Cari Berita

Dilema Konsinyasi dalam Pusaran Sengketa Kepemilikan: Dekonstruksi Yuridis Pasal 32 Perma 2/2024

article | Opini | 2025-10-27 14:05:29

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan sebuah domain hukum yang kompleks, di mana kewenangan negara untuk mengakselerasi pembangunan bertemu dengan jaminan perlindungan hak milik privat yang dikukuhkan secara konstitusional. Dalam semangat untuk menata dan menyempurnakan tata kelola di area ini, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2024, sebuah regulasi yang lahir dari niat luhur untuk menyederhanakan prosedur dan memberikan kepastian hukum. Salah satu norma kunci dalam peraturan ini adalah Pasal 32, yang secara spesifik dirancang untuk mengatur mekanisme pengambilan ganti kerugian ketika objek tanah sedang berada dalam sengketa kepemilikan.   Tujuan utama di balik perumusan Pasal 32 sangatlah jelas dan patut diapresiasi, yakni menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya kesalahan pembayaran. Norma ini mengamanatkan agar pencairan dana ditangguhkan hingga sengketa kepemilikan memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Namun, sebuah tinjauan yang lebih mendalam dari perspektif hukum acara memunculkan suatu diskursus yuridis yang menarik. Diskursus ini bukan mengenai isu penundaan pembayaran itu sendiri, melainkan tentang interaksi antara norma dalam Pasal 32 dengan hak substantif pihak yang nantinya dinyatakan sebagai pemilik sah untuk mempersoalkan kelayakan nilai ganti kerugian. Artikel ini bermaksud untuk mengkaji potensi disharmoni prosedural tersebut, bukan sebagai kritik, melainkan sebagai bahan refleksi konstruktif untuk penyempurnaan hukum di masa mendatang.Dalam sistem hukum pengadaan tanah di Indonesia, terdapat dua jalur hukum yang secara konseptual berjalan secara terpisah namun pada praktiknya dapat saling bersinggungan. Jalur pertama adalah penyelesaian sengketa kepemilikan, yang bertujuan untuk menentukan siapa subjek hukum yang paling berhak (pihak yang berhak) atas sebidang tanah. Proses litigasi ini, sebagaimana lazimnya sengketa keperdataan, dapat memakan waktu yang tidak sebentar. Sering kali, proses ini harus melalui berbagai jenjang peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, kasasi di Mahkamah Agung, hingga upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, sebuah perjalanan hukum yang secara empiris dapat berlangsung selama bertahun-tahun.Jalur kedua adalah mekanisme pengajuan keberatan atas bentuk dan/atau besaran ganti kerugian. Hak prosedural ini merupakan instrumen vital yang diberikan kepada pihak yang berhak untuk menguji apakah nilai kompensasi yang ditetapkan oleh penilai (appraiser) telah memenuhi unsur "layak dan adil" sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar. Berbeda secara diametral dengan sengketa kepemilikan yang berdurasi panjang, hak untuk mengajukan keberatan atas nilai ini dibatasi oleh kerangka waktu yang sangat singkat dan bersifat imperatif, yakni empat belas hari kerja terhitung sejak musyawarah penetapan ganti kerugian dilaksanakan. Tenggat waktu yang ketat ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi kelancaran proyek pembangunan.   Di sinilah letak titik persinggungan prosedural yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Pasal 32 secara eksplisit menyatakan bahwa ganti kerugian baru dapat diambil oleh "pihak yang berhak" setelah adanya putusan kepemilikan yang final dan mengikat. Konstruksi norma ini, jika dihadapkan pada realitas sengketa kepemilikan yang berlarut-larut, berpotensi menciptakan sebuah dilema hukum. Selama proses litigasi kepemilikan berlangsung, para pihak yang bersengketa secara yuridis belum memiliki status definitif sebagai "pihak yang berhak". Status hukum mereka masih bersifat inchoate atau belum sempurna. Akibatnya, timbul pertanyaan fundamental mengenai efektivitas dan bahkan legalitas mereka dalam menggunakan hak untuk mengajukan keberatan atas nilai ganti kerugian dalam jendela waktu empat belas hari yang sangat terbatas tersebut. Secara logika hukum, bagaimana seseorang dapat secara optimal mengajukan keberatan atas nilai kompensasi sebuah hak, sementara status kepemilikan hak itu sendiri masih berada dalam proses pengujian di hadapan pengadilan?Ketika salah satu pihak pada akhirnya dinyatakan menang dalam sengketa kepemilikan dan statusnya sebagai "pihak yang berhak" telah dikukuhkan oleh putusan pengadilan, ia dapat menghadapi sebuah tantangan prosedural yang signifikan. Pada saat itu, tenggat waktu empat belas hari untuk mengajukan keberatan nilai secara teknis telah terlampaui, bahkan mungkin bertahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini berpotensi menyebabkan hak untuk mengambil dana ganti kerugian yang telah dikonsinyasi tidak diiringi dengan kesempatan yang riil dan efektif untuk menguji kelayakan nilainya di muka hukum. Hak substantif atas ganti kerugian yang "layak dan adil" menjadi kurang optimal, bukan karena substansi perkaranya, melainkan karena terhalang oleh kerangka waktu prosedural yang belum tersinkronisasi dengan jalur penyelesaian sengketa kepemilikan.Fokus Pasal 32 pada pencapaian kepastian hukum formil, yakni memastikan dana diterima oleh orang yang tepat, adalah sebuah tujuan yang esensial dan tidak dapat diperdebatkan. Namun, jika tidak diimbangi dengan sinkronisasi prosedur, hal ini dapat menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan terhadap pencapaian keadilan substantif.Keadilan dalam konteks pengadaan tanah tidak hanya berhenti pada ketepatan identitas penerima, tetapi juga, dan yang tidak kalah penting, pada kelayakan nilai kompensasi sebagai pengganti penuh atas hak yang telah dicabut secara paksa. Dengan belum diaturnya secara eksplisit titik temu antara dua jalur prosedur yang berbeda ini, Perma Nomor 2 Tahun 2024 sejatinya membuka ruang untuk pengembangan dan penafsiran hukum lebih lanjut demi mencapai harmonisasi.   Untuk menjembatani potensi kesenjangan prosedural ini, beberapa pendekatan konstruktif dapat dipertimbangkan. Dari perspektif praktik peradilan, para hakim yang memeriksa sengketa kepemilikan dapat didorong untuk menerapkan penafsiran hukum yang progresif. Misalnya, dengan mengeluarkan sebuah penetapan atau putusan sela (interlocutory decision) yang secara spesifik menangguhkan atau "membekukan" berlakunya tenggat waktu pengajuan keberatan nilai bagi semua pihak yang bersengketa, hingga putusan kepemilikan akhir dijatuhkan. Pendekatan ini akan menjaga agar hak prosedural para pihak tetap hidup (dormant) dan baru dapat dieksekusi ketika status "pihak yang berhak" telah menjadi final dan definitif.Namun, solusi yang lebih permanen dan memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi tentu saja adalah melalui penyempurnaan regulasi di masa depan. Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan untuk menyempurnakan Pasal 32 atau menambahkan pasal baru yang secara eksplisit mengatur sinkronisasi kedua prosedur tersebut. Sebuah klausul, misalnya, dapat ditambahkan yang berbunyi: "Bagi pihak yang terlibat dalam sengketa kepemilikan atas objek pengadaan tanah, tenggat waktu empat belas hari untuk mengajukan keberatan atas bentuk dan/atau besaran ganti kerugian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, dihitung sejak tanggal putusan pengadilan mengenai sengketa kepemilikan tersebut diberitahukan dan telah berkekuatan hukum tetap." Formulasi semacam ini akan secara efektif mengharmoniskan kesenjangan prosedural yang ada dan memastikan bahwa hak konstitusional warga negara terlindungi secara utuh.Sebagai kesimpulan, di balik tujuan mulia untuk menjaga ketertiban administratif dan kepastian hukum, Pasal 32 Perma Nomor 2 Tahun 2024 membuka sebuah ruang diskusi akademis yang penting mengenai harmonisasi hukum acara. Aturan ini menyoroti perlunya sinkronisasi yang lebih erat antara prosedur penyelesaian sengketa kepemilikan dengan prosedur pengajuan keberatan atas nilai ganti kerugian. Dengan demikian, hak warga negara untuk memperoleh kompensasi yang "layak dan adil" tidak hanya terjamin secara nominal, tetapi juga terjamin secara substantif melalui akses terhadap mekanisme hukum yang efektif. Tinjauan ini diharapkan dapat menjadi masukan positif bagi pengembangan hukum acara di masa depan, untuk memastikan bahwa proses hukum tidak hanya menghasilkan kepastian formil, tetapi juga senantiasa mewujudkan keadilan substantif yang menjadi ruh dari setiap peraturan. (asn/ldr)