Cari Berita

CHA Heru Pramono Memperkenalkan Konsep “Mirror Meeting” di Komisi 3 DPR RI

article | Berita | 2025-09-11 16:10:04

Jakarta - Komisi III DPR RI membuka rapat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi calon Hakim Agung, Heru Pramono. Rapat dinyatakan terbuka untuk umum setelah forum dinyatakan kuorum enam fraksi tercatat hadir sesuai Pasal 251 ayat (1) Peraturan DPR tentang Tata Tertib. Setiap calon diberi waktu 90 menit, termasuk 15 menit untuk menyampaikan pokok-pokok makalah; sesi tanya fraksi dibatasi 3 menit per penanya.Dalam paparannya, Heru mengangkat tema “Mewujudkan Asas Kebebasan Berkontrak Secara Adil dan Beritikad Baik.” Ia menegaskan pijakan Pasal 1338–1339 KUH Perdata, asas konsensualisme, pacta sunt servanda, serta itikad baik (Pasal 1338 ayat 3). Heru menyoroti empat sumber ketidakadilan dalam praktik kontrak: ketimpangan daya tawar, klausula baku yang tidak adil (dirujuk Pasal 18 UU 8/1999), pelanggaran itikad baik termasuk penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang telah dikenal dalam yurisprudensi, dan keterbatasan perlindungan hukum.Solusi yang diajukan: penguatan regulasi (termasuk dorongan unifikasi/kodifikasi hukum perdata), serta peran hakim menegakkan nilai keadilan hidup di masyarakat saat terjadi penyimpangan asas.Sejumlah anggota menekan isu integritas, visi progresif, dan konsistensi putusan seperti I Wayan (PDIP) menguji motivasi Heru beralih dari jabatan Panitera MA ke Hakim Agung serta menuntut dua problem utama MA yang siap ia benahi.Sudir mempertanyakan apakah Heru sekadar “corong undang-undang” atau hakim progresif yang siap melakukan penemuan hukum saat ada kekosongan norma. Ia juga menyoal putusan berbeda pada sengketa serupa, mendesak eksaminasi dan publikasi dissenting opinion untuk akuntabilitas.Martin Tumbelaka dari Gerindra meminta batasan konstitusional atas kebebasan berkontrak demi perlindungan pihak lemah. Adang Daradjatun mengaitkan kebutuhan RUU Perdata dengan eksekutabilitas putusan di lapangan agar tidak dimenangkan pihak kuat semata.Heru menyebut “naluri hakim” ingin memastikan kualitas putusan, bukan sekadar dukungan administrasi. Ia memaparkan kontribusinya sebagai Panitera MA dalam kasasi & PK elektronik (perubahan alur berkas dari fisik ke digital) dan dorongan pemisahan peran asisten hakim dengan panitera pengganti agar penyusunan putusan lebih riset-berbasis (jurnal, literatur, riset).Untuk peningkatan mutu, Heru menyiapkan konsep “mirror meeting”. Putusan berkekuatan hukum tetap dibedah para ahli (tanpa kehadiran majelis) untuk umpan balik kualitas model yang diadopsi dari praktik pengadilan tertinggi Belanda.Terkait putusan yang berbeda pada perkara serupa, Heru merujuk Sistem Kamar demi kesatuan hukum dan membuka ruang PK lebih dari sekali pada kondisi putusan saling bertentangan. Soal perma/sema, ia menegaskan PERMA berlandas Pasal 8 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (mengikat umum), sedangkan SEMA mengikat internal hakim dan menguat ketika menjelma yurisprudensi.Menyoal keadilan vs kepastian/manfaat, Heru mengutip Gustav Radbruch: skala prioritas keadilan–kemanfaatan–kepastian sesuai perkara. Ia menegaskan pemidanaan perkara kontraktual harus dihindari kecuali terpenuhi unsur niat jahat; sementara robot trading masuk perdata bila murni wanprestasi, menjadi pidana bila ada mens rea dan delik terpenuhi.Menjawab dorongan anggota agar jujur dan progresif, Heru mengutip riset Sebastian Pompe ihwal kondisi masa lalu MA, seraya menyatakan reformasi signifikan melalui Cetak Biru MA 2010–2035, penerapan e-court dan e-litigation, hingga penurunan tunggakan perkara. Ia mengakui PR terbesar kini adalah kualitas putusan target yang hendak ia genjot melalui penguatan riset dan mekanisme evaluasi pasca putusan.Sesi ditutup dengan penandatanganan surat pernyataan oleh calon dan apresiasi pimpinan rapat. Komisi III menegaskan harapannya pada integritas, keberanian moral, dan keberpihakan pada keadilan substantif, terutama dalam perlindungan pihak lemah, konsistensi hukum, dan akuntabilitas putusan Mahkamah Agung. (al/ldr)