Pernahkah Anda membayangkan, saat ini menghirup udara segar, namun tiba-tiba kualitasnya memburuk dan tercemar? Lebih ironis lagi, ketika Anda berjuang menyampaikan keluhan kepada pihak berwenang, justru langkah Anda dihambat atau malah Anda dirugikan lagi oleh pihak yang berkuasa atau pihak yang memiliki kemampuan (dalam segala hal, Mis. ekonomi, sosial, jabatan, kekuasaan, politik) dan lebih parahnya jerat yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang sah berlaku di Indonesia. Ironi ini bisa kita sebut dengan istilah Strategic Lawsuit Against Public Participation.
Alih-alih menjadi mekanisme keadilan, peraturan perundang-undangan dalam konteks ini berpotensi disalahgunakan oleh pihak yang memiliki sumber daya lebih besar—baik ekonomi, sosial, jabatan, kekuasaan, maupun politik—untuk membungkam kritik dan partisipasi publik.
Baca Juga: Manifesto Kepemimpinan Mahkamah Agung sebagai Komitmen Mewujudkan Peradilan Hijau: Tetra Policy
Menyikapi ironi ketika hak menyampaikan aspirasi atas dugaan pencemaran lingkungan justru berujung pada ancaman jeratan hukum, konsep Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) hadir sebagai mekanisme krusial. Anti-SLAPP bertujuan melindungi individu atau kelompok yang menyampaikan kritik atau berpartisipasi dalam isu publik dari tuntutan hukum yang bersifat strategis, yang tujuan utamanya bukan mencari keadilan, melainkan membungkam dan menimbulkan efek jera.
Di Indonesia, perlindungan terhadap para pejuang lingkungan dan masyarakat yang menyampaikan aspirasi terkait isu lingkungan menemukan pijakannya dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal ini secara eksplisit mengatur bahwa pembela lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata atas upaya mereka dalam memperjuangkan hak lingkungan yang baik dan sehat.
Lebih lanjut, sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung dalam penegakan hukum lingkugan hidup, pada tanggal 12 Juni 2023, telah diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (PERMA 1/2023). Perma ini hadir sebagai angin segar dan memberikan landasan hukum yang memungkinkan para pejuang lingkungan hidup yang selama ini rentan dikriminalisasi secara pidana atau digugat secara perdata atas aksi pembelaan mereka, kini memiliki mekanisme untuk meminta agar perkara yang menjerat mereka dihentikan.
Perlindungan hukum bagi para pejuang hak atas lingkungan hidup dari ancaman gugatan perdata diatur secara khusus mekanismenya dalam Pasal 48 hingga Pasal 51 PERMA 1/2023. Di dalam Pasal 49 PERMA 1/2023 secara tegas menggarisbawahi bahwa setiap gugatan perdata, termasuk gugatan balik (rekonvensi), yang terindikasi kuat bertujuan untuk menjegal perjuangan masyarakat dalam meraih hak atas lingkungan yang sehat dan berkualitas, adalah sebuah pelanggaran nyata terhadap amanat Pasal 66 UU PPLH. Lebih lanjut, pasal ini memberikan amunisi berharga bagi para pejuang lingkungan yang terseret dalam pusaran gugatan perdata, dengan memberikan hak untuk mengajukan eksepsi atau jawaban yang jelas menyatakan bahwa gugatan tersebut tak lain adalah upaya pembungkaman atas aksi pembelaan hak lingkungan mereka. Ini adalah penegasan bahwa pengadilan tidak boleh menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk melemahkan suara-suara yang berjuang demi lingkungan hidup.
Hal lain yang tak kalah menarik, bahwa di dalam Pasal 50 PERMA 1/2023 secara eksplisit mengamanatkan bahwa ketika tergugat mengajukan eksepsi, lengkap dengan bukti permulaan yang mengindikasikan gugatan penggugat merupakan bentuk pembungkaman terhadap pembelaan lingkungan sebagaimana diatur Pasal 66 UU PPLH, hakim pemeriksa perkara memiliki kewajiban untuk memberikan waktu yang singkat namun krusial, yakni tujuh hari, kepada penggugat untuk memberikan tanggapannya.
Hakim pemeriksa perkara segera, wajib menjatuhkan putusan sela paling lambat 30 hari sejak eksepsi diajukan. Ketentuan ini adalah tamparan keras bagi praktik pengadilan yang berlarut-larut, sebuah kepastian hukum yang mendesak agar para pejuang lingkungan tidak terperangkap dalam labirin ketidakpastian. Putusan sela dalam tempo sesingkat itu menjadi indikator keseriusan pengadilan dalam menimbang dugaan praktik SLAPP, memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi retorika, namun terwujud dalam tindakan nyata dan cepat.
Ketika tergugat berhasil meyakinkan hakim atas kebenaran eksepsinya, maka gugatan penggugat akan dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, jika eksepsi tersebut gagal dibuktikan, pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke pokok perkara. Lebih jauh lagi, jika dalam proses pemeriksaan pokok perkara hakim menemukan bukti kuat adanya pelanggaran terhadap Pasal 66 UU PPLH maka gugatan penggugat akan ditolak, dan bahkan hakim dapat mengabulkan tuntutan ganti rugi baik dalam bentuk kerugian materiil dan/atau imateriil yang diajukan tergugat melalui gugatan baliknya (rekonvensi).
Perlindungan dari tuntutan pidana bagi pejuang lingkungan mirip dengan perlindungan dari gugatan perdata. Terdakwa bisa mengajukan keberatan bahwa ia adalah pejuang lingkungan yang dilindungi UU PPLH. Hakim lalu memberi waktu 7 hari bagi jaksa untuk menanggapi. Dalam 30 hari, hakim memutuskan sela. Jika terbukti ada pelanggaran Pasal 66 UU PPLH, hakim langsung memutus bahwa tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima tanpa memeriksa pokok perkara, namun jaksa bisa kasasi. Jika pelanggaran tidak terbukti, keberatan terdakwa ditolak dan sidang lanjut ke pokok perkara. Namun, jika di sidang pokok perkara terbukti pelanggaran Pasal 66 UU PPLH, dakwaan jaksa tetap dinyatakan tidak dapat diterima. Bahkan, jika perbuatan terdakwa terbukti tapi ia adalah pejuang lingkungan, hakim bisa memutus lepas dari segala tuntutan.
Bentuk-Bentuk Pelindungan Hukum
Pelindungan hukum diberikan kepada setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berikut adalah sejumlah kriteria yang dapat menjadi panduan bagi hakim dalam mengevaluasi apakah tindakan seseorang layak mendapatkan perlindungan Pasal 66 UU PPLH: Penyampaian usulan atau keberatan mengenai pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup baik secara lisan maupun tertulis, penyampaian keluhan, pengaduan, pelaporan dugaan tindak pidana, gugatan administrasi atau perdata, atau proses hukum lain yang berkaitan dengan pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, penyampaian pendapat, kesaksian, atau keterangan di persidangan, penyampaian pendapat di muka umum, lembaga pers, lembaga penyiaran, media sosial, aksi unjuk rasa, mimbar bebas, atau forum lainnya; dan/atau komunikasi baik lisan maupun tertulis lainnya kepada lembaga negara dan/atau lembaga pemerintah terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Upaya memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat haruslah sejalan dengan koridor hukum yang berlaku. Namun, tindakan yang melampaui batas hukum dapat dibenarkan jika terbukti tidak ada opsi lain yang memungkinkan dan tindakan tersebut semata-mata dilakukan demi melindungi kepentingan hukum yang lebih besar bagi masyarakat luas. Ketentuan ini menciptakan keseimbangan yang krusial antara kepatuhan terhadap hukum dan perlunya tindakan luar biasa dalam kondisi mendesak demi kepentingan publik yang lebih besar.
Baca Juga: Cerita Dari Larantuka 1928 saat Raja Larantuka Mengasingkan Para Pembunuh “Soeanggi”
Hadirnya Perma 1/2023 merupakan langkah maju yang signifikan dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para pejuang lingkungan hidup di Indonesia. Peraturan ini tidak hanya menjawab ironi praktik SLAPP yang membungkam suara kritis, tetapi juga memperjelas mekanisme dan kriteria perlindungan, baik dalam ranah perdata maupun pidana. Implementasi Perma ini secara konsisten dan berintegritas oleh aparat penegak hukum, khususnya hakim, akan menjadi kunci dalam mewujudkan keadilan lingkungan dan memastikan bahwa keberanian masyarakat dalam membela lingkungan tidak lagi menjadi celah untuk kriminalisasi atau gugatan yang tidak berdasar. (LDR/AAR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI