Cari Berita

Ructritt dan Tatiger Reue, Alasan Penghapus Penuntutan dalam KUHP Baru

article | Serba-serbi | 2025-07-18 08:05:59

Alasan penghapus penuntutan terjadi apabila terdapatnya suatu keadaan yang membuat sesuatu ketentuan pidana tidak boleh diterapkan, sehingga jaksa tidak boleh menuntut si pembuat (Prof. Sudarto, 2013). Soal hapus dan gugurnya kewenangan penuntutan sebagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) telah diatur dalam Bab IV tentang Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana. Pada Bagian Kesatu tepatnya Pasal 132 KUHP Baru menyebutkan kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika: a. ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap setiap orang atas perkara yang sama, b. tersangka atau terdakwa meninggal dunia, c. kedaluwarsa, d. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II, e. maksimum pidana denda kategori IV dibayar dengan sukarela bagi Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, f. ditariknya pengaduan bagi Tindak Pidana aduan, g. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang; atau h. diberikannya amnesti atau abolisi. Selain dari yang disebutkan dalam Pasal 132 KUHP baru tersebut, masih terdapat keadaan lain yang dapat mengakibatkan gugurnya atau hapusnya kewenangan penuntutan dari Penuntut Umum terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) atau tindakan penyesalan (Tatiger Reue). Pengunduran diri secara sukarela (Ructritt), yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik, sedangkan tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut (Barda Nawawi Arief, 2012). Teori mengenai pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) dan tindakan penyesalan (Tatiger Reue), awalnya terdapat dalam ketentuan percobaan tindak pidana (Poging). Hal itu dapat ditemukan apabila kita menggunakan penafsiran argumentum a contrario dari unsur ketiga dalam pasal percobaan tindak pidana Pasal 53 KUHP lama yaitu “tidak selesainya pelaksanaan bukan karena kehendak sendiri”.Untuk dapat dipidananya suatu percobaan tindak pidana, maka “tidak selesainya pelaksanaan” itu harus disebabkan bukan karena kehendak sendiri dari si pembuat misalkan karena adanya penghalang fisik atau keadaan-keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran. Apabila ternyata dalam suatu percobaan tindak pidana “tidak selesainya pelaksanaan” adalah karena kehendak sendiri dari sipembuat baik itu karena pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) ataupun tindakan penyesalan (Tatiger Reue), maka terhadap si pembuat tidak dapat untuk dituntut karena terdapat alasan penghapus penuntutan. Teori mengenai “tidak selesainya pelaksanaan karena kehendak sendiri” sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena teori tersebut praktiknya sering dijadikan pertimbangan Hakim dalam berbagai putusan mengenai percobaan tindak pidana misalkan dalam putusan PN Solok Nomor 70/Pid.B/2021/PN Slk dan putusan PN Pangkalan Balai Nomor 317/Pid.B/2020/PN Pkb. Dalam KUHP baru, ketentuan mengenai pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) dan tindakan penyesalan (Tatiger Reue) saat ini telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 18 ayat (1) KUHP Baru tentang percobaan tindak pidana, yang menyebutkan “Percobaan melakukan Tindak Pidana tidak dipidana jika pelaku setelah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1): a. tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela; atau b. dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya”. Selain itu, dalam beberapa ketentuan pidana KUHP Baru juga diatur hal yang serupa dengan ketentuan mengenai pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) ataupun tindakan penyesalan (Tatiger Reue) dalam percobaan tindak pidana, yaitu dalam Tindak Pidana Permufakatan Jahat yang dapat ditemukan dalam Pasal 14 (menarik diri dari kesepakatan atau melakukan tindakan yang patut untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana) dan Tindak Pidana Persiapan yang dapat ditemukan dalam Pasal 16 (menghentikan atau mencegah kemungkinan terciptanya kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang secara langsung ditujukan bagi penyelesaian Tindak Pidana). Baik ketentuan mengenai pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) ataupun tindakan penyesalan (Tatiger Reue) sebagaimana Pasal 18 ayat (1) KUHP Baru, ataupun ketentuan serupa sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan 16 KUHP Baru, kesemuanya merupakan alasan penghapus penuntutan (Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, 2025). Sehingga apabila kemudian ditemukan dalam perkara “percobaan tindak pidana” tidak selesainya pelaksanaan adalah karena kehendak sendiri baik itu karena pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) ataupun tindakan penyesalan (Tatiger Reue) maka konsekuensinya adalah terhadap perkara tersebut penuntutannya tidak dapat diterima karena terdapat alasan penghapus penuntutan. Contohnya A yang merasa marah dengan B sampai gelap mata hendak membunuh B di rumahnya, A kemudian pergi ke tempat B dengan membawa senjata api untuk menghabisi nyawa B, kemudian C yang merupakan rekan dari A dan B kebetulan mengetahui A akan membunuh B hingga kemudian C menghubungi polisi untuk mencegah tindakan A. Di tengah perjalanan A kemudian sadar bahwa tindakannya salah dan mengurungkan niatnya membunuh B dan berbalik pulang ke rumah, polisi yang saat itu sudah berada di lokasi rumah B untuk mencegah tindakan A tidak mendapati A pergi ke rumah B kemudian polisi menangkap A di rumahnya setelah sebelumnya A mengurungkan niatnya untuk menghabisi nyawa B. Terhadap hal ini, maka A tidak dapat dituntut dengan “percobaan pembunuhan”, sebab A sebelumnya “dengan kehendak sendiri” tidak menyelesaikan pelaksaan perbuatan tersebut yaitu dengan pengunduran diri secara sukarela (Ructritt) sesuai Pasal 18 ayat (1) huruf a. Namun apabila kemudian diketahui terkait dengan kepemilikan senjata api oleh si A adalah ilegal, terhadap A dapat dilakukan penuntutan atas tindak pidana kepemilikan senjata api illegal tersebut (vide Pasal 18 ayat (2) KUHP Baru). (AAR/LDR) Referensi Barda Nawawi Arief. (2012). Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut (Cetakan IV). Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Rajawali Pers. Prof. Sudarto, S. H. (2013). Hukum Pidana I (Cetakan ke). Yayasan Sudarto. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana