Cari Berita

Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia

Ainal Mardiah (Hakim Agung Kamar Pidana MA) - Dandapala Contributor 2025-05-21 08:00:52
Dok. Pribadi.

Pendahuluan

FEMISIDA terbentuk  dari kata Femi yang berasal dari  kata female yang berarti perempuan, sedangkan sida berasal dari bahasa latin caedera yang berarti pembunuhan. Sehingga femisida berarti penghilangan nyawa perempuan atau anak perempuan karena dia perempuan atau karena kekerasan berbasis gender.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah femisida artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap perempuan. Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Baca Juga: Mengawal Masa Depan: Peran Hukum dalam Memastikan Kemajuan Teknologi yang Etis

Istilah “femisida” pertama kali  digunakan oleh John Corry, Sejarawan Inggris  Tahun 1801  dalam bukunya “A Satrical View of London at the Commencement of the nineteenth Century  untuk merujuk pada pembunuhan terhadap perempuan. Kemudian di  tahun 1976 Profesor Diana EH Russell  bersama Nicole van Den Hen, tokoh pelopor, pakar, aktivis feminis  kekerasan laki-laki terhadap perempuan, di Pengadilan Internasional Kejahatan terhadap Perempuan International Tribunal on Crimes  Against women di Brussels, Belgia menggunakan istilah tersebut untuk menarik perhatian publik pada kekerasan dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan.

Pada awalnya, femisida didefinisikan sebagai “pembunuhan perempuan oleh laki-laki yang dimotivasi oleh kebencian, penghinaan, kesenangan, atau rasa memiliki terhadap “perempuan” dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki.”

Kemudian Prof Russel menyederhanakan definisi femisida menjadi ”pembunuhan satu atau lebih perempuan oleh satu atau lebih laki-laki karena mereka perempuan” dalam pidato pengantarnya pada Simposium PBB tentang Femisida pada tanggal 26 November 2012.

Femisida dan Beragam Kasus di Indonesia

Komnas perempuan baru merumuskan istilah femisida tersebut 9 (sembilan) tahun setelah Simposium PBB dengan  merujuk pada situasi di Indonesia. Karena, istilah femisida maknanya yang diterima sering kali bervariasi, tergantung pada perspektif siapa yang sedang diperiksa atau dari negara atau kawasan dunia mana.

Fenomena femisida, termasuk konseptualisasi dan pengukurannya, terus menjadi subjek diskusi internasional baik itu dikalangan akademis, kebijakan, dan aktivis serta dalam lembaga legislatif dan kebijakan regional, nasional, dan lainnya. Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendefinisikan femisida dengan merangkumkan definisi yang telah disusun oleh Pelopor Khusus Anti Kekerasan terhadap Perempuan PBB, OHCHR dan UN Women dan WHO sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida juga didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan, juga berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik.

Berdasarkan data Komnas Perempuan, di Indonesia sepanjang tahun 2020 hingga 2023, terjadi total 798 kasus femisida di Indonesia. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan tentang Pemantauan Femisida tahun 2024 melalui pemberitaan media online untuk periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024 dari 33.225 berita ditemukan 290 kasus dengan indikasi femisida. Tahun 2023 diketahui terdapat femidia intim yang dilakukan suami sebanyak 71 kasus, dilakukan pacar 47 kasus, dilakukan anggota keluarga 29 kasus dan dilakukan pengguna layanan seksual 16 kasus. Alasan tertinggi yang terungkap adalah cemburu atau sakit hati, penolakan hubungan seksual, masalah finansial dan kekerasan seksual.

Aparat penegak hukum  belum memiliki keberpihakan yang terlalu baik. Padahal Femisida adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut disebabkan Indonesia belum mengatur tentang femisida secara khusus. Meskipun Indonesia memiliki beberapa aturan tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan  yang tersebar antara lain UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT dan UU TPKS yang secara eksplisit belum mengatur tentang femisida.

Femisida dalam Instrumen Internasional

Negara-negara yang telah mengintegrasikan femisida dalam perundang-undangan tindak pidana, antara lain Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, El Savador, Guatemala, Honduras, Meksiko, Nikaragua, Panama, Peru, Paraguay, Uruguay dan Venezuela.

Untuk menjelaskan apa itu femisida, WHO Pelopor Khusus Kekerasan terhadap Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan, Deklarasi Wina, dan UN Women and UNODC, inter-agency working document (victim dissaggregations) telah  menetapkan 9 (sembilan) perbuatan yang tergolong  kategori femisida tersebut sebagai berikut:

  1. Femisida Intim merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh suami/mantan suami atau pacar/mantan pacar atau pihak lainnya.
  2. Femisida Budaya, merupakan serangkaian bentuk femisida yang terdiri dari beberapa sub bagian terkait sebagai berikut:
    1. Femisida atas nama kehormatan, yaitu pembunuhan perempuan demi menjaga kehormatan keluarga atau komunitas. Pembunuhan dilakukan karena perempuan dianggap melakukan pelanggaran, perzinahan, diperkosa atau hamil diluar nikah;
    2. Femisida terkait mahar: yaitu pembunuhan perempuan karena konflik mas kawin, misalnya karena dianggap tidak sesuai dengan keluarga calon suami;
    3. Femisida Terkait Ras, Suku dan Etnis yaitu pembunuhan perempuan adat etnis tertentu, kecenderungan pada ras, suku dan etnis minoritas;
    4. Femisida Terkait tuduhan sihir, yaitu pembunuhan berdasarkan tuduhan terkait sihir atau santet;
    5. Femisida terhadap pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation/circumcision) (FGM/C) atau dikenal pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP) merupakan bagian dari kontrol terhadap seksualitas atau organ reproduksi perempuan yang dapat berdampak kematian anak perempuan dan perempuan dewasa;
    6. femisida bayi (aborsi, balita dan batita) yaitu pembunuhan terhadap bayi perempuan karena dianggap tidak berharga dibandingkan bayi laki-laki, termasuk aborsi selektif terhadap janin jenis kelamin perempuan dan anak penyandang disabilitas. Dalam budaya patrilineal, bayi perempuan dianggap bukan penerus kekerabatan dan garis keturunan keluarga luas dalam komunitas.

  3. Femisida Konteks Konflik Bersenjata, merupakan pembunuhan dalam konteks konflik bersenjata, biasanya didahului kekerasan fisik yang dilakukan aktor negara maupun non negara, UNODC menyatakan penargetan perempuan dalam konflik bersenjata dan penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang (weapon of war) digunakan untuk menghancurkan tatanan masyarakat, seperti perempuan yang mengalami pemerkosaan dalam konflik sering dijauhi dan dikucilkan oleh komunitas mereka.
  4. Femisida Konteks Industri Seks Komersial merupakan pembunuhan perempuan pekerja seks oleh klien atau kelompok lain karena perselisihan biaya atau kebencian terhadap kelompok pekerja seks komersial.
  5. Femisida perempuan dengan Disabilitas, merupakan pembunuhan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena kondisinya ataupun efek domino karena telah terjadi kekerasan seksual hingga kehamilan.
  6. Femisida Orientasi Seksual dan  Identitas Gender merupakan pembunuhan yang didasarkan kebencian dan prasangka terhadap minoritas seksual.
  7. Femisida di Penjara, merupakan pembunuhan yang terjadi pada tahanan perempuan dalam konteks sistem penjara.
  8. Femisida Non Intim (Pembunuhan Sistematis) merupakan pembunuhan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan intim dengan korban, bisa terjadi secara acak terhadap korban tidak dikenal atau pembunuhan sistematis oleh aktor negara maupun non negara;
  9. Femisida Pegiat HAM/Pegiat Kemanusiaan. Merupakan pembunuhan dilakukan aktor negara atau non negara terhadap perempuan yang berjuang bagi pemenuhan HAM di komunitasnya atau masyarakat luas. Perjuangan ini dianggap mengancam atau merugikan kepentingan ekonomi kelompok tertentu.

Instrumen Internasional yang berkenaan dengan perlindungan  femisida yaitu:

  1. Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan :”Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu dan Pasal 5 yang menyatakan ”Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi atau dihina.”
  2. Pasal 3 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sosial dan Politik (International Convenant on Civil and Political Rights/ ICCPR)  yang telah disahkan melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik  yang menyatakan “Setiap orang memiliki hak atas hidup dan Pasal 7 menyatakan “hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi”.
  3. Pasal 3 Komentar Umum Komite ICCPR pada tahun 2000 tentang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
  4. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah disahkan melalui UU No 7 Tahun 1984 tentang CEDAW. Dimana Pasal 1 melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Femisida merupakan pembunuhan berdasarkan jenis kelamin perempuan. Pasal 2 menyatakan negara pihak berkewajiban mengadopsi kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan. Kewajiban ini bersifat alamiah, tidak boleh ada pembenaran atas penundaan berdasarkan apapun termasuk alasan ekonomi, budaya atau agama. Kewajiban negara mencakup tanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap perempuan atau pembiaran yang dilakukan aktor negara atau non state actor.
  5. Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang kekerasan terhadap perempuan yang menetapkan diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 CEDAW mencakup kekerasan berbasis gender, yaitu kekerasan yang ditujukan terhadap perempuan karena dia adalah perempuan. Kekerasan berbasis gender merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mampu menikmati hak-hak dan kebebasan dasar secara setara dengan laki-laki. Butir 7 Rekomendasi Umum No 19 CEDAW tentang kekerasan berbasis gender yang merusak, menghalangi atau meniadakan penikmatan oleh perempuan terhadap hak asasinya dan kebebasan fundamental berdasarkan hukum internasional atau berdasarkan konvensi HAM, adalah diskriminasi dalam pengertian Pasal 1 CEDAW.
  6. Rekomendasi Umum No 33 CEDAW tentang Akses pada keadilan. Meski perempuan korban meninggal, namun negara wajib menegakkan keadilan dengan menginvestasi kasusnya, memberi ganti rugi kepada keluarganya dan pemulihan yang diperlukan serta menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya.
  7. Rekomendasi Umum No 35 yang merupakan perluasan dari Rekomendasi Umum No 19 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa kekerasan tersebut merupakan masalah sosial dan bukan individual sehingga membutuhkan respon yang komprehensif dari negara. Rekomendasi ini menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender terjadi  di semua tempat dan ruang interaksi  manusia, publik maupun pribadi, termasuk dalam pengaturan konteks keluarga, komunitas, ruang publik. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dapat diakibatkan oleh perbuatan, pengabaian atau kelalaian aktor negara atau bukan negara,  yang bertindak secara teritorial atau ekstrateritorial, termasuk tindakan militer ekstrateritorial negara, secara individu atau sebagai anggota organisasi atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstrateritorial atau koalisi internasional atau antar pemerintah, atau ekstrateritorial operasi perusahaan swasta.
  8. Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah disahkan melalui UU No 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights People With Disabilities (CRPD) dan diturunkan dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Perempuan penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis dibandingkan dengan perempuan non disabilitas. Pertama, karena gendernya. Kedua, kondisi disabilitas yang mengakibatkan mereka mengalami berbagai hambatan. Pasal 5 menyatakan hak perempuan penyandang untuk “bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi. (Ayat IV).
  9. Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia kemudian mengimplementasikan konvensi tersebut melalui Undang-Undang Perlindungan Anak tahun 2002 tentang   Perlindungan Anak No 23 yang direvisi dengan UU No 35 Tahun 2014 dan UU No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
  10. Dokumen hasil Pertemuan Tinjauan Regional Beijing +25 yang diorganisir Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa pada Oktober 2019 menyatakan mendukung prakarsa Pemantau Femisida (Femisida Watch). Rekomendasi No. 31 menyerukan kepada semua negara agar membangun badan nasional multidisiplin seperti Pemantau Femisida yang bertujuan bekerja secara aktif untuk pencegahan femisida atau pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan.
  11. Sekjen PBB pada pertemuan Tingkat Tinggi Konferensi Dunia IV tentang Perempuan pada 1 Oktober 2020 menyerukan tindakan afirmasi untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan termasuk femisida.
  12. Pembangunan Berkelanjutan (SDGS) sebagaimana tujuan 16.1 “Pengurangan secara signifikan jumlah segala bentuk kekerasan dan angka kematian perempuan di mana pun”.

Konsepsi Femisida Dalam Kerangka Hukum Nasional di Masa Depan

Khususnya di Indonesia memiliki beberapa aturan tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan yang tersebar antara lain UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU PKDRT dan UU TPKS yang secara eksplisit belum mengatur tentang femisida. Berdasarkan berbagai regulasi tersebut menunjukan femisida masih belum sepenuhnya mendapat tempat dalam kerangka hukum nasional. Akibatnya, perkara-perkara pembunuhan yang seharusnya masuk ke ranah femisida, tumpang tindih dengan kejahatan-kejahatan lainnya.

Berdasarkan peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan di Indonesia belum mendefinisikan fenomena penanganan kasus femisida yang telah disepakati secara global sebagaimana definisi menurut Deklarasi Wina, sehingga  penanganan femisida masih bersifat umum, definisi femisida sebagai salah satu bentuk pembunuhan motifnya belum terlihat terkait gender korban. Misalnya Pembunuhan perempuan akibat kekerasan oleh pasangan intim/rumah tangga tidak secara spesifik mendefinisikan kasus sebagai bagian dari femisida.

Sebagaimana UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan KUHP yang berlaku, kasus berikut lebih mengarah dan condong ke kasus pembunuhan umum yang melihat perempuan korban tindak pidana KDRT yang menyebabkan hilangnya nyawa korban.

Berdasarkan Pasal 5 UU PKDRT melarang kekerasan rumah tangga dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. KDRT yang menyebabkan kematian setara dengan tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP) atau penganiayaan berat dengan rencana (Pasal 352 ayat 2). Penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan tidak didefinisikan secara khusus sebagai kasus femisida dan landasan hukum yang berlaku merujuk ke KUHP dan bila perlu UU Perlindungan Anak. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan atas nama kehormatan seseorang maupun kolektif tidak diatur dalam undang-undang yang berlaku. Aturan pasal yang memayungi kasus-kasus spesifik atas nama kehormatan  lebih umum sehingga motif ini mengarah pada rujukan KUHP.

Pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam konteks konflik bersenjata belum memiliki aturan khusus dalam perundang-undangan di Indonesia, sepenuhnya merujuk ke KUHP. Pembunuhan perempuan terkait mahar belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, landasan hukum yang digunakan merujuk KUHP. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan karena orientasi seksual dan identitas gender hingga saat ini belum memiliki hukum yang khusus mengatur hal tersebut. Dalam praktiknya motif pembunuhan terhadap perempuan dan anak ini berlaku ketentuan KUHP serta UU Perlindungan Anak.

Pembunuhan perempuan dan anak perempuan penduduk asli karena jenis kelamin hingga kini belum diatur dalam perundang-undangan khusus yang mengatur motif pembunuhan tersebut. Landasan hukum yang digunakan sebagai rujukan adalah KUHP dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pasal 4 huruf B angka 4 menyatakan” Melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul,  pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis’.

Pembunuhan bayi perempuan dan pembunuhan janin berdasarkan jenis kelamin belum memiliki landasan hukum yang mengatur mengenai motif pembunuhan tersebut ataupun aborsi selektif atas dasar jenis kelamin. Perundang-undangan yang dijadikan rujukan adalah KUHP dan UU Perlindungan Anak. Kematian terkait P2GP belum diatur dalam peraturan khusus yang melarang praktik tersebut secara jelas. Pembunuhan perempuan karena tuduhan sihir tidak memiliki hukum yang khusus mengatur hal tersebut. Pembunuhan berbasis gender lainnya yang berhubungan dengan geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api belum diatur secara khusus. Motif pembunuhan tersebut merujuk pada KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah dalam perundang-undangan nasional, femisida ditempatkan sebagai kriminalitas umumnya dan bukan kejahatan berbasis gender.

Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum terkait femisida di Indonesia adalah;

  1. Pembunuhan sebagaimana diatur dalam  Pasal 338 KUHP “Ada dua unsur esensial dalam pasal ini yaitu adanya unsur subjektif dengan sengaja dan unsur objektif menghilangkan nyawa orang lain.
  2. Pembunuhan disertai atau didahului tindak pidana lain sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP.
  3. Pembunuhan berencana  sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.
  4. Tindak Pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur dalam  Pasal 351 ayat 3 KUHP.
  5. Penganiayaan dengan perencanaan terlebih dahulu jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 353 ayat 3 KUHP.
  6. Penganiayaan berat jika mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 354 ayat 2 KUHP.
  7. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan mengakibatkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 355 ayat 2 KUHP.
  8. Penelantaran yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 ayat 2 KUHP.
  9. Perbuatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 304 KUHP (menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara) dan Pasal 305 KUHP (menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak) yang mengakibatkan kematian.
  10. Pemerkosaan yang menyebabkan kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 291 Ayat 2 KUHP.
  11. Perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 285  KUHP (pemerkosaan), Pasal 286 KUHP (persetubuhan), Pasal 287 KUHP (persetubuhan dengan anak), Pasal 289 KUHP (perbuatan cabul) dan Pasal 290 KUHP (perbuatan cabul terhadap anak) yang  mengakibatkan kematian.
  12. Kekerasan terhadap Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”
  13. Kekerasan seksual terhadap Anak yang menyebabkan Kematian sebagaimana diatur dalam Pasal 76 D UU Perlindungan Anak.
  14. Pembunuhan Anak (perempuan) sebagaimana diatur dalam  Pasal 341 KUHP.
  15. Pembunuhan Anak (perempuan)  sebagaimana diatur dalam pasal 342 KUHP.
  16. Pengguguran dan Pembunuhan terhadap Kandungan/Janin (Aborsi) sebagaimana diatur dalam Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
  17. UU perlindungan Anak Pasal 45 A mengenai perbuatan aborsi.
  18. Pasal 347 KUHP “Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
  19. Pasal 347 KUHP ayat (1) dengan diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  20. Pasal 348 KUHP. Ayat (1) barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuan wanita lain, diancam dengan pidana penjara selama paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan wanita itu meninggal, dia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  21. Pasal 449 KUHP. Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan tersebut dalam Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal itu dapat ditambah  dengan sepertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan pekerjaannya dalam mana kejahatan itu dilakukan.
  22. Pembunuhan Berhubungan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO).

Kekerasan berbasis gender khususnya kekerasan seksual yang diikuti dengan pembunuhan sendiri sering dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Namun, di berbagai fenomena kekerasan berbasis gender tersebut berdampak serius terhadap korban. Selain itu, kekerasan berbasis gender dapat menghancurkan seluruh integritas dan masa depan hidup korban yang menyebabkan korban merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Harus disadari, kekerasan berbasis gender sesungguhnya mengancam keberlangsungan bangsa dan kualitas generasi yang akan datang.

Kesimpulan

Bentuk-bentuk dan definisi femisida  hampir tidak terdengar dan terintegrasi secara optimal sebab peraturan  perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan daerah di Indonesia masih belum memberikan definisi jelas tentang kekerasan dan pembunuhan berbasis gender yaitu pembunuhan perempuan karena ia perempuan;

Belum ada payung hukum yang membedakan antara kasus pembunuhan berbasis gender yang korbannya perempuan dengan pembunuhan sebagai kriminalitas umum. Belum ada aturan tentang  tindak pidana penghilangan nyawa berbasis gender, yang saat ini masih tersebar di berbagai peraturan. Sehingga harmonisasi dengan cara pengaturan secara khusus mengenai femisida harus didorong sebagai wujud perlindungan terhadap korban kekerasan berbasis gender. (LDR)


Baca Juga: Hakim di Era AI: Menuju Badan Peradilan Yang Agung dan Modern Indonesia

Ainal Mardiah

Penulis adalah Hakim Agung Kamar Pidana pada Mahkamah Agung RI.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI