PENDAHULUAN
Tuntutan para Hakim Indonesia agar dibentuknya Undang-Undang tentang Contempt of Court, pada tahun 2025 ini telah diperjuangkan selama 40 tahun melalui IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) dan Mahkamah Agung, yang hingga saat ini belum berhasil.
Perjuangan selama 40 tahun ini lebih lama daripda memperjuangkan konsep peradilan di bawah Mahkamah Agung (konsep Peradilan Satu Atap) yaitu selama 32 tahun (1966-1998).
Baca Juga: Mengenal Contempt of Court
Pembentukan undang-undang memang bukanlah proses yang mudah, karena merupakan proses politik yang sangat ditentuka oleh hal-hal seperti : skala prioritas, kepentingan berbagai pihak, urgensi, dan lain-lain.
Contempt of Court (CoC), bukanlah pranata yang berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan banyak aspek, seperti : politik hukum, penegakan hukum, situasi dan kondisi, dan lain-lain.
Kiranya perlu adanya perubahan sudut pandang dan strategi dalam memperjuangkan Undang-Undang tentang Contempt of Court ini.
Pranata CoC ini mendapatkan perhatian khusus di Indonesia, berawal dari diselenggarakannya Konferensi para Ketua Mahkamah Agung dari kawasan Asia Pasifik yang dihadiri oleh 17 Ketua Mahkamah Agung pada tahun 1978 di Jakarta.
Tema dari konferensi tersebut adalah The Safeguard of The Judiciary yang terdiri dari 6 topik, dan salah satunya adalah Contempt of Court termasuk pelanggaran karena perbuatan dan penerbitan di luar persidangan.
Perjuangan para warga Pengadilan melalui Mahkamah Agung dan IKAHI sampai hari ini belum membuahkan hasil.
KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tanggal 2 Januari 2023 yang akan mulai efektif berlaku tanggal 1 Januari 2026 nanti hanya memuat beberapa pasal tentang CoC, yaitu pada Buku Kedua Bab VI Bagian Kedua tantang Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan Pasal 279 dan Pasal 280.
UPAYA-UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN
- Tahun 1985
Dalam proses pembetukan Undang-Undang Mahkamah Agung, Komisi III DPR mengadakan dengar pendapat dengan IKAHI, pada waktu itu IKAHI menyampaikan usulan agar di dalam Undang-Undang Mahkamah Agung ada pasal yang mengharuskan dibentuknya Undang-Undang tentang CoC. Usulan IKAHI ini dalam pembahasan RUU di DPR ikut dibahas. Fraksi PDI mendukung, tetapi Fraksi yang lain tidak mendukung, namun pada akhirnya diambil jalan tengah yaitu perihal CoC tersebut tidak diatur di dalam batang tubuh, tetapi dimasukkan di dalam Penjelasan Umum, dan kesepakatan ini dapat kita lihat pada Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan ”perlu dibuat undang-undang tentang CoC”
- Tahun 1986
Dalam rangka ulang tahun IKAHI yang ke-33, pada tanggal 24 Maret 1986, IKAHI menyelenggarakan Seminar Tentang CoC dengan narasumber Ketua Mahkamah Agung dan pembahas adalah dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), kalangan universitas, kalangan politisi dan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Pusat.
Sebelumnya juga sudah pernah dibahas dengan PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia).
- Tahun 2002
Gagasan ini kembali mengemuka, Puslitbang Mahkamah Agung menyusun Naskah Akademis tentang Kehormatan Lembaga Pengadilan.
Naskah ini menjadi acuan penyusunan RUU Penghinaan Pengadilan yang masuk dalam Prolegnas DPR tahun 2003, tetapi pembahasannya kandas karena DPR memprioritaskan Revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Agung dan Perubahan Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (dalam rangka peradilan di bawah satu atap).
- Tahun 2011
Gagasan ini muncul lagi setelah terjadinya insiden perusakan Pengadilan Negeri Temanggung.
- Tahun 2012
Dalam Rakernas IKAHI tahun 2012, CoC menjadi bahasan utama dan merekomendasikan agar Mahkamah Agung menyusun RUU CoC.
- Tahun 2015
Litbang Mahkamah Agung menyusun ulang naskah akademis CoC.
Setelah mewawancarai 756 orang Hakim, Jaksa, Pengacara yang hasinya 85% menyetujui adanya Undang-Undang tentang CoC, kemudian diadakan diskusi.
Di tahun 2015 ini juga, DPR menyerahkan 54 usulan undang-undang kepada Pemerintah, yang salah satunya adalah RUU tentang Penghinaan Pengadilan.
Adapun Naskah Akademik tersebut mencakup 5 hal, yaitu :
- Berperilaku tercela di Pengadilan;
- Tidak menaati perintah Pengadilan;
- Menyerang integritas Pengadilan;
- Menghalangi jalannya peradilan;
- Membuat pemberitaan yang menyerang Pengadilan.
PENDAPAT
Dalam seminar yang diselenggarakan oleh IKAHI pada tanggal 24 Maret 1986 tersebut di atas, berkembang tiga sikap yang menarik tentang CoC ini, yaitu :
Kelompok pertama, yang berpendapat bahwa CoC adalah suatu hal yang penting, sehingga Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 harus segera diwujudkan ;
Kelompok kedua, yang berpendapat bahwa adanya Undang-Undang tentang CoC ini tidaklah mendesak, karena pasal-pasal yang ada di KUHP sudah cukup memadai, seperti Pasal 210, 217, 221, 223, 224, 231, 232, 235, 242, 310, 314, 317, 420, 522 KUHP dan lain-lain.
Kelompok ketiga, yang berpendapat bahwa Undang-Undang tentang CoC tidak perlu, yang penting adalah pembinaan segi etik dan moral apparat peradilan. Karena terjadinya CoC adalah merupakan reaksi bukan aksi, yaitu reaksi terhadap lemahnya penegakan hukum dan keadilan.
Pendapat dari kelompok yang ketiga ini menarik untuk dikaji, karena umumnya CoC terjadi sebagai reaksi dari ketidakadilan, keberpihakan, kesembronoan, emosional, arogansi, sikap yang tidak ramah, merendahkan, dan lain-lain yang ditunjukkan oleh Hakim di persidangan atau oleh petugas Pengadilan lainnya dalam memberikan pelayanan, sehingga dapat memantik kemarahan para pencari keadilan dan bahkan kemarahan publik.
Penulis berpendapat, bahwa CoC akan efektif apabila kondisi pengadilan telah ”normal” dalam pengertian memiliki citra positif, memiliki harkat, martabat, dan marwah yang patut dihormati dan dimuliakan, serta berwibawa yang dikelola oleh personil-personil yang memiliki integritas dan profesionalitas yang tinggi.
Timbul pertanyaan, kapan kondisi Pengadilan di Indonesia akan menjadi normal, dimana tidak ada lagi keberpihakan, tidak ada lagi ketidakadilan, tidak ada lagi Judicial Corruption?
Jawabannya sudah ada ! Kita telah memiliki Visi dan Misi Badan Peradilan Indonesia tahun 2010-2035, yaitu terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang agung. Visi dan Misi ini telah berlaku/berjalan selama 15 tahun, sehingga masih tersisa 10 tahun lagi untuk melanjutkan pembenahan berbagai permasalahan internal kita.
Apabila Undang-Undang tentang CoC dipaksakan sebelum kondisi lembaga Pengadilan di normalisasikan, maka ada kekhawatiran nantinya bahwa yang sekarang masuk dalam katagori pelanggaran-pelanggaran kode etik, justru ditingkatkan menjadi tindak pidana, dan mayoritas pelaku tindak pidana CoC justru aparat Pengadilan sendiri.
KESIMPULAN
Undang-Undang tentang CoC seyogianya dibuat untuk melindungi lembaga Pengadilan yang memiliki Marwah, martabat, dan citra positif, bukan untuk melindungi lembaga Pengadilan yang personil-personilnya masih bermasalah dalam hal profesionalitas, integritas, dan masih terjangkit Judicial Corruption.
Bila keberadaan Undang-Undang tentang CoC dipaksakan dalam waktu dekat ini, dikhawatirkan akan merugikan personil atau aparat Pengadilan sendiri, dimana tindakan-tindakan yang sekarang merupakan pelanggaran etik, dapat berubah menjadi tindak pidana.
Kita memiliki waktu pembenahan sampai tahun 2035, sesuai Visi dan Misi Badan Peradilan Indonesia
SARAN
Perkuat penegakan Kode Etik seoptimal mungkin.
Baca Juga: Mengenang Pledoi Indonesia Menggugat 1930 Bukti Kesakralan Ruang Sidang Pengadilan
Melakukan evaluasi dan penelitian sudah seberapa jauh pencapaian dari pelaksanaan Visi dan Misi Badan Peradilan Indonesia selama 15 tahun ini secara terukur, bukan hanya berdasar asumsi, guna dapat menentukan langkah-langkah strategis dalam 10 tahun ke depan. (fac/afa)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI