Penetapan status bencana nasional didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf c UU tersebut, penetapan status bencana mempertimbangkan lima indikator utama yaitu: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan status dan tingkatan
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
presiden. Status
ini ditetapkan oleh Presiden untuk tingkat nasional dengan mengacu pada
Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana Dalam Keadaan Tertentu.
Penetapan
status bencana nasional memiliki implikasi yuridis yang signifikan dalam hal
kewenangan penanganan, koordinasi, dan alokasi sumber daya. Namun demikian,
penetapan status tersebut tidak secara otomatis menghapus atau meniadakan
pertanggungjawaban hukum pelaku kerusakan lingkungan.
Baca Juga: Integritas: Tameng dan Pedang Bagi Seorang Hakim
Pertanggungjawaban pelaku kerusakan lingkungan
saat ditetapkan status bencana nasional melibatkan pemrosesan hukum pidana dan
perdata, pemulihan ekologis, serta penerapan prinsip strict liability
dan corporate liability, di mana penetapan status ini membuka jalan
investigasi secara komprehensif untuk mengungkap penyebab struktural dan
memastikan korporasi/individu yang lalai atau bertanggung jawab secara hukum
atas kerusakan lingkungan diproses, termasuk tuntutan ganti rugi dan kewajiban
rehabilitasi ekosistem yang rusak, mengacu pada UU Penanggulangan Bencana dan
UU Lingkungan Hidup.
Hukum
lingkungan Indonesia menganut asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) sebagaimana diatur
dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Prinsip strict liability ini
merupakan lex specialis terhadap ketentuan perbuatan melawan hukum dalam
hukum perdata umum, dengan karakteristik khusus bahwa pelaku dapat dimintai
pertanggungjawaban tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan atau kelalaian.
Pengecualian
Pertanggungjawaban: Perbandingan UU 23/1997 dan UU 32/2009
Dalam
UU Nomor 23 Tahun 1997 (tidak berlaku lagi), Pasal 35 ayat (2) secara eksplisit
mengatur tiga alasan pembebasan tanggung jawab mutlak:
1. Adanya bencana alam atau peperangan (Act of God);
2. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia (force
majeure); atau
3. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan
pencemaran/perusakan lingkungan.
Dalam UU Nomor 32 Tahun
2009 (existing/berlaku), pengecualian tersebut dihapuskan. Pasal 88 UU
PPLH tidak lagi mencantumkan alasan-alasan pembebas seperti yang terdapat dalam
UU sebelumnya. Penghapusan ini berarti pelaku kerusakan lingkungan tidak dapat
lagi mengelak dari tanggung jawab mengganti kerugian dan memulihkan lingkungan
dengan dalih bencana alam atau force majeure.
Namun, perkembangan regulasi turunan memberikan nuansa
berbeda. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 501 ayat (5)
menentukan bahwa tergugat dapat mengajukan pembelaan bahwa kerusakan/pencemaran
lingkungan bukan disebabkan oleh perbuatannya, melainkan faktor eksternal
termasuk bencana alam atau peperangan; adanya keadaan memaksa di luar kemampuan
manusia; atau akibat perbuatan pihak lain yang menyebabkan terjadinya pencemaran
lingkungan hidup dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dalam hal ini sistem
pembuktian terbalik. Artinya, tergugat harus membuktikan secara meyakinkan di
pengadilan bahwa kerusakan benar-benar bukan akibat perbuatannya.
Hubungan Status Bencana
Nasional dengan Pertanggungjawaban Lingkungan
Penetapan status
bencana nasional tidak menghilangkan pertanggungjawaban hukum pelaku kerusakan
lingkungan berdasarkan beberapa landasan yuridis:
1. Pemisahan Fungsi Penanggulangan dan Penegakan Hukum
Status
bencana nasional berfungsi untuk mobilisasi sumber daya dalam tahap tanggap
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi berdasarkan UU 24/2007. Fungsi ini
terpisah dari fungsi penegakan hukum lingkungan yang diatur dalam UU 32/2009.
Kedua rezim hukum ini berlaku secara paralel dan tidak saling meniadakan.
2. Tanggung Jawab Negara versus Tanggung Jawab Pelaku
Berdasarkan
Pasal 5 UU 24/2007, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab ini merupakan kewajiban
konstitusional negara untuk melindungi warga negara, bukan pengganti tanggung
jawab pelaku kerusakan lingkungan.
Dalam
kasus kerusakan lingkungan yang ditetapkan sebagai bencana, terdapat dua lapis
pertanggungjawaban:
a. Tanggung jawab pelaku usaha: Berdasarkan prinsip strict liability (Pasal
88 UU PPLH) untuk ganti rugi dan pemulihan lingkungan
b. Tanggung jawab negara: Berdasarkan asas tanggung jawab negara (Pasal 2
huruf a UU PPLH dan UU 24/2007) untuk penanggulangan dampak bencana dan
perlindungan masyarakat
3. Prinsip Polluter Pays dan Keadilan Ekologis
Hukum
lingkungan Indonesia mengadopsi prinsip pencemar membayar (polluter pays
principle). Penetapan status bencana tidak dapat meniadakan prinsip ini karena
akan bertentangan dengan asas keadilan dan keberlanjutan lingkungan yang
menjadi landasan filosofis UU PPLH.
4. Kasus Lumpur Lapindo
Kasus
semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo memberikan preseden penting. Meskipun
ditetapkan sebagai bencana dan terdapat kontroversi apakah disebabkan kesalahan
pengeboran atau gempa Yogyakarta, PT Lapindo Brantas tetap dimintai
pertanggungjawaban karena kegiatannya tergolong berisiko tinggi dan menimbulkan
ancaman serius bagi lingkungan. Pemerintah juga bertanggung jawab dalam
penanggulangan, namun bukan berarti menggantikan tanggung jawab korporasi.
Kondisi Pembebasan
Tanggung Jawab: Standar Pembuktian yang Ketat
Berdasarkan
kerangka hukum berlaku saat ini, pembebasan tanggung jawab pelaku kerusakan
lingkungan sangat terbatas dan mensyaratkan pembuktian ketat:
1. Beban Pembuktian pada Tergugat: Sistem pembuktian
terbalik (reversal of burden of proof) berlaku, di mana pelaku harus
membuktikan bahwa kerusakan lingkungan bukan akibat perbuatannya.
2. Kriteria Bencana Alam sebagai Pengecualian: Jika
menggunakan PP 22/2021, tergugat harus membuktikan:
a) Peristiwa benar-benar tidak dapat diantisipasi;
b) Peristiwa di luar kendali pelaku;
c) Tidak ada unsur kelalaian atau kesengajaan;
d) Pelaku telah melakukan segala upaya pencegahan (due
diligence); dan
e) Terdapat itikad baik dalam pelaksanaan kewajiban
lingkungan;
3. Hubungan Kausalitas: Harus ada pemisahan tegas antara
kerusakan akibat bencana alam murni dengan kerusakan akibat aktivitas pelaku
yang diperparah atau dipicu oleh kondisi alam.
Implikasi terhadap
Penegakan Hukum
Dalam konteks penetapan
status bencana nasional akibat kerusakan lingkungan penegakan hukum tetap
berlangsung. Investigasi penyebab kerusakan lingkungan tetap dilakukan oleh
penyidik Polri dan PPNS Lingkungan Hidup. Gugatan perdata lingkungan dapat
diajukan oleh Pemerintah/Pemda (Pasal 90 UU PPLH), organisasi lingkungan (Pasal
92), atau masyarakat (Pasal 91). Sanksi administratif dapat dijatuhkan sesuai
Pasal 76-82 UU PPLH (sebagaimana diubah UU Cipta Kerja). Tuntutan pidana dapat
diajukan berdasarkan Bab XV UU PPLH.
Dengan demikian, pelaku kerusakan lingkungan tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum baik melalui jalur perdata (ganti rugi dan pemulihan), administratif (sanksi administratif), maupun pidana (jika memenuhi unsur tindak pidana), terlepas dari penetapan status bencana nasional. Status bencana seharusnya justru memperkuat kerangka penanganan komprehensif yang melibatkan baik aspek penanggulangan darurat maupun penegakan hukum lingkungan secara terintegrasi. (ldr/seg)
Referensi:
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
LIngkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Perli N Du Ngan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Presiden
Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana Dalam Keadaan Tertentu
Baca Juga: Arief Kadarmo: Bencana Tak Diharapkan Terjadi Maka Kita Harus Siap Menanggulanginya
Willa Wahyuni, Ini
Ketentuan Status Bencana Nasional, Otoritas Penetapan dan Indikatornya, tanggal 03 Desember
2025, https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-ketentuan-status-bencana- nasional--otoritas-penetapan-dan-indikatornya-lt692fa9e6a59b6/,
diakses pada 15 Desember 2025.
Aji Prasetyo, Ini Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Bencana Alam, https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-tanggung-jawab-negara- terhadap-korban-bencana-alam-lt692fda8474f16/, diakses pada 15 Desember 2025.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI