Cari Berita

Urgensi Remunerasi Berbasis Kinerja Bagi Hakim dan Tenaga Teknis Peradilan

John Malvino Seda Noa Wea - Wakil Ketua PN Putussibau - Dandapala Contributor 2025-05-11 12:00:55
John Malvino Seda Noa Wea

Dalam sistem peradilan yang ideal, hakim memegang peranan sentral sebagai penjaga keadilan dan penegak hukum yang independen. Tidak hanya itu, peran tak kalah penting juga diemban para tenaga teknis peradilan di seluruh Indonesia dalam proses penanganan perkara. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa beban kerja yang ditanggung oleh para hakim dan tenaga teknis peradilan sering kali tidak sebanding dengan dukungan negara yang mereka terima. Data Mahkamah Agung RI mencatat bahwa pada tahun 2024, jumlah perkara di pengadilan tingkat pertama mencapai 2.991.747, yang ditangani oleh 5.804 hakim dan 350 hakim ad hoc. Artinya, setiap hakim tingkat pertama rata-rata menangani sekitar 1.547 perkara dalam setahun. Angka ini mencerminkan beban kerja yang sangat tinggi, yang berpotensi mempengaruhi kualitas putusan dan kesejahteraan hakim (Kompas.com, 2025).

Ironisnya, sistem remunerasi bagi hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia belum mencerminkan beban kerja tersebut. Meskipun telah terjadi kenaikan gaji dan tunjangan—khususnya bagi hakim—melalui PP Nomor 44 Tahun 2024, struktur remunerasi masih bersifat statis dan tidak berbasis pada kinerja atau jumlah perkara yang ditangani (Kompas.id, 2025). Hal ini berbeda dengan institusi penegak hukum lain, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, yang telah menerapkan sistem insentif berbasis kinerja atau jumlah berkas perkara. Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah sistem remunerasi hakim dan tenaga teknis peradilan saat ini sudah adil dan mampu mendorong profesionalisme serta integritas dalam menjalankan tugas yudisialnya?

Melalui tulisan ini, penulis hendak menyalurkan opini sebagai bahan wacana dan refleksi bagi para hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia untuk mengkaji kembali urgensi penerapan sistem remunerasi berbasis kinerja bagi hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia. Dengan meninjau ulang beban kerja yang dihadapi, membandingkan dengan sistem remunerasi di institusi lain, serta menelaah prinsip keadilan institusional, diharapkan dapat ditemukan jalan keluar yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan hakim dan tenaga teknis peradilan, tetapi juga memperkuat kualitas dan integritas warga peradilan di Indonesia.

Baca Juga: Badilum Sosialisasikan Uji Kompetensi untuk Tingkatkan Kompetensi Panitera-Tenaga Teknis

Ketimpangan Remunerasi dan Realitas Beban Kerja Hakim dan Tenaga Teknis Peradilan

Salah satu paradoks paling mencolok dalam sistem peradilan Indonesia hari ini terletak pada absennya relasi yang proporsional antara beban kerja hakim dan tenaga teknis peradilan dengan struktur tunjangan yang diterima. Seorang hakim dan tenaga teknis peradilan di pengadilan negeri, baik yang bertugas di kota besar maupun daerah terpencil, akan menerima komponen gaji dan tunjangan yang relatif sama—bergantung pada golongan kelas pengadilan, terlepas dari jumlah perkara yang ditangani, tingkat kompleksitas putusan, maupun tekanan independensi yang dihadapi. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius, mengapa struktur tunjangan hakim dan tenaga teknis peradilan tidak menyentuh dimensi kinerja, padahal penegakan keadilan menuntut kinerja yang profesional dan berintegritas?

Ketimpangan ini menjadi lebih nyata ketika dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Jaksa dan penyidik, misalnya, memiliki skema insentif tambahan berdasarkan jumlah berkas perkara yang mereka tangani atau selesaikan (Antaranews.com, 2025). Model berbasis output ini, meskipun belum sempurna, mencerminkan adanya pengakuan negara melalui institusi terhadap beban kerja aktual dan kontribusi fungsional masing-masing aparatur. Sebaliknya, bagi seorang hakim dan tenaga teknis peradilan, menangani seratus atau seribu perkara tidak menghasilkan konsekuensi insentif apa pun di luar angka tetap dalam komponen gaji dan tunjangan. Dengan kata lain, sistem yang berlaku cenderung mengasumsikan bahwa beban kerja seluruh hakim dan tenaga teknis peradilan adalah setara, padahal kenyataannya jauh panggang dari api.

Kondisi ini tidak hanya menimbulkan ketidakadilan horizontal antar hakim dan tenaga teknis peradilan—misalnya, antara hakim di daerah yang banyak perkara dengan hakim di daerah yang perkaranya lebih sedikit—tetapi juga memperlebar kesenjangan keadilan antar institusi, khususnya dalam sistem peradilan pidana terpadu. Beban kerja yang tidak diimbangi dengan penghargaan atau pengakuan negara secara institusional justru dapat memunculkan disinsentif struktural yang secara perlahan berpotensi menggerus semangat profesionalisme dan integritas aparatur. Dalam jangka panjang, ketimpangan seperti ini bukan hanya melemahkan motivasi personal, tetapi juga menciptakan ketegangan tersembunyi—bagai api dalam sekam—antar-lembaga yang bekerja sama di luar maupun dalam ruang persidangan.

Karena itu, persoalan remunerasi hakim dan tenaga teknis peradilan sejatinya tidak semata soal nominal atau kesejahteraan, tetapi lebih fundamental dari itu, yakni menyangkut keadilan institusional dan pengakuan terhadap realitas kerja lembaga peradilan yang semakin kompleks. Jika peradilan dituntut untuk adaptif, responsif, profesional dan berintegritas, maka sistem insentif bagi hakim dan tenaga teknis peradilan pun seharusnya selaras dengan beban tanggung jawab yang diembannya.

Urgensi Reformasi Remunerasi Hakim dan Tenaga Teknis Peradilan Berbasis Kinerja

Penerapan sistem remunerasi bagi hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia saat ini dapat dikatakan mandek dan tidak berbasis pada kinerja atau beban kerja yang ditangani. Meskipun untuk hakim telah mengalami kenaikan gaji dan tunjangan per 18 Oktober 2024 lalu, struktur remunerasi belum mencerminkan kompleksitas dan volume perkara yang ditangani oleh masing-masing hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia. Sebagai contoh, hakim dan tenaga teknis peradilan dengan beban perkara yang tinggi tidak mendapatkan kompensasi tambahan apa pun dibandingkan dengan hakim dan tenaga teknis peradilan dengan beban perkara yang lebih ringan.

Ketimpangan ini dirasa perlu ditinjau melalui perspektif keadilan institusional dalam sistem peradilan. Dalam konteks ini, prinsip keadilan distributif yang dikemukakan oleh John Rawls menjadi relevan. Rawls menekankan bahwa distribusi sumber daya harus mempertimbangkan kebutuhan dan kontribusi individu dalam masyarakat. Dengan demikian, sistem remunerasi hakim dan tenaga teknis peradilan sudah seharusnya mempertimbangkan beban kerja dan kompleksitas perkara yang ditangani sebagai indikator utama dalam menentukan kompensasi dan wujud penghargaan atas jerih payahnya dalam bekerja.

Beberapa negara telah menerapkan sistem remunerasi berbasis kinerja bagi hakim. Di Singapura, misalnya, remunerasi hakim disesuaikan dengan kinerja dan kontribusi mereka dalam sistem peradilan. Sistem ini mendorong peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas-tugas yudisial. Implementasi sistem serupa di Indonesia dapat menjadi langkah penting dan strategis dalam meningkatkan kualitas dan integritas aparatur peradilan.

Penutup

Baca Juga: PN Bandung Vonis 16 Bulan Penjara Dirut RSUD di Kasus Korupsi Insentif Covid

Remunerasi bukan sekadar soal angka, tetapi cerminan sejauh mana negara melalui sistemnya menghargai peran, beban, dan tanggung jawab profesi. Dalam konteks hakim, alpanya sistem insentif berbasis kinerja menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang mengabaikan kerja peradilan sebagai proses intelektual dan moral yang sakral dan berat. Ketika aparatur lain dalam sistem peradilan—seperti jaksa dan penyidik—telah mendapatkan insentif berbasis kinerja, maka mempertahankan skema remunerasi yang datar (flat) bagi hakim dan tenaga teknis peradilan bukan hanya diskriminatif, tetapi juga tidak adaptif dan responsif terhadap tantangan profesionalisme peradilan masa kini.

Tulisan ini hendak menegaskan kembali bahwa beban kerja hakim dan tenaga teknis peradilan yang tinggi, kompleksitas perkara yang beragam, serta tekanan moral dan psikologis yang menyertainya tidak boleh lagi dipandang sebagai variabel yang tak relevan dalam penentuan tunjangan atau kompensasi oleh negara. Bukankah seharusnya prasyarat sistem peradilan yang profesional dan berintegritas adalah penghargaan dan pengakuan yang seimbang terhadap peran setiap unsur, termasuk penghargaan yang layak bagi hakim dan tenaga teknis peradilan melalui sistem remunerasi berbasis kinerja yang adil, transparan, dan terukur.

Jika reformasi remunerasi ini tidak segera ditempatkan sebagai prioritas oleh negara, maka risiko demoralisasi, kelelahan institusional (judicial fatigue), dan penurunan kualitas putusan menjadi ancaman yang nyata. Oleh karena itu, urgensi pembaruan kebijakan yang menyelaraskan beban kerja dengan bentuk penghargaan bukan hanya kebutuhan personal para hakim dan tenaga teknis peradilan, melainkan bagian dari upaya kolektif menyelamatkan dan menjaga profesionalitas, integritas, martabat, dan kepercayaan publik terhadap peradilan itu sendiri.(LDR, SNR)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum