Cari Berita

Erosi Asas Primum Remedium Penegakan Pidana Lingkungan Hidup dalam KUHP Baru

Reindra Jasper H. Sinaga-Hakim PN Tanjung Balai Karimun - Dandapala Contributor 2026-01-02 07:05:15
Dok. Penulis.

Perubahan KUHAP 1981 menjadi KUHAP 2025 merupakan konsekuensi logis dari berlakunya KUHP Nasional yang membutuhkan hukum acara baru sebagai instrumen pelaksanaan. KUHAP 2025 mengintroduksi sejumlah mekanisme acara pidana yang sebelumnya tidak dikenal dalam KUHAP 1981. Salah satunya perjanjian penundaan penuntutan (Deferred Prosecution Agreement / DPA).

Mekanisme DPA diatur dalam Pasal 328 KUHAP 2025 dan hanya dapat diterapkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Melalui mekanisme ini, jaksa berwenang menunda penuntutan berdasarkan perjanjian tertentu dengan tersangka atau terdakwa korporasi untuk mencapai kepatuhan hukum, pemulihan kerugian, dan efisiensi peradilan; apabila kewajiban dalam perjanjian dipenuhi dalam jangka waktu yang ditentukan, penuntutan dapat dihentikan melalui penetapan pengadilan.

Dalam disertasi Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan: Menggagas Penanganan Tindak Pidana Korupsi Melalui Konsep Plea Bargaining dan Deferred Prosecution Agreement, Febby Mutiara Nelson menjelaskan bahwa DPA berkembang dari kebutuhan menangani perkara pidana korporasi yang umumnya berlangsung lama, berbiaya tinggi, sulit pembuktiannya, dan sering kali tidak efektif memulihkan kerugian negara maupun korban. Praktik pemidanaan juga cenderung hanya menyentuh pelaku intelektual atau organ korporasi sehingga pidana penjara justru menambah beban negara, sementara kerugian korporasi yang bernilai sangat besar tetap sulit dipulihkan.

Baca Juga: Evaluating The Effectiveness Of Criminal Law Responses To Bullying

Asas Primum Remedium dalam UU PPLH

Karena DPA hanya dapat dikenakan terhadap korporasi, mekanisme ini secara teoretis paling relevan dikaji dalam konteks perkara pidana lingkungan hidup dengan terdakwa korporasi. Dalam hal ini adalah delik pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). UU PPLH menempatkan hukum pidana pada dasarnya sebagai primum remedium, kecuali terhadap tindak pidana formil tertentu, seperti pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan dalam Pasal 100 UU PPLH, yang ditegakkan berdasarkan asas ultimum remedium setelah upaya administratif dinilai tidak berhasil.

Dukungan normatif terhadap primum remedium tampak dalam Pasal 78 UU PPLH yang menegaskan bahwa sanksi administratif tidak menghapus tanggung jawab pemulihan maupun pidana, serta Pasal 85 ayat (2) UU PPLH yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana lingkungan hidup. Pergeseran politik hukum dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, yang memposisikan hukum pidana sebagai sanksi subsidier terhadap sanksi administratif, ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menunjukkan penguatan peran hukum pidana sebagai instrumen utama perlindungan lingkungan.

Analisis Normatif Mekanisme DPA dalam Perkara Lingkungan Hidup dan Kritik terhadap Paradigma Restorative Justice

Pasal 328 KUHAP 2025 memang mengatur mekanisme DPA, tetapi tidak memberikan pembatasan eksplisit mengenai jenis tindak pidana atau tingkat keseriusan tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mekanisme tersebut. Keadaan ini berbeda dengan mekanisme pengakuan bersalah (plea bargain) yang sama-sama berada di area penuntutan. Mekanisme plea bargain dalam Pasal 78 KUHP baru secara tegas memberikan demarkasi pengenaan mekanisme ini hanya dalam hal pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori V, serta kesediaan membayar ganti rugi atau restitusi.

Ketiadaan batasan serupa pada DPA menimbulkan pertanyaan kesesuaian politik hukum DPA dengan politik hukum pemidanaan dalam UU PPLH yang menekankan pencegahan melalui instrumen seperti PPLH, KLHS, AMDAL, dan penataan ruang. Jika DPA diterapkan secara longgar, terdapat risiko bahwa korporasi menjadi kurang insentif untuk patuh sejak awal terhadap instrumen pencegahan dan sanksi administratif, karena masih tersedia ruang negosiasi melalui DPA setelah tindak pidana terjadi.

Mekanisme DPA, seakan-akan memberikan nyawa tambahan bagi pelaku pidana lingkungan hidup untuk tidak perlu patuh-patuh amat dengan instrumen pencegahan yang ada serta sanksi administrasi. Karena bila terjadi tindak pidana lingkungan hidup, maka mereka dapat mengajukan DPA agar kemudian mematuhi instrumen pencegahan yang bersifat administratif tersebut  saat akan dilakukan penuntutan terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang telah terjadi.

Anindytha Arsa Prameswari, dkk dalam Jurnal berjudul Deferred Prosecution Agreement: Mekanisme Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi terhadap Perusakan Lingkungan Hidup Melalui Paradigma Restorative Justice berargumen bahwa sistem peradilan pidana Indonesia dapat mengakomodasi konsep DPA pada tindak pidana perusakan lingkungan yang berorientasi pada paradigma Restorative Justice. Penulis tidak sependapat dengan argumen tersebut. Paradigma restorative justice membuka peluang agar pelaku tindak pidana dijatuhi hukum yang dapat mengembalikan keadaan kepada keadaan semula sebelum tindak pidana terjadi.

Jika DPA diposisikan sebagai sarana restorative justice yang pada praktiknya menghentikan penuntutan ketika korporasi memenuhi syarat tertentu, maka fungsi pidana sebagai primum remedium dalam perkara lingkungan hidup justru tereduksi. Padahal UU PPLH secara sadar telah meninggalkan paradigma “pidana sebagai ultimum remedium”. Dengan kata lain, restorative justice dapat dan seharusnya diintegrasikan ke dalam putusan pidana (misalnya dengan kewajiban pemulihan, perintah tindakan tertentu, ganti rugi), bukan lewat penundaan dan potensi penghapusan penuntutan. Dalam praktik, pengadilan telah menjatuhkan putusan yang memuat perintah ganti rugi sekaligus tindakan pemulihan lingkungan, termasuk menghukum perusahaan membayar biaya pemulihan ke kas negara untuk kepentingan pemulihan ekologis. Artinya, tanpa DPA, pemulihan lingkungan dan kompensasi korban sudah dapat diwujudkan melalui amar putusan pidana yang apabila tidak cukup masih dapat dilanjutkan dengan mekanisme perdata.

Secara teoritis, DPA dapat berfungsi sebagai instrumen pemulihan yang kuat apabila dirancang dengan kriteria yang ketat, terukur, dan transparan, terutama terkait pemulihan kerusakan lingkungan dan pemenuhan kewajiban korporasi. Namun, tanpa pembatasan mengenai jenis delik, tingkat keseriusan kerusakan, dan standar minimal pemulihan, DPA berpotensi dimanfaatkan secara oportunistik dan memperbesar ruang penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum maupun pelaku usaha. Hal tersebut dapat mengakibatkan “erosion of corporate criminal liability” mengutip David M. Uhlmann yang mengkritik praktik DPA dalam jurnal Deferred Prosecution Agreement and non-prosecution Agreement and the erosion of corporate criminal liability.

Penutup

Dalam kerangka penegakan hukum lingkungan hidup, keberadaan DPA harus dinilai dengan parameter keadilan ekologis, bukan sekadar efisiensi dan efektivitas penanganan perkara. Penegakan hukum di bidang ini dituntut menjamin keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan perlindungan generasi mendatang di tengah ekspansi industri ekstraktif yang semakin masif.

Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP

Karena muara DPA berada di pengadilan, Mahkamah Agung wajib memberikan pedoman yang jelas bagi hakim dalam menilai dan mengesahkan kesepakatan DPA, khususnya dalam perkara pidana lingkungan hidup. Pedoman tersebut penting untuk memastikan bahwa kesepakatan DPA sebanding dengan tingkat kerusakan lingkungan dan kerugian korban serta tidak mengorbankan keadilan ekologis demi alasan efektivitas semata. Pengadilan, sebagai key actor dalam penegakan hukum pidana lingkungan, harus menempatkan DPA sebagai mekanisme yang bersifat sangat selektif, terukur, dan berbasis pemulihan substantif, bukan sebagai saluran pelarian dari pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dijalankan. (ypy)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…