Ketika berbicara mengenai perbuatan
melawan hukum (Onrechtmatige Daad)
dalam hukum perdata tentu kita dapat langsung mengacu kepada ketentuan Pasal
1365 BW. Tetapi, apakah kita mengetahui mengenai sejarah bagaimana perbuatan
melawan hukum ini ada baik di Indonesia maupun di Belanda itu sendiri?
Sebagaimana dikutip dari buku Munir Fuady yang berjudul Konsep hukum perdata
sejarah perkembangan perbuatan melawan hukum di Belanda dapat dibagi menjadi 3
(tiga) periode, sebagai berikut:
1. Periode
sebelum 1838;
2. Periode
antara 1838-1919; dan
Baca Juga: Demarginalisasi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
3. Periode
setelah 1919
Istilah “onrechtmatige daad” oleh M.M. Djojodigoeno menerjemahkan dengan “perbuatan melawan hukum”, demikian pula halnya Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah “onrechtmatige daad” sebagai perbuatan melawan hukum. Sebelum tahun 1919 atau dalam rentang waktu periode 1838-1919 perbuatan melawan hukum telah tertuang dalam kodifikasi belanda BW (Burgerlijk Wetboek) yang diatur dalam Pasal 1401 BW (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia).
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa sebelum tahun 1919 terhadap perbuatan yang hanya bertentangan dengan kesususilaan tidaklah termasuk kedalam kategori perbuatan melawan hukum. Melainkan diharuskan untuk melanggar atas pasal atau hukum yang tertulis barulah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad.
Pasca tahun 1919, barulah bergeser pembaruan dimana
makna dari perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaknai secara kaku, melainkan
dapat dimaknai dengan penafsiran yang lebih luwes dimana tidak hanya melanggar
perundang-undangan saja untuk suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai melawan
hukum, akan tetapi juga termasuk didalamnya perbuatan yang melanggar kesusilaan
atau kepantasan.
Lidenbaum Versus
Cohen
Putusan Lidenbaum versus Cohen merupakan putusan yang memiliki nilai sejarah terhadap perkembangan teori perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad. Putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 tersebut juga dikenal dengan istilah Drukker Arrest yang dapat merubah pandangan sempit atau kaku mengenai definisi perbuatan melawan hukum.
Adapun kronologis dari kasus tersebut adalah Cohen, seorang pengusaha percetakan membujuk seorang karyawan dari perusahaan percetakan Lindenbaum untuk memberikan salinan (copy) pesanan pelanggan Lindenbaum. Cohen kemudian memanfaatkan informasi tersebut, yang menyebabkan pelanggan Lindenbaum berpindah ke perusahaan milik Cohen, sehingga Lindenbaum mengalami kerugian. Lindenbaum kemudian menggugat Cohen untuk meminta ganti rugi.
Gugatan ini awalnya dikabulkan oleh pengadilan negeri (rechtbank), namun pengadilan tinggi (hof) membatalkan keputusan tersebut. Pengadilan Tinggi mempertimbangkan bahwa meskipun tindakan karyawan tersebut bertentangan dengan hukum karena melanggar kewajiban hukum, aturan tersebut tidak secara langsung berlaku untuk Cohen.
Undang-undang yang ada tidak secara eksplisit melarang
pencurian informasi sebagai pelanggaran hukum. Akan tetapi, terhadap putusan
dari hof tersebut, Hoge Raad
membatalkan keputusan pengadilan tinggi tersebut dengan pertimbangan bahwa
Putusan Pengadilan Tinggi tersebut memberikan makna sempit terhadap perbuatan
yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Hoge raad berpandangan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum tersebut tidak hanya melanggar ketentuan undang-undang yang tertulis melainkan juga didalamnya termasuk kedalam pengertian perbuatan melawan hukum untuk setiap tindakan; (i) yang melanggar hak orang lain; (ii) perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; (iii) bertentangan dengan kesusilaan (goedzeden); dan (iv) bertentangan dengan sikap baik dalam bermasyarakat.
Putusan dari Lindenbaum versus Cohen itulah
yang merupakan suatu titik awal dimana makna perbuatan melawan hukum tidak
hanya dimaknai sebagai perbuatan yang melanggar norma dalam peraturan
perundang-undangan semata, tetapi dimaknai dari aspek atau ruang lingkup yang
lebih luas.
Sebelum Lidenbaum
versus Cohen
Sebelum
adanya putusan Lidenbaum versus Cohen, terdapat suatu contoh di Kota Zutphen, di
kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah yang tinggal di bagian bawah rumah
bertingkat pernah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pemilik
rumah yang tinggal di bagian atas. Penyebabnya, barang-barang yang berada
ruangan di bagian bawah menjadi rusak karena pemilik rumah di bagian atas
menolak untuk menutup kerannya.
Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah
pecah, sehingga ketika pemilik rumah yang di atas menyalakan keran, justru yang
dibagian bawah menjadi kebanjiran. Ketika itu, gugatan perbuatan melawan hukum
tersebut ditolak karena tiada pasal dari suatu Undang-Undang yang mengharuskan
pemilik rumah bagian atas untuk mematikan kerannya.
Selain itu, terdapat putusan dalam kasus “The singer Manufacturing Company” putusan tanggal 6 Januari 1905 dimana Perusahaan 'Maatschappij Singer', yang merupakan penjual resmi mesin jahit bermerek Singer, merasa tersaingi oleh sebuah toko di seberang jalan yang menjual mesin jahit dengan merek lain.
Toko tersebut menarik perhatian dengan memasang papan reklame bertuliskan "Verbete Singernaaimachine Mij" di depan tokonya. Iklan ini menyebabkan banyak orang mengira bahwa toko tersebut menjual mesin jahit Singer asli, sehingga pelanggan beralih dan toko Singer resmi menjadi sepi.
Akibat dari situasi ini, toko Singer yang asli mengajukan
gugatan perdata ke pengadilan terhadap toko pesaing tersebut, dengan dasar
hukum yang mengacu pada Pasal 401 NBW atau Pasal 1365 KUH Perdata. Namun,
Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad), setelah memeriksa dan memutus perkara
tersebut, menolak gugatan Maatschappij
Singer. Menurut putusan Hoge Raad, tindakan toko pesaing tersebut tidak
melanggar hukum maupun hak subjektif pihak lain.
Pasca Putusan
Lidenbaum versus Cohen
Perbuatan melawan hukum dalam ranah perdata mengalami perluasan makna secara ekstensif, yakni dengan menafsirkan bahwa istilah "hukum" tidak terbatas hanya pada "undang-undang" (wet). Oleh karena itu, istilah onrechtmatig dibedakan dari onwetmatig.
Perluasan makna ini mendapatkan pijakan historis yang penting melalui putusan Hoge Raad Belanda pada tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara terkenal, yaitu kasus Lindenbaum melawan Cohen. Dengan demikian, Landasan utama perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata di Indonesia terdapat pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang secara historis memiliki makna yang sejalan dengan Pasal 1401 dari Burgerlijk Wetboek (BW) lama milik Belanda.
Menurut pandangan L.C. Hoffmann, dari ketentuan dalam Pasal 1401 tersebut dapat disimpulkan adanya empat unsur utama, yaitu: (1) adanya tindakan dari seseorang, (2) tindakan tersebut bertentangan dengan hukum, (3) tindakan itu menimbulkan kerugian bagi pihak lain, dan (4) tindakan tersebut dilakukan karena kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. (snr/ldr)
SUMBER:
Baca Juga: Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda
Rosa Agustina, 2003. Perbuatan Melawan Hukum.
Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI