Cari Berita

Status Bencana Nasional: Tameng Impunitas atau Pintu Masuk Penegakan Hukum Lingkungan?

Dipa Rivaldi-Hakim PN Kuala Tungkal - Dandapala Contributor 2025-12-19 10:10:47
Dok. Penulis.

Penetapan status bencana nasional didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf c UU tersebut, penetapan status bencana mempertimbangkan lima indikator utama yaitu: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan presiden. Status ini ditetapkan oleh Presiden untuk tingkat nasional dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu.

Penetapan status bencana nasional memiliki implikasi yuridis yang signifikan dalam hal kewenangan penanganan, koordinasi, dan alokasi sumber daya. Namun demikian, penetapan status tersebut tidak secara otomatis menghapus atau meniadakan pertanggungjawaban hukum pelaku kerusakan lingkungan.

Baca Juga: Integritas: Tameng dan Pedang Bagi Seorang Hakim

Pertanggungjawaban pelaku kerusakan lingkungan saat ditetapkan status bencana nasional melibatkan pemrosesan hukum pidana dan perdata, pemulihan ekologis, serta penerapan prinsip strict liability dan corporate liability, di mana penetapan status ini membuka jalan investigasi secara komprehensif untuk mengungkap penyebab struktural dan memastikan korporasi/individu yang lalai atau bertanggung jawab secara hukum atas kerusakan lingkungan diproses, termasuk tuntutan ganti rugi dan kewajiban rehabilitasi ekosistem yang rusak, mengacu pada UU Penanggulangan Bencana dan UU Lingkungan Hidup.

Hukum lingkungan Indonesia menganut asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Prinsip strict liability ini merupakan lex specialis terhadap ketentuan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata umum, dengan karakteristik khusus bahwa pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan atau kelalaian.

Pengecualian Pertanggungjawaban: Perbandingan UU 23/1997 dan UU 32/2009

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 (tidak berlaku lagi), Pasal 35 ayat (2) secara eksplisit mengatur tiga alasan pembebasan tanggung jawab mutlak:

1.      Adanya bencana alam atau peperangan (Act of God);

2.      Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia (force majeure); atau

3.      Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan pencemaran/perusakan lingkungan.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 (existing/berlaku), pengecualian tersebut dihapuskan. Pasal 88 UU PPLH tidak lagi mencantumkan alasan-alasan pembebas seperti yang terdapat dalam UU sebelumnya. Penghapusan ini berarti pelaku kerusakan lingkungan tidak dapat lagi mengelak dari tanggung jawab mengganti kerugian dan memulihkan lingkungan dengan dalih bencana alam atau force majeure.

Namun, perkembangan regulasi turunan memberikan nuansa berbeda. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 501 ayat (5) menentukan bahwa tergugat dapat mengajukan pembelaan bahwa kerusakan/pencemaran lingkungan bukan disebabkan oleh perbuatannya, melainkan faktor eksternal termasuk bencana alam atau peperangan; adanya keadaan memaksa di luar kemampuan manusia; atau akibat perbuatan pihak lain yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dalam hal ini sistem pembuktian terbalik. Artinya, tergugat harus membuktikan secara meyakinkan di pengadilan bahwa kerusakan benar-benar bukan akibat perbuatannya.

Hubungan Status Bencana Nasional dengan Pertanggungjawaban Lingkungan

Penetapan status bencana nasional tidak menghilangkan pertanggungjawaban hukum pelaku kerusakan lingkungan berdasarkan beberapa landasan yuridis:

1.      Pemisahan Fungsi Penanggulangan dan Penegakan Hukum

Status bencana nasional berfungsi untuk mobilisasi sumber daya dalam tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi berdasarkan UU 24/2007. Fungsi ini terpisah dari fungsi penegakan hukum lingkungan yang diatur dalam UU 32/2009. Kedua rezim hukum ini berlaku secara paralel dan tidak saling meniadakan.

2.      Tanggung Jawab Negara versus Tanggung Jawab Pelaku

Berdasarkan Pasal 5 UU 24/2007, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab ini merupakan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi warga negara, bukan pengganti tanggung jawab pelaku kerusakan lingkungan.

Dalam kasus kerusakan lingkungan yang ditetapkan sebagai bencana, terdapat dua lapis pertanggungjawaban:​

a.      Tanggung jawab pelaku usaha: Berdasarkan prinsip strict liability (Pasal 88 UU PPLH) untuk ganti rugi dan pemulihan lingkungan

b.      Tanggung jawab negara: Berdasarkan asas tanggung jawab negara (Pasal 2 huruf a UU PPLH dan UU 24/2007) untuk penanggulangan dampak bencana dan perlindungan masyarakat

3.      Prinsip Polluter Pays dan Keadilan Ekologis

Hukum lingkungan Indonesia mengadopsi prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Penetapan status bencana tidak dapat meniadakan prinsip ini karena akan bertentangan dengan asas keadilan dan keberlanjutan lingkungan yang menjadi landasan filosofis UU PPLH.

4.      Kasus Lumpur Lapindo

Kasus semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo memberikan preseden penting. Meskipun ditetapkan sebagai bencana dan terdapat kontroversi apakah disebabkan kesalahan pengeboran atau gempa Yogyakarta, PT Lapindo Brantas tetap dimintai pertanggungjawaban karena kegiatannya tergolong berisiko tinggi dan menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan. Pemerintah juga bertanggung jawab dalam penanggulangan, namun bukan berarti menggantikan tanggung jawab korporasi.

Kondisi Pembebasan Tanggung Jawab: Standar Pembuktian yang Ketat

Berdasarkan kerangka hukum berlaku saat ini, pembebasan tanggung jawab pelaku kerusakan lingkungan sangat terbatas dan mensyaratkan pembuktian ketat:

1.      Beban Pembuktian pada Tergugat: Sistem pembuktian terbalik (reversal of burden of proof) berlaku, di mana pelaku harus membuktikan bahwa kerusakan lingkungan bukan akibat perbuatannya.

2.      Kriteria Bencana Alam sebagai Pengecualian: Jika menggunakan PP 22/2021, tergugat harus membuktikan:

a)      Peristiwa benar-benar tidak dapat diantisipasi;

b)      Peristiwa di luar kendali pelaku;

c)      Tidak ada unsur kelalaian atau kesengajaan;

d)      Pelaku telah melakukan segala upaya pencegahan (due diligence); dan

e)      Terdapat itikad baik dalam pelaksanaan kewajiban lingkungan;

3.      Hubungan Kausalitas: Harus ada pemisahan tegas antara kerusakan akibat bencana alam murni dengan kerusakan akibat aktivitas pelaku yang diperparah atau dipicu oleh kondisi alam.

Implikasi terhadap Penegakan Hukum

Dalam konteks penetapan status bencana nasional akibat kerusakan lingkungan penegakan hukum tetap berlangsung. Investigasi penyebab kerusakan lingkungan tetap dilakukan oleh penyidik Polri dan PPNS Lingkungan Hidup. Gugatan perdata lingkungan dapat diajukan oleh Pemerintah/Pemda (Pasal 90 UU PPLH), organisasi lingkungan (Pasal 92), atau masyarakat (Pasal 91). Sanksi administratif dapat dijatuhkan sesuai Pasal 76-82 UU PPLH (sebagaimana diubah UU Cipta Kerja). Tuntutan pidana dapat diajukan berdasarkan Bab XV UU PPLH.

Dengan demikian, pelaku kerusakan lingkungan tetap dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum baik melalui jalur perdata (ganti rugi dan pemulihan), administratif (sanksi administratif), maupun pidana (jika memenuhi unsur tindak pidana), terlepas dari penetapan status bencana nasional. Status bencana seharusnya justru memperkuat kerangka penanganan komprehensif yang melibatkan baik aspek penanggulangan darurat maupun penegakan hukum lingkungan secara terintegrasi. (ldr/seg)

Referensi:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang         Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang        Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang         Pengelolaan LIngkungan Hidup.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 Tentang        Penyelenggaraan Perli N Du Ngan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan    Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu

Baca Juga: Arief Kadarmo: Bencana Tak Diharapkan Terjadi Maka Kita Harus Siap Menanggulanginya

Willa Wahyuni, Ini Ketentuan Status Bencana Nasional, Otoritas Penetapan dan        Indikatornya, tanggal 03 Desember 2025,           https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-ketentuan-status-bencana-       nasional--otoritas-penetapan-dan-indikatornya-lt692fa9e6a59b6/,   diakses pada 15 Desember 2025.

Aji Prasetyo, Ini Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Bencana Alam,        https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-tanggung-jawab-negara-    terhadap-korban-bencana-alam-lt692fda8474f16/, diakses pada 15         Desember 2025.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…