Cari Berita

Perjuangan IKAHI dalam Perdebatan Pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970

Yura P. Yudhistira - Dandapala Contributor 2025-03-20 19:35:32
Dok. Istimewa

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia meletakan dasar konstitusional bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Namun demikian konsepsi Negara Hukum ini mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia. Daniel S. Lev dalam tulisannya Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum: Sebuah Sketsa Politik mencatat konsep Negara Hukum menguat dan menjadi ideologi Republik Indonesia saat masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1950-1957. Namun saat era Demokrasi Terpimpin (1958-1965), konsepsi Negara Hukum tenggelam dalam patrionalisme rezim.  

Konsep Negara Hukum muncul kembali pasca peristiwa 1965. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu parameter dalam munculnya perdebatan-perdebatan mengenai konsep negara hukum. Masih dalam catatan Daniel S. Lev, Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) pada tahun 1966 awal menetapkan bahwa Pemerintah dan Parlemen perlu meninjau kembali peraturan perundangan saat masa Demokrasi Terpimpin.

Baca Juga: Mengenang Pidato Asikin Kusumah Atmadja ‘Otonomi Kekuasaan Kehakiman’ di 1968

Sebastiaan Pompe, dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, mencatat bahwa dalam bidang hukum terdapat tiga rancangan undang-undang akan ditinjau kembali dan disusun, yaitu: Rancangan Undang-Undang (RUU) Pokok Kekuasaan Kehakiman, RUU Mahkamah Agung, dan RUU Pengadilan Umum.

Rancangan yang pertama dimaksudkan menjadi peraturan dasar yang menentukan kedudukan dan peran Pengadilan di negara Indonesia. Tetapi perdebatan RUU Pokok Kekuasaan Kehakiman ini begitu sengit dan membuat semua pihak kelelahan, sehingga Pemerintah maupun DPR tidak beranjak untuk membahas RUU Mahkamah Agung dan Pengadilan Umum sampai lima belas tahun kemudian.

Pada akhir 1966, sebuah konferensi Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang dipimpin oleh Mahkamah Agung, mengambil inisiatif perihal perubahan Undang-Undang tersebut. Hakim-Hakim saat itu memiliki keinginan untuk adanya ketentuan badan kehakiman sepenuhnya berada di bawah pengorganisasian Mahkamah agung dan terpisah dari Kementerian Kehakiman. Pada tahun 1967 awal, Kabinet membentuk komite dengan anggota dari Mahkamah Agung dan Kementerian Kehakiman untuk merancang undang-undang baru tentang kekuasaan kehakiman.

Sebastiaan Pompe mencatat bahwa anggota dari unsur hakim adalah Subekti sebagai Ketua, Asikin Kusumah Atmadja dan Sri Widoyati Soekito sebagai perwakilan IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). Anggota-anggota lain adalah Busthanul Arifin, Hapsoro dan Purwoto Gandasubrata yang semuanya adalah anggota IKAHI yang sangat terpandang. Komite ini menghasilkan RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang, dalam bahasa Pompe, sangat liberal karena menghapus kontrol Departemen Kehakiman atas administrasi pengadilan dan memberi pengadilan hak uji konstitusional (constitutional review).

Daniel S. Lev juga mencatat kebanyakan hakim menginginkan pemisahan dari Departemen Kehakiman ini berkait erat dengan peningkatan status kekuasaan yudisial. Di sisi lain, otonomi kekuasaan kehakiman juga merupakan langkah penting ke arah terbukanya pengawasan tindakan atau kebijakan pemerintah oleh kekuasaan yudikatif. IKAHI juga memiliki pandangan yang sama. IKAHI berpegang teguh pada pandangan trias politica yang dianggapnya selalu mendapatkan ancaman.

Dari sisi lain, Departemen Kehakiman memiliki pandangan bahwa badan pengadilan memerlukan pengawasan juga seperti halnya eksekutif. Konsep pemisahan kekuasaan yang kaku juga dinilai kurang produktif bila dibandingkan dengan kerja sama kelembagaan.

Mengenai kewenangan constitutional review, Departemen Kehakiman memiliki pandangan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan MPR sebagai alat konstitusional tertinggi dapat bertindak sebagai pengawal konstitusi. Sebagai contoh, MPR dipandang sudah memiliki kewenangan untuk itu karena MPR telah memerintahkan Presiden dan Parlemen agar mencabut peraturan perundangan pasca era Demokrasi Terpimpin.

Selain itu, terdapat juga keinginan dari sisi Pemerintah untuk membuat kebijakan tanpa dirintangi oleh kewenangan kelembagaan lain. Departemen Kehakiman saat itu enggan untuk memisahkan kekuasaan kehakiman dari eksekutif, karena akan dianggap menurunkan derajat Departemen Kehakiman, sehingga bertugas hanya sekedar kumpulan fungsi rutin yang tidak berarti.

Menurut Daniel S. Lev, isu lain yang muncul saat penyusunan RUU Kekuasaan Kehakiman adalah perlindungan Terdakwa dan hak asasi manusia dalam Hukum Acara Pidana. Isu tersebut diusung oleh para Advokat karena dalam hukum acara karena Advokat sudah lama mengeluhkan dalam jaminan perlindungan hak-hak individual dalam penegakan hukum pidana dan hukum acara pidana.Salah satu yang diperjuangkan untuk melindungi hak asasi manusia adalah penguatan kewenangan Pengadilan.

Pengadilan dianggap sebagai pihak yang juga menginginkan perubahan hukum acara pidana tersebut. Dalam beberapa perkara, terutama saat itu sedang ramai kejahatan politik dengan pemberlakuan UU Subversi, Pengadilan Sipil menyediakan forum untuk membela diri bagi mereka yang didakwa dengan kejahatan politik. Jika kebetulan hakim-hakim yang menanganinya berani dan memiliki pandangan Hak Asasi Manusia yang baik, kerap menjatuhkan pidana yang ringan.

Atas ketidaksetujuan-ketidaksetujuan tersebut, Departemen Kehakiman membentuk komite lain dengan sebuah Keputusan Presiden, yang akhirnya juga menghasilkan sebuah RUU Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Baca Juga: Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda

Pada pertengahan 1968, RUU Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disampaikan pada bulan Juli kepada Presiden Soeharto yang kemudian menyerahkannya kepada DPR pada bulan berikutnya.

Rancangan final itu bukan kabar baik bagi Pengadilan, yang harus menanggalkan semua poin besar dalam program perubahannya. Rancangan itu dengan tegas menempatkan administrasi pengadilan di bawah Departemen Kehakiman dan menolak hak uji konstitusional atas (constitutional review).

Satu-satunya keberhasilan kecil yang dicapai para hakim adalah rancangan itu menentukan agar gaji hakim diatur dalam peraturan tersendiri.  

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum