Perubahan KUHAP 1981 menjadi KUHAP 2025
merupakan konsekuensi logis dari berlakunya KUHP Nasional yang membutuhkan
hukum acara baru sebagai instrumen pelaksanaan. KUHAP 2025 mengintroduksi
sejumlah mekanisme acara pidana yang sebelumnya tidak dikenal dalam KUHAP 1981. Salah
satunya perjanjian penundaan penuntutan (Deferred Prosecution Agreement / DPA).
Mekanisme DPA
diatur dalam Pasal 328 KUHAP 2025 dan hanya dapat diterapkan terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi. Melalui mekanisme ini, jaksa berwenang
menunda penuntutan berdasarkan perjanjian tertentu dengan tersangka atau
terdakwa korporasi untuk mencapai kepatuhan hukum, pemulihan kerugian, dan
efisiensi peradilan; apabila kewajiban dalam perjanjian dipenuhi dalam jangka
waktu yang ditentukan, penuntutan dapat dihentikan melalui penetapan
pengadilan.
Dalam disertasi
Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan: Menggagas Penanganan Tindak Pidana Korupsi Melalui Konsep Plea
Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement, Febby Mutiara Nelson
menjelaskan bahwa DPA berkembang dari kebutuhan menangani perkara pidana
korporasi yang umumnya berlangsung lama, berbiaya tinggi, sulit pembuktiannya,
dan sering kali tidak efektif memulihkan kerugian negara maupun korban. Praktik
pemidanaan juga cenderung hanya menyentuh pelaku intelektual atau organ
korporasi sehingga pidana penjara justru menambah beban negara, sementara
kerugian korporasi yang bernilai sangat besar tetap sulit dipulihkan.
Baca Juga: Evaluating The Effectiveness Of Criminal Law Responses To Bullying
Asas Primum Remedium dalam
UU PPLH
Karena DPA
hanya dapat dikenakan terhadap korporasi, mekanisme ini secara teoretis paling
relevan dikaji dalam konteks perkara pidana lingkungan hidup dengan terdakwa
korporasi. Dalam hal ini adalah delik pidana berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH). UU PPLH menempatkan hukum pidana pada dasarnya sebagai primum
remedium, kecuali terhadap tindak pidana formil tertentu, seperti pelanggaran
baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan dalam Pasal 100 UU PPLH,
yang ditegakkan berdasarkan asas ultimum remedium setelah upaya administratif
dinilai tidak berhasil.
Dukungan
normatif terhadap primum remedium tampak dalam Pasal 78 UU PPLH yang menegaskan
bahwa sanksi administratif tidak menghapus tanggung jawab pemulihan maupun
pidana, serta Pasal 85 ayat (2) UU PPLH yang menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana lingkungan hidup.
Pergeseran politik hukum dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yang
memposisikan hukum pidana sebagai sanksi subsidier terhadap sanksi
administratif, ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menunjukkan penguatan peran
hukum pidana sebagai instrumen utama perlindungan lingkungan.
Analisis Normatif Mekanisme DPA dalam Perkara Lingkungan
Hidup dan Kritik
terhadap Paradigma Restorative Justice
Pasal 328 KUHAP
2025 memang mengatur mekanisme DPA, tetapi tidak memberikan pembatasan
eksplisit mengenai jenis tindak pidana atau tingkat keseriusan tindak pidana
yang dapat diselesaikan melalui mekanisme tersebut. Keadaan ini berbeda dengan
mekanisme pengakuan bersalah (plea
bargain) yang sama-sama berada di area penuntutan. Mekanisme plea
bargain dalam Pasal 78 KUHP baru secara tegas memberikan
demarkasi pengenaan mekanisme ini hanya dalam hal pelaku baru pertama
kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana penjara paling lama lima tahun
atau denda paling banyak kategori V, serta kesediaan membayar ganti rugi atau
restitusi.
Ketiadaan
batasan serupa pada DPA menimbulkan pertanyaan kesesuaian politik hukum DPA
dengan politik hukum pemidanaan dalam UU PPLH yang menekankan pencegahan
melalui instrumen seperti PPLH, KLHS, AMDAL, dan penataan ruang. Jika DPA
diterapkan secara longgar, terdapat risiko bahwa korporasi menjadi kurang
insentif untuk patuh sejak awal terhadap instrumen pencegahan dan sanksi
administratif, karena masih tersedia ruang negosiasi melalui DPA setelah tindak
pidana terjadi.
Mekanisme DPA,
“seakan-akan” memberikan
nyawa tambahan bagi pelaku pidana lingkungan hidup untuk tidak perlu “patuh-patuh
amat” dengan instrumen pencegahan yang ada serta
sanksi administrasi. Karena bila terjadi tindak pidana lingkungan hidup, maka
mereka dapat mengajukan DPA agar kemudian mematuhi instrumen pencegahan yang
bersifat administratif tersebut saat
akan dilakukan penuntutan terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang telah terjadi.
Anindytha Arsa Prameswari, dkk dalam Jurnal berjudul Deferred
Prosecution Agreement: Mekanisme Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi
terhadap Perusakan Lingkungan Hidup Melalui Paradigma Restorative Justice
berargumen bahwa sistem peradilan pidana Indonesia dapat mengakomodasi konsep
DPA pada tindak pidana perusakan lingkungan yang berorientasi pada paradigma Restorative
Justice. Penulis tidak sependapat dengan argumen tersebut. Paradigma restorative
justice membuka peluang agar pelaku tindak pidana dijatuhi hukum yang dapat
mengembalikan keadaan kepada keadaan semula sebelum tindak pidana terjadi.
Jika DPA diposisikan sebagai sarana restorative justice yang pada
praktiknya menghentikan penuntutan ketika korporasi memenuhi syarat tertentu,
maka fungsi pidana sebagai primum remedium dalam perkara lingkungan hidup
justru tereduksi. Padahal UU PPLH secara sadar telah meninggalkan paradigma
“pidana sebagai ultimum remedium”. Dengan kata lain, restorative justice
dapat dan seharusnya diintegrasikan ke dalam putusan pidana (misalnya dengan
kewajiban pemulihan, perintah tindakan tertentu, ganti rugi), bukan lewat
penundaan dan potensi penghapusan penuntutan. Dalam praktik, pengadilan telah
menjatuhkan putusan yang memuat perintah ganti rugi sekaligus tindakan
pemulihan lingkungan, termasuk menghukum perusahaan membayar biaya pemulihan ke
kas negara untuk kepentingan pemulihan ekologis. Artinya, tanpa DPA, pemulihan
lingkungan dan kompensasi korban sudah dapat diwujudkan melalui amar putusan
pidana yang apabila tidak cukup masih dapat dilanjutkan dengan mekanisme
perdata.
Secara
teoritis, DPA dapat berfungsi sebagai instrumen pemulihan yang kuat apabila
dirancang dengan kriteria yang ketat, terukur, dan transparan, terutama terkait
pemulihan kerusakan lingkungan dan pemenuhan kewajiban korporasi. Namun, tanpa
pembatasan mengenai jenis delik, tingkat keseriusan kerusakan, dan standar
minimal pemulihan, DPA berpotensi dimanfaatkan secara oportunistik dan
memperbesar ruang penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum maupun
pelaku usaha. Hal tersebut dapat mengakibatkan “erosion of
corporate criminal liability” mengutip David M. Uhlmann yang mengkritik
praktik DPA dalam jurnal Deferred Prosecution Agreement and
non-prosecution Agreement and the erosion of corporate criminal liability.
Penutup
Dalam kerangka
penegakan hukum lingkungan hidup, keberadaan DPA harus dinilai dengan parameter
keadilan ekologis, bukan sekadar efisiensi dan
efektivitas penanganan
perkara. Penegakan hukum di bidang ini dituntut menjamin keberlanjutan fungsi
lingkungan hidup dan perlindungan generasi mendatang di tengah ekspansi
industri ekstraktif yang semakin masif.
Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP
Karena muara
DPA berada di pengadilan, Mahkamah Agung wajib
memberikan
pedoman yang jelas bagi hakim dalam menilai dan mengesahkan kesepakatan DPA, khususnya dalam perkara pidana lingkungan hidup.
Pedoman tersebut penting untuk memastikan bahwa kesepakatan DPA sebanding
dengan tingkat kerusakan lingkungan dan kerugian korban serta tidak
mengorbankan keadilan ekologis demi alasan efektivitas semata. Pengadilan,
sebagai key actor dalam penegakan
hukum pidana lingkungan, harus menempatkan DPA sebagai mekanisme yang bersifat
sangat selektif, terukur, dan berbasis pemulihan substantif, bukan sebagai
saluran pelarian dari pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dijalankan. (ypy)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI