap konstatir. Mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak kepadanya dengan melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut. Mengkonstatir berarti bahwa Hakim melihat, mengetahui, membenarkan, telah terjadinya peristiwa, harus pasti bukan dugaan, yang didasarkan alat bukti pembuktian.Proses pembuktian dimulai meletakkan beban bukti yang tepat, kepada siapa beban bukti ditimpakan. Menilai alat bukti yang diajukan, apakah alat bukti tersebut memenuhi syarat formil, syarat materil, memenuhi batas minimal bukti serta mempunyai nilai kekuatan pembuktian.Menentukan terbukti atau tidak/dalil peristiwa yang diajukan. Bagi Hakim yang penting fakta peristiwa, bukan hukumnya. Pembuktian adalah ruh bagi putusan Hakim.Kedua, tahap kualifisir. Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Peristiwa yang telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi harus dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir ituKetiga, tahap konstituir. Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau memberikan keadilan kepada para pihak yang berperkara.Berdasarkan uraian di atas, jika tahap yang harus dilalui seorang Hakim untuk membuat putusan di atas (konstatir, kualifisir dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk menilai pertimbangan hukum suatu putusan, maka dapat disimpulkan apabila Hakim tidak melakukan salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal melakukan, misalnya Hakim tidak berhasil melakukan tahap konstatir,  karena tidak menetapkan beban pembuktian dan tidak menilai alat bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap kualifisir, karena tidak menyimpulkan mana fakta hukum yang terbukti dan apa saja dasar hukum yang berkaitan dengan pokok perkara. Ketidak berhasilan pada dua tahap sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan ketidak berhasilan dalam dalam menjatuhkan putusan yang merupakan tahap konstituir ini.Bahwa Sudikno memberikan tiga acuan untuk menyelesaikan perkara yang ditangani hakim hal ini sebagai rujukan mereka dalam mengadili dan memutus perkara, diantaranya adalah yurisprudensi, landmark Decision, dan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung.KesimpulanMayoritas para ahli ilmu hukum menentang analogi, hanya beberapa gelintir saja yang berani terang-terangan menerimanya,Penulis tidak sepakat dengan larangan menggunakan analogi, tetapi membenarkan analogi dengan catatan hakimnya harus kompeten dan berintegritas seperti Bismar Siregar yang tujuan untuk menemukan hukum (recht vinding). Jika hakimnya memang tidak mampu untuk beranalogi, maka ia masih bisa menggunakan interpretasi untuk menemukan hukumnya tanpa memperluas tafsirannya.Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam suatu putusan Majelis Hakim harus mengemukakan analisis, argumentasi, pendapat, kesimpulan hukum, dan harus pula memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. (FAC)Literatur:C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I Pengantar Ilmu Hukum (Semester Ganjil), Balai Pustaka, Jakarta, 1992.Mochtar Kusumaatmadja dan Arip B. Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2009. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. *Eliyas Eko Setyo (Hakim PN Sampang)

Vigilantisme dalam Kejahatan Jalanan Klitih

article | Opini | 2025-03-09 12:15:03

Kejahatan jalanan klitih bagi sebagian orang adalah hal yang sangat familiar. Namun, tidak sedikit pula orang yang tidak mengetahui apa itu kejahatan jalanan klitih. Kejahatan jalanan klitih merupakan kejahatan jalanan yang marak terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan sudah mulai berkembang ke daerah lain. Terdapat empat ciri khas kejahatan jalanan klitih yaitu adanya penganiayaan fisik, dilakukan secara berkelompok, tanpa motif yang jelas, dan korban bersifat acak (Sarmini, Kurniyatuti, & Sukartiningsih, 2018; Sarwono, 2019; Winarno, 2020; Zainuri, Yanto, & Hartanti, 2020; Dwitama, Liestyasari, & Pranawa, 2021; Harahap & Sulhin, 2022). Sesuai dengan namanya sebagai kejahatan jalanan, klitih merupakan kejahatan yang dilakukan di jalan. Klitih sendiri mengalami pergeseran makna dari yang semula berarti berjalan-jalan di sore hari menjadi tindakan yang memuat unsur pidana dengan adanya kejahatan. Hal ini yang mendasari himbauan untuk tidak lagi menyebut klitih pada kejahatan yang terjadi di jalanan oleh sekelompok orang tersebut. Kini klitih disebut dengan kejahatan jalanan. Sesuai dengan tindak pidananya, kejahatan jalanan klitih dapat termasuk ke penganiayaan, pengeroyokan, maupun tindak pidana senjata api atau benda tajam. Hal yang membedakan kejahatan jalanan klitih dengan kejahatan lainnya adalah kejahatan tersebut dilakukan di jalan. Dalam tulisan ini, klitih disebut dengan kejahatan jalanan klitih untuk mengerucutkan klitih sebagai sebuah tindak kejahatan.Pada tahun 2023 terdapat 84 laporan kasus kejahatan jalanan klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data dari Kepolisian Daerah Yogyakarta. Dari 84 kasus tersebut terdapat 71 pelaku dewasa dan 76 pelaku anak. Kejahatan jalanan klitih kerap disangkutkan dengan geng sekolah. Akan tetapi, kejahatan jalanan klitih berbeda dengan tawuran antar geng sekolah. Korban dari kejahatan jalanan klitih tidak ditentukan targetnya. Kondisi ini menyebabkan siapa saja dapat menjadi korban kejahatan jalanan klitih. Anak-anak, dewasa, laki-laki, atau perempuan semuanya memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi korban kejahatan jalanan klitih. Bahkan kejahatan jalanan klitih yang semula sering terjadi di malam hari pun kini dapat terjadi di siang hari. Berita kejahatan jalanan klitih cukup sering dimuat dalam akun media sosial seperti di Instagram @merapi_uncover atau grup komunitas Facebook seperti Info Cegatan Jogja. Info kejahatan jalanan klitih disampaikan oleh anggota dari komunitas media sosial. Dari info di media sosial tersebut dapat diketahui bahwa penganiayaan fisik yang dilakukan oleh pelaku kejahatan jalanan klitih dilakukan dengan melukai korbannya menggunakan senjata tajam seperti pedang, celurit, pisau, pecahan botol, bahkan gir sepeda motor. Dengan persiapan senjata tajam seperti itu, dapat dikatakan bahwa pelaku kejahatan jalanan klitih memang telah memiliki niat untuk melakukan kejahatan. Tidak hanya menyebabkan korbannya terluka, terdapat pula korban kejahatan jalanan klitih yang meninggal dunia. Kejahatan jalanan klitih sudah ada sejak lama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan semakin meresahkan.Setiap unggahan yang memuat berita tertangkapnya pelaku kejahatan jalanan klitih oleh warga, sering terdapat komentar dengan emosi marah dan menginginkan pelaku kejahatan jalanan klitih tersebut untuk dihajar saja. Vigilantisme atau tindakan main hakim sendiri muncul ketika terdapat keyakinan bahwa hanya dengan bersikap main hakim sendiri maka masyarakat akan terlindungi (Spencer, 2020). Masyarakat meyakini dengan memperlakukan pelaku kejahatan jalanan klitih sama seperti apa yang pelaku lakukan terhadap korbannya akan menimbulkan trauma sehingga pelaku akan jera. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa pelaku kejahatan jalanan klitih tidak mengulangi perbuatannya setelah “dihajar” oleh masyarakat. Akan tetapi, keinginan untuk main hakim sendiri tentu saja tidak sesuai dengan hukum di Indonesia. Lantas mengapa masyarakat ingin melakukan tindakan main hakim sendiri untuk mengatasi pelaku kejahatan jalanan klitih?Keinginan masyarakat untuk melakukan tindakan vigilantisme pada pelaku kejahatan jalanan klitih menjadi pertanda bahwa terdapat keraguan masyarakat pada Aparat Penegak Hukum dalam menangani pelaku kejahatan jalanan klitih. Kondisi ini ditunjukkan dengan komentar-komentar masyarakat di media sosial terkait kejahatan jalanan klitih. Terdapat pula komentar masyarakat yang menginginkan pelaku kejahatan jalanan klitih untuk dihukum hingga jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Keinginan masyarakat atas hukuman yang membuat jera pelaku kejahatan jalanan klitih tersebut dianggap belum dipenuhi oleh Aparat Penegak Hukum sehingga mereka meyakini cara membuat pelaku kejahatan jalanan klitih agar jera adalah dengan balas memberikan kekerasan fisik. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan serius, tentu dapat mendorong terjadinya chaos di masyarakat.Tidak peduli apakah vigilantisme bermanfaat dalam membuat pelaku kejahatan jalanan klitih jera atau tidak, sebagai negara hukum, vigilantisme tentu tidak dibenarkan. Tanggung jawab penyelesaian kasus kejahatan jalanan klitih tentu saja tidak hanya dibebankan pada Aparat Penegak Hukum. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga bertanggung jawab dalam menghentikan kasus kejahatan jalanan klitih. Dibutuhkan kolaborasi lembaga eksekutif sebagai pelaksana upaya preventif dan lembaga yudikatif sebagai pihak yang mengadili pelaku kejahatan jalanan klitih. (FAC)*Alfi Pangestuti (Operator – Penata Layanan Operasional Pengadilan Negeri Purwokerto)Referensi:Dwitama, M. R., Liestyasari, S. I., & Pranawa, S. (2021). Pola Interaksi Geng "Klitih" di Yogyakarta. Jurnal Studi Masyarakat dan Pendidikan Volume 5, Nomor 1, 1-10.Harahap, C. B., & Sulhin, I. (2022). Pengendalian Kejahatan pada Sub-Kebudayaan Geng Klitih (Dalam Paradigma Kriminologi Budaya). Deviance Jurnal Kriminologi, 86-102.Sarmini, Kurniyatuti, N., & Sukartiningsih, S. (2018). Klithih: Invisible Crime by Teenagers. Advances in Social Science, Education and Humanities Research Vol. 226, 1578-1582.Sarwono, R. B. (2019). Menelisik Dorongan Agresi Para Pelajar Pelaku "Klithih" di Yogyakarta. Solution, Journal of Conseling and Personal Development Vol. 1 No. 1, 58-70.Spencer, L. (2020). The Role of Identify in Vigilantism & State Involvement: Explored in Khayelitsha, South Africa. Australian Review of African Studies, 123-146.Winarno, E. (2020). Klithih: Manifestasi Penyimpangan Agresivitas Remaja. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial Vo. 44 No. 1, 21-38.Zainuri, Yanto, & Hartanti. (2020). Tinjauan Kriminologis terhadap Kejahatan Penganiayaan yang Dilakukan oleh Anak (Klithih) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kajian Hasil Penelitian Hukum 3 (2), 351-365.

Tinjauan Etis Pergaulan Seorang Hakim dan Jaminan Keamanan Bagi Dirinya

article | Opini | 2025-03-09 09:30:05

Profesi hakim di Indonesia kini tengah menghadapi tantangan kompleks yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Di satu sisi, seorang hakim dituntut untuk menjaga integritas dan independensi melalui pembatasan pergaulan yang diatur dalam Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun di sisi lain, mereka tetap manusia yang memiliki kebutuhan bersosialisasi dan hak atas rasa aman dalam menjalankan tugasnya. Pertanyaannya, bagaimana menyeimbangkan kedua aspek ini tanpa mengorbankan salah satunya?Realitas menunjukkan bahwa hakim di Indonesia kerap menghadapi dilema dalam konteks pergaulan sosial. Sebagai pejabat publik yang memiliki peran strategis dalam penegakan hukum dan keadilan, setiap gerak-gerik para hakim pasti senantiasa akan menjadi sorotan publik. KEPPH yang menjadi pedoman etis bagi hakim memang telah mengatur secara rigid batasan-batasan dalam pergaulan, mulai dari pertemanan hingga hubungan profesional. Namun implementasinya tidaklah sesederhana yang tertulis di atas kertas.Perkembangan teknologi informasi juga tampaknya membuat rumit situasi ini. Media sosial dan kemudahan komunikasi modern membuat batas-batas pergaulan pertemanan menjadi kabur. Seorang hakim bisa saja tanpa sengaja terlibat dalam percakapan atau interaksi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Belum lagi tantangan dalam memisahkan antara kehidupan profesional dan personal, yang kini semakin tipis batasnya.Paradigma "silent corps" yang masih mengakar dalam kultur peradilan Indonesia tersebut dipandang sudah usang dan tidak relevan dengan dinamika sosial kontemporer. Konsep yang menghendaki hakim untuk ‘diam’ dan meminimalisasi interaksi sosial ini pada praktiknya justru kontraproduktif dengan kebutuhan adaptasi terhadap kompleksitas permasalahan hukum modern. Ketika masyarakat menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dari lembaga peradilan, sikap "membisu" justru dapat menimbulkan kesenjangan pemahaman dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik.Lebih lanjut, doktrin silent corps yang cenderung mengisolasi hakim dari realitas sosial sesungguhnya bertentangan dengan kebutuhan hakim untuk memahami dinamika masyarakat secara komprehensif. Bagaimana mungkin seorang hakim dapat menghasilkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat jika ia terisolasi dari realitas sosial itu sendiri? Paradigma ini juga paradoks dengan kebutuhan hakim untuk membangun sistem deteksi dini terhadap ancaman keamanan yang justru mengharuskan dirinya untuk membangun jejaring sosial yang sehat.Di era keterbukaan informasi dan media sosial, konsep silent corps perlu ditafsirkan ulang secara lebih kontekstual. Yang dibutuhkan bukanlah keheningan total, melainkan kearifan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di kehidupan sosial. Hakim modern dituntut untuk mampu mengelola pergaulan sosial secara proporsional, bukan menghindarinya sama sekali. Mereka perlu mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara keterbukaan yang konstruktif dan pergaulan yang berpotensi mengganggu independensi.Berbicara tentang keamanan, fenomena ancaman terhadap hakim bukanlah hal baru di Indonesia. Beberapa kasus intimidasi, ancaman fisik, hingga teror terhadap hakim dan keluarganya telah menciptakan kekhawatiran yang valid. Kondisi ini tentu berpengaruh signifikan terhadap independensi dan objektivitas hakim dalam pengambilan putusan. Seorang hakim yang merasa terancam, secara sadar atau tidak, pasti akan terpengaruh dalam mengambil keputusan.Menariknya, pergaulan dan keamanan hakim sesungguhnya memiliki hubungan yang bersifat paradoksal. Di satu sisi, pembatasan pergaulan yang terlalu ketat dan kaku bisa mengisolasi hakim dari manajemen risiko pekerjaannya melalui sistem peringatan dini yang berbasis pada komunitas masyarakat. Padahal, jaringan sosial yang sehat justru dapat menjadi salah satu instrumen untuk memitigasi ancaman-ancaman potensial terhadap pribadi maupun jabatannya. Di sisi lain, pergaulan yang terlalu longgar dapat membuka celah kebocoran informasi sensitif dan manipulasi yang mengancam keamanan hakim itu sendiri.Lantas, bagaimana solusi yang dapat ditawarkan? Pertama, penulis merasa perlu ada reformulasi sebuah kebijakan yang mengakomodasi keseimbangan antara pembatasan pergaulan dan jaminan keamanan. Kode etik hakim perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan konteks kekinian, terutama terkait pergaulan di era digital. Sistem perlindungan keamanan bagi hakim juga perlu segera direalisasikan dengan mengadopsi teknologi dan protokol keamanan terkini.Kedua, penulis menilai perlu adanya penguatan kapasitas bagi para hakim itu sendiri melalui pelatihan manajemen risiko dan protokol keamanan bagi hakim secara berkala. Para hakim perlu dibekali kemampuan untuk mengenali potensi ancaman sejak dini, sekaligus memahami cara mengelola pergaulan yang aman, sehat tanpa mengorbankan fungsi etis jabatan maupun sosialnya.Ketiga, penulis berpendapat perlu adanya pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai stakeholder. Keamanan hakim bukanlah tanggung jawab institusi peradilan semata, melainkan membutuhkan dukungan dari aparat keamanan, pemerintah, hingga masyarakat sipil dalam hal ini adalah Forkopimda. Sistem pengamanan partisipatif yang melibatkan Forkopimda dapat digalakkan demi memberikan perlindungan keamanan bagi hakim, namun dengan tetap menjaga independensi peradilan.Akhirnya, harus dipahami bahwa pergaulan hakim dalam tinjauan etis demi jaminan keamanan pribadi maupun jabatannya bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Keduanya, seperti dua sisi mata uang, yang justru harus dilihat sebagai elemen yang saling melengkapi dalam menciptakan sistem peradilan yang sehat. Pembatasan pergaulan seharusnya tidak mengorbankan aspek keamanan, dan sebaliknya, jaminan keamanan tidak boleh membatasi secara berlebihan hak hakim untuk bersosialisasi secara wajar.Tantangan ke depan adalah menemukan titik keseimbangan yang tepat antara kedua aspek tersebut. Diperlukan komitmen bersama terutama para pimpinan Mahkamah Agung RI untuk menciptakan ekosistem yang mendukung hakim dalam menjalankan tugasnya secara independen, namun tetap terlindungi keamanan dan keselamatannya. Hanya dengan demikian, menurut penulis, marwah dan wibawa peradilan dapat terjaga, dan keadilan dapat ditegakkan tanpa adanya rasa takut terhadap apa pun. (FAC)*John Malvino Seda Noa Wea (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Putussibau)

Nebis In Idem Dalam Perkara Pidana Perbuatan Berlanjut (Vorgezette Handling)Yang Diajukan Penuntutan Secara Terpisah

article | Opini | 2025-03-05 13:00:58

Ne Bis In Idem merupakan asas hukum, yang mana orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap, dan mengenai prinsip ini telah diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP. Adapun dasar pikiran atau ratio dari asas ini adalah: a. untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan negara); b. untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan (Barda Nawawi Arief: 2012:97).Penerapan Ne Bis In Idem dalam praktik peradilan mengacu pada beberapa syarat. Pertama, harus ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, baik berupa putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging), maupun putusan pemidanaan (veroordeling) yang telah melalui tahapan pemeriksaan pokok perkara. Kedua, orang yang diadili dalam perkara sebelumnya haruslah pihak yang sama dengan perkara yang diajukan kembali. Ketiga, perbuatan yang dituntut harus identik dengan perbuatan yang telah diputus sebelumnya.Perlu diketahui, Ne Bis In Idem dalam perkara pidana juga dapat terjadi dalam hal apabila perkara yang termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) namun penuntutan diajukan secara terpisah, sedangkan dari salah satu perkara tersebut telah ada yang diputus oleh Hakim dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) itu sendiri merupakan salah satu bentuk perbarengan tindak pidana (concursus). Dalam konteks perbuatan berlanjut, penerapan asas Ne Bis In Idem menjadi semakin kompleks. Pasal 64 ayat (1) KUHP mengatur bahwa jika seseorang melakukan beberapa perbuatan yang memiliki keterkaitan erat sehingga harus dianggap sebagai satu kesatuan, maka perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut. Perbuatan berlanjut berbeda dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP. Adapun dalam perbuatan berlanjut, sistem pemidanaan yang digunakan adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ancaman pidana terberat dari perbuatan yang dilakukan. Sementara itu, dalam concursus realis sistem pemidanaannya adalah absorbsi yang dipertajam, di mana ancaman hukuman tertinggi masih dapat ditambah sepertiga dari maksimum pidana yang berlaku.Perbedaan antara perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan kerap menimbulkan perbedaan penafsiran dalam praktik peradilan. Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah ketika perkara yang seharusnya dituntut sebagai satu kesatuan dalam perbuatan berlanjut justru diajukan secara terpisah. Hal ini dapat mengakibatkan terdakwa menghadapi tuntutan ganda untuk perbuatan yang secara substansi merupakan satu rangkaian tindak pidana, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan serta bertentangan dengan asas Ne Bis In Idem. Sekilas antara perbuatan berlanjut (vorgezette handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP memang terdapat kemiripan karakteristik yaitu berkaitan dengan ciri “perbarengan beberapa perbuatan”. Namun, perlu menjadi catatan bahwa salah satu karakteristik dalam perbuatan berlanjut adalah perbuatan-perbuatan itu haruslah ada hubungan sedemikian rupa. Terkait dengan “hubungan sedemikian rupa”, MvT telah memberikan tiga kriteria, yaitu: 1. Harus ada suatu keputusan kehendak, 2. Masing-masing perbuatan harus sejenis, dan 3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama.Menilik dari praktik putusan pengadilan, terdapat beberapa putusan pidana baik itu putusan pada tingkat judex fakti dan putusan pada tingkat judex juris berkaitan dengan Ne Bis In Idem dalam perbuatan berlanjut (vorgezette handling) yang diajukan penuntutan secara terpisah, di antaranya:1. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 6/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 15 Januari 2012 dan 16 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 16 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor Nomor 5/Pid.B/2012/PN Pky, namun kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 15 Januari 2012. Dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mempertimbangkan bahwa perkara tersebut termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dalam putusannya kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/hapus karena Ne Bis In Idem;2. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 9/Pid.B/2012/PN Pky;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 25 Januari 2012 dan 30 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 25 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 8/Pid.B/2012/PN Pky. Kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 30 Januari 2012.  Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/ hapus karena Ne Bis In Idem;3. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 2/Pid.B/2019/PN Spn;Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian dari kurun waktu 20 Maret 2018 sampai dengan 27 Maret 2018, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 27 Maret 2018 tersebut terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 58/Pid.B/2018/PN Spn. Kemudian penuntutan terhadap terdakwa kembali diajukan berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang juga dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 20 Maret 2018. Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem;4. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 7/Pid.Sus/2024/PN Pts;Putusan ini merupakan putusan perkara pidana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mana terdakwa pada kurun waktu bulan Juni 2023 sampai dengan bulan Agustus tahun 2023, telah melakukan tindak pidana melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia secara perseorangan tanpa izin dari pihak berwenang, atas perbuatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2023 tersebut terdakwa telah diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kemudian Penuntut Umum kembali mengajukan terdakwa dalam persidangan sehubungan dengan perkara yang serupa terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan pada bulan Juni 2023. Atas hal tersebut kemudian dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mengkualifikasikan bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah merupakan rangkaian perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diadili dan diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts. Sehingga dalam putusannya, kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem. Terhadap putusan tersebut telah dilakukan upaya hukum banding dan pada tingkat banding putusan tingkat pertama telah dikuatkan sebagaimana putusan nomor 142/Pid.Sus/2024/PT Ptk, kemudian pada tingkat kasasi/judex juris melalui putusan Nomor 6975 K/Pid.Sus/2024 Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan pertimbangan yang pada pokoknya putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang;Dengan melihat berbagai putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang masuk dalam kategori perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka penuntutan seharusnya dilakukan secara bersamaan dalam satu perkara. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan penerapan hukuman yang berlebihan serta memberikan perlindungan hukum bagi terdakwa dari risiko tuntutan ganda. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep perbuatan berlanjut dan perbedaannya dengan concursus realis menjadi kunci dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, dalam setiap proses penuntutan, aparat penegak hukum perlu menelaah secara cermat hubungan antara setiap perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan, hak-hak terdakwa tetap terlindungi, dan prinsip Ne Bis In Idem dapat diterapkan secara konsisten sesuai dengan asas kepastian hukum.

Menelisik Hak Nafkah Anak Setelah Perceraian

article | Opini | 2025-03-03 13:20:29

Perceraian tidak hanya mengakhiri hubungan perkawinan antara suami dan istri, tetapi juga membawa implikasi hukum yang signifikan, terutama dalam pemenuhan hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah kewajiban nafkah anak yang harus tetap dipenuhi oleh ayah pasca-perceraian. Sayangnya, dalam praktiknya banyak mantan suami yang mengabaikan kewajiban ini, sehingga ibu atau wali anak terpaksa mengajukan gugatan nafkah anak di Pengadilan Negeri untuk memastikan hak anak tetap terpenuhi.Konstitusi dan berbagai peraturan nasional telah menegaskan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan hidup. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, menegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) bahwa orang tua tetap bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, pendidikan, dan kesejahteraan anak meskipun telah bercerai. Bahkan, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia, disebutkan bahwa setiap anak berhak atas standar kehidupan yang layak, termasuk makanan, tempat tinggal, serta pendidikan yang memadai meskipun orangtuanya bercerai.Kewajiban orang tua untuk (ayah) tetap memberikan nafkah kepada anak pasca perceraian juga ditegaskan dalam Pasal 41 huruf (b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa ayah tetap berkewajiban menanggung pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai dengan kemampuannya. Sementara itu, Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memperkuat bahwa orang tua, meskipun telah bercerai, tetap wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, ibu atau wali anak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri agar hak anak tetap terlindungi.Dalam konteks hukum acara, gugatan nafkah anak dapat diajukan baik bersamaan dengan gugatan perceraian maupun sebagai gugatan terpisah jika perceraian telah diputus tetapi ayah tidak menjalankan kewajibannya. Meskipun tidak ada aturan tegas mengenai waktu pengajuan gugatan nafkah anak, yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1020/K/Pdt/1986 tanggal 29 September 1987 menyatakan bahwa tuntutan biaya nafkah harus diajukan secara tersendiri, dan tidak dapat digabung dengan gugatan perceraian.Proses pengajuan gugatan nafkah anak dimulai dengan mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan menyertakan dokumen pendukung seperti salinan putusan cerai, akta kelahiran anak, dan bukti pengeluaran biaya hidup anak maupun bukti penghasilan ayah. Setelah itu, pengadilan akan melakukan pemanggilan para pihak, yang kemudian dilanjutkan dengan proses mediasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016. Jika mediasi gagal, persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti dan saksi untuk menentukan besaran nafkah yang harus dibayar oleh ayah sesuai dengan kemampuannya. Jika ayah tidak mematuhi putusan secara sukarela, pengadilan dapat melakukan eksekusi berdasarkan permohonan ibu atau wali anak dengan menyita aset atau memerintahkan pemotongan gaji.Bagi ayah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), terdapat mekanisme khusus untuk menjamin pembayaran nafkah anak pasca perceraian. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyatakan bahwa seorang PNS pria yang bercerai wajib menyerahkan 1/3 dari gajinya kepada mantan istri dan anaknya. Demikian pula, aturan serupa berlaku bagi anggota Polri dan TNI melalui Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017. Dalam Permenpan Nomor 54 Tahun 2018 mewajibkan pranata keuangan (bendahara) melakukan pemotongan hak keuangan PNS yang bercerai supaya terpenuhinya kewajiban nafkah anak sesuai putusan Pengadilan.Bebrapa contoh putusan Pengadilan Negeri yang mengabulkan nafkah anak dengan pertiimbangan Majelis Hakim sebagai berikut:1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 219/Pdt.G/2013/PN Jkt-Sel, dalam amar Putusan, Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk membayar biaya nafkah anak-anak, biaya pendidikan, kesehatan secara terus menertus kepada anak-anaka sebesar lima juta rupiah secara tunai setiap bulannya melalui Penggugat setiap tanggal 01 terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap samapai anak tersebut dewasa dan telah menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya setingkat Universitas. Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam menentukan besaran biaya nafkah anak dalam perkara dari tuntutan Penggugat sebesar sepuluh juta rupiah menjadi lima juta rupiah ini menyesuaikan dengan penghasilan Tergugat dengan mempertimbangkan kepantasan dan rasa keadilan berdasarkan bukti-bukti surat yang dihadirkan Tergugat seperti Fotocopi slip gaji, Fotokopi harta benda milik Tergugat maupun kewajiban pinjaman Bank yang ditanggung oleh Tergugat.2. Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 4/Pdt.G/2021/PN Pts, dalam amar Putusan, Majelis Hakim memerintahkan kepada Tergugat melalui bendahara kantor Tergugat bekerja untuk melakukan pembagian besaran gaji Tergugat pada setiap bulannya kepada Penggugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya dan anak-anak hasil pernikahan Penggugat dan Tergugat sebesar 1/3 (sepertiga) besaran gaji pada tiap bulannya. Adapun pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang berlaku pemotongan 1/3 (sepertiga) bagian penghasilan PNS yang bercerai oleh bendahara untuk diberikan sebagai nafkah anak.Meskipun berbagai regulasi telah mengatur dengan jelas kewajiban nafkah anak, dalam praktik masih terdapat kendala seperti ketidakpatuhan mantan suami terhadap putusan pengadilan, kesulitan eksekusi bagi ayah yang bekerja di sektor informal dan penghasilan tetap yang tidak mudah untuk ditelusuri, serta kurangnya kesadaran hukum di masyarakat untuk memperjuankan hak nafkah anak melalui jalur hukum. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kebijakan, termasuk penerapan sanksi pidana bagi ayah yang lalai membayar nafkah, seperti yang diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pasal 49 Huruf a Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengancam pidana bagi pelaku penelantaran anak. Sebagai langkah lanjutan, pemerintah perlu memperkuat mekanisme pemotongan gaji bagi PNS yang bercerai oleh bendahara, mengoptimalkan prosedur persidangan dengan memanfaatkan teknologi digital (E-Litigasi, Mediasi Online, pemeriksaan Saksi secara online dsb), serta meningkatkan edukasi hukum bagi masyarakat agar para ibu dan wali anak lebih memahami hak mereka dalam menuntut nafkah anak. Dapat juga dirumuskan bentuk sanksi pemblokiran layanan publik, kependudukan dan perbankan sebagaimana pendapat Prof. Amran Suadi. Dengan berbagai perbaikan ini, diharapkan hak-hak anak tetap terlindungi dan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian dapat lebih efektif ditegakkan sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung prinsip keadilan.

Hakim di Era AI: Menuju Badan Peradilan Yang Agung dan Modern Indonesia

article | Opini | 2025-02-25 09:25:17

Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau dalam KBBI disebut sebagai Akal Imitasi, kini telah merambah sistem peradilan global. Sebagai seorang Hakim di lingkungan Badan Peradilan Umum Indonesia, kami mengamati bagaimana Estonia telah menerapkan inovasi berupa "AI Judge" untuk menangani perkara-perkara perdata kecil, sementara itu Tiongkok juga berhasil mengimplementasikan "Smart Court" dalam membantu proses pengambilan keputusan di pengadilannya. Fenomena ini bukan lagi sekadar isu teknologi domestik, melainkan telah menjadi realitas yang mengubah paradigma cara kerja sistem peradilan modern secara global.Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam pidato Laporan Tahunan 2024 Ketua Mahkamah Agung RI, YM Bapak Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., mencatat lebih dari 30.000 perkara yang harus ditangani setiap tahunnya. Beban kerja yang tinggi ini belum termasuk jumlah perkara-perkara di tingkat pertama dan banding. Warga peradilan khususnya para Hakim di Indonesia harus melihat peluang dan potensi besar penggunaan AI untuk membantu mengatasi penumpukan perkara tersebut. Namun, perlu disadari bahwa penggunaan AI dalam pengambilan keputusan hukum membutuhkan pertimbangan yang matang karena menyangkut nasib para pencari keadilan.Program transformasi digital peradilan oleh Mahkamah Agung RI melalui e-Court dan e-Litigation, telah membuka peluang integrasi AI di masa depan. Para Hakim harus siap menghadapi tantangan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi AI dalam meningkatkan efisiensi kinerja, tanpa harus mengalienasi aspek kemanusiaan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan terdapat wajah-wajah para pencari keadilan (justicia bellen) yang datang dengan harapan. Mereka bukan sekadar nomor perkara atau data yang bisa diproses algoritma—mereka adalah manusia dengan berbagai kisah dan konteks yang unik. Di sinilah muncul pertanyaan mendasar tentang sejauh mana teknologi AI dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan hukum, serta batasan-batasan yang diperlukan untuk memastikan keadilan substantif tetap tegak dan berpihak pada kemanusiaan.Sistem peradilan Indonesia memang telah mengalami perubahan signifikan semenjak implementasi e-Court dan e-Litigation. Sebagai Hakim yang mengalami langsung transformasi digital ini, kami melihat bagaimana teknologi telah membantu mempercepat proses administrasi perkara yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari menjadi lebih sangkil dan mangkus (efektif dan efisien). Perlu disadari bersama bahwa efektivitas dan efisiensi dalam administrasi peradilan sangat krusial dalam memberikan akses keadilan yang lebih baik.Teknologi AI diharapkan dapat membuka peluang baru dalam pengelolaan dan analisis yurisprudensi secara lebih efektif. Di Indonesia sendiri, Direktori Putusan Mahkamah Agung telah menerapkan sistem pencarian yang memungkinkan pencarian putusan berdasarkan kata kunci tertentu, meskipun menurut penulis masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk mengintegrasikan kemampuan AI dalam menganalisis putusan. Teknologi AI berpotensi membantu mengidentifikasi pola-pola pertimbangan hukum, meningkatkan kemudahan akses terhadap informasi putusan, dan untuk mendorong konsistensi putusan dalam kasus-kasus yang memiliki corak serupa sebagaimana amanat yang dituangkan dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan  2010-2035 Mahkamah Agung RI.Namun, di tengah berbagai potensi tersebut, aspek yang perlu digaris bawahi adalah batasan-batasan hukum dan etis dalam penggunaan AI pada sistem peradilan di Indonesia. Keseimbangan antara pemanfaatan teknologi untuk efisiensi dan penegakan keadilan substantif menjadi pertaruhan penting dalam upaya modernisasi peradilan. Realitas ini membawa kita pada serangkaian risiko dan tantangan yang harus dihadapi dalam mengintegrasikan AI ke dalam sistem peradilan Indonesia.Pengalaman sebagai Hakim dalam mengadopsi berbagai teknologi baru di pengadilan telah memberikan pembelajaran berharga tentang risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Setidaknya, teknologi AI, menurut penulis, membawa tiga aspek krusial yang memerlukan perhatian khusus. Pertama aspek teknis, kedua aspek hukum, dan ketiga aspek etis. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat dalam praktik peradilan sehari-hari.Bias dalam algoritma menjadi persoalan teknis yang mungkin akan kami hadapi di lapangan. Database berupa dokumen putusan pengadilan yang menjadi basis pembelajaran bagi kami dalam menggunakan AI sering kali mencerminkan kondisi sosial tertentu yang tidak sama. Putusan-putusan perceraian di wilayah perkotaan, misalnya, memiliki konteks yang sangat berbeda dengan dinamika hukum keluarga di masyarakat adat daerah. Ketergantungan pada teknologi juga menciptakan kerentanan baru dalam sistem peradilan, terutama dalam hal keamanan data para pencari keadilan.Tidak hanya itu, sistem peradilan Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam aspek pertanggungjawaban hukum ketika AI mulai diintegrasikan dalam proses pengadilan. Sebagai Hakim, kami harus memastikan bahwa setiap putusan tetap mencerminkan independensi dan imparsialitas peradilan, terlepas dari bantuan teknologi yang digunakan. Sudah saatnya para Hakim mendiskusikan ini untuk menyoroti perlunya keseimbangan antara pemanfaatan teknologi dan prinsip-prinsip fundamental peradilan yang harus tetap terjaga.Di balik semua tantangan teknis dan hukum tersebut, aspek kemanusiaan dalam penegakan keadilan juga tidak boleh luntur oleh mekanisasi proses peradilan. Ragam macam perkara yang kami tangani, seperti sengketa hak asuh anak dalam perceraian maupun sengketa hak atas tanah, memiliki kandungan dimensi emosional dan dampak sosial yang tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke dalam bahasa algoritma. Keadilan substantif sering kali terletak pada kepekaan nurani terhadap konteks sosio-kultural khas Indonesia. Sebab Hakim manusia sebagai pemegang palu putusan Hakim, tidak akan tergantikan AI selama memegang teguh etika, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, YM Bapak Prof. Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H., dalam acara Talkshow Kampung Hukum Mahkamah Agung Tahun 2024 (Selasa, 18/2/2024) yang lalu.Dari sisi substantif, tidak semua jenis perkara dapat diserahkan pada bantuan AI. Perkara-perkara seperti Gugatan Sederhana mungkin dapat memanfaatkan AI untuk membantu proses administrasi dan analisis awal (dismissal process). Namun, perkara-perkara yang kompleks seperti Tindak Pidana Korupsi atau kejahatan terorganisir lainnya membutuhkan pertimbangan mendalam yang hanya dapat dilakukan oleh Hakim. AI hanya dapat dilibatkan dalam tahapan-tahapan tertentu seperti pengecekan kelengkapan berkas atau penjadwalan sidang.Berhadapan dengan berbagai tantangan tersebut, penulis berpendapat sudah saatnya sistem hukum di Indonesia memerlukan kerangka regulasi yang komprehensif untuk mengatur penggunaan AI. Upaya merumuskan batasan yang mencakup aspek substantif dan prosedural perlu diatur secara sistematis dan jelas sebagai langkah penting dalam memastikan teknologi tetap menjadi alat bantu yang efektif bagi penegakan hukum dan keadilan.Mahkamah Agung RI dapat berkolaborasi dengan Kementerian terkait, untuk menyusun kerangka regulasi yang jelas dan komprehensif guna mengatur penggunaan AI dalam sistem peradilan di Indonesia. Seperti contoh dalam implementasi e-Court dan e-Litigation, standardisasi mutu menjadi fondasi penting dalam mengadopsi teknologi baru. Standar pengembangan AI untuk peradilan harus mencakup tidak hanya aspek teknologi, tetapi juga prinsip-prinsip perlindungan hak para pencari keadilan terlebih pasca terbitnya UU Perlindungan Data Pribadi pada tahun 2022 silam.Protokol keamanan data dan mekanisme audit algoritma menjadi komponen yang tak kalah krusial dalam kerangka regulasi ini. Sebagai Hakim di pengadilan, kami memahami betapa sensitifnya data para pihak yang berperkara dan pentingnya menjaga integritas sistem peradilan. Standar keamanan yang ketat harus diterapkan untuk melindungi tidak hanya data pribadi, tetapi juga kredibilitas putusan Hakim.Pengembangan infrastruktur pendukung lainnya juga menjadi prasyarat keberhasilan implementasi AI. Para Hakim dan pegawai peradilan nantinya harus membutuhkan pelatihan khusus untuk memahami dan mengoperasikan sistem teknologi berbasis AI. Sistem monitoring dan evaluasi secara berkala dan responsif juga harus dibangun untuk menjaga akuntabilitas penggunaan teknologi di lingkungan peradilan. Semua hajat ini hanya bisa dilaksanakan bila seluruh stakeholder terkait saling berkolaborasi untuk mengisi demi terwujudnya badan peradilan yang agung dan modern.Implementasi AI dalam sistem peradilan Indonesia diharapkan membuka babak baru dalam upaya modernisasi pengadilan. Keberhasilan inisiatif ini akan ditentukan oleh kemampuan kita dalam menyeimbangkan inovasi teknologi tanpa mengesampingkan nurani demi tegaknya keadilan yang sejati. Pada akhirnya, secanggih apa pun teknologi tidak akan pernah bisa menggantikan peran Hakim dalam memberikan pertimbangan dan pengambilan keputusan.

Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Ancaman atau Perlindungan terhadap Profesi Advokat?

article | Opini | 2025-02-23 14:40:45

Beberapa waktu lalu, peradilan di Indonesia digemparkan oleh insiden kericuhan dalam sidang kasus dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan Razman Nasution sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kericuhan terjadi saat Razman meluapkan emosinya dan berusaha menghampiri Hotman Paris, yang saat itu memberikan kesaksian. Ketegangan semakin memuncak ketika salah satu anggota tim kuasa hukum Razman bernama M. Firdaus Oiwobo naik ke atas meja persidangan, menginjaknya, dan melontarkan kata-kata kasar. Kejadian tersebut terekam kamera media dan kemudian viral di media sosial.Mahkamah Agung (MA) dalam konferensi pers menanggapi insiden tersebut dengan tegas. MA mengecam keras kericuhan yang terjadi dalam persidangan karena tindakan tersebut dinilai tidak pantas dan tidak tertib. Lebih lanjut, MA menyatakan bahwa peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court. MA menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi, siapa pun pelakunya harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku, baik secara pidana maupun etik.Menindak lanjuti hal tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Kemudian selanjutnya pada 11 Februari 2025, Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten mengeluarkan penetapan untuk membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat atas nama Razman Arif Nasution dan M. Firdaus Oiwobo. Tindakan Pembekuan BAS Advokat tersebut tidak dilakukan secara gegabah oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya, pada 8 Februari 2025, KAI merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat M. Firdaus Oiwobo. Dukungan juga datang dari organisasi advokat PERADIN pada 13 Februari 2025. PERADIN adalah organisasi advokat yang menaungi Razman Arif Nasution, menyatakan dalam suratnya bahwa penindakan tersebut bagian dari penindakan tata tertib dan pembebanan etika bagi advokat sudah tepat dan benar oleh karenanya dengan ini mengucapkan ribuan terimakasih. Keputusan pembekuan BAS Advokat tersebut kemudian menimbulkan diskursus mengenai keabsahan serta dampaknya terhadap profesi advokat secara keseluruhan. Hal ini menarik untuk dikaji secara mendalam dalam dinamika hukum di Indonesia.Kekuatan Hukum Sumpah AdvokatSumpah advokat merupakan salah satu tahapan wajib bagi seseorang yang ingin menjalankan profesi sebagai advokat di Indonesia. Pelaksanaan sumpah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan harus dilakukan di hadapan pengadilan tinggi.  Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pasal tersebut dalam perkembangannya kemudian diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa frasa "di sidang terbuka Pengadilan Tinggi" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat tertentu seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Maka implikasi hukumnya, sumpah advokat adalah syarat seorang Advokat dapat menjalankan profesinya yang dibuktikan dengan BAS.Mewujudkan Tujuan HukumGustav Radburch dalam Introduction to Jurisprudence seperti yang dikutip Satjipto Rahardjo bukunya Ilmu Hukum menyebutkan setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Apabila hukum yang ada di masyarakat telah memenuhi ketiga unsur tersebut maka dapat dikatakan tujuan hukum telah tercapai. Ketiganya bersinergi untuk menciptakan hukum yang ideal.Jika dikaji dari perspektif kepastian hukum, memang sampai saat ini belum ada aturan hukum yang tegas yang menyatakan adanya aturan terkait pembekuan BAS Advokat sehingga menimbulkan konsekuensi kepada Advokat untuk menjalankan profesinya. Namun, jika dikaji dalam kerangka hukum yang lebih luas, dalam hal ini Negara juga sudah mengatur mengenai hal tersebut. Sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini berkesinambungan juga dengan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) Pasal 2 ayat (2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.Perbuatan membuat kegaduhan di ruang persidangan dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang tidak beradab dan juga MA yang bertanggungjawab dalam terselengaranya peradilan Negara mempunyai kewenangan terhadap menerapkan dan juga menegakkan hal tersebut. Ini memberikan konsekuensi logis bahwa MA mempunyai hak untuk menegakkan sanksi kepada siapapun yang melakukan perbuatan yang tidak beradab dalam peradilan Negara khususnya dalam persidangan. Kemudian disebutkan pula pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal senada juga dijumpai dalam Pasal 218 jo. 232 ayat (2) dan (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa setiap orang yang hadir dalam ruang sidang wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.Peristiwa contempt of court tersebut adalah tindakan yang mengakibatkan hambatan dan rintangan dengan cara tidak menunjukan sikap hormat dan bahkan menganggu jalannya persidangan sehingga peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan tidak tercapai. Aturan hukum tersebut kemudian juga menjadi pertimbangan dan kewenangan MA dalam menerbitkan penetapan pembekuan BAS Advokat kedua oknum tersebut. Jika dikaji perspektif Hukum Admistrasi Negara terdapat asas contrarius actus,  yang dapat diartikan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), juga berwenang untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya keputusan tersebut. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Sehingga dari asas tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat. Dikutip dari artikel di dandapala.com penulis Dr Tri Cahya Indra Permana yang berjudul Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya.Jika dikaji dari perspektif kemanfaatan hukum, penerbitan penetapan pembekuan BAS Advokat tersebut juga mendapat dukungan masif dari profesi advokat sendiri. Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa organisasi advokat PERADIN yang merekomendasikan yang notabene juga adalah organisasi dimana salah satu oknum advokat tersebut bernaung. Beberapa waktu lalu puluhan advokat juga berbondong-bondong ke pengadilan memberikan dukungan simbolik untuk pembekuan BAS advokat tersebut. Hal ini dapat terlihat dari fenomena para Advokat se Banyumas Raya yang memberikan dukungan kepada insan peradilan dengan melakukan aksi keprihatinan di halaman Pengadilan Negeri Purwokerto.Dikutip dari dandapala.com pada tanggal 13 Februari 2025, puluhan advokat dari berbagai organisasi di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar aksi dukungan moral di depan Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Mereka menyampaikan aspirasi agar Mahkamah Agung dan institusi terkait mengambil langkah tegas terhadap siapa pun yang melecehkan simbol-simbol keadilan negara. Advokat adalah profesi yang mulia dan harus menjaga integritas serta kewibawaan peradilan.Dalam dinamika sosial media juga terlihat banyak komentar positif juga terkait pembekuan BAS Advokat tersebut. Dalam hal ini kepentingan masyarakat adalah memiliki penegak hukum yang menjunjung tinggi adab dan moralitas. Penindakan tegas terhadap oknum advokat tersebut dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat sehingga tidak dapat dimungkinkan oknum advokat yang tidak bermoral beraktivitas dunia peradilan.Jika dikaji dari perspektif keadilan dan moralitas, keadilan bukan hanya konsep yuridis, melainkan pada hakikatnya merupakan konsep etis dan moral. Sebagai konsep moral, keadilan bertujuan mengusahakan perbaikan bagi semua orang. Menurut Sidharta dalam bukunya Aliran Hukum Kodrat, moralitas merupakan keseluruhan norma, nilai, dan sikap yang dianut oleh seseorang atau masyarakat, sedangkan moral adalah dasar untuk menentukan benar atau salah atas tindakan manusia.Hal ini kemudian dapat dikorelasikan dalam penyumpahan di Pengadilan Tinggi, advokat melafalkan sumpah advokat yang antara lain berbunyi:"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta ahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;."Dari pengertian tentang keadilan dan moralitas yang dikaitkan dengan pelafalan sumpah advokat, terkandung makna bahwa advokat harus menegakkan moralitas serta menjaga tingkah laku dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan peristiwa penghinaan terhadap pengadilan/ contempt of court tersebut, tindakan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan mencederai sumpah yang telah dilafalkan oleh advokat itu sendiri. Hal ini menjadi dasar pijakan bagi Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan sanksi berupa pembekuan BAS Advokat sebagai bentuk perwujudan asas keadilan dan menjaga nilai moralitas dalam peradilan khususnya dalam persidangan.Dapat disimpulkan bahwa, jika dikaji dari ketiga asas hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat tersebut telah memenuhi ketiga unsur tersebut. Dalam hal ini, perlu dimaknai bahwa langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung sudah tepat dan terukur sehingga perlu diapresiasi bersama.Pembekuan BAS Bukanlah Ancaman Terhadap Independensi AdvokatAdvokat sebagai penegak hukum yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan harus independen dan bebas dari intervensi. Jika dikaji secara ontologis yang tertera dalam bagian konsideran pertimbangan UU Advokat bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi  Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Dengan adanya independensi, maka advokat dapat membela masyarakat (public defender) dan memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa rasa takut, campur tangan, dan tekanan dari pihak manapun juga. Kebebasan profesi advokat (independence of the legal profession) merupakan syarat mutlak terciptanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) dengan tetap bertanggungjawab terhadap etik profesi. Namun seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa independensi tersebut kemudian tentunya harus berdasarkan etika dan profesi yang berlaku. Dengan dibuktikan adanya surat dari organisasi advokat yang menyatakan bahwa kedua oknum advokat telah melanggar etik. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan kewenangan dari organisasi advokat pada Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.Dalam kerangka ini perlu dimaknai bahwa independensi tersebut tentunya dibatasi dengan etika profesi sehingga Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi atas hal tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab moral untuk menegakkan hal tersebut sesuai dengan sumpah advokat yang dilafalkan di Pengadilan Tinggi. Selain itu juga hal tersebut juga dimaknai bahwa penetapan pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tersebut bukanlah tindakan yang sewenang-wenang yang dapat mengancam independensi advokat. Sehingga tentunya para Advokat tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat. Justru jika disikapi secara arif dan bijaksana ini tentunya hal ini dapat memberikan perlindungan bagi para advokat yang senantiasa menegakan moral dan etika. Hal tersebut karena memberikan rasa aman kepada advokat yang sedang beracara karena akan memungkinkan untuk tidak bertemu atau berhadapan dengan advokat yang tidak bermoral dan tidak beradab sehingga kedepan akan meminimalisir dampak kerugian yang terjadi.Demi mewujudkan Cita Luhur Negara dan KeadilanTentunya hal ini dapat dimaknai secara positif bahwa bagian dari mewujudkan cita luhur dari Advokat yaitu profesi terhormat (officium Nobile). Dinamika terkait multibar organisasi advokat yang kemudian menciptakan celah hukum bagi para advokat yang sudah dihukum dan dikeluarkan oleh Organisasi Advokat namun karena masih banyak pilihan organisasi advokat yang lain. Hal tersebut kemudian Oknum advokat masih dapat menjalankan profesinya karena berpindah organisasi advokat yang lain. Celah hukum tersebut akhirnya mencederai peradaban hukum yang perlu dibangun bersama. Meskipun begitu, dalam pembekuan BAS Advokat juga tetap memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (UPB), yaitu setidak-tidaknya menerapkan asas kecermatan, asas kehati-hatian dan asas kemanfaatan. Sehingga sudah selayaknya terhadap Advokat yang melanggar sumpah Advokat dan/atau melakukan contempt of court dilakukan Pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tentunya dapat menjadi solusi atas kebuntuan permasalahan tersebut. Dalam salah satu isi sumpahnya, advokat wajib menjaga tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai Advokat. Dengan demikian, dalam hal ditemukannya adanya pelanggaran sumpah dan jabatan Advokat dalam proses persidangan atau perbuatan advokat yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan atau perbuatan yang mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan yang mengakibatkan terganggunya rasa aman bagi hakim, aparatur pengadilan dan masyarakat pencari keadilan atau perbuatan yang menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan atau perbuatan tercela lainnya yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan, maka sanksi Pembekuan BAS Advokat dapat diterapkan.Jika disimpulkan bahwa penetapan pembekuan BAS advokat selain telah memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai perwujudan tujuan hukum, perlu juga dimaknai bahwa pembekuan BAS bukanlah tindakan sewenang-wenang yang mengancam independensi advokat, melainkan bentuk perlindungan bagi advokat yang telah menjunjung etika profesi advokat. Sehingga tentunya para advokat di Indonesia tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat yang diucapkan di Pengadilan Tinggi.  Peristiwa ini menjadi momen penting bagi dunia peradilan bahwa penghinaan terhadap pengadilan bukan hanya merendahkan wibawa lembaga peradilan, tetapi juga mencederai nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh Bangsa dan Negara yang kita cintai.

Mencapai Tipping Point dan Mendorong Perubahan di Pengadilan

article | Opini | 2025-02-21 20:55:35

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu buku yang menarik untuk dibahas ketika berbicara mengenai perubahan sosial adalah buku Malcolm Gladwell yang berjudul Tipping Point. Di dalam buku tersebut Gladwell menjelaskan dengan ringkas dan sistematis bagaimana mendorong suatu perubahan di dalam suatu komunitas dengan waktu yang relatif cepat dan berdampak secara signifikan menuju ke arah yang lebih baik. Buku ini menjelaskan bahwa pada prinsipnya ada 3 aspek yang dibutuhkan untuk mencapai apa yang disebut sebagai Tipping Point. Tipping Point di dalam buku Gladwell adalah suatu kondisi yang mana suatu perubahan terjadi dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi bukan suatu kebetulan namun dipengaruhi oleh 3 hal yang sangat menentukan.Pertama, Law of the Few. Dalam hal ini, Galdwell menjelaskan bahwa inisiasi perubahan lahir dari orang-orang yang sedikit. Hal ini sejalan dengan pandangan Arnold Toynbee tentang Creative Minorities yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa orang-orang yang sedikit atau minoritas di dalam suatu komunitas yang mempunyai kemampuan atau kapabilitas di atas rata-rata dapat mendorong terciptanya perubahan sosial dengan lebih cepat. Hal ini didasarkan pada tesis dari Gladwell sendiri bahwa 80 % suatu pekerjaan pada faktanya bisa diselesaikan oleh 20% orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Tesis ini didasarkan pada prinsip efisiensi Pareto.Menurut Gladwell, orang-orang di atas rata-rata ini harus membagi perannya menjadi 3 yaitu: (1) Penghubung (Connector); (2) Mavens; (3) Salesman/Persuaders. Penghubung (connector) pada umumnya merupakan orang-orang yang mempunyai banyak teman di berbagai circle pertemanan. Selain itu, pada umumnya seorang penghubung itu mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan supel dalam pergaulan sehingga mempunyai banyak teman. Selanjutnya, Mavens pada umumnya adalah orang-orang yang suka mengumpulkan informasi dan menyebarluaskannya ke khalayak umum. Bisa dikatakan orang dengan karakter mavens adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dan suka dengan gagasan-gagasan baru yang inovatif. Selain itu, orang dengan karakter Mavens pada umumnya senang menyelesaikan suatu permasalahan. Sementara itu, Salesman/Persuaders adalah orang dengan karakter yang senang bernegosiasi untuk mempengaruhi dan meyakinkan orang lain.Kemudian, faktor kedua untuk mendorong suatu perubahan adalah Stickiness Factor atau faktor pelekat. Di dalam buku ini Gladwell menjelaskan bahwa gagasan atau ide akan mempunyai faktor pelekat apabila ide tersebut mudah diingat, menyentuh secara psikologis atau emosional, dapat diterapkan, dan mempunyai hook. Gladwell mencontohkan di dalam bukunya bagaimana serial anak-anak di Amerika Serikat yaitu Sesame Street dan Blue’s Clues mempengaruhi anak-anak di Amerika Serikat pada masanya.Selanjutnya yang ketiga adalah Power of Context. Menurut Gladwell dalam mendorong perubahan lingkungan atau konteks yang mendukung sangat mempengaruhi bagaimana cepat atau lambatnya perubahan tersebut. Lingkungan eksternal sangat mempengaruhi bagaimana tingkah laku seseorang berubah. Apabila lingkungan eksternal mendorong terciptanya suatu perubahan ke arah yang lebih baik, maka tingkah laku orang-orang yang berada di dalam lingkungan tersebut akan menyesuaikan ke arah yang lebih baik.Pengadilan yang bersih dan bermartabat            Sebagai seseorang yang bekerja di pengadilan, penulis melihat pengadilan bisa menjadi institusi yang bersih dan bermartabat apabila menerapkan 3 hal ini. Pertama, pimpinan pengadilan harus menjadi teladan baik di pusat ataupun di daerah dalam menjaga kualitas dan integritas. Keteladanan ini harus dimulai dari atas bukan dari bawah. Sebagai pimpinan institusi keteladanan yang baik secara tidak langsung akan menyebarkan pengaruh yang baik kepada para jajaran di bawahnya. Para pimpinan harus menjadi the few sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell yang mampu menginspirasi para jajaran di bawahnya. Oleh sebab itu, tidak mungkin mengeluarkan kebijakan untuk menjaga integritas tanpa disertai dengan keteladanan dari para pimpinan untuk menjaga integritas. Selain itu, proses pemilihan pimpinan pengadilan harus mampu menempatkan orang-orang yang mampu menjaga integritasnya menjadi pimpinan pengadilan. Hal ini dikarenakan pimpinan pengadilan adalah motor apabila pengadilan tersebut ingin menjadi bersih.Kedua, menciptakan lingkungan yang anti-suap dan gratifikasi baik di pengadilan maupun di lingkungan Mahkamah Agung. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa context atau lingkungan sangat berpengaruh dalam mendorong suatu perubahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong terciptanya lingkungan yang anti suap dan gratifikasi adalah dengan memberikan hukuman yang tegas bagi aparatur pengadilan yang melakukan tindak pidana suap atau gratifikasi. Upaya ini harus dilakukan tanpa pandang bulu tidak melihat latar belakang atau hubungan saudara.            Kemudian, yang ketiga adalah memberikan insentif bagi para aparatur pengadilan yang menjaga integritasnya dengan baik. Para aparatur pengadilan yang mampu menjaga integritasnya harus diapresiasi oleh institusi. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gladwell bahwa dibutuhkan faktor pelekat untuk mendorong suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Apresiasi atau insentif dapat menjadi faktor pelekat kepada para aparatur pengadilan untuk terus menjaga integritasnya yang nantinya apabila jumlah aparatur pengadilan yang bersih menjadi banyak dan dominan sehingga dapat menciptakan lingkungan yang bersih dan menjadikan pengadilan sebagai institusi yang bersih dan bermartabat.  

Manifesto Kepemimpinan Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau: Tetra Policy

article | Opini | 2025-02-20 16:40:29

PendahuluanMahkamah Agung memiliki peran strategis dalam membentuk arah dan kebijakan sistem peradilan di Indonesia. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam sistem peradilan, Mahkamah Agung memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin bahwa hukum ditegakkan secara adil, transparan, dan inklusif. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan paradigma global yang menekankan pentingnya keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup menjadikan isu ini bagian integral dari fungsi dan tanggung jawab peradilan.Pada saat yang sama, Indonesia menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks, termasuk deforestasi, pencemaran air dan udara, serta perubahan iklim. Dalam banyak kasus, akar permasalahannya terletak pada lemahnya penegakan hukum lingkungan, minimnya kapasitas kelembagaan, dan ketidakadilan ekologis yang dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok rentan. Hal ini mendorong perlunya sistem peradilan yang tidak hanya tegas terhadap pelanggaran hukum lingkungan tetapi juga proaktif dalam mengadvokasi keberlanjutan.Sebagai wujud respons terhadap tantangan tersebut, Mahkamah Agung seyogyanya sebagai bentuk kepemimpinan hijau juga melakukan kebijakan untuk memastikan, bahwa peradilan merupakan peradilan hijau dalam arti mendukung adanya penegakan hukum lingkungan yang substantif. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini akan dianalisis kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mahkamah Agung untuk memastikan adanya hal tersebut.Tantangan Lingkungan dan Kesenjangan Penegakan HukumIndonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi juga termasuk salah satu negara dengan tingkat deforestasi dan pencemaran lingkungan tertinggi. Berdasarkan data, sekitar 1,47 juta hektare hutan Indonesia hilang setiap tahunnya akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan. Pencemaran sungai dan laut, terutama oleh limbah industri dan plastik, semakin memperparah kondisi ekosistem. Dampak kerusakan ini tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga oleh masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan mereka.Namun, sistem hukum yang ada sering kali belum cukup responsif untuk menghadapi persoalan ini. Beberapa tantangan utama yang dihadapi sistem peradilan antara lain:Kurangnya Kapasitas dan Keahlian SpesifikBanyak aparat penegak hukum, termasuk hakim, yang belum memiliki pemahaman mendalam tentang isu lingkungan. Akibatnya, banyak kasus lingkungan yang tidak ditangani dengan optimal atau menghasilkan putusan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan ekologis.Minimnya Penegakan Hukum yang EfektifPelanggaran hukum lingkungan sering kali tidak mendapatkan sanksi yang sepadan. Banyak pelaku kejahatan lingkungan, seperti korporasi besar, berhasil menghindari tanggung jawab hukum melalui celah-celah regulasi atau praktik korupsi.Ragam Penafsiran Penegakan HukumTerdapat ragam penafsiran atas norma-norma hukum lingkungan yang ada. Hal ini, karena masih terdapat beberapa aturan yang multitafsir satu dengan yang lain.Komitmen Mahkamah Agung: Menuju Peradilan HijauDalam manifesto kepemimpinannya, Mahkamah Agung menggarisbawahi pentingnya transformasi sistem peradilan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut. Konsep peradilan hijau yang diusung bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan yang:Responsif terhadap Isu LingkunganSistem peradilan harus dapat merespons isu-isu lingkungan secara cepat dan efektif, memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum lingkungan mendapatkan penanganan yang serius.Berbasis pada Prinsip KeberlanjutanPutusan-putusan pengadilan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan, masyarakat, dan generasi mendatang.Menghormati Hak Ekologis MasyarakatHak masyarakat untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat harus diakui dan dilindungi secara hukum.Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung sebagai upaya “menghijaukan” pengadilan mengambil beberapa kebijakan yang mendukung penegakan hukum lingkungan secara substantif antara lain:Pendidikan dan Pelatihan BerkelanjutanMahkamah Agung menekankan pentingnya peningkatan kapasitas hakim dan aparat peradilan lainnya melalui pelatihan khusus di bidang hukum lingkungan. Pendidikan ini akan mencakup pemahaman tentang isu perubahan iklim, kejahatan lingkungan lintas batas, serta mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan yang efektif.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, dalam Pasal 4  ayat (3) ditegaskan “Perkara lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadili oleh majelis Hakim Lingkungan Hidup atau minimal salah seorang hakim majelis yang merupakan Hakim Lingkungan Hidup. Selanjutnya, dalam ayat (4) disebutkan  “Dalam hal belum ada Hakim Lingkungan Hidup, ketua/wakil ketua atau kepala/wakil kepala pengadilan karena jabatannya berwenang untuk mengadili perkara lingkungan hidup atau menunjuk hakim senior untuk mengadili perkara lingkungan hidup.”Sebelum lahirnya Perma 1/2023 tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup. Sertifikasi hakim lingkungan hidup bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup di pengadilan sebagai bagian dari upaya perlindungan lingkungan hidup serta pemenuhan rasa keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hakim, sebagaimana Pasal 6 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut: a. Persyaratan administrasi; b. Persyaratan kompetensi; c. Mengikuti pelatihan; d. Dinyatakan lulus oleh Tim SeleksiPenguatan Kerangka RegulasiMelalui kerja sama dengan legislator dan pemangku kepentingan lainnya, Mahkamah Agung perlu mendorong revisi atau penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan. Hal ini mencakup peningkatan sanksi bagi pelanggaran hukum lingkungan serta penguatan mekanisme perlindungan bagi masyarakat terdampak.Aturan terbaru yang dibuat oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (Perma 1/2023) tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Perma ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara lingkungan hidup agar dapat menghasilkan putusan yang mewujudkan pembangunan berkelanjutan, memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang hak lingkungan hidup, dan menjamin terwujudnya keadilan lingkungan hidup serta keadilan iklim, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Perma ini. Mencakup pedoman untuk mengadili perkara lingkungan hidup di pengadilan, baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara.Meskipun perlindungan terhadap korban/pemerhati lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 66 UU PPLH namun gugatan maupun laporan polisi terus terjadi. Berbagai modus yang digunakan SLAPP-er untuk melawan korban/pegiat lingkungan hidup, yaitu gugatan Perbuatan Melanggar  Hukum (Pasal 1365 BW) dan Penghinaan (Pasal 310 KUHP) dan pasal-pasal lain. Hal itu dimaksudkan untuk membungkam partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa takut agar masyarakat tidak lagi menyatakan  keberatan/mengkritisi/membuat pengaduan atas kegiatan usaha mereka yang diduga/telah menimbulkan pencemaran lingkungan. Karenanya perlindungan hukum perdata dan pidana terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup telah diatur dalam ketentuan Perma 1/2023.  Perlindungan hukum perdata diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ketentuan Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 Perma 1/2023. Demikian juga, perlindungan hukum terhadap pejuang hak-hak atas lingkungan hidup yang menjadi terdakwa di depan persidangan diatur dalam ketentuan Pasal 76 sampai dengan Pasal 78 Perma 1/2023.Pasal 76 ayat (4) Perma 1/2023 disebutkan dalam hal terdakwa dan/atau penasihat hukum dapat membuktikan bahwa Terdakwa adalah pejuang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah mendengar tanggapan dari penuntut umum, hakim mengambil putusan akhir yang amarnya menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa harus memeriksa pokok perkara. Dalam ayat (5) disebutkan, terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi.Pasal 77 Perma 1/2023, menyebutkan “Dalam hal setelah memeriksa pokok perkara, Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi terdakwa terbukti pula sebagai pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.”Perma 1/2023 telah memberikan arahan, bahwa tanggapan dalam eksepsi atau pembelaan tentang gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pelapor adalah Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun gugatan rekonvensi (perdata) dan/atau pembelaan dalam perkara pidana. Sebelumnya Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2002 tentang Prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Perma ini lahir, untuk menyahuti ketentuan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Bagaimana tata cara penggugat dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dan/atau tuntutan pelaksanaan tindakan tertentu yang bertujuan untuk memperoleh hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.Menerbitkan Landmark Decision sebagai PercontohanMahkamah Agung menerbitkan landmark decision terkait lingkungan hidup sebagai percontohan bagi hakim-hakim dalam mengambil sikap terkait sengketa lingkungan. Hal ini, misal dapat dilihat di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 yang merupakan landmark decision pilihan Mahkamah Agung di Laporan Tahun 2023. Di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3700 K/Pid.Sus-LH/2022 kaidah hukumnya: “Kondisi penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana, namun hanya menjadi pertimbangan untuk meringankan perbuatan Terdakwa.” Hal ini muncul karena adanya dualisme mengenai status pemidanaan terdakwa ketika penempatan limbah B3 sudah diperbaiki saat akan pemeriksaan setempat. Melalui kaidah hukum ini, dapat dipahami, bahwa meskipun penempatan limbah B3 yang sudah diperbaiki saat sebelum pemeriksaan setempat tidak dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana.Kolaborasi dengan Pemangku KepentinganMahkamah Agung akan membangun kemitraan dengan pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat implementasi hukum lingkungan. Kolaborasi ini juga akan mencakup pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik dari negara lain yang telah sukses menerapkan peradilan hijau. Hal ini, misal dapat dilaksanakannya konvergensi internasional yang terselenggara atas kerja sama Mahkamah Agung dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) serta didukung oleh Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.Melalui manifesto kepemimpinannya, 4 (empat kebijakan ini bisa dianggap sebagai Tetra Policy Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau. 4 (empat) kebijakan ini adalah kerangka strategis yang bertujuan untuk mewujudkan peradilan hijau. Manifesto ini mencerminkan komitmen institusional untuk menjadikan Mahkamah Agung sebagai motor penggerak reformasi peradilan dalam mendukung keadilan lingkungan yang berkelanjutan. PenutupManifesto ini diharapkan dapat menjadi pendorong perubahan yang signifikan dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan mengadopsi Tetra Policy ini, Mahkamah Agung tidak hanya akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum lingkungan tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin global dalam perlindungan lingkungan. Kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung yang visioner akan menjadi landasan bagi terciptanya keadilan ekologis yang berkelanjutan. Pada akhirnya, manifesto ini mencerminkan komitmen nyata untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya menjadi alat untuk menegakkan keadilan bagi manusia, tetapi juga bagi bumi dan seluruh ekosistemnya.

Tes Urin Negatif Narkotika, Bisakah Dipenjara di Bawah Minimum Khusus?

article | Opini | 2025-02-17 15:45:09

Penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dalam perkara narkotika dimungkinkan bagi Terdakwa yang terbukti sebagai Penyalah Guna, meskipun Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Sebagai pedoman, Hakim dapat merujuk pada SEMA Nomor 3/2015 dan SEMA Nomor 1/2017 yang mengatur bahwa penerapan pidana di bawah minimum khusus dapat dilakukan dengan memperhatikan kriteria penting: terdakwa terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, barang bukti yang ditemukan jumlahnya relatif kecil, dan dalam hal tertangkap tidak sedang memakai narkotika namun ditemukan barang bukti kecil serta hasil tes urine positif. Ketentuan ini menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara narkotika dengan memperhatikan aspek keadilan dan kemanusiaan.Perkembangan terbaru, Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 3/2023 memberikan rumusan yang lebih komprehensif. Adapun dalam salah satu poin rumusan SEMA Nomor 3/2023 menyebutkan dalam hal Terdakwa didakwa Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika dengan barang bukti sesuai ketentuan SEMA Nomor 4/2010 jo. SEMA Nomor 3/2015 jo. SEMA Nomor 1/2017, hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana dengan menyimpangi ancaman pidana penjara minimum khusus. Namun demikian, pidana dendanya tetap harus sesuai dengan ancaman dalam pasal tersebut. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum namun tetap dalam koridor kepastian hukum.Persoalan menarik muncul ketika hasil tes urine terdakwa negatif, sementara fakta persidangan justru menunjukkan bahwa maksud terdakwa membeli, memiliki, dan menguasai narkotika adalah untuk dipakai sendiri. Dalam praktik peradilan, Penuntut Umum seringkali hanya mendakwakan Pasal 112 atau 114 tanpa mendakwakan Pasal 127 ayat (1) huruf a, meskipun barang bukti yang ditemukan relatif kecil dan tidak ditemukan bukti adanya tujuan pengedaran. Alasan utama Penuntut Umum tidak mendakwakan pasal penyalah guna narkotika adalah karena hasil tes urine terdakwa yang negatif, meskipun indikasi-indikasi lain mengarah pada penyalahgunaan untuk diri sendiri.Mahkamah Agung telah memberikan beberapa preseden penting melalui putusannya. Putusan MA Nomor 1386 K/Pid.Sus/2011 tanggal 3 Agustus 2011 menjadi tonggak penting karena memutus perkara narkotika yang pada tingkat penyidikan tidak dilakukan tes urine terhadap Terdakwa. Mahkamah Agung berpendapat bahwa karena tindakan penguasaan atau kepemilikan narkotika oleh Terdakwa dalam jumlah relatif kecil dan ditujukan untuk digunakan sendiri, maka lebih tepat diterapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.Putusan lain yang menerapkan pidana penjara dengan menyimpagi pidana penjara minimum khusus meskipun tes urine terdakwa negatif dapat dilihat dalam Putusan PN Putussibau Nomor 14/Pid.Sus/2021/PN Pts dan Nomor 25/Pid.Sus/2021/PN Pts yang keduanya dikuatkan hingga tingkat kasasi. Kedua putusan ini memperlihatkan bahwa penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dapat diterapkan meski hasil tes urine negatif, sepanjang dalam persidangan benar terbukti bahwa narkotika yang dimiliki terdakwa relatif kecil sesuai SEMA Nomor 7/2009 jo. SEMA Nomor 4/2010, tujuannya untuk dipakai sendiri, dan tidak ada bukti keterlibatan dalam peredaran narkotika. Putusan-putusan ini memperkuat prinsip bahwa penegakan hukum harus memperhatikan aspek keadilan substantif, tidak semata-mata pada aspek formal prosedural.Dalam mempertimbangkan hasil tes urine negatif, Hakim harus benar-benar menilai secara kasuistis berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa seringkali terdakwa ditangkap pada saat baru menerima pesanan narkotika dan belum sempat memakainya, atau jangka waktu pemakaian sebelumnya sudah terlampau lama sehingga hasil tes urine menjadi negatif. Oleh karena itu, demi terciptanya kebenaran materiil dan mengedepankan asas keadilan hukum faktor waktu dan kondisi penangkapan ini juga sepatutnya menjadi pertimbangan penting dalam menilai status terdakwa sebagai penyalah guna.SEMA Nomor 3/2023 memberikan angin segar dalam perkembangan hukum perkara narkotika dengan tidak lagi menjadikan hasil tes urine positif sebagai syarat untuk dapat menerapkan pidana penjara menyimpangi minimum khusus. Namun demikian, hakim tetap wajib mempertimbangkan jumlah barang bukti sesuai ketentuan SEMA yang berlaku. Hal ini mencerminkan evolusi pemikiran hukum yang lebih progresif dalam memandang perkara narkotika, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana yang tidak semata-mata mengedepankan aspek pembalasan, tetapi juga memperhatikan aspek pembinaan dan pemulihan bagi pelaku tindak pidana narkotika, khususnya bagi mereka yang terbukti sebagai penyalah guna.

Serat Kalatidha Pada Peradilan Indonesia

article | Opini | 2025-02-17 13:25:11

Program acara yang digagas Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yakni perisai pada episode yang ketiga mengajukan tema Kinerja berkualitas dengan Integritas. Tema ini disampaikan dalam  upaya dari peradilan khususnya peradilan umum  untuk kembali mendapatkan kepercayaan publik yang sedikit terganggu dengan  adanya pimpinan pengadilan dan beberapa hakim serta staf pengadilan  yang  saat ini menjalani pesakitan maupun yang telah dijatuhi sanksi etik karena dianggap telah tersangkut perkara gratifikasi . Penjatuhan hukuman disiplin sepanjang tahun 2024  dilingkungan peradilan umum  yakni untuk hakim ada 84 hukuman disiplin dengan perincian 21 hukuman disiplin berat, sedang 9  dan 54 sanksi ringan, sedangkan untuk panitera ada 65  yakni berat 18, sedang 10 dan ringan 37. Bertitik tolak dari program perisai maka tidaklah salah kalau kita merenungi apa yang diramalkan oleh seorang pujangga jawa pada abad 18 yakni raden ronggo warsito dengan karyanya yakni serat kalatidha . Serat Kalatidha  ditulis sang pujangga kurang lebih seabad yang lalu, yakni pada masa pemerintahan Paku Buwono IX (1862 - 1893 M).  Serat Kalatidha merupakan refleksi atas kondisi kerajaan pada masa itu, akan  tetapi jika kita  renungi dan resapi, maka akan sesuai juga dengan kondisi  sekarang  Serat Kalatidha merupakan ramalan akan datangnya suatu zaman. Yang mana sang pujangga  telah memprediksikannya sebab ia dikenal  sebagai ngerti sadurunge winarah, mengerti apa yang akan terjadi kelak yang biasanya ramalan itu dikemukakan secara terang-terangan maupun symbol dan dunia nyata pernyataan itu memang terjadi. Berikut ini adalah cuplikan serat Kalatidha “ Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun kalatida, tidhem tandhaning dumadi, ardayengrat dene karoban rubeda “Dan jika kita artikan akan seperti ini “ Kondisi  negara  kita saat ini  sudah semakin mengalami kemunduran,  situasi  bangsa makin parah, karena sudah tak ada seseorang yang dapat dijadikan panutan, hal tersebut dikarenkan sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/ aturan-aturan lama yang baik yang luhur yang dimiliki bangsa ini. Diperparah dengan golongan  cerdik cendekiawan terbawa arus kalatidha (zaman yang penuh keragu-raguan), sehingga  keadaan menjadi  mencekam dan dunia penuh dengan kerepotan”Demikian  sepenggal  gambaran dari sang pujangga Ronggowarsito  terkait dengan kondisi tata negara yang telah rusak. Para pemimpin tak mampu meneladani rakyatnya dengan perbuatan-perbuatan bermoral. "Karana tanpa palupi", begitu tulis Ronggowarsito.  Jika kita renungi dan resapi,  maka sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bisa diikuti. Negeri ini nyaris kehabisan pemimpin yang bisa dijadikan teladan. Tentu teladan di sini merupakan sesuatu yang baik dan layak ditiru. Mengapa tak bisa diteladani? Karena para pemimpin itu, "atilar silatusti", meninggalkan tradisi. Di sini tradisi dimaksud lebih kepada etika. Sejatinya etika itu merupakan rambu-rambu untuk menuju hidup yang lebih baik, tetapi rambu-rambu itu ditinggalkan sehingga hidup ini jadi "rusak". Dunia dilanda kerepotan lantaran kerusakan itu.( Toto Tis Suparto : 2021)Karna Tanpa Palupi Mahkamah Agung dan Lembaga peradilan sebagai salah satu gerbang terakhir para pencari keadilan  tentunya harus menjadi garda terdepan dalam perubahan kearah yang lebih baik. Dalam Upaya memperbaiki kondisi di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan, Ketua Mahkamah Agung  telah memulai dengan langkah yang baik dengan menerapkan kebijakan ketika beliau diangkat menjadi Nahkoda tertinggi di Lembaga Peradilan  diantaranya melalui statemen beliau  bahwa Ketua Mahkamah Agung akan menerapkan demosi jika ada jamuan  ketika  ada kunjungan ke daerah dan tanpa perlu VIP Room dibandara  bagi Pimpinan maupun Hakim Agung.Langkah dan upaya Ketua Mahkamah Agung perlu kita maknai sebagai pengejawantahan dari ingin memberikan contoh atau teladan pada tataran dibawahnya dan sebagai langka antisipatif untuk mengantisipasi gambaran yang dikemukakan oleh sang Pujangga yakni “Karna tanpa Palupi “ dan jika kita kaitkan dengan sosok pemimpin bahwa seorang pemimpin yang kebanyakan minta dilayani maka ini merupakan  anti tesisnya adagium terdahulu karena hal ini mencerminkan jiwa seorang pemimpin yang melayani. Pimpinan Mahkamah Agung telah memberikan suatu contoh perilaku  kesederhanaan yang baik dan  untuk itu patutlah dan layak untuk  ditiru dan diikuti oleh seluruh insan peradilan.Menurut Greenleaf, seorang pemimpin yang baik  bukanlah  orang yang otoriter dan beranggapan bahwa aktivitas  kantor akan lamcar jika berada  ditangan pemimpin. Sebaliknya  pemimpin adalah orang yang punya semangat untuk berkontribusi  dan melayani  orang-orang yang dipimpinnya yakni pegawai, pengguna layanan atau siapa saja yang berinteraksi dengannya. Servant Leader tidak akan bertanya, “apa yang perlu dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri  tetapi apa yang perlu dilakukan agar menguntungkan kita dan banyak orang ?”.Orientasi berpikir dan bertindak adalah orang lain bukan dirinya sendiri dan untuk itu kita harus berpikiran bahwa semua insan peradilan adalah pemimpin, yakni seseorang  yang mempunyai perilaku perilaku positif  dan menginsipirasi  orang lain, membawa  pengaruh postof  serta dapat menjadi panutan dan teladan (Louis Sastrawijaya; 2022).Atilar silatustiSalah satu hal tradisi yang baik dan luhur  yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah tradisi atau petuah-petuah luhur  atau etika yang sarat makna sebagai bangsa yang mempunyai adat ketimuran yang tinggi. Etika yang dimaksud  antara lain  budaya malu dan  tenggang rasa yang tinggi, serta selalu mementingkan kepentingan orang banyak. Sebelum membahas mengenai tradisi yang baik dan luhur patutlah kita merenungi arti makna atau  purpose yakni memaknai sebuah pekerjaan, tentunya pekerjaan yang kita emban saat ini sebagai insan peradilan yang kita jalani saat ini, dunia dimana masyarakat yang kita layani adalah masyarakat yang mencari keadilan.Jika kita renungkan bahwa kita adalah manusia-manusia yang dipilih Tuhan untuk bekerja di Peradilan tentunya Tuhan memilih kita dari sekian banyak orang  dan kenapa kita dipilih tentunya harapannya agar kita dapat bermanfaat khususnya  bagi masyarakat pencari keadilan.Setelah menngerti makna atau tujuan tadi jika kita kaitkan dengan nilai nilai  leluhur bangsa kita  yakni budaya malu maka akan berdampak sangat positif, bahwa kita seharusnya malu jika bekerja tanpa integritas karena pengertian integritas itu sendiri adalah konsistensi dan keteguhan yang tidak tergoyahkan  dalam menjunjung tinggi nilai nilai luhur dan keyakinan.Budaya malu yang lain yang seharusnya ada pada diri kita aparatur peradilan yakni  malu terlambat masuk kantor, malu tidak masuk kerja tanpa alasan. Pulang kerja sebelum waktunya, sering meninggalkan kantor tanpa alasan, bekerja tanpa pertanggungjawaban, dan tidak amanah.Fondasi utama dalam melayani adalah  prioritas pada orang lain, maka orang yang bekerja didunia peradilan jika sudah mengerti apa yang menjadi makna pekerjaan kita  tentunya akan mempunyai  tujuan dalam bekerja sebagai  orang-orang yang mendapatkan amanat untuk melayani masyarakat pencari keadilan  dan pondasi utama  dalam melayani  adalah memberikam kontribusi kepada orang lain.  Joel Oesteen dalam bukunya Your Best Life Now yang isinya adalah tentang kunci rahasia agar seseorang dapat mengalami kegembiraan dan kebahagiaan setiap hari  yaitu dengan menjadi seorang pemberi, tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi selalu memberikan kontribusi kepada orang lain.Hal tersebut kadang sangatlah berat  karena pada kebanyakan yang terjadi pada semua orang menghadapi godaaan umtuk mementingkan diri sendiri sebagaimana dicontohkan kepada kolega yang tersandung kasus pidana maupun pelanggaran kode etik lainnya  dan tentunya ini sangat bertentangan dengan nilai nilai luhur bangsa kita yang cenderung mementingkan orang lain seperti kegiatan kerja bakti  dan  hal hal baik lainnya.Aplikasi  dalam hal berkontribusi kepada orang lain yakni dengan memberikan service excellent atau pelayanan prima, artinya fokus kita tidak memberikan pelayanan asala-asalan tetapi memberikan pelayanan melalui kecepatan, ketepatan, kenyamanan, kemudahan  dan berbagai manfaat lain yang dapat dirasakan oleh pengguna layanan pengadilan. Dengan begitu kepercayaan masyarakat pencari keadilan akan merasa terlayani dan berimpilikasi pada meningkatnya kepercayaan kepada lembaga.Kinerja yang berkualitas tidak secara otomatis dan natural terbentuk, melainkan hasil dari upaya yang cerdas dan berintegritas, inovatif, sistematis dan terus menerur (Bambang Myanto:2025). Apa yang disampaikan oleh pak Dirjen perlu kita renungkan  dan jangan lupa kita petuah dari sang pujangga ternama Ronggowarsito yang memberikan nasehat  dari satu bait akhir tembang sinom Serat Kalatida, “Sak begjabegjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada!” (seberuntung- beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada). Eling lan waspada  dapat dibahasakan menjadi mawas diri.  Eling lan waspada pada dimensi kemanusiaan berupa kesadaran atas potensi kekuatan dan kelemahan manusia.  Eling lan waspada pada dimensi Ketuhanan, berupa kesadaran atas Sangkan Paraning Dumadi, sebuah perjalanan anak manusia dari akan kembali kepada Sang Causa Prima, Tuhan Maha Esa.  Marilah mulai menjadi pribadi mawas diri yang mempunyai pengetahuan untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia dan ke arah mana dirinya akan dibawa, sesuai dengan pengetahuan, sesuai yang dikehendaki Penciptanya.Mari kita perbaiki niat kita dalam bekerja bukan untuk mementingkan diri sendiri akan tetapi dapat selalu berkontribusi kepada orang lain  selalu menjadi pribadi yang mawas diri.

Mengenal Contempt of Court

article | Opini | 2025-02-15 06:35:57

Contempt of court pada awalnya berkembang di negara Common law. Secara histroris berkembang di Kerajaan Inggris pada abad pertengahan yang mana pada saat itu terdapat anggapan bahwa raja memiliki hak seperti Tuhan. Oleh karena itu, setiap rakyat harus tunduk kepada raja dan menghormati raja. Pada saat itu contempt of court identik dengan Contempt of King karena belum ada independensi peradilan. Selanjutnya dalam perkembangannya Contempt of court mendapat tempat dalam UNCAC ( United Nations Convention Against Corruption) , Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa melawan Korupsi dalam Pasal 25 yang mengharuskan negara-negara anggotanya untuk mengkriminalisasi perbuatan menghalangi jalannya persidangan dan Negara Indonesia sebagai salah satu negara anggota wajib mengikuti aturan tersebut;Di Indonesia ,Istilah Contempt of Court sudah ada sejak dibentuknya UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Penghinaan terhadap peradilan diartikan sebagai perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan. Hal ini termuat dalam Penjelasan Umum butir 4 Alinea ke 4 UU No 14 Tahun 1985 yang menyatakan:..........Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/ atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court”.Berdasarkan penjelasan umum diatas artinya wajib dibentuknya suatu UU khusus yang mengatur lebih lanjut tentang contempt of Court ini karena memang diatur dalam UU tersebut. Selain itu mengingat betapa banyaknya penghujatan terhadap pejabat peradilan yang sejatinya materi penghujatan tersebut tidak pernah ada, sementara itu terjadi pergeseran dari norma-norma sikap dan perilaku di kalangan masyarakat , yang dapat diketahui dengan rendahnya kepercayaan masyarakat baik terhadap pejabat peradilan, maupun terhadap lembaga peradilan dalam mencederai keadilan. Lahirnya UU Contempt of Court adalah prioritas utama demi terwujudnya kekuasan kehakiman yang mandiri serta tegaknya negara hukum.Untuk itu MA sudah menggagasnya dalam program legislasi nasional tahun 2015-2019 untuk menjaga harkat martabat lembaga peradilan dari campur tangan pihak luar kekuasaan pengadilan. MA telah mengelompokan bentuk-bentuk contempt of court sebagaimana yang tertuang dalam Naskah Publikasi tersebut diatas yaitu:    Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan ( Misbehaving in Court);    Tidak mentaati perintah pengadilan ( Disobeying Court Orders);    Menyerang Integritas dan Imparsialitas pengadilan ( Scandalising The Court)    Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan ( Obstructing jJustice)    Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan ( Contempt of court) dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub Judice Rule)Pengaturan Contempt of Court di IndonesiaMeskipun UU Contempt of Court belum disahkan namun Contempt of court terdapat pengaturannya secara terbatas dalam Pasal 207 KUHP. Pasal 217 KUHP dan Pasal 224 KUHP.Pasal 207 KUHP: “ Barang siapa membuat gaduh di dalam persidangan pengadilan atau di tempat seorang pegawai negeri menjalankan jabatannya yang sah di depan umum dan tidak mau pergi sesudah diperintahkan oleh atau atas nama kekuasaan yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya tiga minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiahPasal 217 KUHPbarang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat dimana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah dimuka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seibu delapan ratus rupiahPasal 224 KUHP:barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa menurut UU dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan UU yang harus dipenuhinya, diancam;    Dalam perkara pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;    Dalam Perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan;Pasal 218 KUHAPbahwa siapa wajib menunjukan sikap hormat kepada pengadilan. Jika bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya maka yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. dalam hal pelanggaran tata tertib tersebut termasuk dalam tindak pidana maka pelaku dapat dituntut.Selanjutnya dalam KUHP baru UU Nomor 1 tahun 2023 yang akan mulai berlaku tahun depan mengatur contempt of court dalam Bab VI tentang tindak pidana terhadap proses peradilan, yang terdiri dari penyesatan proses peradilan, mengganggu dan merintangi proses peradilan, pengrusakan gedung, ruang sidang dan alat perlengkapan persidangan dan perlindungan terhadap saksi dan korban .Adapun Pasal-Pasal dalam KUHP Baru yang berkenaan dengan Contempt of court yaitu;: Pasal 279 UU Nomor 1 Tahun 2023 ( KUHP Baru) menyatakan:    Setiap orang yang membuat gaduh di dekat Ruang Sidang pengadilan pada saat sidang berlangsung dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama petugas yang berwenang, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I;    Setiap orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi sesudah diperintahkan sampai 3 kali oleh atau atas nama hakim dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IIPasal 280 KUHP baru menegaskan bahwa;    Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung;    tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;    Bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim;    Menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, mempublikasikan, proses persidangan secara langsung    Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dan huruf chanya dapat dituntut berdasarkan aduan;    Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh hakim.Pasal 281 KUHP Baru :Setiap orang yang menghalang-halangi mengintimidasi atau mempengaruhi Pejabat yang melaksanakan tugas penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, atau putusan pengadilan dengan maksud untuk memaksa atau membujuknya agar melakukan atau tidak melakukan tugasnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori VI.BEBERAPA KASUS CONTEMPT OF COURTBeberapa kasus di Indonesia yang termasuk ke dalam tindak pidana Contempt of Court adalah :    Tahun 1980 di PN Jakarta Pusat seorang Pengacara dalam Kasus HR Dharsono melakukan contempt of court dalam pembelaanya;    Tahun 1987 Mimi Lidawati , pelapor , melempar sepatu kepada majelis Hakim karena kesal kepada Hakim sudah memberi uang namun terdakwa dihukum ringan;    Tahun 1993 Pengunjung nasabah BPR PT Surya yang mengipas-ngipas uang sepuluh ribuan dalam sidang di PN Surabaya    Tahun 1999 seorang pengacara sering meninggalkan ruang sidang tanpa persetujuan majelis hakim dan pernah mengusulkan Majelis Hakim yang - menyidangkan perkara tersebut diganti;    Tanggal 15 November 2003 terjadi pembakaran gedung PN Larantuka NTT oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,;     Tanggal 23 Desember 2008 seorang Jaksa menyerang Hakim di PN Poso Sulteng sesaat setelah membebaskan terdakwa;    Tahun 2005 seorang Hakim ditusuk di ruang sidang - PA Sidoarjo    Pembakaran gedungi di PN Temanggung, Jawa Tengah tahun 2011,    tahun 2013 PN depok    Tahun 2013 seorang Hakim PN Gorontalo di serang saat berkendara    Tahun 2013 Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita ditembak hingga tewas saat berkendara menuju kantornya.    Tahun 2015 Kasus mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Sutan Bhatoegana, marah menantang majelis hakim dengan ucapan yang tak pantas ;    Tahun 2018 Pembakaran dan pengrusakan di PN Bantul    Tanggal 18 Juli 2019 seorang oknum advokat menganiaya dengan sabuknya terhadap hakim yang sedang membaca putusan dalam sidang terbuka untuk umum di PN Jakarta Pusat    Yang terbaru tanggal 6 Februari 2025 di PN Jakarta Utara, dua orang advokat yang bertengkar mulut di ruang sidang dan salah satu anak buah dari advokat itu naik ke meja ruang sidang;KESIMPULAN DAN SARANSanksi hukum terhadap etika di peradilan harus terus disosialisasikan dan diberlakukan agar perbuatan contempt of court tidak terus berulang.Contempt of court ada dimana mana . Tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga dilakukan oleh tokoh publik dan orang yang berlatar belakang pendidikan yang baik, bahkan berlatar belakang hukum dan berprofesi di bidang hukum. Untuk itu perlu disosialisasikan edukasi hukum kepada masyarakat untuk menjaga kesadaran hukum dan mengedepankan etika berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai nilai hukum. Perlu adanya perangkat hukum menyangkut pengamanan yang baku di ruang sidang yang melibatkan aparat hukum lainnya baik pihak kepolisian maupun kejaksaan dan jaminan perlindungan yang cukup agar aparatur pengadilan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.Begitu seriusnya akibat dari tindak pidana contempt of court maka penyelesaian pembahasan Rancangan UU Contempt of Court menjadi prioritas utama demi kekuasaan kehakiman yang mandiri dan tegaknya negara hukum

Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya

article | Opini | 2025-02-13 16:30:49

Berita Acara Sumpah Advokat Razman Arif Nasution yang diterbitkan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dan Ketua Pengadilan Tinggi Banten dibekukan. Ini adalah pembekuan sumpah advokat yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Lalu apa dasar hukumnya?Pada hari Kamis, tanggal 13 Februari 2025 saya mendapatkan pesan di WhatsApp mengenai Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) 2 (dua) orang advokat yakni Razman Arif Nasution, S.H. yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Ambon dan M. Firdaus Oiwobo, S.H. yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banten karena melanggar sumpah/janji advokat pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 6 Februari 2025. Sependek pengetahuan saya, hal tersebut merupakan praktik hukum baru yang belum ada atau belum pernah dilakukan sebelumnya, maka saya mencoba meninjau keabsahannya dari sudut pandang hukum administrasi apakah praktik ini merupakan bid’ah dholalah atau justru hasanah. Berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada pokoknya ditentukan bahwa syarat sahnya keputusan meliputi : ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. dibuat sesuai prosedur dan substansi yang sesuai dengan objek keputusan dengan mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan  dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Pejabat dalam menerbitkan keputusan, sekaligus menjadi alasan bagi warga masyarakat jika keberatan terhadap keputusan Pejabat serta menjadi dasar hukum bagi hakim dalam menguji keabsahan keputusan pejabat.Dari aspek wewenang, pertanyaan yang timbul adalah apakah Ketua Pengadilan Tinggi berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat? Pasal 4 Undang-Undang Advokat menyebutkan: “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Produk yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi adalah Berita Acara Sumpah. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Berita Acara Sumpah Advokat merupakan Keputusan atau bukan, maka secara praktik berita acara dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu berita acara yang hanya menggambarkan suatu peristiwa misalnya berita acara sidang, namun ada pula berita acara yang tidak hanya menggambarkan suatu peristiwa melainkan juga mengandung unsur penetapan/keputusan misalnya berita acara yang diterbitkan oleh KPU tentang penetapan pasangan calon kepala daerah. Dalam hal ini Berita Acara Sumpah Advokat selain menggambarkan suatu peristiwa penyumpahan juga mengandung unsur penetapan/keputusan yaitu sempurnanya hak seseorang untuk menjalankan profesinya sebagai advokat.  Dari ketentuan-ketentuan tersebut dan ketentuan lain didalam Undang-Undang Advokat memang tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan wewenang bagi Ketua Pengadilan Tinggi untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat, namun demikian jika ditarik ke atas, maka berdasarkan asas contrarius actus, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), berwenang pula untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Dengan demikian, Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat sebagaimana disebutkan di atas.Selanjutnya bagaimana dengan prosedur dan substansinya? Oleh karena peraturan perundang-undangan belum mengatur, maka haruslah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik setidak-tidaknya asas kecermatan, asas kehatian-hatian dan asas kemanfaatan. Jika membaca konsideran pertimbangan penetapan Ketua Pengadilan Tinggi tersebut diketahui telah ada keputusan organisasi advokat yang menaunginya yang memberhentikan keduanya dari kepengurusan dan keanggotaan advokat. Hal tersebut yang mendasari diterbitkannya Penetapan Pembekuan BAS. Dalam menjatuhkan sanksi administratif berupa pembekuan, KPT juga tidak langsung mencabut dan membatalkan BAS, malainkan membekukannya terlebih dahulu. Pembekuan biasanya diterapkan dalam kasus perizinan dalam rangka menghentikan seketika pelanggaran namun masih dalam rangka menunggu adanya fakta-fakta hukum. Hal tersebut menunjukan adanya sikap cermat dan hati-hati dari KPT. Sedangkan asas manfaat antara lain dengan menerbitkan Penetapan Pembekuan BAS bagi advokat yang melanggar sumpah/janji, maka masyarakat akan merasakan hadirnya penegak hukum dengan membawa manfaat yaitu adanya penegakan hukum dan etika bagi Advokat yang melanggar sehingga masyarakat pencari keadilan sebagai user dari advokat akan terlindungi dari perilaku buruk advokat pelanggar etika. Para advokat yang lain dan organisasi advokat juga akan menerima manfaat yaitu terlindungi marwah profesinya advokat dari advokat pelanggar etika, serta bagi Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan lebih terjaga kondusifitasnya karena pemeriksaan perkara dengan terdakwa Razman Arif Nasution masih berjalan.Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi Banten dan Ambon selain berwenang untuk menerbitkan Penetapan Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat juga telah menjalankan wewenang tersebut sesuai dengan prosedur dan substansi. Selanjutnya bagaimana implikasi dari pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat ? Berdasarkan asas praesumptio justae causa, maka keputusan pejabat harus dianggap benar sebelum adanya pembatalan dari pejabat yang bersangkutan, atasannya atau oleh pengadilan. Dengan demikian maka Penetapan Pembekuan BAS dapat dilaksanakan dan tidak tertunda pelaksanaannya meskipun diajukan sebagai objek gugatan.Meskipun demikian, perlu diingat bahwa pembekuan bersifat sementara sambil menunggu kepastian adanya pelanggaran etika atau bahkan pelanggaran hukum sebagaimana laporan Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada pihak Kepolisian, karenanya kelak jika telah ada kepastian hukum atas dugaan tindak pidana kedua advokat tersebut, tentu harus disikapi lagi apakah kepada kedua advokat tersebut akan direhabilitasi atau justru sebaliknya akan dilakukan pencabutan BAS Advokat secara permanen. Saya secara pribadi mengapresiasi sikap Ketua Pengadilan Tinggi Banten dan Ambon yang telah menerbitkan Penetapan Pembekuan BAS Advokat karena pernah ada seorang advokat yang telah diberhentikan oleh organisasi advokat, ternyata masih dapat bersidang lagi diseluruh Pengadilan di Indonesia karena setelah pindah organisasi advokat tidak pernah dilakukan pembekuan apalagi pencabutan BAS. Keputusan KPT Banten dan Ambon tentunya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Mahkamah Agung untuk melakukan perbaikan dalam beberapa hal misalnya : membuat template Berita Acara Sumpah Advokat karena ternyata Berita Acara Sumpah Advokat di masing-masing Pengadilan Tinggi berbeda-beda format satu sama lain serta membuat kebijakan Mahkamah Agung yang memuat kewenangan, Prosedur dan substansi pembekuan dan pencabutan Berita Acara Sumpah Advokat agar lebih memiliki kepastian hukum.Dr Tri Cahya Indra PermanaHakim Yustisial Kamar Tata Usaha Negara

Jangan Berkecil Hati, Hakim Indonesia

article | Opini | 2025-02-12 18:00:21

Setiap tahunnya ribuan hakim, Panitera, Jurusita, aparatur administratif peradilan dari seluruh indonesia dididik dan dilatih di badan Diklat Strategi Kebijakan Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA RI. Ribuan hakim dan aparatur teknis dan adminitratif kesekretariatan Peradilan Indonesia itu setiap di kelas selalu mengungkapkan keinginan untuk menjadikan peradilan dan Mahkamah Agung yang kami cintai ini menjadi lembaga yang agung. Yang mana pengadilan menghasilkan kepastian, kemanfaatan dan keadilan, melalui putusan-putusan yang di dalamnya mengandung legal resoning yang cerdas, bijak dan diputus oleh jiwa-jiwa yang berintegritas.Tapi tahukah kamu kawan, bahwa sesungguhnya kami para hakim dan aparatur pengadilan di berbagai pelosok di tanah air ini setiap hari bersidang, mempertimbangkan dengan matang dan telah banyak memutus perkara-perkara dengan mempertimbangkan aspek kebenaran, kemanfaatan, kepastian dan keadilan bagi masyarakat. Ada banyak putusan-putusan hakim yang secara nyata memyelesaikan konflik, mengembalikan harmoni di masyarakat dan diterima putusan tersebut sebagai putusan yang adil dan menyelesaikan masalah. Contoh misalnya banyak penetapan diversi pengadilan dan putusan pidana dengan mengembalikan pelaku pidana yang dilakukan anak kepada orangtuanya setelah orangtua pelaku memulihkan kerugian korban dan korban memaafkan pelaku. Putusan Pidana dalam kasus kekerasan dan pengerusakan barang yang mengakibatkan pertikaian sosial di mana pengadilan mampu mendamaikan para pihak berkonflik dan menjatuhkan putusan pidana yang diterima baik oleh korban, pelaku dan masyarakat. Putusan-putusan perdata terkait sengketa kepemilikan lahan yang mampu didamaikan oleh pengadilan dan putusan-putusan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan TUN dan Pengafilan Militer di pelosok negeri ini yang  isi putusannya berpihak pada rakyat, kemanusiaan dan keadilan. Namun demikian putusan-putusan yang mengandung kepastian, kemanfaatan dan keadilan itu memang tidak banyak diberitakan media massa sehingga tidak banyak diketahui orang. Kami menyadari bahwa jika Pengadilan menjatuhkan putusan-putusan yang adil itu, maka sesungguhnya memang tugas  dan kewajiban yang melekat pada kami sehingga kami tidak perlu pujian untuk itu.Sama halnya jika dalam putusan-putusan yang dibuat oleh kolega-kolega kami di beberapa pengadilan yang dinilai kontroversial atau dianggap tidak tepat bahkan dinilai tidak adil. Yang sesungguhnya jumlahnya hanya sedikit saja itu namun viral. Kemudian seolah-olah putusan tersebut merepresentuasikan seluruh aparatur pengadilan di Indonesia tentu saja kami perlu meluruskan hal itu.  Bahwa putusan hakim terkadang tidak selalu memuaskan keinginan semua pihak namun dalam suatu putusan perkara yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat pertama sesungguhnya masih diberikan ruang upaya hukum pada level pengadilan diatasnya. Maka seharusnya jangan dulu cepat mengambil kesimpulan bahwa putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Bahwa kami menyadari masih ada aparatur kami di peradilan yang masih belum amanah ditangkap karena memperjualbelikan putusan. Namun percayalah jumlah mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan puluhan ribu aparatur peradilan  yang bekerja dengan baik, amanah dan jujur.Sahabat peradilan Indonesia jangan berkecil hati. Mari tegakkan terus keadilan. Jadikan tugas pengadilan yaitu menerima, memeriksa dan mengadili perkara itu sebagai pengabdian diri  pada komitmen kerja, kemuliaan profesi dan pada akhirnya kebanggan kita sebagai pengabdi pada kemanusiaan dan keadilan. Mari wujudkan peradilan yang agung, mari latih akal logika yang lurus. Kepastian, kemanfaatan dan keadilan yakinkan dalam tekad sungguh. Jangan takut kawan, karena kamu cadas : cerdas berintegritas. Miskin kaya tidak akan membuatmu tumbang . Susah senang  mental hakim akan selalu tenang. Ingat selalu Tuhan serap pengetahuan, lingkungan dan semesta kehidupan. Mari para hakim Indonesia jatuhkan putusan yang sesuai fakta dan bukti kebenaran, menggunakan logika dan akal sehat dalam kecerdasan hukum dan ilmu pengetahuan, serta mempertimbangkan asas kemanfaatan, kepastian dan keadilan hukum dengan jiwa-jiwa integritas.Inilah suara kami, suara Kader Mahkamah Agung Indonesia!Salam  Cadas: Cerdas Berintegrigritas.Syamsul Arief(Kapusdiklat Teknis Peradilan MA dan Redaktur Senior Petitum ID)

Persidangan Merupakan Bagian Dari Negara Yang Harus Dihormati

article | Opini | 2025-02-11 19:00:30

Dalam sistem ketatanegaraan kita dikenal adanya 3 (tiga) cabang kekuasan (trias politica) yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function) dan ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Ketiga cabang kekuasaan tersebut berdiri sejajar, yang satu sama lain dapat saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Ini merupakan cita-cita reformasi pasca amandemen UUD 1945.Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan  peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan  peradilan  umum, lingkungan peradilan  agama, lingkungan  peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, menjalankan tugasnya melalui persidangan. Persidangan merupakan konkretisasi dari Pengadilan yang harus dihormati dan dijaga kewibawaannya. Dari segi hukum formil, Negara telah mengatur secara tegas bentuk penghormatan kepada Pengadilan. Dalam pasal 218                           Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. Bahkan dalam Pasal 232 Undang-Undang tersebut menyebutkan “(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang. (2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormat. (3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang ke luar masuk ruang sidang diwajibkan memberi hormat.” Di dalam setiap ruangan persidangan harus dipasang lambang Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1958 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1959. Ini menunjukkan kalau persidangan yang dilaksanakan dan dipimpin oleh Hakim merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi sebuah Negara.Akhir-akhir ini dunia peradilan kita tercoreng dengan peristiwa yang terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang sangat menciderai kehormatan persidangan maupun Pengadilan. Peristiwa tersebut layaknya seperti fenomena gunung es, yang terlihat di atas hanya sedikit, padahal telah banyak kejadian yang terjadi sebelumnya. Adanya peristiwa tersebut kiranya menjadi urgensi bagi pembuat undang-undang dalam mengesahkan Undang-Undang Contempt Of Court, karena akan menjadi tidak efektif kalau tata cara berperilaku di persidangan telah diatur dengan baik, namun pelanggaran terhadap tata cara tersebut tidak diatur dengan tegas.  

Trial by Social Media: Keadilan Sejati Vs Trending Topic

article | Opini | 2025-02-11 10:00:14

Putussibau- Sebagai seorang hakim yang berhadapan langsung dengan dinamika peradilan kontemporer, kami menyaksikan bagaimana era digital telah membawa transformasi dalam sistem peradilan kita. Fenomena trial by social media bukan lagi sekadar istilah asing. Ia telah menjadi realitas sehari-hari yang harus kami hadapi. Sebuah perkara kini tidak hanya diadili di ruang pengadilan, tetapi juga menghadapi "pengadilan" di ruang publik digital yang berlangsung secara masif dan real-time.Pergeseran dari court of law menuju court of public opinion ini mengakibatkan keresahan bagi kami. Dengan lebih dari 170 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, setiap langkah dalam proses peradilan kini berada di bawah pengawasan publik yang ketat. Saya teringat bagaimana kasus-kasus seperti Ferdy Sambo, Jessica-Mirna, hingga Yu Hoa, kasus tambang emas yang melibatkan WNA China, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh narasi media sosial dalam membentuk persepsi publik, bahkan sebelum palu hakim diketuk.Di Hari Pers Nasional ini, izinkan kami berbagi kegelisahan sekaligus harapan. Bagi kami para hakim, tantangan tidak lagi sekadar tentang menimbang alat bukti dan menegakkan hukum dan keadilan. Kami kini harus berhadapan dengan berbagai bentuk tekanan digital, mulai dari doxing yang mengancam privasi keluarga, intimidasi digital yang mengganggu ketenangan jiwa, hingga kampanye terstruktur yang berusaha mempengaruhi putusan. Belum lagi tekanan psikologis saat hashtag-hashtag terkait perkara yang kami tangani menjadi trending topic.Dilema yang kami hadapi semakin kompleks ketika harus menyeimbangkan antara asas praduga tak bersalah dan tuntutan transparansi publik. Ada saat-saat di mana kami harus menjelaskan kepada keluarga mengapa komentar-komentar negatif di media sosial tidak boleh mempengaruhi objektivitas putusan, meski terkadang komentar tersebut menyakitkan dan tidak berdasar. Kebebasan pers dan ekspresi yang menjadi pilar demokrasi terkadang berbenturan dengan ketentuan contempt of court, menciptakan area abu-abu yang perlu diluruskan dengan hati-hati.Bagian yang memprihatinkan juga adalah bagaimana "bukti sosial" yang viral kerap dianggap lebih valid oleh publik dibanding pembuktian formal di pengadilan (Post-truth era). Dalam beberapa kasus yang kami tangani, publik lebih mempercayai tangkapan layar percakapan atau video viral dibandingkan dengan bukti-bukti yang telah diuji di persidangan. Tantangan ini menunjukkan pentingnya edukasi publik tentang proses hukum dan pembuktian yang sah.Sebagai respons terhadap tantangan ini, Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yudikatif harus mengambil berbagai langkah strategis. Urgensi pembaruan regulasi contempt of court yang lebih adaptif terhadap era digital tidak bisa ditunda lagi. Regulasi ini harus mampu mengakomodasi berbagai bentuk penghinaan pengadilan di ruang digital, namun tetap menjamin kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Pengalaman menghadapi berbagai bentuk intimidasi digital membuat kami menyadari pentingnya publikasi dan edukasi lembaga dalam penanganan krisis media sosial di setiap pengadilan.Hal yang tidak kalah krusial adalah perlunya membangun kolaborasi strategis dengan platform media sosial untuk mendeteksi dan memoderasi konten yang berpotensi mengganggu proses peradilan. Upaya ini harus diimbangi dengan penguatan kapasitas internal, termasuk literasi digital dan manajemen krisis media sosial bagi para hakim. Kami menilai, hal ini bukan sekadar tentang memahami teknologi, tetapi juga tentang membangun ketahanan mental dalam menghadapi berbagai bentuk tekanan digital.Di tengah kompleksitas tantangan ini, kami tetap optimis. Pengalaman menangani berbagai perkara yang menjadi sorotan publik mengajarkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan harus dibangun melalui dialog yang konstruktif. Di momentum Hari Pers Nasional ini, kami mengajak kita semuanya—para jurnalis, warganet, dan seluruh elemen masyarakat—untuk bersama-sama menjadi bagian dari solusi. Mari jadikan media sosial sebagai ruang diskusi yang sehat tentang hukum dan keadilan, bukan arena untuk trial by social media yang dapat mencederai marwah peradilan.Marilah bersama menjaga marwah peradilan di era digital dengan menjadi insan Indonesia yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, keadilan sejati tidak pernah bisa direduksi menjadi sekadar trending topic. Ia adalah buah dari proses hukum yang sakral, independen, objektif, dan bermartabat. Pada akhirnya, kami ucapkan Selamat Hari Pers Nasional!

Jalan Keadilan Itu Bernama Harmonisasi Yurisprudensi dan SEMA Perdata

article | Opini | 2025-02-10 10:25:23

Yurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Lalu bagaimana cara ‘mengawinkan’ keduanya?PendahuluanSistem peradilan di Indonesia bertumpu pada beberapa sumber hukum yang membentuk dan mengarahkan praktik hukum di pengadilan. Di antara sumber hukum tersebut, yurisprudensi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) memegang peran penting dalam memberikan kepastian hukum dan keseragaman putusan pengadilan. Yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa di masa depan. Sementara itu, SEMA merupakan pedoman resmi yang dikeluarkan Mahkamah Agung guna memberikan arahan terhadap penerapan hukum di seluruh tingkat peradilan.Meskipun memiliki kedudukan yang berbeda dalam sistem hukum, yurisprudensi dan SEMA sering kali memiliki titik singgung dalam berbagai aspek hukum. Beberapa putusan yang telah menjadi yurisprudensi diperjelas atau diperluas cakupannya dalam SEMA, atau sebaliknya, SEMA mengkodifikasi prinsip yang telah berkembang dalam yurisprudensi. Dengan demikian, keduanya berperan dalam membentuk harmoni dalam sistem peradilan Indonesia.Artikel ini akan mengupas empat contoh spesifik di mana terdapat kesamaan prinsip antara yurisprudensi dan rumusan kamar perkara dalam SEMA, serta bagaimana titik singgung tersebut memberikan dampak pada praktik hukum di Indonesia.Prinsip Ne Bis In Idem: Perbedaan Subjek dalam Kasus yang SamaYurisprudensi Nomor Register 1226 K/Pdt/2001 menegaskan bahwa meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan nebis in idem.SEMA Nomor 7 Tahun 2012, Sub Perdata Umum – XVII, Gugatan nebis in idem yang menentukan menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerd Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai  nebis in idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan: pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak dan status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.Dalam praktik hukum, prinsip ne bis in idem berfungsi untuk mencegah terjadinya gugatan ganda terhadap objek yang telah diputus secara berkekuatan hukum tetap. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah perubahan dalam subjek gugatan dapat menghindarkan suatu perkara dari prinsip ini?Yurisprudensi menyatakan bahwa perubahan dalam subjek gugatan tidak serta-merta menggugurkan prinsip ne bis in idem apabila objek yang disengketakan tetap sama. SEMA kemudian menegaskan prinsip ini dengan memberikan panduan yang lebih rinci bahwa perubahan kecil dalam subjek merupakan ne bis in idem. Dengan demikian, titik singgung antara keduanya adalah bahwa perubahan dalam pihak yang berperkara tidak boleh menjadi celah untuk mengajukan gugatan baru terhadap objek yang telah diputus sebelumnya.Hak Asuh Anak Pasca PerceraianYurisprudensi Nomor 126 K/Pdt/2001 menetapkan bahwa bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu.SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata umum, 1.d. menentukan bahwa hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian.Hak asuh anak merupakan aspek krusial dalam hukum keluarga yang sering kali menjadi sengketa dalam perceraian. Yurisprudensi secara umum mengakui bahwa ibu lebih pantas mendapatkan hak asuh karena kedekatan emosional dan perannya dalam kehidupan anak sejak dini. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua ibu dapat memberikan lingkungan yang optimal bagi tumbuh kembang anak.Melihat kebutuhan hukum yang lebih dinamis, SEMA memberikan fleksibilitas dengan menegaskan bahwa hak asuh anak dapat diberikan kepada ayah apabila terdapat kondisi yang membuktikan bahwa anak akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik bersama ayahnya. Titik singgung antara kedua rujukan ini adalah bahwa hak asuh pada prinsipnya diberikan kepada ibu, tetapi dapat dialihkan kepada ayah dalam keadaan tertentu yang lebih menguntungkan bagi anak.Konversi Mata Uang Asing dalam Putusan PengadilanYurisprudensi Nomor 1/Yur/Pdt/2018 menyatakan bahwa Petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing harus memuat perintah Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai kurs tengah Bank Indonesia pada saat pembayaran dilakukan.SEMA Nomor 1 Tahun 2017, Perdata Umum, 1.e., menguatkan prinsip ini dengan menyatakan bahwa dalam hal hakim mengabulkan petitum untuk membayar sejumlah uang dalam mata uang asing, maka dalam diktum amar harus memuat pula perintah kepada Tergugat untuk melakukan konversi ke dalam mata uang rupiah sesuai “Kurs Tengah” yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada hari dan tanggal pelaksanaan pembayaran dilakukan (vide Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang).Dalam transaksi keuangan internasional yang melibatkan mata uang asing, sering kali muncul permasalahan mengenai bagaimana pembayaran dalam mata uang asing harus dilakukan dalam konteks hukum Indonesia. Yurisprudensi memberikan panduan bahwa dalam putusan yang menyangkut pembayaran dalam mata uang asing, harus ada perintah untuk mengonversikannya ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.SEMA kemudian mengadopsi prinsip ini dengan memberikan dasar hukum yang lebih kuat dari UU Mata Uang. Dengan demikian, titik singgungnya adalah bahwa konversi ke Rupiah wajib dilakukan dalam setiap putusan yang mengharuskan pembayaran dalam mata uang asing, dan patokan kurs yang digunakan adalah kurs tengah Bank Indonesia.Kriteria Pembeli Beritikad Baik dalam Jual Beli TanahYurisprudensi Nomor 6/Yur/Pdt/2018 menetapkan bahwa apabila jual beli tanah dilakukan dihadapan PPAT dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau membeli melalui kantor lelang negara pembeli tanah harus dipandang sebagai pembeli yang beritikad.SEMA Nomor 4 Tahun 2016, Perdata, 4. memberikan kriteria lebih rinci tentang apa yang dimaksud dengan pembeli beritikad baik yakni dengan melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan dan melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal yang  kaitan dengan objek Tanah yang diperjanjikan.Dalam transaksi jual beli tanah, sering kali muncul persoalan mengenai status pembeli yang dapat dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik. Yurisprudensi menyatakan bahwa pembeli yang melakukan transaksi dengan prosedur sah harus dianggap sebagai pembeli beritikad baik. Namun, SEMA menambahkan kriteria lebih lanjut, termasuk pengecekan status tanah, tidak adanya sengketa, serta verifikasi dokumen kepemilikan.Dengan demikian, titik singgung antara yurisprudensi dan SEMA adalah bahwa pembeli yang mengikuti prosedur hukum yang berlaku harus dilindungi, tetapi perlindungan tersebut hanya diberikan jika pembeli telah melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap status tanah yang dibelinya.KesimpulanYurisprudensi dan SEMA memiliki hubungan yang erat dalam membentuk kepastian hukum di Indonesia. Yurisprudensi sering kali menjadi pedoman awal yang kemudian diperjelas atau diperluas oleh SEMA, mencerminkan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan fleksibilitas dalam praktik peradilan. Titik singgung utama antara keduanya adalah:Prinsip Ne Bis In Idem tetap berlaku meskipun terjadi perubahan kecil dalam subjek gugatan.Hak asuh anak pada prinsipnya diberikan kepada ibu, tetapi dapat dialihkan kepada ayah dalam keadaan tertentu.Konversi mata uang asing ke Rupiah wajib dilakukan dengan kurs tengah Bank Indonesia.Pembeli beritikad baik adalah mereka yang melakukan transaksi dengan prosedur sah dan telah melakukan uji tuntas terhadap status tanah.Dengan harmonisasi antara yurisprudensi dan SEMA, sistem peradilan Indonesia dapat terus berkembang dalam memberikan keadilan yang lebih jelas, konsisten, dan adaptif terhadap dinamika hukum yang terus berubah.

Judol : Penjudi Atau Korban Penipuan?

article | Opini | 2025-02-09 10:00:26

Menurut Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan, perputaran uang judi online (judol) di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp900 triliun. Angka ini hampir menyaingi APBN Indonesia itu sendiri. Dampak sosial yang dirasakan dari adanya judi online dapat dilihat dari meningkatnya kriminalitas, korban bunuh diri, keretakan rumah tangga serta memperlemah daya beli masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, Pemerintah memerintahkan Kepolisian melakukan tindakan tegas dan juga meminta semua Instansi untuk melakukan sosialisasi pelarangan di dalam Instansinya masing-masing. Alhasil, banyak kasus terbongkar yang bahkan melibatkan pihak Kementerian. Mahkamah Agung juga tidak tinggal diam dan melakukan rapat khusus untuk menanggulangi hal ini dengan cara memerintahkan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi untuk menyampaikan kepada setiap Ketua Pengadilan Negeri agar mensosialisasikan pelarangan pegawai untuk bermain judi online.Perbedaan Judi Online dan Judi KonvensionalJudi online pada dasarnya berbeda dengan judi konvensional pada umumnya. Pada judi konvensional, seperti sabung ayam dan lain sebagainya, terjadi permainan untung-untungan dimana semua pihak tidak tahu siapa yang akan menang dari pertandingan tersebut. Keacakan dan ketidaktahuan hasil yang akan datang dari para pemain adalah kunci dari judi. Namun, berbeda dengan judi online. Judi online yang marak terjadi adalah permainan dari aplikasi dimana disediakan oleh mesin yang berbasis algoritma. Disini banyak pengguna aplikasi judi online tidak tahu, bahwa pada dasarnya hasil yang dimainkannya tersebut sudah ditentukan dari awal. Tidak ada variabel acak dari judi online. Mengapa Penulis berani mengatakan demikian? Mereka yang mengerti bagaimana komputer bekerja akan paham bahwa tidak ada namanya algoritma acak. Ketika programmer menyusun algoritma, algoritma itu disusun berdasarkan sistem matematika. Programmer tidak bisa membuat suatu algoritma dimana komputer dapat bekerja di luar daripada algoritma yang disusunnya sendiri. Karena pada sejatinya komputer tidak memiliki kehendak bebas (freewill). Selama peradaban dunia belum menemukan komputer quantum dan masih memakai sistem bits nol dan satu, maka kita tidak dapat menyuruh komputer untuk bekerja diluar daripada susunan perintah yang diberikan. Kalaupun ada Machine Learning, itu bukan berarti komputer tersebut memiliki kehendak bebas (freewill). Tetapi, komputer merekam pola-pola baru dari data baru yang diperintahkan oleh pembuat algoritma. Artinya, tidak ada sesuatu yang acak dan bersifat probabilistik didalam Sistem Komputer. Semuanya telah ditentukan dari awal. Semuanya Newtonian. Semuanya Predeterministik. Dan pembuat algoritma tersebut tahu apa hasil yang akan terjadi selanjutnya dari sistem yang dibuatnya sendiri. Sehingga, para pembuat game dan aplikasi judi online membuat ilusi keacakan kepada penggunanya. Karena kembali lagi ke motif ekonomi, tidak ada bandar judi online yang ingin rugi.Pelajaran dari Kasus BinomoAkan tetapi, bukankah seharusnya pemain judol mengerti hal ini? Tidakkah sebelumnya ada hal yang mirip yang pernah terjadi yakni aplikasi Binomo yang dipopulerkan oleh Indra Kenz yang sekarang menjadi Terpidana? Dimana pada aplikasi Binomo, chart-chart saham atau forex yang ditayangkan berbeda dengan chart pasar sebenarnya dan ternyata sudah ditentukan oleh pembuat algoritma Binomo itu sendiri? Tidakkah harusnya hal ini menjadi pelajaran untuk para penjudol?Efek Psikologis Judi OnlineApa yang membedakan Binomo dengan judi online adalah judi online jauh lebih canggih daripada Binomo. Pada judi online memiliki perbedaan dimana mereka tidak saja menggunakan ilusi keacakan, namun juga mempelajari bagaimana otak manusia bekerja dan juga memanfaatkan data jaringan relasi dari pemain judol, sehingga menghasilkan efek euforia dan kecanduan yang luar biasa dan pemviralan yang merambat dengan cepat. Penulis pernah menonton film dokumenter dari National Geographic Channel berjudul Brain Games. Dimana pada film dokumenter tersebut menjelaskan bahwa bunyi-bunyi tertentu dan warna-warna tertentu dapat menghasilkan kebahagian luar biasa bagi penggunanya. Ini sering dipakai pada acara kuis pada acara TV dahulu. Jika peserta menjawab dengan benar, maka akan muncul lagu, cahaya dan warna-warna yang menggambarkan kegembiraan, sehingga membuat euforia lebih dalam lagi. Menurut ahli Neurosains, lampu, suara dan warna-warna tersebut akan membuat level kecanduan pemain lebih besar. Karena pemain ternyata tidak hanya ingin mendapatkan kemenangan dalam bentuk uangnya saja, tetapi dia ingin mendapatkan euforia yang tersedia yang menghasilkan dophamine di kepalanya. Ini alasan mengapa beberapa penjudi walaupun tahu dia memiliki peluang kecil untuk menang, tapi dia tetap ingin bermain karena sebenarnya dia tidak mengincar uangnya, tetapi euforianya. Ini mirip seperti efek Narkoba. Para Bandar Judol Memanfaatkan Network ScienceNetwork Science adalah ilmu yang mempelajari jaringan atau koneksi seperti Telekomunikasi, Biologi, Sosial Antropologi dan lain sebagainya. Ilmu ini sangat penting dikarenakan mampu memprediksi dengan akurat dan bahkan mempengaruhi objek yang dituju. Ini dipakai dalam banyak hal, termasuk dalam mempengaruhi calon pemilih untuk memilih pasangan Calon Presiden mana yang akan dimenangkan, seperti skandal Cambridge Analytica yang pernah bocor di Tahun 2018. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nial Ferguson dalam film dokumenter berjudul Networld menunjukkan bahwa pengaruh jaringan dan koneksi dapat mempengaruhi manusia. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa obesitas ternyata memiliki dampak menular. Dimana orang yang memiliki lingkaran relasi yang obesitas akan memiliki probabilitas untuk menjadi obesitas juga. Padahal obesitas bukanlah penyakit menular. Tapi, dalam penelitian itu menunjukkan obesitas dapat menular seperti penyakit karena pengaruh orang disekitarnya. Jaringan dan relasi dapat sangat mempengaruhi seseorang. Ini juga dapat dilihat pada bagaimana pengguna rokok menyebar. Orang yang tidak merokok pada awalnya akan mulai ikut-ikutan merokok dikarenakan lingkarannya juga merupakan perokok. Sehingga, sifat dapat menular kepada seseorang dikarenakan pengaruh jaringan. Ini mirip seperti apa yang tertulis dalam Hadis yang berkata “Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (Hadis Abu Daud).  Juga dijelaskan dalam ayat Alkitab yang berkata “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik. Sadarlah kembali sebaik-baiknya dan jangan berbuat dosa lagi! Ada di antara kamu yang tidak mengenal Allah. Hal ini kukatakan, supaya kamu merasa malu.” (1 Korintus 15:33-34).Penggunaan Network Science juga digunakan oleh pembuat aplikasi judol dimana mereka akan melihat data para pemainnya. Dia akan melihat apakah pemain ini mempunyai jaringan yang banyak, posisi jabatan yang tinggi, rekan, anggota atau teman yang banyak dan relasi lainnya. Jikalau iya, maka pembuat aplikasi judi online akan sesekali memberikan kemenangan kepada orang-orang pada kategori tersebut. Tujuannya? Agar ketika orang tersebut menang, dia akan menceritakan ke relasinya atau mengadakan pesta atau menjamu relasinya yang banyak tersebut. Kemudian relasinya akan tertarik melihat kemenangan dan euforia yang mereka lihat, sehingga ikut bermain dan terjadilah keviralan yang efektif mempengaruhi dan menambah para pemain judi online. Kemudian, dari antara mereka yang punya jaringan yang paling banyak juga akan dibiarkan menang agar menularkan kembali euforia tersebut. Begitu terus sampai merambat bahkan sampai ke pelosok ibu Pertiwi. Ini mengapa kerugian Judol tersebut bisa mencapai 900 Triliun karena perambatannya yang luar biasa. Ini seperti Multi Level Marketing (MLM) tapi lebih efektif dikarenakan ekspresi dari pemenang tersebut adalah asli dan dilihat oleh relasinya. Sedangkan, MLM sering seperti sales yang berpura-pura dan teman-temannya mengerti kepura-puraan itu. Inilah yang membuat penularan judol tersebut begitu marak. Apalagi, relasinya kadang melihat yang menang tidak hanya satu orang saja, tetapi lebih dari satu. Lebih parahnya lagi, mereka yang punya relasi sedikit dan punya teman yang sedikit dan sering di dalam kamar sendirian, menurut ahli Psikologi, memiliki kerentanan akan depresi yang tinggi. Jika orang tersebut terkena judol, maka tingkat untuk bunuh diri sangat tinggi.  Sering orang yang seperti itulah yang dibuat kalah karena dia tidak memiliki jaringan yang banyak untuk “ditularkan”, sehingga tidak terlalu menguntungkan bagi bandar judi online. Tentu ada pemain yang diberikan kemenangan palsu agar mengira apa yang dimainkannya adalah benar-benar nyata. Disini juga bandar judol juga melihat status orang tersebut dan berapa pendapatannya. Dari pola permainannya, Bandar dapat mengetahui apakah pemain tersebut sudah kecanduan atau belum. Bahkan lebih parahnya lagi, jika pemain tersebut tidak memiliki uang, maka bandar judol dapat menawarkan Pinjol kepada dirinya. Padahal, seperti yang Penulis jelaskan sebelumnya, tidak ada algoritma acak. Semua telah ditentukan dari awal siapa yang akan menang. Pemain hanya mendapatkan ilusi keacakan belaka dari kejahatan yang terorganisir. Oleh karena itu, untuk mencegah penyebaran judol secara masif, maka Pemerintah pun harus juga menggunakan Network Science untuk mengkampanyekan anti judi online serta penipuan dibaliknya agar penyebaran masif dari judi online dapat ditekan. Kampanyekan penipuan dibaliknya, sehingga para penjudi dan calon penjudi akan mengerti bahwa apa yang mereka mainkan bukanlah judi, tetapi penipuan sistematis.

Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan

article | Opini | 2025-02-09 09:00:40

UU Kepailitan di Indonesia tidak memberikan perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Lalu bagaimana seharusnya?Kepailitan merupakan suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor yang ditujukan untuk membagi harta tersebut untuk membayar utang-utang debitor kepada para kreditornya secara pari passu atau berimbang, kecuali ada kreditor yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.Kepailitan terhadap suatu subjek hukum baik perseorangan (natuurlijke persoon, individual insolvency) maupun badan hukum atau perusahaan (rechtspersoon, corporate insolvency) dapat terjadi jika beberapa persyaratan yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat terpenuhi, antara lain minimal ada dua kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Persyaratan tersebut tanpa membedakan apakah debitor hanya sekedar tidak bersedia membayar kreditornya karena adanya alasan-alasan tertentu, misalnya jika kreditor tidak melaksanakan prestasi yang telah diperjanjikan sebelumnya, atau memang benar debitor sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utang nya tersebut (insolven).Memperhatikan syarat kepailitan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, sedangkan hukum kepailitan dalam hal ini sama sekali tidak melarang dan mengatur mengenai kemungkinan dipailitkannya debitor yang masih memiliki kekayaan yang masih cukup untuk membayar utang-utangnya. Hal ini dapat merugikan perusahaan yang sebenarnya masih dalam keadaan solven pada saat Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan pailit. Kondisi tersebut bisa terjadi karena Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia mengatur demikian.Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut tidak mensyaratkan kondisi atau hal lain selain dua hal tersebut, termasuk tidak mensyaratkan solvabilitas debitor. Hal ini berarti bahwa apabila hakim hanya menggunakan parameter dua hal tersebut, maka tidak dapat disalahkan dan bahkan telah melaksanakan ketentuan undang-undang. Bahkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengharuskan hakim untuk mengabulkan permohonan pailit tersebut.Penerapan hukum kepailitan dalam hal ini Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 oleh hakim pengadilan niaga secara legistis, tekstual dan sinkronis, dapat menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks serta menciptakan suatu ketidakadilan untuk kasus tertentu, seperti dalam kasus-kasus kepailitan terhadap debitor yang sangat solven dalam kasus kepailitan tersebut di atas. Di sinilah perlunya pembatasan untuk kasus tertentu. Oleh karena itu, solvabilitas perusahaan harus dipertimbangkan oleh hakim yang memutus permohonan pailit.Landasan Filosofis Tidak Diberlakukannya Insolvency Test di IndonesiaUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 cenderung lebih memudahkan kreditor dalam mengajukan permohonan pailit. Permohonan dengan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta diketahui debitor memiliki dua kreditor permohonan pengajuan pailit dapat langsung diterima serta diputuskan oleh hakim. Selain itu, disertai prinsip pembuktian sederhana membuat debitor semakin mudah untuk dipailitkan. Debitor susah untuk membela diri dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kondisi keuangan debitor tidak dipandang sebagai pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hal ini seringkali dipandang sebagai asal mula terjadinya ketidakadilan bagi debitor karena permasalahan antara kreditor dan debitor dalam perkara kepailitan terkadang bukan disebabkan oleh alasan debitor tidak mampu membayar tapi debitor tidak mau membayar karena ada sengketa perdata mengenai pelaksanaan perjanjian antara debitor dan kreditor.Secara filosofis terjadi ketidakadilan terhadap debitor, khususnya terhadap debitor yang berada dalam keadaan keuangan sehat dan memiliki aset jauh lebih besar dari pada utangnya. Kondisi keuangan debitor yang sehat dan usaha yang prospektif tidak dapat dijadikan alasan untuk hakim menolak permohonan pailit. Dalam hukum kepailitan di Indonesia, pada umumnya terjadi hanya untuk pemenuhan unsur jumlah kreditor lebih dari satu dan keadaan gagal bayar (tidak membayar) salah satu utang yang jatuh tempo, maka keadaan tersebut dapat dimohonkan pailit, pemenuhan unsur ini seringkali tidak melihat keadaan debitor apakah solven (mampu membayar) atau insolvensi. Hal ini karena dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit di Indonesia hanya didasarkan pada sistem pembuktian sederhana terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) terkait pembuktian sederhana yang hanya menyandarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) terkait persyaratan dapat tidaknya debitor dipailitkan justru berisi aturan yang sangat longgar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit karena tidak adanya pengujian apakah benar seorang debitor telah dalam keadaan tidak mampu (insolvency test). Tidak diaturnya insolvensi test untuk menentukkan kepailitan di Indonesia adalah berkaitan dengan asas actori incumbit probitio yang dianut dalam hukum pembuktian di Indonesia. Asas tersebut terdapat dalam Pasal 163 HIR yang bermakna, barangsiapa yang mendalilkan hak maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa hukum acara perdata di Indonesia menganut asas actori incumbit probitio sehingga apabila insolvensi tes diterapkan maka pemohon pailit harus bisa membuktikan termohon pailit berada dalam keadaan insolvensi. Atas kondisi tersebut akan menjadi semakin rumit jika pemohon tidak bisa untuk mengakses laporan keuangan termohon.Tidak diaturnya insolvensi tes dalam hukum kepailitan di Indonesia erat kaitannya dengan sistem pembuktian di dalam Hukum Kepailitan Indonesia menerapkan prinsip pembuktian sederhana. Pembuktian secara sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana merupakan suatu syarat absolut yang membatasi kewenangan dari pengadilan niaga dalam upaya membuktikan apakah seorang debitor yang dimohonkan pailit tersebut terbukti mempunyai sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta tidak dapatnya debitor tersebut untuk melunasi utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. Adanya prinsip pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia inilah yang menjadi alasan tidak diterapkannya insolvensi tes di Indonesia. Adanya ketentuan untuk membuktikan terlebih dahulu seorang debitor benar-benar insolvent atau yang lazim disebut insolvency test akan mengakibatkan pemohon pailit dibebani kewajiban membuktikan bahwa usaha termohon sudah kolaps, modalnya di bawah 50 persen, dan terus tergerus utang. Masalah ini akan dibuktikan di pemeriksaan awal, semacam dismissal process di Pengadilan Tata Usaha Negara. Keberadaan insolvensi tes akan membuat pembuktian tidak lagi dapat dilakukan dengan sederhana karena masih harus dilakukan beberapa tahapan.Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Solven Yang Beritikad BaikItikad baik dalam perkara kepailitan ini tidak hanya berupa “niat” atau “keinginan” semata tetapi niat dan keinginan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata berupa hal-hal yang mengarah untuk melakukan pembayaran utang debitor kepada kreditor. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi itikad baik dapat dilihat dari dua aspek yaitu; aspek subyektif dimana itikad baik tersebut masih bersifat “niat” atau “will” atau kehendak dan aspek obyektif, dimana itikad baik bersifat “act” atau “tindakan” yang dapat menimbulkan hubungan hukum.Hal yang perlu untuk diperhatikan dalam perkara kepailitan adalah adanya itikad buruk yang tidak hanya datang dari debitor tetapi juga dari kreditor. Proses kepailitan digunakan oleh kreditor yang beritikad buruk untuk mengancam debitor yang tidak mau membayar utangnya, bukan karena tidak mampu (unable) untuk membayar utangnya, bahkan yang nilai tagihannya tidak sebanding dengan nilai aset yang dimiliki termohon, karena dalam UU Kepailitan di Indonesia, tidak adanya persyaratan minimum utang yang dijadikan dasar pengajuan permohonan pailit. Salah satu tujuan hukum kepailitan seperti yang disebutkan di atas yaitu melindungi debitor yang jujur dan beritikad baik dari para kreditornya. Debitor yang dianggap masih punya prospek dan itikad baik untuk meneruskan usahanya bisa mendapatkan bantuan dana baru sehingga dapat melanjutkan perusahaannya kembali. Hal ini karena ketidakmampuan debitor membayar utang tidak selalu karena kesalahan debitor sendiri dan apabila debitor tersebut diberi kesempatan akan dapat bangkit kembali meneruskan kegiatan usahanya dan mampu membayar utang-utangnya.Debitor yang beritikad baik dalam kepailitan adalah debitor yang tidak menyalahgunakan keadaan pailit sebagai sarana untuk menguntungkan dirinya sendiri, bersedia membukakan secara jujur tentang keberadaan seluruh hartanya dan utang-utang lainnya serta kooperatif dalam mengusahakan pembayaran utang-utangnya. Oleh karena itu, meskipun digolongkan sebagai hukum kepailitan modern, pelaku bankkruptcy fraud yang dengan sengaja menggunakan peristiwa kepailitan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain masih tetap dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap harta benda dan dijatuhi hukuman pidana.Sampai dengan saat ini Undang-Undang Kepailitan yang berlaku tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum secara preventif yang diberikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya diberikan setelah terjadinya putusan pailit melalui sarana perdamaian. Atas kondisi tersebut asas itikad baik serta asas solvabilitas dapat menjadi landasan bagi debitor yang sebenarnya masih solven untuk memperoleh perlindungan.Hakikat penerapan asas solvabilitas adalah memberikan perlindungan hukum bagi debitor yang solven terhadap kreditor beritikad buruk yang hendak menyalah gunakan instrumen hukum kepailitan untuk keuntungan dirinya sendiri maupun keuntungan pihak lain, misalnya kreditor yang sengaja mempailitkan debitor dengan niat ingin mendapatkan aset debitor dengan harga murah melalui lelang dan lain-lain. Penggunaan instrumen hukum kepailitan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang dari hakikat tujuan hukum kepailitan oleh pihak- pihak yang bertitikad tidak baik harus dapat dicegah dengan penataan dan penyempurnaan aturan kepailitan itu sendiri. Asas solvabiltas semestinya menjadi landasan bagi hakim pada saat hendak memutus  permohonan pailit. Sebelum memutus perkara terlebih dahulu Majelis Hakim harus melakukan penilaian terhadap usaha debitur apakah layak untuk dijatuhi pailit atau masih dapat diperbaiki. Hal ini memiliki koherensi dengan ketentuan Passal 1131 KUHPerdata yang menempatkan harta debitor yang mengalami pailit sebagai jaminan umum bagi para kreditornya, sehingga dengan demikian akan menjadi tidak relevan secara filosofis apabila debitor yang sebenarnya masih solven namun kemudian dipailitkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi bahwa dengan adanya kepailitan apabila jumlah harta debitor lebih besar dari hutangnya maka tidak akan terjadi perebutan harta debitor oleh para kreditor karena dengan jumlah harta yang lebih besar akan menjamin semua kreditor memperoleh pelunasan. Perubahan pola pikir serta analisis dari para hakim Niaga dalam hal ini mutlak diperlukan guna memberikan perlindungan hukum bagi debitor solven yang beritikad baik. Adapun perlindungan hukum tersebut dapat dilaksanakan dengan cara bahwa hakim niaga tidak telampau kaku dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tetapi  dalam memutus perkara kepailitan majelis hakim niaga juga wajib menggali nilai-nilai keadilan, kewajaran dan kepatutan yang ada didalam masyarakat. Keberadaan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 seyogyanya telah memberikan celah bagi Hakim Pengadilan Niaga untuk melakukan suatu terobosan hukum, yaitu dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan hukum tak tertulis namun dianggap mampu memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang berperkara.Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka oleh undang-undang Hakim dibebani tugas sebagai legislator judgé maka sesungguhnya penerapan asas solvabilitas acara pemeriksaan sederhana dalam koridor permohonan pailit masih dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Pasal 8 ayat (6) tanpa perlu mengubah ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Konstruksi tersebut di atas merupakan saran untuk memberikan perlindungan hukum represif bagi debitor. Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan permyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya.KesimpulanLandasan filosofis tidak diberlakukannya insolvensi tes dalam undang-undang kepailitan di Indonesia adalah, pertama, pembuktian dalam perkara perdata di Indonesia dibebankan pada pihak yang mendalilkan adanya suatu hak. Dalam hal ini tidak mudah untuk membuktikan pihak debitor berada dalam kondisi insloven apabila debitor bukan perusahaan publik. Kedua, begitu mudahnya untuk berutang di Indonesia sehingga apabila insolvensi tes diterapkan di Indonesia akan berpotensi merugikan banyak kreditor karena pembuktiannya tidak lagi dapat dilakukan secara sederhana. Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum terhadap debitor solven yang beritikad baik dapat diperoleh secara represif dengan membuktikan di hadapan persidangan bahwa debitor masih dalam kondisi solven. Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya. (Boedi Haryantho)

Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi

article | Opini | 2025-02-07 12:05:56

Peran akuntansi dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus fraud termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum memiliki lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Menjamurnya praktik-praktik korupsi hampir di setiap lini kehidupan di Indonesia sangat ironis dengan banyaknya strategi yang telah dirumuskan oleh berbagai lembaga pemerintahan. Seperti BPK, BPKP, Inspektorat, KPK maupun oleh kalangan LSM seperti MTI dan ICW. Seluruh strategi yang merupakan jurus-jurus ampuh dalam pemberantasan korupsi sepertinya belum mampu menuntaskan permasalahan korupsi yang sudah menggejala.Sulitnya memberantas korupsi di Indonesia mengingatkan pada suatu konsep yang disebut Capture Theory dari Amle O Krueger. Capture Theory  menyatakan bahwa segala sesuatunya di atas kertas secara yuridis formal adalah sah dan legal. Sayangnya pada tataran realitasnya teori ini banyak disalahgunakan untuk memuluskan kepentingan beberapa pihak. Pendekatan akuntansi forensik akan sangat membantu dalam menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan korupsi sistemik yang dilakukan melalui konspirasi yang telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen legal oleh para pelakunya. Berbagai kasus memperlihatkan yang diutamakan dalam mempertanggungjawabkan suatu pekerjaan adalah dalam rangka memenuhi persyaratan-persyaratan formal yang akan diminta oleh pemeriksa. Misalnya keharusan adanya kuitansi pengeluaran, daftar hadir rapat untuk pembayaran honor atau tiket pesawat terbang dan bording pass dalam kasus-kasus pertanggungjawaban belanja. Dokumen-dokumen formal yang disiapkan atau khusus disiapkan untuk mengesankan bahwa secara yuridis formal sebuah belanja adalah legal padahal didalamnya ada upaya rekayasa dengan dokumen fiktif, konspirasi pelaksanaan tender atau mark up.Dihadapkan pada korupsi yang melibatkan praktik-praktik sistemik dan melembaga seperti yang dijelaskan oleh capture theory membuat upaya dan strategi pemberantasan korupsi menjadi semakin rumit. Strategi dalam pemberantasan korupsi setidaknya harus memuat dua persyaratan yaitu adanya komitmen politik nasional untuk memberantas korupsi dan adanya sejumlah aktivitas yang dapat dilihat oleh masyarakat luas sebagai entry-point atau pintu masuk pemberantasan korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan sesungguhnya telah memuat komitmen politik secara resmi. Demikian pula komitmen politik rakyat secara konkrit telah dibuktikan dalam  banyak kegiatan unjuk rasa, demonstrasi, diskusi, pernyataan pendapat, analisis dan saran-saran yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat yang menyatakan agar segera dihapuskannya praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Berkaitan dengan entry-point diperlukan adanya strategi pemberantasan korupsi nasional yang disosialisasikan kepada masyarakat luas serta adanya upaya nyata untuk memperkuat lembaga-lembaga yang berkewenangan untuk pemberantasan korupsi. Berikutnya adalah tersedianya profesional dengan kompetensi memadai untuk melacak dan membuktikan suatu kejadian korupsi. Kompetensi profesional yang dilindungi oleh lembaga profesi khususnya profesi akuntan forensik belum ada dan belum digunakan dalam pengungkapan dan pemberantasan kasus korupsi di Indoensia. Artikel ini mengkaji strategi pemberantasan korupsi serta potensi dari akuntansi forensik sebagai ilmu dan akuntan forensik sebagai profesi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Artikel ini memfokuskan pembahasan pada peran akuntansi forensik dalam upaya pengungkapan dan penyelesaian kasus korupsi melalui pemutusan mata rantai model segi tiga kecurangan fraud triangle dari Donald R. Cressy.Forensik Accounting, Forensik Investigation, Forensik Audit dan Litigation Support adalah beberapa terminologi penting dalam memahami akuntnasi forensik sebagai bagian dari ilmu akuntansi yang bermanfaat dalam penyelesaian dan pencegahan tindak pidana korupsi. Beberapa terminologi ini dibahasa sebagai berikut.Forensik AccountingForensik Accounting, provides an accounting analysis that is suitable to the court which will form the basis for discussion, debate and ultimately dispute resolution.Akuntansi forensik, menyediakan suatu analisis akuntansi yang dapat digunakan dalam perdebatan di pengadilan yang merupakan basis untuk diskusi serta resolusi di pengadilan. Penerapan pendekatan-pendekatan dan analisis-analisis akuntansi dalam akuntansi forensik dirancang untuk menyediakan analisis dan bukti memeadai atas suatu asersi yang nantinya dapat dijadikan bahan untuk pengambilan berbagai keputusan di pengadilan. Forensik InvestigationThe utilization of specialized investigative skills in carrying out an inquiry conducted in such a manner that the outcome will have application to a court of law.  A Forensik Investigation may be grounded in accounting, medicine, engineering or some other discipline.Investigasi forensik pemanfaatan keterampilan khusus dalam penyelidikan untuk menyelesaikan suatu permintaan pemeriksaan yang hasilnya akan mempunyai aplikasi atau digunakan untuk kepentingan di pengadilan. Suatu penyelidikan forensik mungkin didasarkan pada akuntansi, obat kedokteran, rancang-bangun atau beberapa  disiplin lain. Prinsipnya forensik investigasi merupakan penerapan tekink-teknik auditing yang ditujukan dan dirancang khusus untuk mencari atau menemukan bukti dan pembuktian atas suatu perngungkapan keuangan yang nantinya dapat digunakan dalam proses persidangan di pengadilan.Forensik AuditAn examination of evidence regarding an assertion to determine its correspondence to established criteria carried out in a manner suitable to the court. Suatu pengujian mengenai bukti atas suatu pernyataan atau pengungkapan informasi keuangan nuntuk menentukan keterkaitannya dengan ukuran-ukuran standar yang memadai untuk kebutuhan pembuktian di pengadilan. Audit forensik lebih menekankan proses pencarian buki serta penilaian keseuaian bukti atau temuan audit tersebut dengan ukuran pembuktian yang dibutuhkan untuk proses persidangan. Audit forensik merupakan perluasan dari penerapan prosedur audit standar ke arah pengumpulan bukti untuk kebutuhan persidangan di pengadilan.Litigation Support "Litigation Support", provides assistance of an accounting nature in a matter involving existing or pending litigation.  It deals primarily with issues related to the quantification of economic damages.  A typical litigation support assignment would be calculating the economic loss resulting from a breach of contract.Litigation support menyediakan bantuan dari pengetahuan akuntansi dalam hal menyatakan ada atau menunda proses pengadilan terutama mengenai isu yang berhubugna dengan kuantifikasi dari kerusakan ekonomi.  Jenis dukungan pengadilan menyediakan dukungan menganai perhitungan kerugian ekonomi dari dilanggarnya suatu kontrak atau tugas public yang idbebankan kepada seseorang karena jabatannya.Mencari Jurus Baru Pemberantasan KorupsiAnalisis atas perbuatan-perbuatan korupsi dapat didasarkan pada berbagai pilihan pendekatan. Berdasarkan pendekatan yang dipilih, selanjutnya dapat dirumuskan strategi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi yang tepat. Praktik korupsi dapat dilihat berdasarkan aliran prosesnya, yaitu dengan melihatnya pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi, pada posisi perbuatan korupsi terjadi dan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi. Pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi upaya pencegahannya bersifat preventif. Pada posisi perbuatan korupsi terjadi upaya mengidentifikasi atau mendeteksi terjadinya korupsi bersifat detektif. Sedangkan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi upaya untuk meyelesaikannya secara hukum dengan sebaik-baiknya bersifat represif. Strategi preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal- hal yang menjadi penyebab timbulnya praktik korupsi. Setiap penyebab korupsi yang teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Di samping itu, perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi. Strategi detektif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang singkat dan akurat. Deteksi dini mengenai suatu tindakan korupsi dapat mempercepat pengambilan tindak lanjut dengan tepat sehingga akan menghindarkan kerugian lebih besar yang mungkin timbul. Strategi represif harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi  hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam praktik korupsi. Dengan demikian, proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dilkaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya sehingga proses penanganan tersebut akan dapat dilakukan secara cepat dan tepat.Akuntansi forensik dalam kontek preventif, detektik dan represif secara aksiomatik dapat mengambil peranannya dengan menyediakan pendekatan-pendektan yang efektif dalam mencegah, mengetahui atau mengungkapkan dan menyelesaikan kasus korupsi. Untuk kepentingan ini akuntansi forensik di Indoensia belum banyak digunakan karena profesi akuntansi belum menetapkan standar dari penerapan akuntansi forensik sebagai salah satu profesi akuntan.Akuntansi forensik dan profesi akuntan forensik yang di negara-negara maju mengambil peran strategik dalam pengungkapan kecurangan termasuk korupsi di Indonesia belum begitu umum peranannya. Kondisi ini tidak terlepas dari belum ditetapkannya standar untuk profesi ini dan belum dimasukannya akuntansi forensik dalam kurikulum perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga akuntan. Pendidikan akuntan forensik merupakan sinergi dari pendidikan tinggi dan profesi akuntansi yang secara khusus dalam kurikulumnya memberikan dasar-dasar ilmu hukum khusus yang berhubungan dengan pembuktian dan alat bukti perkara.Akuntansi forensik dengan pendekatannya yang efektif dalam mengungkap dan menyediakan alat bukti tindak kejahatan korupsi di pengadilan dalam perspektif fraud triangle tentu memiliki aplikasi yang luas. Akuntansi forensik dengan profesi akuntan forensiknya dapat menghambat keyakinan dari pelaku atau calon pelaku korupsi bahwa ada peluang untuk melakukan korupsi dan tidak ada profesi atau lembaga yang akan mampu mengungkapkannya. Keyakinan bahwa tindakan-tindakan korupsi tidak akan diketahui baik dalam bentuk transactive corruption, autogenic corruption, nepotistic corruption investive corruption, exortive corruption maupun defensive corruption menjadi terbatasi karena ada profesi kompeten yang akan menginvestigasi. Dalam kontek ini akuntansi forensik berperan sebagai strategi preventif untuk mencegah tindak pidana korupsi karena ada kekawatiran dari pelaku bahwa korupsi yang dilakukan dengan mudah akan terungkap oleh para akuntan forensik.Akuntansi forensik juga dapat mengambil peranan dalam upaya pengungkapan tindak pidana korupsi atau strategi detektif. Secara sistemik prosedur-prosedur investigasi dalam audit forensik memang berbeda dari auditing pada umumnya. Audit forensik yang sejak awal memang dirancang guna mengumpulkan dan menyediakan bukti untuk kepentingan persidangan di pengadilan akan menghasilkan temuan audit yang lebih bermanfaat dibandingkan dengan audit umum yang disediakan oleh jasa profesi akuntan. Dalam kontek strategi detektif audit forensik menrapkan prosedur-prosedur investigasi unik yang memadukan kemampuan investigasi bukti keuangan dengan muatan transaksinya dengan investigasi tindakan pidana dengan muatan untuk mengobservasi niat atau modus operandi dari pelakunya.  Peran akuntansi dan akuntan forensik di negara maju dalam pengungkapan dan penyelesaian kasus fraud termasuk korupsi sangatlah besar. Sayangnya Indonesia belum memiliki lembaga legal untuk profesi dan juga institusi pendidikan formal untuk menghasilkan akuntan forensik yang kompeten. Kondisi ini tentu membutuhkan perhatian dari profesi akuntan di Indoensia khususnya dari kompartemen akuntan pendidik maupun kompartemen lainnya.Perhatian tersebut dapat berupa sumbangan kajian empiris atau konseptual mengenai bagaimana kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia dan bagaimana sistem pendidikan dan kurikulum ideal untuk menghasilkan tenaga akuntan forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle yang mendorong orang melakukan tindakan korupsi di Indonesia.SimpulanAkuntansi forensik merupakan formulasi yang dapat dikembangkan sebagai strategi preventif, detektif dan persuasif melalui penerapan prosedur audit forensik dan audit investigatif yang bersifat litigation suport untuk menghasilkan temuan dan bukti yang dapat digunakan dalam proses pengambilan putusan di pengadilan.Belum tersedianya institusi yang menghasilkan tenaga akuntansi forensik dan audit forensik memerlukan upaya dari institusi penyelenggara pendidikan dalam menyediakan kurikulum yang membekali lulusan dengan kompetensi akuntansi forensik.Belum tersedianya lembaga dan standar profesi auditor dan akuntan forensik merupakan tantangan bagi profesi akuntansi di Indonesia untuk mengoptimalkan peran profesi dalam penanganan masalah nasional khususnya pengungkapan dan penanganan kasus korupsi. SaranMengacu dari pembahasan dan simpulan maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut.Kepada para peneliti dapat disarankan untuk melakukan penelitian empiris yang bertujuan untuk memformulasikan kelembagaan ideal dari profesi akuntan forensik di Indonesia. Kepada praktisi akademis dapat disarankan untuk merancang kurikulum pendidikan yang memungkinkan untuk dihasilkannya tenaga akuntan forensik yang kompeten. Penelitian empiris juga penting dilakukan untuk menguji tipologi korupsi dan relevansi model fraud triangle sebagai penyebab tindakan orang melakukan tindakan korupsi di Indonesia.

Keberatan Pihak Ketiga Dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika

article | Opini | 2025-02-05 10:50:47

Perkara Narkotika sampai tahun 2024 masih mendominasi di setiap lingkungan Peradilan Tingkat Pertama. Berdasarkan Data yang dirilis oleh Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, MARTHINUS HUKOM, S.I.K., M.SI pada 25 November 2024, setidaknya terdapat 41.120 (empat puluh satu ribu seratus dua puluh) perkara Narkotika yang berhasil diproses sampai dengan bulan Oktober 2024. Salah satu permasalahan yang terjadi dalam penyelesaian perkara Narkotika yakni terkait Status Barang Bukti yang bernilai Ekonomis seperti kendaraan bermotor. Dalam prakteknya umumnya, barang bukti seperti kendaraan bermotor dalam tuntutan Penuntut Umum maupun Putusan Hakim akan dirampas untuk Negara sepanjang terbukti memiliki keterkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika.Namun dalam beberapa kasus Terdakwa memberikan keterangan dalam persidangan bahwasannya kendaraan bermotor tersebut ternyata bukanlah milik Terdakwa, melainkan milik Pihak Ketiga yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana narkotika. Tidak jarang, Terdakwa dalam perkara narkotika meminjam kendaraan bermotor milik Pihak Ketiga dengan dalih “jalan-jalan” ataupun “meminjam sebentar” sehingga pada saat tertangkap tangan barang bukti kendaraan bermotor disita dari Terdakwa karena sedang dalam penguasaan Terdakwa. Terlebih, Pihak Ketiga terlambat menerima informasi tentang pelaksanaan persidangan perkara pokok sehingga Pihak Ketiga tidak menjadi Saksi untuk menerangkan status barang bukti kendaraan bermotor miliknya.Dirampasnya Kendaraan Bermotor Pihak Ketiga yang disita dari Terdakwa tentu menjadi suatu polemik karena menyebabkan kerugian bagi Pihak Ketiga yang tidak tahu menahu perihal tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Terdakwa. Sejatinya, terdapat 1 (satu) pasal yang mengatur mengenai prosedur pengajuan keberatan bagi Pihak Ketiga yang alat atau barangnya dirampas dalam perkara narkotika vide Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun ketentuan ini terasa sumir bagi sebagian Hakim karena tidak diikuti dengan peraturan turunannya yang mengatur hal-hal teknis prosedural sehingga mengakibatkan kebingungan dalam pelaksanaanya.Adapun permasalahan teknis pelaksanaan persidangan keberatan Pihak Ketiga dalam perampasan barang bukti perkara Narkotika dirangkum oleh Penulis sebagai berikut:Bagaimana nomor register perkaranya? Apakah diregister dalam SIPP?Siapa yang menjadi Termohon keberatan?Apa Produk yang dikeluarkan oleh pengadilan? Apakah Penetapan atau Putusan?Bagaimana pelaksanaan hukum acaranya?Oleh karena keterbatasan peraturan turunan tersebut, salah satu alternatif yang ditempuh oleh Pihak Ketiga apabila keberatan dengan status perampasan barang bukti yakni melebur dengan kepentingan Terdakwa melalui prosedur pengajuan upaya hukum yang dimohonkan oleh Terdakwa kepada Pengadilan Tinggi dan/atau Mahkamah Agung. Padahal Pihak Ketiga memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan Terdakwa, dimana Pihak Ketiga hanya memperjuangkan kendaraan bermotor yang dirampas melalui Putusan Pengadilan Tingkat Pertama sedangkan Terdakwa memiliki kepentingan mengenai pemidanaan maupun strafmaat straafmaat atau lamanya Pidana Penjara.Maka dari itu artikel ini akan membahas mengenai prosedur keberatan Pihak Ketiga terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika berdasarkan pengalaman Penulis dalam mengadili perkara keberatan Pihak Ketiga yang beritikad baik terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika.Ketiadaan prosedur seharusnya tidak menghalangi tercapainya keadilan substantif Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah barang tentu menjadi norma hukum dasar dalam menangani perkara a quo. Dimana Pihak Ketiga dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan barang bukti milik Pihak Ketiga dirampas dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.Kemudian bagaimana dengan hukum acaranya yang tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundangan undangan? Untuk mengisi kekosongan peraturan, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang. Artinya, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, namun hakim juga tidak mengabaikan prinsip hukum sebagai suatu sistem. Maka dari itu Konstruksi Hukum Argumentum Per Analogium (Analogi) diperlukan dalam menangani perkara a quo karena bagaimanapun juga berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.Konstruksi Hukum secara analogis dalam perkara Narkotika perlu merujuk secara limitatif kepada Perma Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Hal itu telah dilakukan Penulis dalam mengadili perkara Penetapan Nomor 1/Keberatan-Pid.Sus/2024/PN Lsm Jo. Nomor 104/Pid.Sus/2024/PN Lsm di Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Dimana Pihak Ketiga diberikan akses secara khusus untuk mengajukan keberatan secara terpisah dengan perkara pokoknya. Pemohon Keberatan selaku Pihak yang mengakui kepemilikan kendaraan bermotor mengajukan keberatan atas perkara pokok yang telah menetapkan sepeda motornya dirampas untuk Negara.Permohonan keberatan tersebut diajukan secara tertulis dengan Termohon yaitu Kejaksaan Negeri selaku eksekutor atas barang bukti. Selain itu, oleh karena perkara keberatan ini diajukan tanpa dipungut biaya, maka panggilan sidang dilaksanakan secara manual oleh Juru Sita Pengadilan Negeri. Kemudian, jalannya persidangan memiliki kemiripan dengan persidangan Pra Peradilan dengan tahapan beracara yaitu Pembacaan Permohonan Keberatan, Tanggapan dari Termohon, Pembuktian dari Para Pihak dan diakhiri dengan Pembacaan Penetapan. Secara keseluruhan Penetapan sudah harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak sidang pertama.Hanya saja, dalam pelaksanaan persidangan keberatan, Majelis Hakim sekiranya perlu teliti untuk mengetahui apakah barang bukti tersebut sudah dieksekusi oleh Termohon ataukah belum, sebab apabila barang bukti tersebut sudah dieksekusi maka sudah sepatutnya perlu ditarik Menteri Keuangan sebagai Turut Termohon. Selain itu, oleh karena terdapat kemungkinan adanya Permohonan Keberatan dan Permohonan Banding dilakukan secara bersamaan maka Panitera Pengadilan Negeri harus memberitahukan adanya Permohonan keberatan kepada Majelis Hakim pada tingkat Banding dan/atau Kasasi.Kemudian, apabila Permohonan Keberatan dikabulkan maka per se Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan status keberatan barang bukti dirampas berubah menjadi dikembalikan kepada Pemohon Keberatan dan diperintahkan kepada Termohon untuk melaksanakanan Putusan keberatan tersebut.KesimpulanKeterbatasan Peraturan Teknis dalam Prosedur Keberatan Pihak Ketiga dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika menuntut Hakim melakukan Konstruksi Hukum analogis dengan Peraturan lain yang sejenis. Hal tersebut dilakukan guna memastikan pemberian akses kepada Warga Negara untuk memperjuangkan hak atas barangnya di persidangan. Ketidakhadiran Pihak Ketiga dalam perkara pokok tidak serta merta menghapuskan Hak Pihak Ketiga untuk dapat mengajukan Keberatan atas perampasan barang. Sepanjang Pihak Ketiga dapat membuktikan itikad baik, bukti-bukti yang relevan dan tidak ada keterkaitannya dengan tindak pidana narkotika maka hal tersebut dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim untuk memutus status barang bukti secara berimbang dengan menerapkan asas audi et alteram partem.

