Cari Berita

Dari Perasaan ke Rasionalitas: Redefenisi Keyakinan Hakim

Muamar Azmar Mahmud Farig - Dandapala Contributor 2025-08-15 15:55:57
dok. ist.

Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan pada intinya bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Frasa "keyakinan hakim" dalam pasal ini sebenarnya telah menjadi pintu gerbang bagi berbagai persoalan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Masalah utama terletak pada ketiadaan instrumen epistemik yang objektif untuk menilai validitas "keyakinan" tersebut. Dalam praktik, keyakinan hakim sering diperlakukan sebagai ruang hampa yang tidak dapat digugat, seolah-olah ia terbentuk dalam kevakuman rasional. Dampaknya nyata, membuka ruang bagi bias personal, vonis yang tidak logis, hingga ketidakadilan sistemik yang merugikan pencari keadilan.

Tulisan ini bertujuan mempertimbangkan ulang tafsir konvensional “Keyakinan hakim” dalam sistem pembuktian yang terlalu subjektif dan mengusulkan parameter epistemik minimal untuk menilai validitas keyakinan hakim. Pertanyaan kunci yang ingin dijawab adalah apakah keyakinan hakim dapat diuji secara rasional dan intersubjektif tanpa menafikan independensinya?

Baca Juga: Saat Napi Curhat ke Hakim Wasmat PN Prabumulih: Malu hingga Ingin Cepat Bebas

Akar Masalah: Warisan Le Intime Conviction

Konsep "keyakinan hakim" dalam KUHAP merupakan warisan dari sistem le intime conviction yang berasal dari tradisi hukum kontinental Eropa. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menilai bukti berdasarkan "hati nurani" tanpa terikat aturan pembuktian yang kaku. Namun, transplantasi konsep ini ke Indonesia terjadi tanpa diimbangi mekanisme kontrol epistemik yang memadai.

Selama ini, tafsir terhadap Pasal 183 KUHAP didominasi pendekatan subjektif individual yang memperlakukan keyakinan sebagai produk psikologis murni. Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya jarang mengoreksi "keyakinan" hakim karena dianggap sebagai hak prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat.

Berdasarkan perspektif fenomenologi hukum, keyakinan hakim bukanlah entitas yang terisolasi, melainkan hasil konstruksi persepsi dan pengalaman yang terbentuk melalui interaksi dengan bukti-bukti (Alfred Schutz, 1967). Maurice Merleau-Ponty juga telah mengingatkan bahwa persepsi manusia selalu "terwarnai" oleh latar belakang pengalaman dan struktur kognitif yang dimilikinya (Maurice Merleau-Ponty, 2012).

Lebih fundamental lagi, dari sudut pandang epistemologi hukum, keyakinan tanpa justifikasi rasional hanyalah opini pribadi, bukan pengetahuan hukum yang valid (Edmund Gettier, 1963). John Rawls dalam A Theory of Justice telah menekankan pentingnya public reason dalam institusi-institusi keadilan, argumen yang dapat dipahami dan dievaluasi oleh publik (John Rawls, 1971).

Sistem hukum di negara lain telah mengembangkan mekanisme untuk merasionalisasi “keyakinan hakim. Di Prancis, meskipun menganut sistem intime conviction, hakim wajib memberikan alasan yang memadai (motivation suffisante) dalam putusannya. Sistem common law di Amerika Serikat menggunakan standar beyond reasonable doubt yang memiliki indikator objektif yang dapat diuji.

Problem Praktis di Indonesia

Analisis terhadap putusan pengadilan di Indonesia menunjukkan adanya inkonsistensi dalam penerapan Pasal 183 KUHAP. Studi yang dilakukan oleh MAPPI FH UI menemukan bahwa dalam kasus-kasus serupa, hakim sering menghasilkan kesimpulan yang berbeda meskipun dengan alat bukti yang relatif sama (Mappi FH UI, 2017).

Psikologi kognitif mengidentifikasi berbagai bias yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan hakim, antara lain confirmation bias (kecenderungan mencari bukti yang mendukung praduga awal), anchoring effect (terlalu bergantung pada informasi pertama), dan availability heuristic (menilai probabilitas berdasarkan kemudahan mengingat kasus serupa) (Daniel Kahneman, 2012)

Sebenarnya, ketiadaan checklist epistemik atau panduan objektif membuat keyakinan hakim menjadi "kotak hitam" yang sulit dievaluasi. Sistem pembinaan hakim di Indonesia juga lebih menekankan aspek administratif daripada kualitas penalaran yudisial¹³. Akibatnya, hakim yang putusannya tidak logis atau bias jarang mendapat koreksi yang memadai.

Usulan Redefinisi Epistemik “Keyakinan Hakim”: sebagai Produk Penalaran Terstruktur

Usulan utama tulisan ini adalah mendefinisikan ulang "keyakinan hakim" sebagai evidence-based belief yang disertai logical justification. Keyakinan bukan lagi sekadar "percaya" atau "yakin", tetapi harus mengandung transparansi alur berpikir yang dapat ditelusuri dan dievaluasi.

Redefinisi ini tidak bermaksud mengekang independensi hakim, melainkan meningkatkan kualitas dan akuntabilitas putusannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ronald Dworkin, independensi yudisial harus diimbangi dengan tanggung jawab intelektual. (Ronald Dworkin, 1986).

Untuk mewujudkan redefinisi tersebut, berdasarkan hasil eklektika penulis terhadap teori-teori yang berkembang, dapat diusulkan empat indikator rasionalitas awal yang harus dipenuhi dalam pembentukan keyakinan hakim:

  1. Koherensi antara alat bukti dan narasi hukum: Keyakinan harus dibangun dari bukti-bukti yang saling mendukung dan membentuk narasi yang utuh.
  2. Konsistensi antar fakta, norma, dan konklusi: Tidak boleh ada kontradiksi logis antara fakta yang ditemukan, norma yang diterapkan, dan kesimpulan yang diambil.
  3. Absennya logical fallacy dalam pertimbangan: Hakim harus menghindari sesat pikir seperti ad hominem, hasty generalization, atau false dilemma.
  4. Refleksi terhadap kemungkinan bias pribadi: Hakim perlu menunjukkan kesadaran akan potensi bias dan upaya untuk meminimalkannya.

Parameter epistemik di atas dapat dikembangkan menjadi Judicial Reasoning Checklist yang diintegrasikan dalam Pedoman Teknis Mahkamah Agung. Checklist ini bukan untuk mengekang kreativitas hakim, tetapi sebagai panduan untuk meningkatkan kualitas penalaran.

Implementasi dapat dilakukan secara bertahap. dimulai dari program pelatihan hakim, kemudian dimasukkan dalam evaluasi kinerja, dan akhirnya menjadi dasar untuk revisi Pasal 183 dalam pembaruan KUHAP di masa depan.

Penutup

Keyakinan hakim tidak boleh menjadi ruang hampa yang kebal kritik. Dalam negara hukum yang demokratis, setiap keputusan yang mempengaruhi hak asasi manusia harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Redefinisi epistemik terhadap Pasal 183 KUHAP bukan ancaman terhadap independensi yudisial, melainkan upaya memperkuat legitimasi dan kualitas peradilan Indonesia.

Usulan parameter epistemik yang dikemukakan dalam tulisan ini masih memerlukan kajian empiris lebih lanjut dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan. Namun, langkah awal menuju peradilan yang lebih rasional dan akuntabel harus segera dimulai. (ldr)

Daftar Bacaan

Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World (Northwestern University Press, 1967)

Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception (Routledge, 2012)

Edmund Gettier, "Is Justified True Belief Knowledge?" Analysis, Vol. 23, No. 6 (1963)

John Rawls, A Theory of Justice (Harvard University Press, 1971).

Code de procédure pénale français, Article 427.

In re Winship, 397 U.S. 358 (1970).

MAPPI FH UI, Memaknai dan Mengukur Dispraitas: Studi terhadap Praktik Pemidanaan pada Tindak Pidana Korupsi, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Jakarta 2017

Baca Juga: Urgensi Tinjauan Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Perkara Pidana Pada Putusan Pengadilan

Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (Farrar, Straus and Giroux, 2011)

Ronald Dworkin, Law's Empire (Harvard University Press, 1986)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI