article | Opini | 2025-05-20 19:15:11
PADA suatu malam yang tidak terlalu sibuk, saya menerima ajakan beberapa teman untuk nobar atau nonton bareng film Joker II: Folie a Deux. Sebelum mengiyakan ajakan nonton film di bioskop, sesuatu hal yang sudah jarang sekali saya lakukan sejak menjadi ibu balita itu, saya pun mencoba mengukur risikonya.Mengapa? Sebab, film Joker pertama banyak mengundang kritik. Film yang menceritakan tentang trauma masa kecil Arthur Fleck yang hidup bersama ibunya yang sakit itu dikritik tajam oleh publik Amerika.Kepedihan hidup Arthur, yang selalu dirundung, dikucilkan, dan didiskriminasi oleh sesama itu seolah menjadi alasan pembenar (license) untuk melakukan tindakan kriminal extra judicial killing di dalam kereta bawah tanah di kota utopia Gotham City.Film pertama yang gelap, intens, dan meneror itu dianggap menginspirasi penembakan massal di sekolahan di Amerika, beberapa saat setelah film itu tayang di Box Office seluruh dunia. Arthur adalah Joker, yang suka tertawa terbahak-bahak pada hal yang sebenarnya tidak lucu. Ia menginap gangguan mental Pseudobulbar Affect (PBA). PBA adalah kondisi di mana seseorang tertawa atau menangis secara tiba-tiba dan tidak terkendali, bahkan dalam situasi yang tidak pantas.Saya menonton film itu bersama empat kolega jurnalis. Semuanya laki-laki. Hanya saya sendiri yang perempuan. Karena yang lain tidak bisa gabung dalam agenda yang selalu dadakan itu. Saat film sudah berlangsung selama beberapa menit, saya menyeletuk kepada seorang teman: “Ini siapa sih yang milih filmnya? Sudah sehari-hari menyimak dan meliput persidangan, nonton film pun juga harus sidang,” cetus saya.Seorang teman lain pun menjawab: “Itu, yang milih Mas A. Mungkin, latihan jadi Yang Mulia, hahaha,” selorohnya.Jujur, kami agak bosan di tengah-tengah durasi film ditayangkan. Sebab, nuansa thriller psikologis dari film kedua yang dibesut oleh sutradara Todd Phillips itu sangat kental.Lady Gaga, yang berperan sebagai Lee Quinzel, di film tersebut lebih sering bersenandung sebagai terapi atau kegiatan pemberdayaan masyarakat kalau di lembaga pemasyarakatan Indonesia. Musik sebagai bahasa universal diangkat sebagai koneksi dan terapi bagi Joker dan Lee yang masing-masing memiliki isu sendiri di kesehatan mental. Mereka bertemu, merasa terhubung (feel related), dan saling memahami lewat musik. Lagu berjudul “Close to You” dari The Carpenters pun menjadi soundtrack yang pas dan on point sepanjang film tersebut.Ringkasnya, film itu menceritakan upaya pembelaan dari kuasa hukum Joker agar ia bebas dari hukuman setelah membunuh di luar hukum di dalam kereta bawah tanah. Oleh kuasa hukumnya, Joker diminta menjual kepiluan dirinya, agar mendapatkan belas kasihan dari jury dan hakim.Namun, apakah orang yang mengalami trauma masa kecil, diskriminasi, pelanggaran HAM, dan teralienase di masyarakat berhak melakukan pembunuhan di luar hukum? Di sini, ujian Gotham City sebagai negara hukum diuji.Setelah mendengarkan keterangan dari berbagai pihak di persidangan, hakim dan jury pun memutuskan Arthur tetap bersalah dan harus kembali mendekam di dinginnya penjara. Kisah cinta Arthur dan Lee pun diuji di sini.Lee ternyata tidak mencintai Arthur apa adanya. Ia mencintai Arthur karena imajinya bahwa Joker adalah juru selamat atau heroes dari kaum tertindas dan termarginalkan.Walakin, apakah heroes harus berbuat kekerasan dan memberikan contoh buruk dan destruktif bagi masyarakat? Tentunya, tidak.Heroes haruslah seperti Batman. Orang dermawan yang hidup dalam gelimang privilese (entitled). Lahir dengan sendok perak di mulutnya, tetapi mau jadi super heroes yang menyelamatkan Gotham City dari kehancuran.Sosok imaji yang jarang ditemui di kehidupan nyata. Sebab, di kehidupan nyata, fokus utama orang kaya adalah membuat dirinya makin kaya (money work for them, they’re not work for money).Bagian paling dramatis dan plot twist-nya adalah ketika mendekam di penjara, Arthur sering melontarkan jokes-jokes kepada sipir sebagai pelipur lara. Para sipir yang bosan bekerja di penjara pun juga kerap memintanya mengeluarkan guyonan sebagai hiburan murah.Lalu, babak penutup film itu, begitu tragis. Narapidana lain membuat guyonan kepada Arthur. Ia tertawa dengan candaan tersebut. Namun, kemudian, si napi itu menghunuskan belati di perut sang Joker. Adegan itu seolah ingin memvalidasi bahwa apapun yang seorang heroeslakukan selalu akan menginspirasi pengikutnya. Dan, tindakan kekerasan dalam bentuk apapun tidak boleh dicontoh dan ditiru oleh masyarakat karena akan membuat kerusakan di muka bumi.Film Joker II ini cukup baik untuk membayar dosa masa lalu di mana kisah dalam film tersebut sudah men-trigger banyak orang terutama masyarakat Amerika Serikat sendiri untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan di luar hukum.Setelah film itu berakhir, seorang teman bertanya kepada saya “Jadi, menurut kamu bagus enggak filmnya? Apakah sudah pas Joker dihukum, atau sebaiknya lepas dengan alasan pembenar gangguan mental dan trauma masa lalunya?,” tanya dia.“Menurutku sudah bener itu skenario filmnya. Joker harus dihukum. Karena orang tidak boleh hidup di atas hukum hanya karena dia mengalami trauma dan gangguan mental. Hukum harus melindungi masyarakat for the greaters good. Bener nggak? Soalnya gue kan bukan anak hukum,” jawabku.“That’s good. Itu baru namanya wartawan hukum,” timpal teman lagi.Teman yang memahami ilmu hukum karena belajar ilmu hukum tata negara saat di bangku kuliah. Sekarang, nasib baik membawa teman tersebut menjadi Yang Mulia. Sang pengadil yang akan mengetokkan palu bagi para pencari keadilan.Sebagai mantan kawan seprofesi juru ketik dan kuli tinta, aku hanya ingin berpesan semoga amanah dan istiqomah membuat putusan yang seadil-adilnya. Buat kami para jurnalis terus bangga pernah mengenal dan nonton film sidang bareng saat hidup sedang tidak baik-baik saja, wkwkwk.DEA (Jurnalis, tinggal di Jakarta)