article | Opini
| 2025-05-09 11:00:42
Untuk
meningkatkan efektifitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup oleh hakim
lingkungan hidup di pengadilan maka perlu didukung oleh suatu sistem manajemen
perkara lingkungan hidup yang baik dan efektif di setiap pengadilan.
Salah
satu sistem manajemen perkara lingkungan hidup yang baik dan efektif adalah pemahaman
Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan staf
kepaniteraan terkait dalam memahami kriteria-kriteria untuk mengidentifikasi
perkara lingkungan hidup yang dilimpahkan ke pengadilan untuk nantinya
diklasifikasikan sesuai jenisnya kedalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara
(SIPP) pengadilan.
Sebelum
melakukan pengklasifikasian perkara lingkungan hidup maka langkah pertama yang
dilakukan yaitu terlebih dahulu baik Panitera Pengadilan, Panitera Muda
Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan Staf Kepaniteraan terkait mengetahui
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perkara lingkungan hidup.
Menurut
Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan
Hidup dijelaskan bahwa Perkara lingkungan hidup meliputi perkara tata usaha
negara, perdata, dan pidana yang menyangkut perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam:a. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
peraturan pelaksanaannya;b. Undang-undang
lain dan peraturan pelaksanaannya sepanjang terkait dengan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, perubahan iklim keanekaragaman hayati, sumber daya genetik,
atau pelindungan satwa dan tumbuhan liar; dan/ atauc. Undang-undang
lain dan peraturan pelaksanaannya sepanjang terkait dengan perjuangan hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Undang-undang
lain sebagaimana dimaksud huruf b diatas meliputi peraturan perundang-undangan di
bidang kehutanan, pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan, perkebunan,
tata ruang, sumber daya air, energi, perindustrian, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
kelautan, pengelolaan sampah dan perubahan iklim.
Setelah
memahami yang dimaksud dengan perkara lingkungan hidup maka langkah kedua yaitu
Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan staf
kepaniteraan terkait melakukan identifikasi perkara yang didaftarkan apakah
termasuk perkara tata usaha negara lingkungan hidup, perdata lingkungan hidup
dan atau perkara pidana lingkungan hidup.
Untuk lingkup
peradilan tata usaha negara maka kriteria yang harus diperhatikan adalah:
Objek
sengketa dalam perkara tata usaha negara lingkungan hidup terdiri Keputusan
Tata Usaha Negara atau juga disebut Keputusan Administrasi Pemerintahan, yaitu
izin, persetujuan atau Keputusan Administrasi Pemerintahan lainnya di bidang
lingkungan hidup dan Tindakan Administrasi Pemerintahan. Dasar gugatan/ dasar pengujian keabsahan (toetsinggronden)
yang terdiri atas peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup dan
sumber daya alam sebagaimana diuraikan dalam Lampiran Buku Pedoman, asas-asas
umum pemerintahan yang baik; dan/atau prinsip-prinsip hak asasi manusia terkait
lingkungan hidup Penggugat menguraikan dalam gugatannya bahwa
penerbitan obyek sengketa TUN berpotensi atau telah menyebabkan kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup; atauObjek sengketa TUN diterbitkan karena telah terjadi
adanya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup (misalnya, objek
sengketa TUN adalah pencabutan izin oleh Pejabat TUN karena adanya kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup). Untuk
lingkup peradilan umum yaitu bagi pengadilan negeri maka Panitera Pengadilan,
Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan dan staf kepaniteraan
terkait perlu mengidentifikasi perkara yang didaftarkan ke pengadilan negeri
apakah termasuk perkara perdata lingkungan hidup dan atau perkara pidana
lingkungan hidup.
Cara
mengidentifikasi perkara perdata lingkungan hidup yaitu Panitera Muda Perdata
dapat melihat dasar-dasar gugatan perkara perdata lingkungan hidup yang diatur
dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup termasuk perubahannya oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU
PPLH”). Seperti misalnya gugatan PMH (Pasal 87 UU PPLH). Lalu gugatan
pertanggungjawaban mutlak atau strict
liability (Pasal 88 UU PPLH). Dasar pertanggungjawaban mutlak pemegang hak
atau perizinan berusaha akibat kebakaran hutan (Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana diubah oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja)
Selain
memperhatikan dasar gugatan, Panitera Muda Perdata dapat juga melihat hak gugat
(legal standing) dalam gugatan untuk
mengidentifikasi hak gugat dalam UU PPLH sebagaimana terdiri atas Hak gugat
pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 90 UU PPLH), Hak gugat masyarakat (Pasal
91 UU PPLH), dan hak gugat organisasi lingkungan hidup (Pasal 92 UU PPLH).
Sementara
cara mengidentifikasi perkara pidana lingkungan hidup yaitu Panitera Muda
Pidana dapat memperhatikan pasal dakwaan penuntut umum yang diterapkan dalam
surat dakwaannya yang mana pasal dakwaan tersebut mengacu kepada ketentuan
pidana peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam defenisi perkara lingkungan hidup
diatas.
Lalu setelah
memahami pengertian perkara lingkungan hidup dan kriteria dalam menentukan
perkara lingkungan hidup maka tibalah waktunya untuk menentukan klasifikasi
perkara lingkungan hidup tersebut.
Sebagaimana
diketahui dalam SIPP Pengadilan Negeri versi 5.6.6 terdapat 19 klasifikasi
perkara lingkungan hidup yaitu:
Lingkungan Hidup/Gugatan
Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan
Lingkungan HidupLingkungan Hidup/Hal-hal yang
mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkunganLingkungan Hidup/Kebakaran
HutanLingkungan Hidup/Kerusakan
Lingkungan Akibat Kegiatan Pertambangan (Mineral, Baru Bara), Minyak dan Gas
BumiLingkungan Hidup/Kerusakan
Terumbu Karang, Hutan Bakau (Mangrove), Lautan dan PesisirLingkungan Hidup/Konservasi
Sumber Daya Alam Lingkungan Hidup/Limbah Bahan
Beracun Berbahaya (B3) Lingkungan Hidup/Pembuangan
LimbahLingkungan Hidup/Penangkapan
Ikan (dengan racun, bahan peledak/bom ikan)Lingkungan
Hidup/Pencemaran AirLingkungan
Hidup/Pencemaran LautLingkungan
Hidup/Pencemaran TanahLingkungan
Hidup/Pencemaran Udara dan Gangguan (Kebisingan, Getaran, dan Kebauan)Lingkungan
Hidup/Penebangan KayuLingkungan
Hidup/Perubahan IklimLingkungan
Hidup/Perubahan Kawasan Alam/Tata RuangLingkungan
Hidup/Reklamasi PantaiLingkungan
Hidup/Satwa Liar (Penangkapan, Perdagangan, dan lainnya)Lingkungan
Hidup/Tanaman Yang Dilindungi.
Tabel
tampilan klasifikasi perkara lingkungan hidup di SIPP.
Lalu
lantas bagaimana Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja
Pendaftaran dan atau Staf Kepaniteraan terkait memilih klasifikasi perkara
lingkungan hidup yang tepat terhadap suatu perkara lingkungan hidup yang
didaftarkan ke pengadilan?
Menurut
Buku Pedoman Identifikasi dan Penomoran Perkara Lingkungan Hidup Bagi
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (“Buku Pedoman”) yang
merupakan juga materi pelatihan singkat kerjasama antara Mahkamah Agung RI
dengan Leip dan Icel dan Norwegian Embassy diatur cara mengidentifikasi klasifikasi
perkara lingkungan hidup yakni Panitera
Muda Perkara dapat menelaah dampak perkara pada pencemaran/kerusakan lingkungan
hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
gugatan/dakwaan.
Lalu
untuk memudahkan penelusuran klasifikasi perkara lingkungan hidup maka Panitera
Muda Perkara dapat mengacu pada Lampiran I Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup
dan peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana pada Buku Pedoman tersebut.
Sementara
menurut Pasal 1 angka 14 UU PPLH yang dimaksud dengan Pencemaran lingkungan
hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Sedangkan
menurut Pasal 1 angka 17 UU PPLH yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan
hidup adalah Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau
tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Dengan
kata lain Panitera Muda Perkara perlu mengecek apa yang menjadi dasar
gugatan/dasar dakwaan dalam perkara tersebut sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mana hal tersebut mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup
dan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana defenisi tersebut.
Seperti
misalnya apabila ada suatu perkara perdata yang didaftarkan melalui E-court ke
Pengadilan Negeri dimana sebuah Yayasan yang berfokus pada perlindungan hutan
atas dasar hak gugat organisasi (legal
standing) sebagaimana diatur Pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
melakukan gugatan PMH terhadap sebuah perusahaan perkebunan
atas dasar gugatan yaitu Tergugat menduduki Kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan
Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan
hutan sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan. Lalu akibat dari kegiatan perkebunan Tergugat membuat Kawasan
hutan menjadi berkurang seluas ± 700 Ha, hutan menjadi rusak dan berkurang dan
juga mendorong terjadinya pemanasan global (global
warming) dan perubahan iklim (climate change).
Panitera
Muda Perdata yang menerima pendaftaran perkara antara Yayasan melawan
perusahaan perkebunan tersebut akan terlebih dahulu mengindentifikasi perkara
perdata tersebut berdasarkan dasar-dasar gugatannya dan hak gugatnya. Oleh
karena perkara tersebut termasuk gugatan PMH karena pelanggaran atruan
kehutanan dan penggugat berhak atas hak gugat organisasi (legal standing) maka teridentifikasi sebagai perkara perdata
lingkungan hidup. Selanjutnya Panitera Muda Perdata menelaah apa yang menjadi
dasar gugatan Penggugat tersebut yaitu Tergugat
menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri
di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal
17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan. Lalu
selanjutnya Panitera Muda Perdata juga akan menelaah dampak dari Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat
melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana
dalam posista gugatan tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup
seperti berkurangnya Kawasan Hutan seluas 700 Ha, hutan menjadi rusak dan
berkurang dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Setelah
menelaah baik dasar gugatan dan dampaknya dari perbuatan Tergugat tersebut
terhadap lingkungan maka selanjutnya Panitera Muda Perdata memilih klasifikasi
perkara mana yang tepat terhadap gugatan tersebut, apakah Gugatan Terhadap
Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup?
apakah Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan? Apakah Perubahan
Iklim? Atau apakah Perubahan Kawasan Alam/Tata Ruang.
Apabila
memilih klasifikasi perkara Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan
Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup adalah kurang tepat
karena yang digugat bukan aktivis lingkungan hidup atau warga masyarakat yang
memperjuangkan lingkungan hidup. Justru yang digugat adalah perusahaan sawit
oleh organisasi yang berfokus pada perlindungan hutan. Selain itu klasifikasi
ini ditujukan untuk perkara Strategic
Litigation Against Public Participation (SLAPP) dalam gugatan Perdata. Oleh karena opsi klasifikasi Gugatan
Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan
Lingkungan Hidup kurang tepat maka tersisa 3 (tiga) klasifikasi perkara
lingkungan hidup yang mana dampak perkara akibat perbuatan Tergugat kurang
lebih bersesuaian dengan 3 (tiga) jenis klasifikasi ini yaitu kerusakan dan
pencemaran lingkungan, Perubahan Iklim dan Perubahan Kawasan Alam/Tata Ruang.
Selanjutnya
untuk memilih klasifikasi perkara yang tepat dari 3 (tiga) pilihan jenis
klasifikasi perkara, Panitera Muda Perdata harus mengacu kepada Lampiran I Buku
Pedoman yang telah memuat Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup sesuai peraturan
perundang-undangan terkait.
Dalam
hal ini Panitera Muda Perdata mencocokkan dasar gugatan yang dijadikan
Penggugat dalam gugatannya dengan daftar klasifikasi perkara sekaligus daftar
peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana dalam Lampiran I Buku Pedoman.
Oleh karena Penggugat menggunakan dasar gugatannya adalah Tergugat menduduki
Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat
melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan
sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal
17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mana dasar gugatan tersebut berkesesuaian
dengan Klasifikasi perkara Kerusakan lingkungan akibat usaha perkebunan dan peraturan perundang-undangan terkait
yang mana mencakup juga Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo. Pasal 36-37 UU
Cipta Kerja sebagaimana hal. 36 Buku Pedoman maka klasifikasi perkara yang
tepat untuk diinput oleh Panitera Muda Perdata dalam SIPP adalah Lingkungan
Hidup/Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagaimana
dalam gambar berikut:
Gambar
Klasifiksi Perkara dan Peraturan terkait dalam Buku Pedoman hal. 36.
Lalu
bagaimana apabila Panitera Muda Perkara salah menginput klasifikasi perkara
lingkungan hidup dalam SIPP?
Dalam
Buku Pedoman diberikan prinsip bahwa apabila dikemudian hari diketahui terdapat
kesalahan memilih klasifikasi perkara lingkungan hidup maka koreksi hanya dapat
dilakukan atas perkara yang belum putus/berkekuatan hukum tetap. Lalu batas
waktu perbaikannya dimulai pada saat masuknya jawaban/eksepsi dan paling lambat
sebelum proses persidangan mencapai tahap pembuktian.
Selain
itu, apabila terdapat keraguan Panitera Muda Perkara untuk mengidentifikasi
atau memiliih perkara lingkungan hidup dari daftar yang ada maka Panitera Muda
Perkara dapat berkonsultasi dengan Panitera/Hakim Lingkungan/Wakil Ketua
Pengadilan/Ketua Pengadilan. (LDR)