article | Opini | 2025-07-27 16:05:42
Lahirnya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 memperkenalkan adanya alternatif penyelesaian di luar pengadilan berdasarkan prosedur yang telah disepakati oleh para pihak, yaitu arbitrase. Apabila para pihak telah memilih menyelesaikan sengketa secara arbitrase maka secara langsung telah meniadakan kewenangan absolut Pengadilan Negeri atas sengketa tersebut. Salah satu alasan dari para pihak memilih penyelesaian sengketa secara arbitrase karena arbitrase memiliki kekuatan yang final dan langsung mengikat para pihak, sehingga tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Meskipun demikian para pihak masih dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diatur pada diatur dalam Pasal 70-72 UU No. 30 Tahun 1999. Pembatalan putusan arbitrase tidak dapat diajukan pada seluruh putusan arbitrase melainkan harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999, yaitu: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang c. disembunyikan oleh pihak lawan; atau d. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”Penjelasan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.”Adanya ketentuan mengenai pembatalan putusan arbitrase sejatinya memberikan kepastian hukum dan penegasan bahwasanya putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang mengikat kecuali ditemukan unsur yang dapat membatalkan syarat sah arbitrase. Hal ini mengakomodir amanat dari Pasal 1337 KUHPerdata mengenai pembatasan kebebasan berkontrak yaitu suatu sebab dianggap terlarang jika: “Dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan ketertiban umum.” Meskipun demikian adanya penjelasan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999 justru dinilai bertentangan dengan kepastian hukum.Pada tanggal 6 Februari 2014 Darma Ambiar dan Sujana Sulaeman mengajukan permohonan pengajuan konstitusionalitas terhadap penjelasan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 mengenai alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang harus dibuktikan dengan putusan pengadilan tentang pemalsuan terlebih dahulu, dimana hal itu telah bertentangan dengan batang tubuh pasal tersebut mengenai alasan pembatalan putusan dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 yang diajukan oleh para pihak apabila putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur adanya pemalsuan. Penjelasan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999 telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD1945 mengenai hak setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum.Selanjutnya Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 15/PUU-XII/2014 telah mengabulkan permohonan para pemohon yang mana Penjelasan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999 telah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Majelis Hakim dalam putusannya juga berpendapat diantara batang tubuh dan penjelasan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999 memiliki makna yang multi tafsir dikarenakan apakah alasan pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dulu oleh pengadilan atau alasan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan. Adanya Putusan Nomor 15/PUU-XII/2014 telah mengakomodir semangat dari asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana pada Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 48 Tahun 2009. Tentunya apabila pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan sendiri menyebabkan Pemohon harus berhadapan dengan 2 proses pengadilan dan pemeriksaan menjadi bertele-tele sehingga sangat memungkinkan bagi pihak yang sudah dirugikan untuk mendapatkan kerugian lebih besar lainnya. Terutama apabila dilihat sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa-sengketa perdagangan sebagaimana dalam Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 1999. Selain itu dengan adanya Putusan Nomor 15/PUU-XII/2014 juga dinilai melindungi kepentingan para pemohon dalam pemenuhan syarat pembatalan putusan arbitrase apabila dikaitkan dengan Pasal 71 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mensyaratkan permohonan pembatalan putusan arbitrase paling lambat 30 hari setelah pendaftaran putusan arbitrase.Salah satu putusan pembatalan putusan arbitrase pasca adanya Putusan Nomor 15/PUU-XII/2014 adalah Putusan No 173/Pdt.Sus.Arb/2021/PN Cbi. Pembatalan putusan arbitrase tersebut diajukan oleh PT Daehan Global selaku Pemohon melawan PT Ace Engineering & Construction selaku Termohon karena adanya dokumen mengandung keterangan palsu atas Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) No. Perkara 43041/VII/ARB-BANI/2020. Termohon dalam jawaban mengajukan eksepsi yaitu permohonan pembatalan yang diajukan Pemohon tidak dapat diperiksa karena prematur. Termohon dalam jawabannya menyatakan belum terpenuhinya syarat formil dari pembatalan putusan arbitrase yaitu hanya peradilan pidana lah yang berwenang memeriksa dan mengadilinya sehingga untuk membuktikan unsur-unsur Pasal 70 tersebut tidak bisa ditentukan oleh salah satu pihak secara subyektif, hipotesis. dugaan atau apriori. Majelis Hakim dalam putusannya menolak eksepsi prematur Termohon. Majelis Hakim berpendapat suatu perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase dikatakan prematur jika diajukan terhadap putusan arbitrase yang belum diserahkan dan didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana dalam Pasal 71 UU No 39 Tahun 1999, yang mana dalam hal ini Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) No. Perkara 43041/VII/ARB-BANI/2020 telah diserahkan dan didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Cibinong. Selanjutnya Majelis Hakim dalam pokok perkaranya setelah memperhatikan bukti yang bersangkutan dan mendengarkan kedua belah pihak, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan membatalkan Putusan Arbitrase BANI No. 43041/VII/ARB-BANI/2020 tanggal 16 April 2021. (asn/ldr/ikaw)