Hakim dan Dilema Terobosan Hukum di Kasus Kehutanan

article | Opini | 2025-02-02 14:30:10

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Merujuk pada pasal tersebut maka kepastian hukum yang adil merupakan hak bagi setiap warga negara Indonesia. Namun kenyataannya, tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum kerap menjadi bentrokan yang tidak terhindarkan dalam penerapan hukum pidana khususnya terkait penetapan status barang bukti berupa alat angkut milik pihak ketiga yang beritikad baik dalam tindak pidana kehutanan. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) telah mengatur bahwa setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 16 disebutkan bahwa di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut. Sebelum adanya pembaruan terhadap UU PPPH tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 16 Mei 2008 telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan. Mahkamah Agung melalui SEMA tersebut mengingatkan hakim agar memperhatikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama ketentuan dalam Pasal 50, Pasal 78 dan Pasal 38. Lebih lanjut pada poin ke-3 (ketiga) dalam SEMA tersebut menyebutkan bahwa Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dengan tegas menentukan bahwa “semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.”Aturan-aturan tersebut secara eksplisit tidak membedakan kepemilikan dari alat angkut yang dirampas untuk negara apakah milik Terdakwa atau milik pihak ketiga. Barang bukti milik Terdakwa telah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. Selanjutnya dalam ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 ayat (3) KUHP. Hal yang menjadi question of law selanjutnya adalah bagaimana perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beritikad baik apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya dirampas untuk negara?Adanya aturan yang mengatur alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas untuk negara tersebut seolah mendudukkan hakim sebagai corong undang-undang. Dalam ranah kebijakan pidana hakim memang memiliki peran sebagai pemegang kebijakan aplikatif yang bertugas untuk menerapkan suatu peraturan hukum. Namun demikian, hakim tidak harus selalu menjadi juru cakap dari undang-undang (la bouche de la loi) yang menerapkan hukum apa adanya (rechtstoepassing). Aturan perampasan barang bukti tersebut di satu sisi dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang diangkut dan sebagai upaya penyelamatan kekayaan negara. Tetapi di sisi lainnya ada hak dari pihak ketiga yang beritikad baik yang harus dilindungi. Pada dasarnya aturan hukum memiliki aspek kepastian hukum dan seharusnya memenuhi kebutuhan akan keadilan. Keadilan sejatinya meletakan sesuatu pada tempatnya dengan memberikan orang atas sesuatu yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere) dan tidak mengakibatkan kerugian bagi pemilik barang bukti berupa alat angkut tersebut. Terlebih lagi apabila barang bukti berupa alat angkut miliknya merupakan alat yang digunakan untuk bekerja yang berkaitan dengan mata pencahariannya.Pada praktik penegakan hukum kerap kali ditemui perspektif yang berbeda dalam menilai pihak ketiga yang beritikad baik khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan. Definisi dari pihak ketiga yang beritikad baik dapat merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beriktikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Pihak ketiga yang beritikad baik berdasarkan aturan tersebut merupakan pihak yang dapat membuktikan sebagai pemilik yang sah, pengampu, wali dari pemilik barang, atau kurator dalam perkara kepailitan atas barang-barang yang tidak ada kaitannya secara hukum dalam proses terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, pihak ketiga yang beritikad baik juga harus dapat membuktikan bahwa (a) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan sebelum dilakukan penyidikan dan/atau penyitaan; (b) Pemohon memperoleh hak atas barang objek permohonan berdasarkan itikad baik; (c) Objek keberatan merupakan barang yang dirampas atau dimusnahkan dalam perkara tindak pidana korupsi; dan (d) Pemohon tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.Menurut hemat Penulis, PERMA Nomor 2 Tahun 2022 tersebut dapat menjadi rujukan dalam menentukan pihak ketiga yang beritikad baik dengan menyesuaikan karakteristik perkara tindak pidana kehutanan, sebab karakteristik penegakan hukum tindak pidana korupsi dengan tindak pidana kehutanan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar yaitu keamanan kekayaan negara khususnya perlindungan kelestarian lingkungan hidup pada tindak pidana kehutanan. Berkaitan dengan perampasan barang bukti berupa alat angkut tersebut pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005, tanggal 1 Maret 2006, perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang Telah Diubah Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pertimbangannya halaman 80 sampai dengan 81 juga telah menguraikan sebagai berikut: “…Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction), in casu hak milik yang lahir dari perjanjian jaminan fidusia. Namun demikian, terlepas dari keabsahan perampasan hak milik sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law di atas, hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw, good faith) tetap harus dilindungi…”Lebih lanjut mengenai hak milik dalam hukum perdata telah ditegaskan dalam Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan hak untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak–hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.Salah satu wujud perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik terhadap barang bukti miliknya dapat terlihat dalam peraturan tindak pidana perikanan yang mencantumkan kata “dapat” dalam rumusan Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) yang menyebutkan bahwa “benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara”. Begitu juga halnya dalam Pasal 76A UU Perikanan yang mengatur bahwa “benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.” Terlihat bahwa dengan adanya kata “dapat” tersebut tidak membatasi cakupan suatu ketentuan secara restriktif perihal penetapan status barang bukti. Dengan kata lain undang-undang memberikan ruang bagi hakim untuk menilai dan menetapkan apakah barang bukti tindak pidana kehutanan sudah sepatutnya dikembalikan kepada pihak ketiga yang beritikad baik selaku pemilik atau menetapkan barang bukti dirampas untuk negara. Hal ini disebabkan hakim tidak dapat mengesampingkan fakta-fakta hukum yang ada di persidangan begitu saja apabila pihak ketiga yang memiliki alat angkut (i.e: truk/becak/perahu/kapal) dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bermufakat jahat dengan Terdakwa terhadap barang bukti miliknya yang digunakan dalam perkara tindak pidana kehutanan. Dalam agama Islam sudah menjadi kewajiban bagi seorang hakim untuk senantiasa melakukan ijtihad dalam memutus sebuah perkara yang didasarkan pada fakta-fakta hukum dalam persidangan. Hakim seyogianya dapat menerapkan peraturan yang bersifat abstrak terhadap kasus konkrit dalam persidangan meski pada akhirnya hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Berbicara mengenai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan maka hal ini berkorelasi dengan adagium Summum Ius Summa Injuria Summa Lex, Summa Crux (hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya) yang dikemukakan oleh seorang filsuf di zaman Romawi Kuno, Marco Tulio Ciceróna. Apabila kepastian hukum saja yang diutamakan, maka hanya keadilan prosedural (procedural justice) yang dapat tercapai. Meskipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan. Apa yang dianggap sebagai kepastian hukum atas putusan hakim yang adil, bisa jadi merupakan ketidakadilan yang besar bagi masyarakat (rigorous law is often rigorous injustice). Sebab hubungan antara keadilan dan kepastian hukum selalu bergantung kepada kultur dan harus dipertimbangkan secara berimbang case by case oleh hakim.Penulis berharap ada penyempurnaan dan pembaruan terhadap UU PPPH mengenai aturan perampasan barang bukti kedepannya, sehingga penjelasan dalam Pasal 16 UU PPPH dapat berbunyi setidak-tidaknya menjadi “alat angkut, baik darat maupun perairan yang dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dapat dirampas untuk negara apabila pelaku tindak pidana perusakan hutan adalah sekaligus pemilik barang bukti.” Kemudian hal yang harus diatur adalah mengenai hal-hal apa saja barang bukti berupa alat angkut yang terkait dengan pihak ketiga beritikad baik tersebut dapat dirampas untuk negara. Begitu pula dengan Mahkamah Agung yang memiliki legitimasi pembentukan hukum kiranya dapat menerbitkan SEMA terkait petunjuk penanganan perkara tindak pidana kehutanan yang merujuk pada UU PPPH terbaru. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelenggarakan rapat pleno kamar guna mewujudkan kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan khususnya dalam perkara tindak pidana kehutanan.Sebagaimana dikemukakan oleh Van Oven bahwa jalan terbaik dari kepastian hukum adalah tidak terikatnya hakim pada bunyi undang-undang, tetapi justru pada kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Begitu pula menurut Franken bahwa pembentukan hukum oleh hakim dianggap sebagai suatu hal yang baik karena hakim melakukan perumusan aturan-aturan sedemikian rupa sehingga melalui perumusan tersebut juga ditetapkan fakta mana dalam kasus tertentu menjadi relevan dan kemudian putusan akhir akan mengalir darinya sebagai satu cara penyelesaian konkret dari sengketa. Sejatinya proses penegakan hukum bukan hanya semata-mata untuk menjamin dan mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat, in casu memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga yang beritikad baik untuk mendapatkan hak-haknya atas alat angkut miliknya yang dirampas dalam perkara tindak pidana kehutanan.Nadia Yurisa Adila, S.H., M.H.Hakim Pengadilan Negeri Sawahlunto

Cara Memahami Putusan Hakim

article | Opini | 2025-01-25 09:00:39

Seperti juga terhadap putusan-putusan yang lain, baik perdata ataupun pidana umum maka terhadap Putusan Hakim Tipikor pun lazim muncul respon bersifat pro kontra. Pro kontra itu terjadi tidak saja di kalangan awam hukum, tetapi bahkan oleh sesama alumni fakultas hukum, yang belajarnya sama pada guru yang sama pula.Tulisan ini tidak untuk menegur siapa-siapa. Tidak pula untuk mengajari bebek berenang. Tetapi hanya sebagai tanggungjawab moral akademik untuk mencerahkan publik.Dalam kapasitas sebagai warga pengadilan di bawah institusi Mahkamah Agung, saya juga tentu memiliki kewajiban moral menyampaikan esensi putusan hakim yang ideal.Kalangan awam hukum memang wajar jika mereka memahami putusan hakim dalam konteks kalah atau menang. Iya hanya sebatas itu saja, menang versus kalah. Namun bagi yang sudah belajar ilmu hukum, minimal lulus Sarjana Hukum, sebaiknya pemahaman terhadap putusan hakim perlu diperluas.Bagi yang sarjana hukum, sebaiknya putusan hakim jangan hanya dibaca pada amarnya saja. Tetapi cermati pula pertimbangan-pertimbangan yang mendasari amar tersebut serta peraturan perundangan yang menjadi rujukan majelis hakim.Saya memaklumi jika kalangan awam tidak suka mencermati dasar peraturan dan pertimbangan yang digunakan dalam suatu putusan hakim. Namun, sebaiknya tidak demikian bagi kalangan sarjana hukum.Karena ketidaktahuan terhadap dasar pertimbangan dan peraturan yang digunakan, maka apabila ada putusan yang tidak sesuai harapan publik, maka muncullah bully terhadap Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut. Tidak itu saja, lebih parah lagi kadangkala bully pun ditujukan pada institusi Mahkamah Agung yang harusnya suci dan mulia.Masyarakat non hukum sebaiknya mencermati putusan hakim secara bijak, tidak langsung terpancing dengan komentar-komentar tendensius yang membaca putusan secara tidak utuh. Maka karenanya, sebelum memberikan komentar, sebaiknya mendengar pendapat-pendapat ilmuwan hukum lain dari media-media yang berbeda.Jangan karena gara-gara satu perkara diantara ribuan perkara yang diadili dan diputuskan Hakim yang tidak pro publik, maka dihujat se-nusantara. Padahal putusan yang tak sesuai harapan publik, baru putusan pada tingkat pertama di pengadilan negeri. Tetapi hujatan sudah ditujukan kepada semua Hakim, termasuk sasarannya terhadap Hakim Tinggi dan bahkan Hakim Agung.Padahal lagi putusan banding pada Pengadilan Tinggi belum tentu sama atau menguatkan putusan pengadilan negeri. Kalaupun sama, belum tentu pula Mahkamah Agung menguatkan putusan hakim banding pada Pengadilan Tinggi.Realitanya, warga masyarakat tidak sabar menunggu putusan aquo berkekuatan hukum tetap (inkracht). Semua memberi komentar yang seakan-akan merasa tahu sekali substansi putusan tersebut. Bahkan ada profesor kedokteran yang ikut memberikan komentar pedas seakan-seakan beliau juga belajar hukum.Menghadapi situasi ini sungguh berat beban psikologis yang dialami para Hakim Indonesia. Tanpa ada yang berani membela institusi. Semua Hakim diam, seakan-seakan semua mengakui sebagai bandit dan jahat.Saya memaklumi bahwa kondisi kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung sedang menghadapi tantangan sehubungan dengan terungkapnya beberapa kasus kejahatan jabatan yang dilakukan oknum warga pengadilan yang tak berintegritas.Kejadian ini menimbulkan konsekuensi bagaikan "gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga".Karena beberapa orang oknum warga pengadilan yang tidak berintegritas, telah merusak citra Hakim senusantara.Kondisi ini mengakibatkan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan menjadi hancur berantakan dan memalukan. Padahal dimana-dimana di dunia ini, lembaga peradilan dan kehakiman adalah institusi yang dimuliakan dan disegani.Bagaimana bisa seorang Hakim pengadilan negeri diduga menyimpan uang di rumahnya hingga puluhan milyar. Bahkan ada pula seorang mantan pejabat struktural non teknis hukum diduga menyimpan uang kontan di rumahnya bergoni-goni mencapai satu trilyun. Sungguh tak masuk nalar.Akibatnya, trust yang telah dibangun susah payah hampir satu abad, dihancurkan oleh bandit-bandit dengan sebutan Yang Mulia. Kasihan sekali.

Hakim, Profesionalisme dan Integritas

article | Opini | 2025-01-21 10:10:03

Hakim dalam beberapa bulan terakhir menjadi sorotan dan highlight baik perilaku yang diperbuat maupun hasil proses persidangan yaitu putusan. Lalu bagaimana seharusnya seorang hakim menjadi profesional?Hakim sebagai penegak hukum mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tugas Hakim sungguh sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable).Dalam posisi seperti ini, hakim dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, moral dan integritas yang tinggi agar dalam memutus suatu perkara pidana yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. Tugas Hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa Hakim dalam menjaga perilaku  dan berinteraksi sosial itu penting, dan dalam menjalankan  yakni memutus suatu perkara harus benar-benar menegakkan hukum dan keadilan atas hal tersebut hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula Hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.Putusan Hakim Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat. Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, putusan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, Undang -undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.Hakim dalam menjatuhkan Putusan secara  formiil  terdapat  2  (dua)  hal  yang  harus dipertimbangkan mengenai  dua  hal  tersebut  sebagaimana  diatur  di  dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah : Pertama,   pertimbangan tentang  fakta-fakta  (apakah  terdakwa  benar-benar  melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; Kedua, mempertimbangkan tentang hukumnya (apakah perbuatan terdakwa merupakan  tindak  pidana  dan  terdakwa  bersalah,  sehingga  bisa dijatuhi putusan pidana.Hakim dalam memutus suatu perkara bukanlah “mulut/corong  undang-undang”  (bouche  de  la  loi atau spreekbuis van de wet). Hakim juga tidak boleh dipasung dengan rumusan perundang-undangan yang terasa rijid dan kaku/keras ketika dihadapkan pada fakta dominasi faktor-faktor yang meringankan yang bersubstansikan keadilan. Misalnya faktor meringankan yang terkait dengan perbuatannya (dalam perkara pidana misalnya akibat yang muncul   dari   perbuatan pidana  tersebut),   dan/atau   yang   terkait   dengan orangnya   (status   atau   kedudukan   orang   tersebut   yang   diduga melakukan  tindak  pidana),  dan/atau  yang  terkait  dengan korban (misalnya, adanya pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan terhadap kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan), sehingga perkara pidana yang diajukan dalam suatu persidangan memiliki karakteristik dan pertimbangan masing-masing, sehingga Pengadilan bukanlah merupakan lembaga stampel atau pengesah setiap terdakwa yang disidangkan harus bersalah.Pada dasarnya hakim dalam menjatuhkan putusan, termasuk pula putusan terhadap pelaku tindak pidana, hakim dapat menggunakan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbanganya, dan kemudian  dasar  pertimbangan  tersebut  dimasuk  ke  dalam  putusan yang meliputi, pertimbangan yang bersifat yuridis hukum yang menjadi dasar perilaku dan acuan dalam memutus dan pertimbangan yang bersifat non yuridis dan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang meringankan.Putusan hakim merupakan proses akhir dalam persidangan diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan dari segi obyektif yaitu aturan yang berlaku dan fakta hukum yang ada dengan mengacu pada dakwaan penuntut umum dan mempertimbangkan dari segi subyektif dalam berbagai aspek, mulai dari psikologis terdakwa, lingkungan sosial (sosiologis) serta berat dan ringannya suatu perbuatan pidana (tindak pidana) sehingga pidana yang diberikan kepada terdakwa mencerminkan rasa keadilan dan mempunyai nilai hukum.Putusan Hakim dalam perkara pidana memiliki perlakuan dan tanggung jawab yang sama tidak ada perbedaan, sehingga terhadap putusan hakim berupa pemidanaan, lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan bebas merupakan suatu proses panjang dalam mempertimbangkan segala fakta hukum yang ada dengan berdasarkan persesusaian alat bukti dan keyakinan hakim dengan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, bagi terdakwa, korban dan masyarakat dengan pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa.Profesionalisme HakimProfesionalisme adalah sikap, perilaku, dan etika yang menunjukkan komitmen untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Profesionalisme juga dapat diartikan sebagai tingkah laku, kepakaran, atau kualitas dari seseorang yang profesional. Hakim dalam memutus harus memiliki kompetensi dan sikap profesional dalam proses peradilan sehingga dalam memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, dan sesuai dengan hukum. Beberapa kriteria tersebut misalnya: memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etnis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya) memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbicara dan menulis, mampu menegakkan Profesional dalam negara hukum dan bertindak independen dan impasial, memiliki kemampuan administratif, dan efisien.Hakim dalam menjalankan tugasnya dipengaruhi oleh setidaknya dua aspek, yaitu integritas hakim dan peraturan perundang-undangan. Dalam sikap professional hakim Integritas hakim merupakan hal penting dan berpengaruh dalam memutus suatu perkara. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.Hakim yang profesional sebagaimana pendapat Menteri Kehakiman Belanda, Odette Buitendam, menyatakan bahwa good judges are not born but made. Hal tersebut sejalan dengan sambutan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam pembukaan Pendidikan Calon Hakim tahun 2019 bahwa untuk menjadi hakim yang profesional harus memenuhi 3 kriteria yaitu memiliki kompetensi yang baik, kemampuan (pengalaman), dan integritas dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa judge is not born but made with integrity, intellectual, and skill.Lebih lanjut  Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam Refleksi Akhir Tahun 2024 menyampaikan agar hakim dapat memperbaiki perilaku untuk menjaga integritas. Integritas pun juga akan menjadi isu utama   dan dijadikan tema dalam Laporan Tahunan yang akan diselenggarakan pada bulan Februari Tahun 2025. Komitmen Mahkamah Agung untuk menjadikan integritas sebagai kunci dalam upaya membangun lembaga peradilan yang berkualitas dan sebagai pondasi kepercayaan publik, sehingga para hakim diharapkan lebih baik lagi dalam berperilaku, lebih arif, bijaksana dan rendah hati dengan berpedoman pada pada etika profesi, dan  dalam memutus dengan penuh professional berpegang teguh peraturan perundang-undangan.Amirul Faqih AmzaHakim/Jubir Pengadilan Negeri (PN) Sumber

Paralax Dalam Hukum: Sumbangsih Pemikiran Lacan, Baudrillard, Zimbardo, dan Becker Untuk para Jurist

article | Opini | 2025-01-18 16:30:29

Labirin Hyperreality“Mengapa korupsi sering terjadi meski dilarang ya pak?” tanya seorang bocah saat menonton acara berita pada suatu senja di ujung nusantara. "Karena enak, dan hukumannya enteng," jawab sang ayah sambil menikmati pisang goreng hasil panen di kebun milik sendiri. Jawaban sederhana ini jika dipahami lebih dalam menjelaskan bagaimana hyperreality menurut Baudrillard dan jouissance (jouissance akan lebih banyak dibahas pada sub-judul selanjutnya) ala Lacan bekerja dalam konteks korupsi dengan bahasa yang sangat sederhana (1994: 10). Norma hukum yang seharusnya menjadi panduan sering kali hanya menjadi sebuah simulacra (simbol) yang menciptakan ilusi keadilan dan ketertiban (1994: 10). Dalam dunia yang dipenuhi ketidakstabilan politik dan ekonomi norma hukum kerap memberi kesan seolah-olah setiap persoalan bisa diatasi hanya dengan menerapkan pasal-pasal. Padahal kenyataannya norma hukum sering hanya menjadi smibol dan bukan solusi yang menyentuh akar persoalan. Ia sekedar sebagai pagar yang menjaga citra hukum dengan seolah mengatakan bahwa keadilan masih mungkin hadir.Ketika subjek terjebak dalam hyperreality hukum, mereka terdistraksi dari realitas sejati yang luar biasa kompleks. Korupsi sebagai contoh, lebih sering dilihat dari besaran vonis atau pasal yang diterapkan oleh penegak hukum, seolah-olah keadilan sudah terpenuhi jika hukuman berat dijatuhkan, publik sering kali puas dengan vonis maksimal namun segera melupakan kasus tersebut ketika hukuman diringankan di tingkat banding atau kasasi, fenomena ini menunjukkan bagaimana fokus pada simbol hukum acap kali mengalihkan perhatian dari penyebab mendalam mengapa korupsi terjadi, seperti sistem yang rusak atau budaya permisif kurang menarik untuk diulas dalam diskursus masyarakat. Korupsi dalam labirin hyperreality menjadi lebih dari sekedar pelanggaran hukum pidana, ia adalah bagian dari simulasi besar di mana hukum hanya berperan sebagai panggung drama untuk memuaskan tuntutan sosial. Dengan memahami ini, kita dapat keluar dari jebakan ilusi hukum dan mulai melihat korupsi sebagai fenomena kompleks yang membutuhkan pendekatan lebih dari sekedar hukuman simbolis melalui tuntutan atau vonis hakim yang merujuk ke norma/pasal pada peraturan perundang-undangan.Jouissance, Heroism, dan Penjara ZimbardoKetika hukum hadir sebagai simbol dalam dunia kehidupan, Jouissance hadir sebagai unsur pendorong subjek untuk menabrak aturan atau simbol tersebut, Jouissance adalah istilah Lacan yang banyak disebutkan dalam seminar-seminarnya yang dituliskan dalam beberapa cetakan, Jouissance adalah kutub yang bersebrangan dengan isitilah desire dalam bahasa Inggris (Jean, dkk, 2003:102).Berbeda dengan padanannya, jouissance bukan hanya tentang menikmati, tetapi tentang melampaui atau menembus batas-batas simbolik, moral, atau bahkan hukum menurut pandangan Jacques-Alain Miller (1992:191). Jouissance hadir sebagai sesuatu yang ambigu, menyenangkan sekaligus merusak. Sebagai sesuatu yang melekat dalam diri manusia, jouissance merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya terjadi tindak pidana tidak terkecuali perilaku korupsi, dari titik ini kita akan melihat korupsi bukan lagi sekedar nominal uang yang bombastis atau tokoh yang tersohor melainkan cerminan dari sisi jouissance dalam diri manusia, sebuah usaha untuk melihat sisi lain dari perilaku korupsi, perspektif ini menjelaskan jika  di balik aliran dana yang fantastis ada rasa puas yang sulit untuk digambarkan secara jela, semacam kemenangan diam-diam atas sistem yang dianggap mengekang oleh seorang subjek. Dalam korupsi, pelaku tidak hanya mengejar keuntungan materi an sich, dalam pandangan Lacan mereka juga tenggelam dalam hasrat yang lebih dalam yakni hasrat untuk melawan, merusak dan untuk berdiri di atas hukum dan menginjak-injaknya sambil tertawa. Muncul sensasi nakal semacam pembangkangan yang mirisnya justru terasa nikmat dan disukai oleh subjek (Jouissance).Jika diringkas, Lacan hendak mengingatkan kita jika korupsi bukan hanya perihal adanya hukum yang dilanggar atau moralitas yang dilupakan oleh pelaku melainkan pertempuran paling purba dalam diri manusia antara hasrat liar mengenai kenikmatan yang sulit untuk dihentikan. Lacan melalui pemikirannya mendobrak simulacra dari perilaku korupsi yang disimbolkan dalam pasal-pasal dengan mengulas unsur invisible yang jarang dibahas. Dalam negara hukum dorongan untuk merusak tatanan norma ini dihalangi oleh batasan yang dipaksakan hukum dan subjek sering kali terdorong untuk melanggar itu semua. Selanjutnya pada bayangan Lacan, manusia kerap menjadi sosok pembangkang yang tidak mengenal takut meskipun akhirnya mereka adalah korban dari keinginan mereka sendiri (sebagaimana kita lihat tidak sedikit pelaku korupsi yang menangis dan menyesali perbuatannya). Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Becker, dalam "The Denial of Death", mengungkapkan bahwa manusia menciptakan berbagai mekanisme untuk menyangkal kematian, menurut Becker (1973:9) ketakutan akan kematian adalah salah satu ketakutan paling fundamental yang menghantui setiap insan. Untuk menghadapi ketakutan ini psikologi manusia menciptakan apa yang disebut sebagai "heroism", yaitu usaha untuk menemukan makna dan tujuan hidup yang dianggap abadi (Becker, 1973:9), namun heroism yang seharusnya memberikan makna dan tujuan hidup justru bisa berubah menjadi arena kejahatan, hal ini senada dengan inti dari tulisan Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil (2007:19) yang berpesan jika tidak ada orang baik atau jahat, semua tergantung daripada bagaimana lingkungan membentuk mereka. Berdasarkan pandangan tersebut terlihat paradoks besar dari kedua pemikir ini. Jika Becker menunjukkan bahwa upaya psikologis manusia untuk menolak kematian bisa mengarah pada tindakan-tindakan heroik yang membawa kebaikan, namun Zimbardo memperingatkan bahwa dalam situasi yang tidak dikontrol dengan baik bisa membuat heroism berubah menjadi tindakan jahat.Dalam dunia modern seperti sekarang ini, dengan segala tekanan dan godaannya, heroism dapat berubah menjadi sesuatu yang sangat buruk seperti korupsi, tindakan korupsi tidak hanya mencerminkan kerakusan, tamak, hanyalah satu sisi mata uang dari perilaku korup. Merujuk pendapat Becker, perilaku ini juga dapat dilihat sebagai ambisi manusia untuk melawan ketakutan terbesar mereka yaitu ketidak-berartian, keinginan untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan agar diakui sebagai orang yang memiliki harta yang luar biasa banyak, keinginan untuk dikenal berkuasa atas hukum, serta keinginan untuk yang membuat legacy sering sekali harus dibayar dengan melanggar norma-norma hukum dan moral itu sendiri.Dalam heroism yang salah ini, mereka meninggalkan jejak yang bukan abadi dalam kebaikan melainkan dalam noda yang sulit dihapuskan oleh waktu sekalipun. Korupsi dengan segala daya tariknya menjadi akhir tragis di mana dorongan manusia untuk menemukan makna dalam hidup berubah menjadi penghianatan besar terhadap tujuannya tersebut. Kembali kepada Zimbardo, Zimbardo dalam karyanya The Lucifer Effect yang disebutkan diatas menjelaskan bahwa perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh karakter atau moral pribadi tetapi juga oleh sistem dan situasi yang melingkupinya. Banyak pelaku kejahatan berat seperti korupsi beroperasi dalam konteks sistem yang korup, baik hukum, politik, sosial dan budaya tempat ia muncul. Dalam sistem yang korup ini, heroism yang salah tumbuh subur dan berbuah rimbun, seperti gayung bersambut, dirawat baik dan mengakar dalam diri subjek. Pada akhirnya, dari variasi perspektif ini kita berangsur-angsur melihat korupsi bukan lagi sebatas pelanggaran hukum maupun moral, tetapi sebagai pergulatan yang sangat kompleks. Sementara Baudrillard berpandangan jika hukum sering sekali hanya merupakan simbol dalam dunia yang kompleks, ia hadir sebagai representasi realitas dan sering sekali lebih diperhatikan ketimbang realitas itu sendiri. Begitupun Lacan yang ikut mengatakan jika Jouissance hidup dalam diri manusia dan merupakan alasan mengapa banyak orang berpotensi melampaui simbol-simbol/norma, kemudian Becker hadir menimpali dengan mengatakan, “tidak selesai disana, manusia juga dituntun oleh heroism, mencari makna kehidupan terus menerus”, Zimbardo mengacungkan tangan dengan berargumen, ya benar, dan semua itu akan ditentukan oleh dimana heroism itu muncul, lingkungan yang baik atau buruk.Korupsi adalah cerminan Jouissance, heroism yang salah arah, dan efek negatif dari lingkungan. Untuk memberikan solusi kita membutuhkan lebih dari hanya ribuan pasal dan vonis, kita harus melepaskan diri dari hyperreality, kita membutuhkan pemahaman yang lengkap tentang manusia, sistem dan bagaimana keduanya saling membentuk dan berkelindan. (LDR)

Putusan Pengadilan dan Kebijakan Pencegahan Korupsi

article | Opini | 2025-01-16 07:20:03

Salah satu tantangan berat yang dihadapi Indonesia adalah masih maraknya praktik korupsi. Selain merugikan keuangan negara, praktik korupsi juga menyebabkan negara kesulitan memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk melayani dan menghadirkan kesejahteraan untuk rakyatnya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi di Indonesia dengan jumlah terdakwa mencapai 1.695 orang. Jumlah ini naik dibanding tahun sebelumnya yakni 579 kasus dengan 1.396 terdakwa pada tahun 2022 dan 533 kasus, 1.173 terdakwa pada tahun 2021.Data tersebut sejalan dengan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92, yakni mengalami penurunan sebesar 0,07 poin dibandingkan IPAK tahun 2023. Pada nilai indeks tersebut, semakin rendah nilainya (semakin mendekati nol) berarti bahwa masyarakat makin permisif terhadap perilaku korupsi. Sebaliknya, semakin tinggi nilanya (semakin mendekati 5) menunjukkan bahwa masyarakat semakin berperilaku antikorupsi. Data yang serupa menunjukkan bahwa praktik korupsi masih cukup marak dirilis oleh Transparansi International dalam Corruption Perception Index (CPI). Data pada tahun 2022 menunjukan Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara dengan skor 34/100. Skor ini bertahan pada tahun 2023 dan menyebabkan Indonesia berada pada posisi 115. Skor 34/100 berarti bahwa Indonesia memiliki nilai yang sama dengan Ekuador, Malawi, Pilipina, Srilanka dan Turki. Khususnya di ASEAN, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 11 negara.Masih maraknya praktik korupsi ditengah banyaknya kasus korupsi yang terungkap dan diputus oleh pengadilan, sering kali melahirkan pertanyaan: jika sudah banyak pelaku korupsi dihukum, kenapa masih ada dan “bahkan” banyak korupsi berikutnya? Jika demikian, apakah penerapan hukuman melalui putusan pengadilan tindak pidana korupsi belum mampu mencegah terjadinya korupsi berikutnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut “tentu saja” sangat beragam. Salah satunya adalah karena praktik korupsi yang terbongkar hingga diputus terbukti di persidangan, tidak diimbangi dengan dibangunnya sistem pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam praktik umum yang terjadi, jika suatu dugaan korupsi terbongkar, respon pertama yang dilakukan adalah membuat deklarasi anti korupsi yang berisi komitmen untuk tidak korupsi, namun bagaimana agar tidak terjadi lagi korupsi baik perbaikan sistem kerja dan pengawasannya, seringkali diabaikan.Dalam RPJPN Tahun 2025-2045 setidaknya terdapat tiga uraian mengenai pencegahan korupsi, yakni:Pertama, penguatan upaya pencegahan korupsi melalui pembatasan transaksi tunai terutama dalam pemerintahan, penguatan sistem pelaporan harta kekayaan ASN, pemanfaatan teknologi informasi pada berbagai sektor untuk mempersempit potensi korupsi;Kedua penguatan pengawasan dan pencegahan korupsi melalui penguatan dan indepedensi lembaga pengawasan, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia, Ketiga lemahnya pengawasan dan sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait menjadi pemicu utama rendahnya integritas tata kelola pemerintah daerah dan desa. Dari ketiga narasi ini, maka selain sistem pengawasan yang harus diperbaiki, juga adanya kesadaran bahwa “sistem pencegahan korupsi dari otoritas terkait” yang belum maksimal.Korupsi bukanlah kejahatan yang terjadi karena ketidak sengajaan. Ada niat dan usaha untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, untuk mencegahnya, selain melalui pesan-pesan moral, yang paling penting adalah membangun sistem yang mampu mencegahkan, setidaknya, menjadikan niat untuk korupsi menjadi sulit direalisasikan. Secara umum, banyak orang sependapat bahwa hukum yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa diharapkan memberikan efek jera, baik bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya maupun memberi pesan kuat kepada pihak lain bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan jika dilanggar, ada sanksinya. Terbuktinya perbuatan korupsi senyatanya tidak semata terbuktinya perbuatan terdakwa melakukan tindakan korupsi, tetapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Untuk itu, jika ingin melakukan pencegahan dari terjadinya, bahkan, terulangnya perbuatan korupsi, para pengambil kebijakan seyogyanya mulai menggunakan putusan pengadilan sebagai bahan penting melakukan perbaikan dan membangun sistem anti korupsi.Secara lebih kongkrit dan praktis, pembangunan pencegahan korupsi seyogyanya menggunakan putusan pengadilan sebagai referensi penting, karena dalam putusan tersebut, tergambarkan bagaimana perbuatan korupsi terjadi. Dengan demikian, maka putusan pengadilan khususnya dalam perkara Tipikor, tidak hanya terkait dengan pertanggungjawaban pelaku, namun juga memiliki manfaat yang lebih luas utamanya dalam membangun sistem dan strategi pencegahan korupsi. Para hakim melalui putusannya menyajikan uraian fakta dan pertimbangan bagaimana praktik korupsi terjadi. Uraian tersebut sejatinya tidak semata menunjukkan bagaimana terdakwa melakukan perbuatannya, tapi juga menunjukkan adanya celah dalam penyelenggaraan urusan publik dan penggunaan kewenangan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan perbuatannya. Dengan mengetahui celah-celah tersebut, maka upaya membangun sistem pencegahan korupsi seharusnya lebih mudah dilakukan.Strategi pencegahan korupsi sebenarnya bersifat “tailor made”: menyesuaikan dengan keadaan penggunanya. Tidak ada strategi yang secara umum bisa efektif diberlakukan pada semua tempat karena situasi bisa jadi berbeda-beda. Oleh karena itu, maka bagi instansi yang pernah terjadi praktik korupsi dan telah diputus oleh Pengadilan, dapat mengambil pelajaran dari praktik yang terjadi sebelumnya melalui dalam merumuskan sistem pencegahan. Karena tanpa dibuatnya sistem pencegahan hanya akan melahirkan praktik korupsi berulang. Bukan begitu?(LDR)

Melihat Alur Mudah Pelaporan Gratifikasi

article | Opini | 2025-01-14 06:05:38

Dokumentasi Pelaporan Gol KPKDokumentasi tanda terima pelaporan KPKUpaya mewujudkan peradilan bersih dan membantu terlaksananya kehidupan bernegara bebas korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN) terus ditunjukan oleh aparatur Mahkamah Agung RI dan badan peradilan dibawahnya. Berdasarkan Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 yang diterbitkan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 2025 yakni terdapat 62 Pejabat dan aparatur pengadilan yang melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi pada periode Oktober sampai dengan Desember 2024. Pejabat dan aparatur Mahkamah Agung RI serta badan peradilan dibawahnya yang melaporkan terdiri Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum pada Ditjen Badan Peradilan Umum, Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding, Para Pimpinan Pengadillan Tingkat Pertama, Para Hakim sampai Pegawai PPNPN. Bahwa pelaporan atas penolakan atau penerimaan gratifikasi memedomani Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Gratifikasi Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Dibawahnya Penulis salah satu pelapor penerimaan gratifikasi kepada KPK RI sebagaimana Surat Apresiasi Laporan Penerimaan/Penolakan Gratifikasi Periode Triwulan IV 2024 akan membagikan penjelasan singkat tentang gratifikasi, contoh gratifikasi yang wajib dilaporkan penyelenggara negara serta tips singkat dan mudah dalam melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Pelaporan atas gratifikasi sangat mudah karena hanya dalam satu genggaman smartphone atau menggunakan komputer yang terkoneksi internet dapat dilakukan dari seluruh penjuru Indonesia. Pengaturan Hukum dan Bentuk Gratifikasi  Gratifikasi awalnya berasal dari Belanda yang disebut gratikatie. Selanjutnya Inggris mengadopsinya dengan istilah gratification yang dalam Black Law Dictionary memiliki pengertian sebagai pemberian yang diberikan berdasarkan bantuan atau keuntungan. Gratifikasi di Indonesia yang diberikan kepada penyelenggara negara atau PNS dapat menjadi suap bilamana berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugasnya. Adapun gratifikasi tidak menjadi delik korupsi bilamana penyelenggaran negara atau PNS yang menerima gratifikasi melaporkan gratifikasi kepada KPK RI sesuai Pasal 12B Ayat 1 dan Pasal 12C Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Bentuk gratifikasi secara luas berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan lain-lainnya, dimana gratifikasi tersebut diterima dalam negeri ataupun di luar negeri yang dilakukan secara konvensional atau menggunakan sarana elektronik sebagaimana Penjelasan Pasal 12 B Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 1 Angka 1 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi Contoh Gratifikasi Wajib Dilaporkan  Bahwa secara prinsip seluruh gratifikasi yang diterima oleh Penyelenggara Negara wajib dilaporkan. Sedangkan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan terhadap kewajiban atau tugas penyelenggara negara/pns wajib ditolak sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019. Namun dalam kondisi yang tidak memungkinkan ditolak, terhadap gratifikasi yang berkaitan dengan tugas Hakim atau aparatur pengadilan seperti tidak diterima secara langsung, pemberi gratifikasi tidak diketahui, penerima ragu atas kualifikasi yang diterimanya dan adanya kondisi yang tidak mungkin ditolak seperti rusaknya hubungan antar instansi, membahayakan diri sendiri/karir atau ada ancaman lain yakni wajib dilaporkan sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Hal mana telah diatur juga gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan menurut KPK RI dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI seperti pemberian terkait pernikahan, tunangan, khitan atau upacara agama/adat lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk seorang pemberi, honorarium dari profesi lain seperti mengajar yang tidak melanggar kode etik, pemberian terkait musibah atau bencana alam dan bentuk gratifikasi lainnya yang tidak wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Penulis mencontohkan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu meskipun bersinggungan jabatan atau tugas penyelenggara negara yang biasanya terjadi pada lingkungan peradilan antara lain pemberian bahan batik/baju untuk seragam perayaan ulang tahun daerah yang diberikan pejabat daerah kepada Pimpinan Pengadilan, kenang-kenangan pengantar alih tugas yang diberikan kepada Pimpinan Pengadilan oleh Instansi Penegak Hukum lainnya atau nasi kotak/hadiah makanan lainnya yang telah disiapkan untuk seluruh aparatur pengadilan dan diberikan dalam rangka perayaan keterpilihan sebuah Firma Hukum sebagai penyelenggara Pos Bantuan Hukum di suatu Pengadilan. Berdasarkan pengalaman penulis untuk pelaporan gratifikasi yang tidak mungkin ditolak karena kondisi tertentu, maka gratifikasi akan menjadi milik institusi atau dikelola institusi, seperti bahan pakaian yang akhirnya dikelola untuk suatu instansi Pengadilan. Adapun gratifikasi makanan yang lekas rusak dapat dikonversi dalam rupiah dan penerima gratifikasi wajib membayarkan hadiah yang telah dikonversi rupiah kepada kas negara; Berdasarkan pengalaman pribadi penulis sebagai seorang Hakim yang pernah melaporkan honorarium sebagai pengajar pendidikan profesi Advokat yang diselenggarakan organisasi Advokat di Provinsi Banten, meskipun honorarium mengajar tidak termasuk gratifikasi yang wajib dilaporkan sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021, akan tetapi penulis ragu akan kualifikasi gratifikasi tersebut karena tidak menutup kemungkinan adanya konflik kepentingan antara penulis yang Hakim dengan Advokat walaupun berbeda wilayah hukum dengan tempat penulis bertugas. Penulis juga pernah melaporkan baju yang didapatkan ketika menjadi narasumber Siniar yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), karena penulis berpendapat dapat saja ICW menjadi pihak dalam suatu persidangan yang penulis adalah seorang hakimnya Langkah Melaporkan Penerimaan atau Penolakan Gratifikasi Adanya kemudahan dalam pelaporan atas penerimaan atau penolakan gratifikasi, dimana tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional dengan mendatangi langsung kantor Kpk RI di Jakarta atau menyampaikan kepada unit pengendali gratifikasi satuan kerja. Melainkan dapat secara daring mengakses aplikasi gratifikasi online (GOL) KPK yang hanya membutuhkan waktu 5 sampai 10 menit untuk melaporkan penerimaan atau penolakan gratifikasi. Langkah pertama bagi aparatur pengadilan yang akan melaporkan gratifikasi melalui aplikasi GOL KPK yakni dengan mendaftarkan akun pada https://gol.kpk.go.id dan mengisi biodata dari calon pelapor gratifikasi yang terdiri dari nama lengkap, jabatan, alamat, satuan kerja, unit kerja dan identitas pribadi lainnya. Selanjutnya setelah teregistrasi yakni pelapor dapat melaporkan gratifikasi pada kolom laporan gratifikasi dan memilih laporan baru. Selanjutnya mengisi informasi laporan yang dapat ditembuskan kepada UPG Mahkamah Agung RI dan memilih apakah yang dilaporkan bentuknya penolakan atau penerimaan gratifikasi. Kemudian pelapor gratifikasi mengisi identitas pemberi, institusi dan alamat gratifikasi, menjelaskan hubungan pemberi dengan penerima gratifikasi, peristiwa terkait gratifikasi, lokasi objek gratifikasi, jenis dan uraian objek gratifikasi, serta konversinya dalam bentuk rupiah benda gratifikasi tersebut. Hal lain yang wajib diisi oleh pelapor gratifikasi yang menggunakan aplikasi GOL KPK adalah kronologi penerimaan atau penolakan gratifikasi yang berisikan juga tanggal penerimaan atau penolakan gratifikasi. Demikian juga pelapor gratifikasi dapat memilih apakah mengkompensasi objek gratifikasi dengan menyerahkan uang pengganti seandainya objek gratifikasi ditetapkan menjadi milik negara. Selain itu pelapor dapat melampirkan dokumentasi objek gratifikasi. Pelaporan gratifikasi menggunakan aplikasi GOL KPK disarankan dalam tenggang waktu 30 hari kerja sejak menerima atau menolak gratifikasi sesuai Peraturan KPK RI Nomor 2 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI Nomor 28 Tahun 2021. Sedangkan pelaporan diatas 30 hari kerja sejak diterima atau ditolak gratifikasi, tetap akan diproses oleh KPK RI. Semoga kemudahan pelaporan gratifikasi oleh KPK RI menjadi upaya bagi aparatur pengadilan untuk melaporkan gratifikasi yang diterima atau ditolaknya. Demikian juga contoh positif pelaporan gratifikasi yang telah dilakukan aparatur pengadilan menjadi motivasi bagi aparatur pengadilan lainnya untuk melaporkan ketika adanya penerimaan atau penolakan gratifikasi, sehingga ikut berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang bebas KKN.

Melawan Matinya Kepakaran

article | Opini | 2025-01-11 16:00:34

Sumpah serapah kembali berserak di media sosial, lagi dan lagi sasaran amuknya adalah putusan pengadilan. Kali ini perkara tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang menjadi sorotan. Berbagai hal mulai dari berat ringannya hukuman, pertimbangan putusan, hingga gestur, dan mimik wajah hakim pasca sidang turut menjadi bahan cibiran.Agar tidak salah kaprah, tulisan ini hadir bukan untuk mengomentari putusan majelis hakim. Tidak pula suatu upaya membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya berusaha untuk mengurai fenomena munculnya opini-opini rancu yang melenceng jauh dari rute kebenaran.Tentu sah-sah saja berkomentar atau berpendapat, toh itu menjadi hak yang dilindungi konstitusi kita. Namun, beberapa komentar nampaknya sudah terlampau sukar dinalar. Salah satunya adalah kritik terhadap vonis pidana penjara 6,5 tahun yang dijatuhkan kepada HM. Vonis tersebut lantas dibandingkan dengan perkara Nenek Asyani yang mencuri tujuh batang kayu dan diancam pidana pencurian paling lama lima tahun penjara.Oleh publik, vonis perkara korupsi 6,5 tahun dan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun tersebut dianggap sebagai bukti sahih ketidakadilan. Bagaimana bisa korupsi dengan kerugian mencapai 300 Triliun divonis nyaris setara dengan pencuri tujuh batang kayu. Anggapan ini tentu keliru dan perlu diluruskan, siapapun yang pernah mengeyam pendidikan hukum, bahkan mahasiswa fakultas hukum yang belum lulus sekalipun, tentu dapat membedakan antara putusan pengadilan dan ancaman pidana yang tertuang dalam suatu pasal. Lagipula, faktanya, oleh Majelis Hakim kala itu, Nenek Asyani dijatuhi hukuman percobaan dan tidak dijatuhi pidana penjara lima tahun sebagaimana yang dibicarakan publik.Selain itu, ada pula kegamangan publik terkait dengan kerugian 300 Trilun dalam perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah tersebut. Terkait hal ini, LK2 FHUI, sebuah lembaga kajian di bawah naungan Universitas Indonesia sampai merilis tulisan berjudul “Salah Kaprah Korupsi 271 Triliun: Kerugian Negara atau Kerugian Lingkungan?”. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa angka fantastis tersebut bukanlah total uang yang dikorupsikan, melainkan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan kawasan hutan dan kawasan nonhutan. Beberapa pakar hukum pun turut angkat bicara guna mengklarifikasi mengenai kerugian 300 Triliun tersebut.Namun opini-opini dari para pakar seolah tak berdaya di hadapan gempuran komentar dari insan yang merasa dirinya lebih pakar dari seorang pakar hukum. Para pencibir ini merasa komentarnya memiliki validitas yang setara dengan komentar-komentar para pakar.The Death of ExpertiseTom Nichols, dalam bukunya, memotret fenomena ini dan menyebutnya sebagai the death of expertise atau matinya kepakaran. Istilah tersebut lahir sebagai bentuk kekhawatirannya atas realita yang hari ini tengah terjadi. "Matinya Kepakaran" adalah kondisi ketika otoritas dan kredibilitas para ahli diabaikan. Fenomena ini terjadi ketika masyarakat, didukung oleh akses informasi yang luas melalui internet, media sosial, dan teknologi, merasa memiliki pengetahuan yang setara atau bahkan lebih baik daripada para ahli. Hal ini sering kali memunculkan kesalahan persepsi atau penyebaran informasi yang tidak valid.Ujar Nichols, di era ini, orang memiliki begitu banyak akses informasi ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan untuk mempelajari apapun. Apabila dikaitkan dengan banyaknya kritik terhadap putusan pengadilan, boleh jadi komentar paling pedas justru datang dari seorang yang belum membaca putusan tersebut. Bahkan sama sekali tidak paham apa itu putusan pengadilan.Tragisnya, fenomena “Matinya Kepakaran” ini tidak hanya menjangkit masyarakat awam. Para pesohor dan media arus utama juga ikut terseret pusarannya. Hari ini, tak sedikit pesohor yang berduyun-duyun mengkomentari suatu hal yang belum tentu mereka pahami. Begitu pula media-media arus utama yang membuat judul berita clickbait (umpan klik) dengan muatan disinformasi.Dalam perkara-perkara hukum, komentar para pesohor dan berita bermuatan disinformasi tersebut mudah sekali ditelan oleh masyarakat. Alhasil kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum dapat merosot. Institusi penegakan hukum seperti Mahkamah Agung-lah yang terkena getahnya.Dibutuhkan Informasi PembandingPerlu dibangun jembatan untuk menutup jurang terjal antara kebebasan berpendapat dengan otoritas ahli di era matinya kepakaran. Khususnya dalam perkara hukum. Publik harus disuguhi informasi-informasi pembanding yang mampu dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.Selama ini, publik terkungkung oleh sumber-sumber informasi yang mereka kira valid. Informasi itu antara lain komentar viral, tangkapan layar, atau judul berita bermuatan clickbait belaka. Alih-alih bermanfaat, sumber informasi tersebut justru membuat publik tersesat.Dalam upaya melawan matinya kepakaran, keterbukaan informasi memainkan peran vital. Mahkamah Agung sendiri memiliki komitmen kuat dalam memberikan akses yang lebih luas pada masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh pengadilan. Jalannya suatu perkara dapat diakses secara daring melaui SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) masing-masing Pengadilan. Begitu pula dengan putusan, publik dapat dengan mudah membacanya di laman direktori putusan. Semua informasi tersedia dalam genggaman dan dapat diakses kapan saja.Sebelum terburu-buru berkomentar, kiranya publik dapat meluangkan waktu sejenak untuk membaca putusan pengadilan dan mempelajari pertimbangannya. Langkah sederhana tersebut adalah upaya konkret untuk membangkitkan kepakaran dari kematiannya. Sekarang, kembali lagi kepada publik, apakah media sosial akan diisi dengan informasi yang sehat atau yang sesat. (LDR)

Belajar Keteguhan Hati Dari Spider-Man

article | Opini | 2025-01-06 10:25:02

Dalam menjalankan tugasnya, hakim selalu menghadapi tantangan yang beragam. Salah satu tantangan tersebut adalah informasi hoax yang beredar di media baik media massa maupun media sosial. Informasi hoax yang beredar tersebut tidak jarang mendiskreditkan hakim, terutama ketika hakim tersebut memutus perkara- perkara yang kontroversial dan menarik perhatian masyarakat. Hal tersebut sebagai upaya mendelegitmasi pribadi hakim tersebut dengan tujuan meruntuhkan kepercayaan publik pada putusan yang dibuat hakim tersebut. Perlu dipahami bahwa hakim sebagai pejabat publik adalah hal lumrah untuk dikritik karena sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim pada Negara dan masyarakat. Namun disisi lain hakim tetaplah manusia, terkadang terpaan fitnah dan narasi-narasi negative akan meruntuhkan mentalitas dan kepercayaaan diri dari hakim tersebut. Tentunya kita juga paham bahwa ada prinsip-prinsip independensi yang kemudian memberikan kebebasan kepada hakim tersebut untuk memutuskan sesuatu yang menurut keyakinan dan hati nuraninya benar. Putusan hakim tersebut tentulah harus dihargai demi terciptanya kepastian hukum. Walaupun putusan tersebut dapat juga diartikan tidak adil oleh sebagian kalangan atau pihak. Belajar Keteguhan HatiDalam cerita komik dan film dari Marvel, tokoh Spider-Man memiliki jalan cerita yang hampir mirip dengan tantangan hakim dalam menjalankan tugasnya. Dalam kisah superhero Spider-Man, dikisahkan bahwa Spider-Man selalu menjadi bulan-bulanan media. Semua tindakan dan aksi-aksi heroiknya selalu difitnah dan diframing negatif oleh media khususnya oleh kantor berita the Daily Bugle yang dipimpin oleh pemimpin redaksi J. Jonah Jameson.J. Jonah Jameson adalah pemimpin redaksi yang acapkali tidak mengedepankan fakta dalam pemberitaanya. Ia ingin mempengaruhi masyarakat agar Spider-Man menjadi ancaman publik atau Vigilante tak bertanggung jawab. Meskipun Spider-Man melakukan banyak hal untuk menyelamatkan kota, Spider-Man sering kali tidak mendapat pengakuan yang pantas atas pengorbanannya.Namun segala tantangan tersebut, dilalui Spider-Man dengan penuh keteguhan hati. Terlepas dari fitnah yang disebarkan media, Spider-Man tetap berfokus pada tugasnya untuk melindungi warga kota dan tetap konsisten melawan kejahatan. Spider-Man paham bahwa tidak mungkin menyenangkan semua orang dalam keputusan dan tindakannya. Keteguhan hati dari Spider-Man juga terlihat ketika sikapnya tetap diam dalam menerpa pemberitaan negatif. Spider-Man paham melawan fitnah-fitnah media bukanlah tugas utama seorang Spider-Man. Tugas utama seorang Spider-Man adalah melawan kejahatan yang membahayakan warga kota.Tantangan Profesi hakim di Era InformatikaMenjalani profesi hakim di era informatika seperti sekarang ini, hakim harus memiliki keteguhan seperti Spider-Man. Framing negatif dan hoax selalu menyertai dalam tantangan menegakkan hukum dan keadilan. Hakim dituntut memiliki ketahanan mental untuk menghadapi tekanan media, tetap tenang, dan tidak terpengaruh oleh pemberitaan yang memojokan.Tugas utama hakim adalah menghasilkan putusan yang berkualitas. Dalam kehidupan kesehariannya juga diimbangi dengan perilaku yang terpuji. Kedua hal tersebut menjadi senjata yang ampuh dalam melawan framing negatif dan narasi hoax yang tersebar di media massa ataupun media sosial. Lambat laun kepercayaan publik akan meningkat karena paduan kedua hal tersebut ada dalam diri hakim. Selain media yang selalu memberikan berita negatif tentunya ada juga yang memberikan berita berimbang dan positif pada hakim. Disisi selain tentu kita juga paham bahwa media juga memberikan kontribusi positif dalam pendidikan hukum di masyarakat. Dalam hal ini jika putusan hakim berkualitas, media pun dapat menjadi partner strategis dalam memberikan informasi ditengah masyarakat.Tanggung Jawab Besar Seorang hakimDalam salah satu percakapan di film Spider-Man, Paman Peter Parker (Spider-Man) pernah berucap  " with great power comes great responsibility"  yang artinya dalam kekuatan yang besar ada pula tanggung jawab yang besar. Hakim yang memiliki kewenangan yang besar tentunya paham harus memaknainya juga sebagai bentuk tanggung jawab yang besar. Salah satu tanggung jawab yang besar itu adalah menjalankan tugas dengan penuh tantangan. Salah satu tantangan tersebut adalah fitnah dan narasi hoax yang harus dijawab hakim dengan keteguhan hati layaknya seorang superhero seperti Spider-Man. (LDR)

Bahaya Laten AI dalam Etika Profesi

article | Opini | 2024-12-31 17:20:49

Bandar Lampung - Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan / artificial intelligence (AI) begitu cepat melakukan penetrasi ke seluruh aspek kehidupan sehingga memberikan kemudahan dalam banyak bidang pekerjaan. AI menghadirkan cara dan prosedur yang lebih efektif dan efisien. Awalnya melalui mesin pencari seperti Google kita dapat mendapatkan informasi yang melimpah. Ternyata kemudian dengan hanya mengisi satu perintah dalam prompt chatGPT diperoleh informasi lebih cepat, terstruktur dan nyaris sempurna. Kehadirannya tentu membawa harapan ke arah peradaban publik yang lebih baik. AI telah menjadi simbol modernisasi. Di sisi lain AI juga membawa dampak negatif, proses otomatisasi menciptakan mesin-mesin dan program-program yang menggantikan peran manusia dalam pekerjaan yang sifatnya rutin dan berulang. Ketika kemudian ChatGPT, Meta AI, Gemini, dan AI generatif lainnya menjadi barang publik dan populer, maka kekurangan informasi bukan lagi menjadi masalah, sebaliknya informasi yang melimpah ruah menjadi masalah baru. Tidak menggunakan sama sekali atau menolaknya tentu bukan pilihan yang realistis.Pemanfaatan Artificial  Intelligence  (AI)  dalam  sistem  hukum  di  Indonesia  telah  menjadi  topik  yang  menarik serta menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pendukung pemanfaatan AI dalam  hukum  mendasarkanpada potensi  yang dimiliki untuk merampingkan proses administratif, menganalisis data dalam jumlah besar, menyusun dokumen, mengidentifikasi kasus-kasus terdahulu dan selanjutnya menyajikan probabilistik hasil litigasi. Hal tersebut tentunya meningkatkan  efisiensi,  akurasi,  dan  aksesibilitas  sehingga mengurangi biaya, waktu dan mengubah cara pandang terhadap sistem  peradilan. Di sisi lain, pendapat kontra  terkait  dengan  pemanfaatan AI dalam hukum mengungkapkan kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas keputusan AI, masalah privasi data, serta keabsahan dan keandalan algoritma yang digunakan.Dalam kajian akademis, persinggungan antara kecerdasan buatan dan etika hukum merupakan salah satu tema kajian yang paling provokatif dalam filsafat hukum kontemporer. Dalam “Law Without Mind,” Joshua P. Davis berargumen bahwa; Meskipun AI memiliki potensi untuk merevolusi sistem hukum, perannya dalam membuat penilaian moral yang substantif menimbulkan dilema etika yang mendalam. Dapatkah sebuah sistem yang tidak memiliki moralitas dan empati manusia benar-benar mewujudkan esensi keadilan?. Hukum bukan sekadar sistem aturan, hukum adalah kerangka kerja sosial yang mewujudkan kejujuran, keadilan, dan pertanggungjawaban moral. Kualitas-kualitas ini berasal dari pertimbangan manusia, empati, dan pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai masyarakat, di mana elemen-elemen tersebut tidak dimiliki dan berada di luar jangkauan AI. Pengambilan keputusan oleh AI yang diperoleh dari algoritma yang tersembunyi dan sifat “black box” menimbulkan pertanyaan filosofis tentang akuntabilitas dan kerisauan atas hilangnya transparansi landasan keadilan. Ketika pemanfaatan hukum sebatas untuk tujuan deskriptif atau prediktif, maka kehadiran AI menjadi sangat efektif dalam menganalisis kumpulan data yang sangat besar untuk memberikan prediksi suatu perkara atau mengidentifikasi tren dan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembentukan aturan hukum. Namun di sisi lain, ketika interpretasi hukum membutuhkan panduan moral, AI gagal. Positivisme hukum tidak akan dapat menjawab kewajiban moral yang melekat dalam hukum, tanpa didukung integritas etika melalui pendekatan non-positivis.Di antara beberapa penyebab kelemahan AI adalah kekuranglengkapan dan kekurangberagamnya data, serta subjektifitas perancang dalam proses pelatihan program, sehingga outputnya mengandung bias dan stereotip dalam masyarakat. Sebagaian besar sistem AI beroperasi dalam ruang gelap dan tidak tersentuh. Di mana para perancang dapat bertindak dan memutuskan tanpa diketahui siapa pun. Ketidaktransparan ini dapat menimbulkan masalah yang serius. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab ketika sistem AI membuat kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi orang lain?. Euforia potensi AI untuk meningkatkan efisiensi perlu diimbangi dengan fondasi moral dan panduan etik dalam dalam pemanfaatan dan penggunaannya. Demikian juga bagi hakim ketika memanfaatkan AI dalam tugas profesinya memerlukan pendekatan etika profesi sebagai sebuah pedoman yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai.Hakim harus mandiri, mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ketergantungan berlebih dengan menyandarkan diri pada informasi yang disajikan oleh teknologi AI dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara yang diperiksa, sesungguhnya sama saja dengan bergantung kepada pihak lain. Selalu mengandalkan informasi yang diperoleh dari program AI lambat laun akan membentuk individu yang mudah dipengaruhi, dikendalikan dan dimobilisasi, kehilangan kemampuan berpikir kritis dalam membuat penilaian mandiri, sehingga lupa pentingnya menempa diri menjadi profesional. Dalam memanfaaatkan AI, seorang hakim lebih baik berperilaku rendah hati, dengan cara menempatkan diri sebagai kaum awam dalam urusan teknologi, sehingga muncul kesadaran diri untuk terus belajar dan bersikap hati hati dalam menggunakannya. AI sesungguhnya hanyalah alat bantu yang dapat meringankan pekerjaan namun tidak mampu menjawab seluruh pertanyaan ataupun menyelesaikan masalah. Informasi yang diperoleh dijadikan informasi awal yang sangat membantu namun perlu diperiksa kebenarannya, dikaitkan dengan informasi lainnya yang relevan, dan paling penting adalah melakukan verifikasi ulang berdasar pengetahuan yang dimiliki. Ketika AI diintegrasikan ke dalam sistem hukum, harus ditarik batas yang jelas antara tugas-tugas yang dapat dilakukan secara otomatis by sistem dan keputusan yang membutuhkan penilaian manusia yang memiliki penalaran moral dan pertimbangan etika. Disrupsi digital harus diimbangi dengan peningkatan profesionalisme dan berpegang teguh pada etika profesi.Enan Sugiarto, S.H., M.H.Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang, Lampung dan mahasiswa Program Doktor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Mahkota Hakim dan Strategi Kehumasan Pengadilan

article | Opini | 2024-12-24 11:55:47

Jakarta - Putusan hakim sebaik dan sebenar apa pun ( obyektif, independen, transparan, akuntable, integritas ) akan dianggap tidak adil oleh pihak yang berperkara dengan tujuan mencari kemenangan, bukan bertujuan mencari kebenaran.Dalam konteks kelembagaan, maka Mahkamah Agung dan Badan-Badan Peradilan di bawahnya yang nota bene core bussines-nya adalah memeriksa, memutus dan mengadili perkara yang disengketakan pihak-pihak yang berhadapan kepentingan dengan out put berupa putusan, maka sudah menjadi resiko laten jika akan terus menghadapi penilaian publik dalam sudut pandang/perspektif yang berbeda. Bagi pihak yang dalam putusan hakim diuntungkan, dia akan memuji dan mengatakan putusan hakim sudah tepat dan adil, namun di satu pihak yang tidak diuntungkan,  akan menganggap putusan tidak benar dan tidak adil. Itu jika tujuan berperkara adalah mencari kemenangan. Oleh karena putusan adalah core busssines lembaga pengadilan, maka tolok ukur publik terhadap baik buruknya lembaga seringkali hanya dinilai dari putusan hakim saja, padahal sudah banyak perubahan-perubahan positif yang dilakukan lembaga pengadilan dalam melayani publik dengan berbagai inovasi baik mengenai administrasi perkara, maupun kemudahan dalam proses persidangan dengan mengoptimalkan tehnologi informasi. Salah satu contoh transparansi proses ber-acara yang bisa diakses dengan mudah oleh para pihak bahkan oleh publik yaitu SIPP ( Sistem Informasi Penelusuran Perkara ) maupun e - Court yang mendeskripsikan perjalanan proses perkara sejak didaftarkan sampai putusan, belum lagi inovasi-inovasi lainnya. Namun Succes Story atau keberhasilan semua perubahan positif dan bermanfaat bagi publik maupun pihak berperkara tersebut, ibarat panas kena hujan sehari, jika kemudian ada blow up atau viral nya sebuah putusan hakim yang dianggap atau dinilai tidak adil. Semua prestasi itu seolah tenggelam tiada arti hanya karena sebuah putusan. Dan barangkali itu semua menjadi bukti tak terbantahkan adagium yang menyatakan putusan adalah mahkota-nya hakim. Segala pernak pernik perhiasan di pakaian kebesaran tentu tidak akan semahal dan seberharga makhkota di kepala. Jika mahkota dilihat retak, maka hilanglah kewibawaan pemakainya. STRATEGI KEHUMASAN PENGADILANBertolak dari fakta demikian, lalu bagaimana seharusnya strategi kehumasan lembaga pengadilan agar mampu menjadikan putusan hakim ( putusan pengadilan ) yang merupakan core bussines menjadi Lucky Point kehumasan bukan menjadi Bad Point ? Jika kita melihat fenomena terkait pemberitaan sebuah putusan yang dinilai menjatuhkan performa lembaga pengadilan, hampir semua adalah terkait dengan putusan yang menarik perhatian masyarakat. Sehingga fokus managemen kehumasan sudah semestinya dimulai sejak perkara tersebut dilimpahkan atau didaftarkan ke pengadilan, bahkan untuk perkara pidana sudah bisa dimulai mapping-nya sejak ditetapkannya Tersangka oleh penyidik di wilayah hukum pengadilan setempat. Humas Pengadilan harus sudah melakukan semacam langkah Pulbaket ( informasi penting terkait perkara dimaksud ) agar setidaknya bisa digunakan untuk melakukan analisa yang hasilnya berupa opsi langkah-langkah antisipasi berkait dengan pemberitaan perkara dimaksud. Humas Pengadilan juga secara internal melakukan koordinasi dengan majelis hakim yang menangani perkara yang menarik perhatian masyarakat tanpa mengganggu independensinya, sekedar untuk memperoleh informasi perkembangan penanganan perkaranya, agar Humas mampu memberikan jawaban atas pertanyaan dari media pers dengan akurasi yang tepat dan tidak melanggar aturan. Selanjutnya dengan memperoleh dan mengamati jalannya persidangan, Humas akan bisa menganalisa apakah jika putusan dibacakan akan menimbulkan dampak pemberitaan yang seperti apa. Barangkali lebih tepat jika majelis hakim setelah membacakan putusan atas perkara yang menarik perhatian masyarakat mau memberikan poin-poin pertimbangan putusannya, sehingga seusai dibacakan, Humas bisa menyampaikan release singkat kepada media pers. Hal ini penting dilakukan agar publik tidak memperoleh berita tentang putusan yang seringkali ditulis secara tidak benar oleh media, dan berita yang tidak tepat tersebut sudah terlanjur dikonsumsi publik dan pada akhirnya menjadi berita yang sudah digoreng untuk kepentingan berbagai pihak. Langkah lain yaitu Humas pengadilan harus proaktif berkoordinasi dengan majelis-majelis hakim yang menangani perkara dengan isue hukum yang aktual dan diapresiasi publik agar kelak mem-blow up putusan tersebut ke media pers, agar menjadi berita yang viral. Secara singkat dapat dikatakan, putusan hakim jangan hanya menjadi berita buruk yang menenggelamkan banyaknya prestasi lembaga, tapi dikelola pemberitaannya menjadi kekuatan utama lembaga. Djuyamto SH MH (Humas PN Jakarta Selatan)

Narasi Keliru Denda Korupsi Lima Ribu Toni Tamsil

article | Opini | 2024-12-23 21:30:38

Beberapa waktu lalu, sejumlah media nasional ramai menyoroti putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang terhadap Toni Tamsil alias Akhi. Reaksi dan komentar publik menjadi cukup tajam karena Tamsil diwartakan hanya dijatuhi pidana penjara selama tiga tahun dan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Oleh masyarakat, jumlah “denda” ini jelas dianggap sangat tidak proporsional dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai angka hingga Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus triliun rupiah).Sebelum terjebak pada penilaian dan konklusi yang keliru, sangat penting bagi seluruh pihak untuk memahami perbedaan antara pidana denda dan biaya perkara. Keduanya sekilas memang tampak serupa, akan tetapi sebenarnya memiliki dasar hukum dan implikasi yuridis yang jauh berbeda. Pidana denda sendiri merupakan salah satu dari lima jenis pidana pokok yang tercantum pada Pasal 10 KUHP, yakni: 1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana kurungan; 4) pidana denda; dan 5) pidana tutupan. Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka ia harus menggantinya dengan pidana kurungan paling lama hingga delapan bulan. Namun dalam perkara tindak pidana korupsi, terdapat ketentuan khusus mengenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti. Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka hukumannya akan ditambah dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokok.Jika mencermati Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK), perbuatan Tamsil diancam dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun hingga paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau dengan pidana denda Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) hingga paling banyak sejumlah Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Karena rumusan pasal tersebut menggunakan konjungsi “dan atau”, maka hakim dapat memilih di antara dua opsi pilihan. Opsi pertama adalah menjatuhkan hukuman di antara pidana penjara atau denda secara alternatif. Selain itu, terdapat opsi kedua, yakni hakim menjatuhkan pidana penjara dan denda secara sekaligus dalam bentuk kumulatif.Pada persidangan dengan register Nomor 6/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp, Terdakwa Tamsil dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perintangan penyidikan perkara korupsi”. Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri Pangkalpinang lalu menjatuhkan putusan “pidana penjara selama 3 (tiga) tahun”. Dengan kata lain, Tamsil telah dihukum dengan pidana penjara tanpa disertai dengan pidana denda maupun uang pengganti. Meskipun demikian, ia tetap dibebankan untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).Diktum menyangkut biaya perkara inilah yang kemudian memunculkan narasi seakan-akan Tamsil hanya dikenakan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Padahal jika merujuk Pasal 197 KUHAP, suatu putusan pemidanaan memang harus memuat mengenai “ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan”. Berdasarkan angka 27 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983, biaya perkara paling sedikit adalah sejumlah Rp500,00 (lima ratus rupiah) dan maksimal sejumlah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah). Perinciannya adalah maksimal Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) untuk beban biaya proses pengadilan di tingkat pertama dan Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) untuk pengadilan tingkat banding. Artinya, pengadilan memang harus menjatuhkan biaya perkara jika seseorang dinyatakan bersalah, terlepas dari apa pun kualifikasi pidananya. Ketentuan ini bersifat imperatif, mulai dari perkara sepele seperti pelanggaran lalu lintas atau penghinaan ringan, hingga perkara serius seperti pembunuhan, terorisme, atau korupsi. Jika terdakwa tidak mampu membayar, maka biaya perkara dapat ditanggung oleh negara setelah memperoleh persetujuan pengadilan.Dalam konteks narasi mengenai Toni Tamsil, tajuk pemberitaan media seakan-akan mencampuradukkan terminologi antara biaya perkara dan pidana denda. Padahal, keduanya memiliki pengertian yang jauh berbeda. Biaya perkara merupakan kewajiban administratif yang dibebankan kepada terpidana untuk mengganti ongkos operasional persidangan, sedangkan pidana denda adalah salah satu dari lima jenis pidana pokok yang dijatuhkan hakim sebagai bentuk sanksi penghukuman. Nominal biaya perkara ini memang relatif rendah karena belum pernah direvisi semenjak berlaku 40 tahun lalu, sementara jumlah pidana denda dapat mencapai jumlah yang jauh lebih signifikan, tergantung dari bentuk kejahatan dan akibat yang ditimbulkan terdakwa. Sebagai contoh, Mahkamah Agung pernah menjatuhkan pidana denda hingga satu milyar rupiah dalam perkara korupsi lahan sawit di Riau yang melibatkan Surya Darmadi, founder dan chairman PT Darmex Agro Group.Reaksi publik yang kuat menunjukkan bahwa masyarakat sangat memperhatikan isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Meskipun demikian, masyarakat awam yang asing dengan istilah hukum kemungkinan besar akan keliru ketika menafsirkan putusan pengadilan, sehingga timbul keprihatinan publik bahwa terdakwa korupsi seperti Toni Tamsil hanya dihukum dengan “denda” sejumlah lima ribu rupiah. Padahal, Pengadilan Negeri Pangkalpinang sebenarnya telah menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun, sedangkan perintah untuk membayar sejumlah lima ribu rupiah merupakan biaya perkara yang memang harus dibebankan kepada seluruh terpidana. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat sangat membutuhkan edukasi hukum yang memadai. Selain itu, media juga memegang tanggung jawab krusial untuk menghindari titel pemberitaan yang berpotensi misleading. Di lain pihak, penting bagi seluruh aparatur untuk selalu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan penegakan hukum, karena setiap pengambilan kebijakan akan selalu terpantau oleh publik yang kritis. (LDR)  

Hakim Sang OPTIMUS PRIME

article | Opini | 2024-12-22 04:40:07

Mengapa harus optimus prime?Mungkin, dalam benak pembaca akan bingung apa itu optimus prime dan apa hubungannya dengan hakim. Pencarian siapa sosok optimus prime tidaklah mengalami kesulitan jika kita sering menonton film Transformer baik versi animasi kartun maupun dalam the movies. Penonton serial film itu tentunya sudah familiar siapa itu sosok optimus prime atau di Jepang disebut sebagai convoy. Optimus prime merupakan karakter utama atau tokoh utama dalam fiksi dan protagonis dari waralaba Transformers itu sendiri.Tokoh ini digambarkan sebagai pemimpin yang berani dan mulia dari kelompok autobots. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan melakukan perlawanan terhadap semua kejahatan yang dilakukan oleh kelompok decepticons, dengan pemimpinnya yaitu megatron yang dibantu starscream yang berusaha menguasai cybertron, dunia dan alam jagat raya, begitulah secara sederhana menggambarkan sosok optimus primeLantas, bagaimana kaitannya dengan sosok hakim? jika optimus prime adalah seorang robot maka hal yang berbeda jika berbicara mengenai hakim yang merupakan sosok manusia atau person. Sosok hakim didunia nyata digambarkan sebagai tokoh sentral dalam proses penegakan hukum. Hakim adalah suatu jabatan yang mempunyai kewenangan dalam menerima, memeriksa, mengadili serta memutus perkara yang diajukan kepadanya.Titik singgung antara optimus prime dan hakim adalah sama-sama dianggap sebagai pemimpin di wilayah masing-masing. Di serial film tersebut maka sosok optimus prime dianggap sebagai sosok pemimpin yang baik dan berhasil. Begitupun seorang Hakim, agar hakim dalam menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin yang baik dan berhasil, maka Hakim dapat mengambil sisi positif dari sikap dari perilaku dalam tokoh utama seperti di film Transformers ini.Optimus Prime dan Hakim Penjaga Benteng KeadilanOptimus Prime digambarkan pahlawan dalam setiap arti kata dan perilakunya. Pendapatnya tentang kebebasan adalah hak milik semua makhluk hidup menjadikannya sebagai sosok yang disegani dan mengagumkan di mata semua bawahannya (dan bahkan musuh-musuhnya) sangat menghormatinya. Secara sederhana, ia adalah sosok panutan.Jika kita mencari arti kata optimus prime di dalam bahasa latin maka ditemukan arti dari kata optimus yang artinya terbaik atau terhebat dan prime yang artinya pertama. Optimus prime sebagai pertama dan terbaik,  begitupun seharusnya seorang Hakim juga seyogyanya menjadi yang pertama dan terbaik dalam artian sebagai penjaga keadilan, terbaik yang dituntut untuk senantiasa mempunyai etos kerjanya yang tidak goyah dan benteng terbaik yang sifatnya kokoh sebagai penjaga benteng keadilan.Perlu diingat bahwa putusan hakim sebagai benteng keadilan mempunyai dua sisi dimensi. Menurut ansyahrul, dalam karyanya Pemuliaan Peradilan Dan Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan Dan Hukum Acara (Kumpulan Makalah: 2008) menyatakan semua putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan bukan saja di kehidupan duniawi saja akan tetapi dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Tuhan.Optimus prime digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mempunyai karakteristik kepemimpinan yang efektif. Pimpinan yang mempunyai visi dan misi yang jelas, sosok yang berintegritas, dalam melakukan semua tindakan juga dibarengi dengan keberanian, dan yang tidak kalah pentingnya adalah punya kemampuan untuk menginspirasi dan memotivasi tim. Faktor kepemimpinannya sangatlah kuat karena dibarengi dengan kemampuan untuk mengatasi segala tantangan dengan bantuan kebijaksanaan yang tinggi dan keteguhan hati. Kepemimpinannya dapat dijadikan sebagai contoh bagi siapa yang diberi kepercayaan oleh orang lain, kelompok, organisasi maupun negara oleh terkait dengan kekuasaan dan jabatannya termasuk hakim.Begitupun harusnya seorang Hakim, untuk menjadi pemimpin yang efektif maka dalam diri seorang Hakim juga harus mempunyai visi misi yang jelas. Kepemimpinan seorang hakim juga akan dijadikan role model atau panutan baik bagi keluarganya, di satker kerjanya maupun dilingkungan sekitarnya, oleh karenanya hakim harus dapat menjaga perilaku baik didalam dan diluar persidangan, layaknya tokoh Optimus prime. Hakim akan menjadi terbaik jika dia taat dan patuh pada kode etiknya, diantaranya “berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional”.Tanpa kita sadari, kode etik hakim sebagaimana dimaksud diatas bagian dari dari sepuluh nilai utama, dan jika ditelusuri lebih lanjut akan selaras dengan kepribadian optimus prime sebagai pribadi yang mempunyai integritas, kejujuran, keberanian, berdisiplin tinggi dan profesional.Integritas dalam diri optimus prime juga kita temukan di dalam butir-butir kode etik hakim tersebut. Integritas tinggi pada hakim tercermin dalam sikap setia dan tangguh dalam berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Optimus prime adalah pemimpin yang berwibawa, demikian juga hakim akan sangat berwibawa jika didalam jiwa dan perilaku serta mempunyai integritas yang tinggi.Sosok Berani Serta Mulia dari Optimus Prime dan HakimOptimus prime sebagai sosok yang berani dan mulia, maka demikian juga seorang hakim harus bisa mencerminkan seorang yang berani dan mulia. Pemimpin yang berani dan mulia yang dilekatkan pada seorang hakim ialah bahwa hakim harus memahami apa dan tugas hakim yang tentunya sangat berat untuk dipikul hakim juga dituntut menjadi seorang yang mulia dalam artian bahwa seorang hakim haruslah seseorang yang berbudi pekerti luhur sehingga dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu kemuliaan (officium nobile).Hakim harus menjadikan peradilan yang agung sebagai tujuan dalam pengabdiannya. Peradilan agung dapat diwujudkan jika dalam diri dan jiwa seorang hakim tertanam Tri Prasetya Hakim, “Menjunjung tinggi citra wibawa dan martabat hakim dan menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan hakim Indonesia, serta menjunjung tinggi dan mempertahankan jiwa korps hakim Indonesia”.Pengejawantahan keberanian optimus prime juga harus dipunyai oleh seorang hakim. Keberanian hakim yang dimaksud adalah keberanian hakim menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan hukum. Sikap dan tindakan hakim juga dituntut untuk mengupayakan yang terbaik bagi lancarnya suatu persidangan. Hakim haruslah aktif dalam persidangan untuk mencari kebenaran.Begitupun pendapat Sunarto dalam bukunya Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata (Jakarta: 2021) menekankan, “tidak tepat jika hakim perdata harus semata-mata bersikap pasif karena yang aktif adalah pihak berperkara, karena menurutnya seorang hakim haruslah untuk bersikap aktif dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui proses persidangan pengadilan, termasuk dalam peradilan perdata.Pencari keadilan datang ke lembaga peradilan dengan mengajukan perkaranya karena hakim dipandang mampu sekalipun hukum tidak jelas atau belum ada aturan karena hakim adalah dipandang sebagai ius curia novit atau hakim tahu segala hukumnya sehingga hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, hakim harus menemukan hukum dengan cara menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat.Penutup Kisah Pahlawan Optimus Prime dan HakimMenggambarkan Optimus Prime sebagai pahlawan dalam tokoh fiksi Transformers dalam menjalankan perannya memberantas kejahatan seringkali mengorbankan dirinya hingga mati meskipun dalam film sifatnya sementara karena berhasil dibangkitkan kembali. Berbeda dengan dengan Hakim yang yang di dunia nyata mempunyai sikap rela berkorban demi tegaknya keadilan dengan cara apapun.Hal ini sebagaimana semboyan Fiat justitia ruat caelum yang berarti keadilan haruslah ditegakkan meski langit runtuh. Sikap rela berkorban dapat dimaknai hakim harus menjauhkan kepentingan apapun lainnya khusus kepentingan pribadi selain kepentingan keadilan itu sendiri dalam putusannya. Hakim harus bisa membawa jabatan hakim sebagai jabatan mulia sebagaimana arti dari optimus prime itu sendiri, walaupun akhir akhir ini image hakim sebagai yang mulia menemui tantangan dan cobaan yakni dengan ditangkap dan diproses tindak pidana yang dilakukan oleh hakim baik dari mulai hakim agung sampai dengan hakim tingkat pertama oleh KPK maupun kejaksaan tentunya membawa kondisi jabatan hakim menjadi terpuruk dan menjadi cibiran dari masyarakat, Oleh karenanya hakim sebagai seorang pemimpin yang dijadikan panutan bagi masyarakat sekitarnya harus dapat berperan dan bertindak sebagai optimus prime sehingga jabatan hakim menyandang sebagai yang pertama dan terbaik dibidang penegakan hukum.Selayaknya film-film yang menggambarkan sosok Optimus Prime, dibagian akhir cerita selalu menyuguhkan kisah menangnya keadilan dan berakhirnya kezaliman. Inilah akhir dari kisah yang ditunggu-tunggu para penonton film. Sementara di dunia nyata, kisah panutan seorang Hakim juga selayaknya dapat ditutup dengan kisah menjaga marwah peradilan, menegakan keadilan dan menjadikan dunia peradilan sebagai benteng terakhir tegaknya keadilan. Inilah penutup kisah yang ditunggu-tunggu oleh para pencari keadilan. (LDR, FAC)

Etika Profesi Hakim dan Semiotika Ketidak-adilan

article | Opini | 2024-12-22 04:30:19

Kontemplasi mengenai etika selalu menjadi “primus interpares” dalam pembahasan sebuah profesi. Setiap profesi pasti melekatkan etika dalam pondasi, bangunan dan puncak eksistensinya. Etika melalui turunannya kode etik, akhirnya menjadi penentu apakah sebuah profesi pantas disebut “Keadaan” atau ‘Kemuliaan”.Etika menjadi salah satu cabang filsafat terpenting selain logika, yang menduduki tempat terhormat, bukan hanya dalam khazanah ilmu pengetahuan tapi juga setiap segmentasi kehidupan. Etika adalah prinsip dan nilai yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat (Silalahi, Dkk., 2022).Menyadari pentingnya pemahaman terhadap konsep etika, Badan Peradilan Umum MA RI tanggal 7 Oktober 2024 lalu, menggagas Pertemuan Rutin dan Sarasehan Interaktif (Perisai) untuk melakukan diskusi lebih dalam tentang tema ini, meskipun perlu digaris bawahi, Perisai adalah kegiatan berkelanjutan sebagai wadah membuka ruang diskusi dan argumentasi di tengah semakin minimnya literasi. Etika, dipilih sebagai topik perdana karena keutamaannya.Salah satu etika profesi yang selalu menarik atensi adalah pembahasan tentang etika profesi hakim. Tema ini sangat fundamental bukan hanya sebagai pembahasan utama dalam cabang pemikiran filsafat etika profesi tapi juga karena profesi hakim merupakan profesi utama dalam dunia penegakan hukum.Menariknya, anomali situasi terjadi ketika diskusi perdana “Perisai” dibuka. Hari itu dua tepian peristiwa yang mungkin saja terpisah secara geografis, justru terkait secara etik. Peristiwa pertama, seperti disebutkan di awal tulisan ini adalah salah satu tema diskusi yang diangkat sebagai tema “Perisai” tentang kode etik hakim yang melibatkan seluruh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum secara daring.Peristiwa kedua, dihari yang sama, sekumpulan hakim yang menamakan diri gerakan solidaritas hakim Indonesia justru sedang “berjuang” merefleksikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dengan mendatangi gedung DPR RI,. wakil tuhan mendatangi para wakil rakyat, adalah fenomena filsafat paling layak dipikirkan abad ini.Ada beberapa tuntutan yang dikemukakan, tapi intinya lebih dari 12 (dua belas tahun) negara abai dalam memperhatikan nasib para wakil tuhan. Negara sedang mempertontonkan “cidera janji” terhadap salah satu pilar yudikatif yang menopang negara hukum.Hakim turun ke jalan. Demikian diksi yang dipilih salah satu media. Maka bermunculanlah komentar kalap sebagian netizen. Diantaranya mempertanyakan etika para hakim yang justru seolah “mengemis” kesejahteraan kepada para wakil rakyat. Satire itu muncul, mengapa para wakil tuhan meminta itu kepada wakil rakyat? etika tanpa logika, katanya.Tapi ada juga yang bijak dalam berkomentar. Kata mereka, memang pantas seorang hakim memperoleh hak sebagai pejabat negara atau sebagai wakil tuhan asalkan mereka pun siap menerima konsekuensi maksimal bila hakim menyimpang dari koridor etika yang telah digariskan. Wajar pejabat negara diperlakukan selayaknya pejabat negara dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab yang telah digariskan aturan.Dalam dua tepian peristiwa ini, lagi-lagi kata “etika” digaungkan. Meski memiliki definisi, faktanya dalam ruang publik, etika adalah labirin yang menimbulkan kebingungan dan kegelisahan. Etika adalah kata yang begitu mudah diucapkan tapi begitu rumit ketika bersinggungan dengan kenyataan.Dalam ruang terbatas, persepsi yang muncul dalam kedua peristiwa ini sebenarnya sangat berkaitan. Diskusi atau argumentasi terhadap etika yang digagas Perisai langsung menemukan contoh nyata dilapangan ketika etika berbenturan bukan dengan logika tapi justru dengan negara.Hakim harus punya etika. Etika diatur dalam kode etik, maka setiap hakim harus tunduk dan patuh terhadap kode etik itu. Apakah hakim yang “turun ke jalan” yang tidak sidang, bersikap layaknya demonstran, melanggar etika ?. Belum tentu.Etika tertinggi dianut oleh penguasa (baca : negara) untuk memastikan seluruh alat penggerak kekuasaan juga berjalan dalam koridor etika pula. Dalam hal ini, negara bertindak sebagai “Tuhan” bukan lagi alat penyelenggara negara.Ketika negara lalai memperhatikan eksistensi hakim termasuk kesejahteraan mereka dan hak haknya, itu satu hal. Tapi hal lain yang luput dari pemikiran adalah kelalaian ini berpotensi menyulut pelanggaran etika dari hakim itu sendiri. Godaan, ancaman kekerasan, pengabaian hak, hanya untuk menyebut sedikit diantaranya membuat hakim sangat mungkin melakukan pelanggaran kode etik dalam profesinya. Tapi perlu dicatat, sedikit banyak, hal ini bisa muncul dari “ketidak-hadiran Tuhan” dalam memperhatikan nasib mereka. Lagipula, ketika wakil rakyat menerima para wakil tuhan, para wakil rakyat ini bertindak atas semboyan ‘Vox populi Vox Dei”.Maka peristiwa hakim turun ke jalan hanyalah preferensi moral yang diterjemahkan dalam pertanyaan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan “Tuhan”. Metamorfosis penegak keadilan menjadi pencari keadilan adalah masalah lain. Tapi sekali lagi, inilah semiotika ketidak-adilan.Semiotika adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menggali makna dalam sebuah tanda. Menurut Susanne Langer, menilai simbol atau tanda merupakan sesuatu yang penting kehidupan binatang diperantarai oleh perasaan (feeling) tetapi perasaan manusia diperantarai oleh sejumlah konsep, simbol dan bahasa (Morison, 2013). Meski harus diakui, sangat ironis melekatkan pertanda ini kepada para hakim yang di tangan mereka keadilan ditegakkan, di pundak mereka kebenaran terakhir dipertaruhkan, dan di dalam hati dan pikiran mereka lah konstitusi dijaga dan diwariskan.Semiotika ketidak-adilan ini menjadi begitu brutal karena beberapa hal, pertama, melibatkan “Tuhan” dan wakilnya sebagai fragmen kegagalan bernegara, kedua, keseimbangan tiga pilar penyelenggara negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak berjalan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, dan ketiga, terbelahnya riuh persepsi publik dalam menyikapi fenomena ini.Satu hal yang pasti, etika meskipun sifatnya ideal tapi akan selalu ada dalam ruang realitas. Etika yang dijabarkan dalam kode etik, apapun profesinya adalah konjungsi timbal balik antara nilai dan penganutnya. Mustahil berharap etika akan dipenuhi, apabila nilai yang diharapkan untuk mematuhi etika itu malah diabaikan. Bila Anda berharap hakim sepenuhnya patuh pada etika sebagai pejabat negara, tapi disisi lain hak dan kewajibannya tidak sepenuhnya juga dipenuhi, maka di titik itu anda melakukan pengabaian terhadap gambaran etika itu sendiri.Hakim meskipun disimbolkan sebagai wakil tuhan tetaplah manusia biasa. Bukan sekadar tempat salah dan dosa tapi tempat segala godaan diuji coba. Saat tulisan ini dibuat penawar letih tuntutan hakim telah dipenuhi. Tapi itu hanya penawar sementara sedangkan masalah sesungguhnya lebih dari itu.Sekali lagi masalah hakim di Indonesia adalah semiotika ketidak-adilan. Tanda-tanda ini akan terus ada bila negara sebagai pengayom dan penegak konstitusi gagal atau lalai dalam menjaga konstitusi.Memang benar bahwa sampai kapan pun, dalam dunia manapun, ketidakadilan akan selalu ada tak jarang pula ketidak-adilan ini menjadi gambaran paripurna yang meruntuhkan suatu rezim. Tapi, tak ada yang lebih mengkhawatirkan bila palu yang menjadi pemukul ketidakadilan justru “break” sejenak karena sang pemegang palu sedang menuntut keadilan.Semiotika ini berbahaya dan tak boleh lagi terulang di masa depan. Bila negeri ini ingin tetap kukuh sebagai negara hukum, maka sepantasnya hukum dan hakim harus seiring sejalan.John F. Kennedy pernah berujar, jangan tanyakan apa yang dilakukan negara untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu lakukan untuk negaramu. Biarkan hakim “berbuat” untuk negaranya, tapi pastikan “negara” juga hadir dalam proses dialektika itu. Ini semata bukan karena negara kita adalah negara hukum, tapi karena hukum, pada akhirnya, adalah “negara” itu sendiri. (FAC, LDR)

Menyederhanakan Gugatan Sederhana

article | Opini | 2024-12-18 10:25:25

Lahirnya mekanisme gugatan sederhana tentu tidak dapat dilepaskan dari cita mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Asas yang mendasari keberadaan penyelenggaraan peradilan.Kebutuhan akan penyelesaian sengketa perdata, dengan nilai obyek, gugatan serta sederhana tidaknya pembuktian karena tidak terakomodir dengan ketentuan hukum acara yang ada. Bukankah dikatakan keadilan yang terlambat adalah ketidakadilan? Karenanya dalam mekanisme gugatan sederhana, banyak ‘penyederhanaan’ yang dilakukan dengan memangkas hal menjadi penghambatnya. Salah satunya adalah mengenai domisili atau alamat Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum.Dengan merujuk pada asas gugatan diajukan di tempat tinggal atau domisili Tergugat, maka mau tidak mau hanya Penggugat yang berdomisili sama yang dapat mengajukan gugatan sederhana. Demikian diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Lalu bagaimana jika Penggugat berdomisili berbeda dengan Tergugat? Ketika baik nilai obyek gugatan maupun pembuktian masuk kategori sederhana. Nah, terkait hal tersebut Perma Nomor 4 Tahun 2019 merubah aturan Perma sebelumnya. Penggugat dapat menunjuk kuasa, kuasa insidentil bahkan wakil yang beralamat atau domisili sama dengan Tergugat. Tentu saja dengan surat kuasa atau surat tugas yang membuktikan hal tersebut.Selanjutnya menjadi menarik, kenapa atau mengapa alamat atau domisili Penggugat dan Tergugat harus dalam satu wilayah hukum? Jika merujuk pada maksud dan tujuan keberadaan mekanisme gugatan sederhana salah satunya adalah persoalan panggilan. Diakui atau tidak, persoalan panggilan, pada saat itu masih menjadi kendala, terutama dalam hal panggilan delegasi. Ketika kedua belah pihak dalam satu wilayah hukum tentu kendala panggilan delegasi tidak akan terjadi pada gugatan sederhana.Perkembangan berikutnya, transformasi administrasi dan persidangan secara elektronik muncul kemudian. Hal tersebut juga telah disadari dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019. Kehadiran Pasal 6A menunjukkan hal tersebut, mekanisme gugatan sederhana juga memanfaatkan administrasi persidangan secara elektronik.Hal tersebut tentu beralasan karena, sebelum  kehadiran Perma Nomor 4 Tahun 2019, lahir aturan mengenai administrasi dan persidangan secara elektronik. Administrasi perkara secara elektronik mendapat pijakan aturan dalam Perma Nomor 3 Tahun 2018 yang kemudian diperbarui mencakup pula persidangannya pada Perma Nomor 1 Tahun 2019. Demikian juga Perma Nomor 7 Tahun 2022 yang kemudian memperluas administrasi perkara secara elektronik juga meliputi upaya hukum.Lalu apa kaitannya semua itu dengan mekanisme gugatan sederhana? Sebelum membahas hal tersebut, tidak ada salahnya terdapat hal baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu domisili elektronik. Nah soal ini yang kemudian menjadi menarik jika dikaitkan dengan mekanisme gugatan sederhana.Secara singkat domisili elektronik diartikan sebagai alamat elektronik dan/atau layanan pesan (masseging services)  yang terverifikasi milik para pihak. Lalu untuk apa domisili elektronik itu? dan mengapa pula harus terverifikasi? Domisili elektronik, sebagaimana alamat atau domisili dalam gugatan konvensional adalah untuk menentukan kedudukan hukum dan keperluan bagi pemanggilan dan/atau pemberitahuan tentunya.Sebagaimana diketahui, alamat atau domisili diperlukan dalam perkara perdata karena ada kewajiban Pengadilan untuk melakukan pemanggilan dan/atau pemberitahuan bagi kelancaran jalannya persidangan, termasuk dalam hal dilakukan upaya hukum. Dalam perjalananya, panggilan dan/atau pemberitahuan juga mengalami perubahan seiring dengan administrasi, persidangan maupun upaya hukum elektronik. Jika pada awalnya panggilan dilakukan secara langsung oleh petugas pengadilan (jurusita/jurusita pengganti) secara sah dan patut, maka saat ini telah bergeser. Kehadiran domisili elektronik tentu memerlukan perlakuan khusus, yaitu dengan melakukan panggilan juga secara elektronik. Dan panggilan elektronik dijalankan langsung, tidak peduli apakah alamat atau domisili konvensionalnya berada di dalam ataupun diluar wilayah hukum pengadilan tersebut.Selain itu, saat ini, terhadap pihak yang masih menggunakan domisili atau alamat konvensional dan bukan domisili elektronik panggilan juga telah mengalami pergeseran. Tidak lagi dilakukan secara langsung, melainkan melalui pos tercatat khusus. Imbasnya, terhadap domisili atau alamat yang berada di luar wilayah hukum, pengadilan tidak perlu melalui delegasi akan tetapi dapat langsung mengirimkan melalui pos tersebut. Singkatnya administrasi perkara secara elektronik telah menghilangkan panggilan dan/atau pemberitahuan dengan delegasi.Dengan berbagai perkembangan terkait administrasi daan persidangan elektronik tersebut lalu bagaimana dengan gugatan sederhana? Ini yang menjadi menarik, karena dalam salah satu pasal Perma Nomor 4 Tahun 2019, Pasal 4 ayat 3a masih mensyaratkan alamat atau domisili Penggugat satu wilayah hukum dengan Tergugat?Bukankah saat ini seluruh pendaftaran gugatan wajib hukumnya didaftarkan secara elektronik? Dan konsekuensi hal tersebut adalah harus memiliki domisili elektronik yang terverifikasi? Jika demikian maka terhadap pendaftaran gugatan sederhana akan tercantum alamat atau domisili konvensional dan elektronik?Bagaimana cara menentukan bahwa Penggugat dan Tergugat memiliki domisili dalam satu wilayah hukum? Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan melihat sejarah serta maksud dan tujuan penyederhanaan gugatan sederhana terkait domisili para pihak. Panggilan dan/atau pemberitahuan, ya hal tersebutlah yang selama ini Mahkamah Agung terus upayakan dalam mewujudkan asas peradilan, termasuk dan tidak terbatas melalui domisili elektronik.Apa artinya? Artinya ketika pihak, dalam hal ini Penggugat telah mencantumkan domisili elektronik (terlebih telah terverifikasi melalui akun ecourt) maka seluruh panggilan dan/atau pemberitahuan seluruhnya akan disampaikan secara elektronik. Tidak akan pernah ada ceritanya panggilan dan/atau pemberitahuan akan dilakukan secara langsung oleh jurusita dan/atau jurusita pengganti, bahkan panggilan pos tercatat khusus sekalipun tidak akan dilakukan? Kenapa? Ya karena telah ada domisili elektronik yang terverifikasi.Lalu apa konsekuensinya? Kehadiran domisili elektronik, terutama untuk Penggugat yang memasukan gugatan secara elektronik telah menafikan (atau mengganggap) alamat atau domisili konvensional. La sudah tidak ada fungsinya terkait keperluan pencantumannya dalam gugatan. Pun demikian dalam gugatan sederhana tentunya.Pencantuman domisili elektronik dengan segala konsekuensinya di atas, tentu berimbas dalam cara memahami keberadaan Pasal 4 ayat 3a Perma Nomor 4 Tahun 2019. Apabila alamat atau domisili konvensional Penggugat dan Tergugat berada dalam satu wilayah hukum tentu tidak jadi persoalan. Lalu bagaimana jika sebaliknya? Tentu harus dikembalikan kepada hakekat keberadaan domisili elektronik seiring dengan perubahan administrasi perkara secara elektronik berikut perubahan tata cara pemanggilan dan atau pemberitahuan. Jika tidak demikian, maka penyederhanaan gugatan sederhana tidak akan mencapai tujuannya. Semoga tidak demikian.Kayuagung, 12122024 pada sebuah tanggal cantik dimana Timnas Indonesia kurang main cantik.