NETFLIX kembali melakukan dobrakan dengan film seri Messiah (2020), sebuah serial drama thriller bernuansa geopolitik yang memantik diskusi tajam tentang kepercayaan, kekuasaan, dan teknologi. Diperankan secara mengesankan oleh Mehdi Dehbi, sosok Al-Masih hadir sebagai figur misterius yang mengklaim membawa pesan perdamaian—namun justru menebar keresahan global. Bukan hanya karena pesannya yang mengusik, tetapi karena serial ini menyajikan refleksi sinis atas dunia nyata: era di mana pengawasan digital dan manipulasi algoritma bisa menentukan nasib seseorang tanpa proses hukum yang transparan.
Kisah Messiah dibuka dengan kemunculan Al-Masih di Timur Tengah, yang pesannya viral di media sosial dan segera mengundang perhatian badan intelijen Amerika Serikat. Melalui karakter Eva Geller (diperankan Michelle Monaghan), CIA mulai melancarkan operasi penyelidikan intensif,sekaligus juga pendiskreditan terhadap figur "Al-Masih" tersebut demi melindungi status quo. Namun alih-alih pendekatan objektif, yang muncul adalah serangkaian tindakan represif berbasis teknologi—mulai dari pelacakan digital hingga penggiringan opini publik melalui manipulasi algoritmik. Tanpa harus menyebutnya secara gamblang, serial ini menyajikan gambaran yang menohok tentang bagaimana kekuasaan modern dapat digunakan untuk mengontrol narasi, bahkan menghancurkan reputasi seseorang, di ruang digital yang tidak lagi netral.
Baca Juga: Tidak Ada yang Bisa Hidup di Atas Hukum, Sekali pun Hidupnya Tragis
Fenomena ini bukan sekadar fiksi. Di dunia nyata, tidak sedikit individu yang mengalami tekanan sistemik karena gagasan-gagasan yang dianggap mengancam tatanan. Kampanye disinformasi, serangan siber, dan sensor algoritmik kerap kali menjadi alat untuk membungkam suara-suara yang berbeda. Serial Messiah menangkap realitas tersebut secara subtil, memperlihatkan bagaimana kecanggihan teknologi informasi dapat digunakan untuk menciptakan realitas alternatif yang menggiring persepsi publik.
Lebih jauh, Messiah menggambarkan bagaimana paranoia institusional kerap melahirkan tindakan yang mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam serial ini, Al-Masih bukan hanya dicurigai sebagai ancaman karena tindakannya, tetapi karena potensinya untuk mengubah cara pandang masyarakat. Ia dipandang berbahaya bukan karena kekerasan, melainkan karena pesan damai yang ia bawa dinilai terlalu subversif oleh aparat keamanan negara. Narasi ini mengingatkan pada dinamika global saat ini, di mana individu atau kelompok yang menyerukan perubahan kerap kali dikriminalisasi dengan label-label ekstrem.
Menariknya, Messiah menyentil isu-isu sensitif tanpa menunjuk langsung pihak tertentu. Serial ini tidak menyebut nama negara, korporasi, atau kelompok elit tertentu, namun atmosfer yang dibangun terasa akrab bagi mereka yang mengikuti perkembangan dunia digital dan politik global. Ketakutan berlebihan terhadap “gangguan” terhadap status quo dijadikan legitimasi untuk tindakan pengawasan dan penindasan. Dalam kerangka ini, pertanyaan yang muncul bukan lagi tentang apakah seseorang bersalah, melainkan apakah ia cukup berpengaruh untuk dianggap berbahaya.
Dari sisi produksi, Messiah tampil meyakinkan. Sinematografi yang dieksekusi dengan baik menghadirkan atmosfer otentik, dengan latar pengambilan gambar di lokasi-lokasi seperti Yordania dan New Mexico. Alur cerita dibangun dengan ketegangan yang terukur, memadukan drama personal dan konflik geopolitik secara proporsional. Meski beberapa subplot—terutama yang menyangkut kehidupan pribadi karakter utama—terasa kurang menyatu dengan narasi besar, kekuatan utama serial ini tetap pada pesan kritisnya terhadap relasi antara kekuasaan dan teknologi.
Yang membedakan Messiah dari serial thriller biasa adalah keberaniannya mengangkat tema besar: bagaimana hak individu dapat tergerus dalam sistem yang dikuasai oleh data, algoritma, dan narasi buatan. Setiap keputusan CIA dalam serial ini terasa sebagai kritik terhadap praktik pengawasan global yang kerap terjadi tanpa akuntabilitas memadai. Tanpa perlu menjadi khotbah moral, Messiah mengajak penonton merenungkan: sejauh mana kita bersedia menyerahkan kebebasan demi rasa aman yang dikonstruksi oleh pihak berwenang?
Baca Juga: Mengenal Artis Dadakan dari PN Sukabumi di Film Sandal Bolong Untuk Hamdani
Pada akhirnya, Messiah bukan sekadar kisah tentang figur mesianistik. Ini adalah alegori tentang dunia kita hari ini—dunia di mana kekuasaan dan teknologi dapat berpadu menjadi alat penindasan yang halus namun efektif. Serial ini menyisakan pertanyaan yang tak mudah dijawab: siapa sebenarnya yang berbahaya? Mereka yang membawa pesan perubahan, atau sistem yang merasa terancam oleh pesan tersebut?
Bagi penggemar film yang gemar menyimak isu-isu global melalui lensa yang tajam dan reflektif, Messiah adalah tontonan yang layak dikaji lebih dalam. Tidak untuk mencari jawaban, tetapi untuk mempertanyakan kembali kenyataan yang selama ini kita anggap wajar. (tkm/asp)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI