Jakarta-Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum kembali menghadirkan Podcast Podium sebagai kanal diskusi yang membahas berbagai topik hukum. Dalam podcast PODIUM yang rilis pada Senin (8/9/2025) mengangkat tema “Kebijakan Mahkamah Agung dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi”.
Dalam episode yang dipandu oleh Boedi Haryantho tersebut, menghadirkan narasumber Albertina Ho yang juga merupakan Wakil Ketua PT DKI Jakarta.
“Dalam menjalankan fungsi yudisialnya, Mahkamah Agung tentunya tidak hanya berkewajiban untuk memutus perkara, tapi juga bertugas merumuskan arah kebijakan hukum acara, menyusun pedoman teknis peradilan, serta menetapkan standar etik dan profesionalisme bagi hakim. Dalam menghadapi fenomena korupsi saat ini, Mahkamah Agung telah melakukan sejumlah langkah strategis mencakup penerbitan sema, perma, serta penyusunan pedoman pemidanaan yang lebih terukur dan berbasis keadilan substantif,” ujar Boedi Haryantho yang dikutip DANDAPALA dari Podcast PODIUM.
Terkait dengan penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) terdapat beberapa Putusan MK yang mengatur terkait penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, salah satunya yaitu Putusan MK nomor 25 tahun 2016. Dimana dalam Putusan MK tersebut frasa “dapat” dalam pasal 2 dan pasal 3 dinyatakan dihapus dan tidak mempunyai kekutan hukum.
“Putusan MK yang mengenai kerugian negara ini, ini berpengaruh. Kalau tidak ada kerugian negara itu tidak bisa kita kenakan tipikor khusus pasal 2, pasal 3. Khusus pasal 2, pasal 3 pasti ada kerugian negara. Jadi kata dapat disitu bisa saya katakan bahwa kita lalu membaca menjadi “harus”, tidak ada lagi berpotensi, tapi kerugian itu sudah terjadi,” ujar Albertina Ho yang juga mantan Dewan Pengawas (Dewas) KPK itu.
Lebih lanjut, Albertina Ho menjelaskan terkait batasan perbuatan yang merugikan keuangan negara secara luas harus ditafsirkan sebagai tipikor meskipun secara konkret perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik tindak pidana lain. “Terkait hal tersebut perlu melihat di dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Tipikor. Di dalam pasal 14 disebutkan setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi, maka berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini, Undang-Undang Tipikor. Misalnya di dalam Undang-Undang Pertambangan atau didalam Undang-Undang Kehutanan atau di dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup disebutkan secara tegas bahwa pelanggaran terhadap pasal ini termasuk tindak pidana korupsi barulah kita bisa memberlakukan Undang-Undang Tipikor,” ujar Alberthina Ho.
Albertina juga menerangkan terkait pentingnya perhitungan terhadap pembayaran uang pengganti yang dikompensasikan dengan uang atau barang yang telah disita atau dititipkan maupun yang telah dikembalikan oleh Terdakwa kepada Penyidik, Penuntut Umum, Kas Negara atau Kas Daerah.
“Hal ini memang dipandang perlu karena Kita juga harus mengingat hak keperdataan dari terdakwa. Hak keperdataannya itu harta kekayaannya dia tidak bisa kita ambil begitu saja, barang dia yang disita adalah barang milik terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi.” Ujar Abertina.
Kemudian lebih lanjut Albertina menjelaskan, uang pengganti dijatuhkan kepada Terdakwa karena apa yang Terdakwa peroleh dari hasil korupsi.
Albertina juga menyampaikan agar para hakim tipikor bisa menjabarkan terkait barang bukti yang kemudian ditetapkan dirampas untuk negara diperhitungkan dalam uang pengganti yang harus dibayarkan oleh Terdakwa.
Selain terkait, penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor pasca terbitnya Putusan MK dan penerapan rumusan delik tipikor dalam undang-undang selain UU Tipikor, dalam podcast PODIUM tersebut juga dibahas terkait pemidanaan maksimum, instansi yang berwenang menghitung kerugian negara, penerapan Perma Nomor 2 Tahun 2022, dan beberapa pembahasan lain yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana korupsi.
Dalam Podcast berdurasi 1 jam 23 menit tersebut, Albertina Ho menyampaikan kalimat penutup bahwa “Hakim harus mengadili berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan kita harus memberikan keadilan untuk semuanya. bukan hanya untuk penuntut umum yang dalam hal ini mewakili negara atau masyarakat, tapi juga keadilan untuk terdakwa”. (IKAW/FAC)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI