Cari Berita

Mengguggah Kembali Kesadaran Berkonstitusi

Ibnu Anwarudin-Hakim Ad Hoc Tipikor PN Serang - Dandapala Contributor 2025-08-22 12:00:34
dok ist.

Tanggal 18 Agustus 1945 tercatat sebagai tonggak lahirnya konstitusi Indonesia. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, para pendiri bangsa mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pijakan bernegara. Momentum itu bukan sekadar formalitas hukum, melainkan juga pernyataan bahwa bangsa ini berdiri di atas kesepakatan bersama tentang nilai, cita-cita, dan arah kehidupan berbangsa. Karena itu, setiap peringatan Hari Konstitusi Nasional sejatinya bukan hanya seremoni, melainkan ruang untuk merenungi: sudahkah kita hidup setia pada konstitusi?

Bagi sebagian besar masyarakat, konstitusi masih terasa sebagai teks yang jauh, abstrak, bahkan hanya akrab bagi akademisi dan politisi. Padahal, konstitusi bukan milik elite, melainkan pedoman hidup bersama. Ia mengatur hak-hak dasar warga negara, menegaskan batas kekuasaan pemerintah, dan menjadi “kontrak sosial” yang harus dijaga.

Namun, realitas politik kita menunjukkan adanya jarak. Konstitusi sering dibaca selektif, dipakai sebagai legitimasi kekuasaan, tetapi diabaikan saat membatasi kekuasaan. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi pun kerap menjadi polemik karena dinilai tidak sejalan dengan semangat keadilan konstitusional. Di sisi lain, masyarakat luas masih minim literasi konstitusi sehingga kurang kritis ketika hak-haknya dilanggar.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Konstitusi dalam Arus Politik

Tahun 2025 adalah momentum krusial. Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto menghadapi ekspektasi besar untuk penegakan hukum yang berkeadilan, memperbaiki kesejahteraan rakyat, dan menjaga nilai-nilai demokrasi. Sebagaimana pidato Presiden usai dilantik, ia berjanji akan menjalankan amanah konstitusi dengan penuh tanggung jawab, dan menyatakan kekuasaan adalah milik rakyat, dimana pemerintahan harus dijalankan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan. Kini, masyarakat menunggu, semua realisasi janji politik itu hanya mungkin diwujudkan apabila pemerintahan secara konsisten berpijak pada konstitusi.

Di tengah derasnya arus populisme, pragmatisme politik, hingga tekanan global, konstitusi harus menjadi jangkar. Ia adalah pengingat bahwa kekuasaan tidak absolut. Ia menegaskan bahwa tujuan akhir negara bukan semata pembangunan fisik, melainkan juga perlindungan hak-hak warga negara: dari kebebasan berpendapat, keadilan sosial, hingga akses pendidikan dan kesehatan.

Kesadaran Konstitusi: Fondasi Dunia Hukum dan Peradilan Indonesia

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi bukan sekadar teks hukum tertinggi, melainkan “ruh” yang menghidupkan tata kelola negara. Konstitusi memuat nilai dasar, prinsip, dan arah perjalanan bangsa. Namun, keagungan konstitusi akan kehilangan makna jika masyarakat tidak memiliki kesadaran konstitusional. Di sinilah letak tantangan: bagaimana menumbuhkan kesadaran konstitusi masyarakat agar dunia hukum dan peradilan tidak hanya tegak secara formal, tetapi juga bermakna secara substantif.

Kesadaran konstitusi pada masyarakat berarti adanya pemahaman bahwa hak dan kewajiban warga negara dilindungi serta dibatasi oleh konstitusi. Artinya, hukum dan peradilan tidak semata dipandang sebagai instrumen kekuasaan, melainkan sebagai wujud nyata kontrak sosial yang menjamin keadilan. Masyarakat yang sadar konstitusi akan lebih kritis terhadap setiap kebijakan, berani memperjuangkan haknya melalui mekanisme hukum, dan menghormati putusan pengadilan sebagai produk konstitusional.

Sayangnya, praktik berhukum di Indonesia masih sering menghadapi paradoks. Di satu sisi, konstitusi menegaskan bahwa hukum adalah panglima. Namun di sisi lain, masyarakat masih banyak yang belum memahami krusialnya nilai-nilai konstitusi. Akibatnya, peradilan sering dianggap milik segelintir elit hukum, bukan milik rakyat. Ketika muncul putusan pengadilan yang kontroversial, masyarakat kerap bereaksi emosional karena lemahnya pemahaman atas nilai-nilai konstitusi.

Kesadaran konstitusi juga penting untuk mencegah penyalahgunaan hukum. Dunia hukum dan peradilan akan semakin independen jika masyarakat ikut mengawal dengan sikap kritis yang didasarkan pada prinsip konstitusional, bukan sekadar opini publik yang liar. Situasi ini seringkali menjadikan ujian atas kemerdekaan hakim, yang nyatanya tidak hanya diuji oleh potensi campur tangan eksekutif atau legislatif, tetapi juga oleh “tribunal digital” dari masyarakat yang sering menjatuhkan vonis moral sebelum palu hakim diketuk. Di sini, pentingnya, menjaga kesadaran atas adanya prinsip equality before the law.

Dengan demikian, membangun kesadaran konstitusi masyarakat bukanlah sekedar agenda seremoni di atas jargon saja, melainkan kebutuhan mendesak dalam menguatkan dunia hukum dan peradilan di Indonesia. Pendidikan konstitusi harus diperluas sejak sekolah hingga ruang publik. Media dan lembaga negara juga perlu menjalankan fungsi edukatif, bukan hanya informatif.

Baca Juga: Kode Etik Hakim dalam Perspektif Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

Hanya dengan masyarakat yang sadar konstitusi, hukum akan benar-benar hadir sebagai pelindung, dan peradilan akan tegak sebagai benteng terakhir keadilan. Sebab, pada akhirnya, konstitusi bukan hanya milik negara, tetapi milik setiap warga negara Indonesia. (al, ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI