Pengadaan
tanah untuk kepentingan umum merupakan sebuah domain hukum yang kompleks, di
mana kewenangan negara untuk mengakselerasi pembangunan bertemu dengan jaminan
perlindungan hak milik privat yang dikukuhkan secara konstitusional.
Dalam
semangat untuk menata dan menyempurnakan tata kelola di area ini, Mahkamah
Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2024, sebuah
regulasi yang lahir dari niat luhur untuk menyederhanakan prosedur dan
memberikan kepastian hukum. Salah satu norma kunci dalam peraturan ini
adalah Pasal 32, yang secara spesifik dirancang untuk mengatur mekanisme
pengambilan ganti kerugian ketika objek tanah sedang berada dalam sengketa
kepemilikan.
Tujuan
utama di balik perumusan Pasal 32 sangatlah jelas dan patut diapresiasi, yakni
menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya kesalahan
pembayaran. Norma ini mengamanatkan agar pencairan dana ditangguhkan hingga
sengketa kepemilikan memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde).
Baca Juga: PN Lubuk Pakam Jalankan Eksekusi Konsinyasi Bendungan Lau Simeme
Namun,
sebuah tinjauan yang lebih mendalam dari perspektif hukum acara memunculkan
suatu diskursus yuridis yang menarik. Diskursus ini bukan mengenai isu
penundaan pembayaran itu sendiri, melainkan tentang interaksi antara norma
dalam Pasal 32 dengan hak substantif pihak yang nantinya dinyatakan sebagai
pemilik sah untuk mempersoalkan kelayakan nilai ganti kerugian.
Artikel
ini bermaksud untuk mengkaji potensi disharmoni prosedural tersebut, bukan
sebagai kritik, melainkan sebagai bahan refleksi konstruktif untuk
penyempurnaan hukum di masa mendatang.
Dalam
sistem hukum pengadaan tanah di Indonesia, terdapat dua jalur hukum yang secara
konseptual berjalan secara terpisah namun pada praktiknya dapat saling
bersinggungan. Jalur pertama adalah penyelesaian sengketa kepemilikan, yang
bertujuan untuk menentukan siapa subjek hukum yang paling berhak (pihak yang
berhak) atas sebidang tanah.
Proses
litigasi ini, sebagaimana lazimnya sengketa keperdataan, dapat memakan waktu
yang tidak sebentar. Sering kali, proses ini harus melalui berbagai jenjang
peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, kasasi di Mahkamah
Agung, hingga upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, sebuah perjalanan
hukum yang secara empiris dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
Jalur
kedua adalah mekanisme pengajuan keberatan atas bentuk dan/atau besaran ganti
kerugian. Hak prosedural ini merupakan instrumen vital yang diberikan kepada
pihak yang berhak untuk menguji apakah nilai kompensasi yang ditetapkan oleh
penilai (appraiser) telah memenuhi unsur "layak dan adil"
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar.
Berbeda
secara diametral dengan sengketa kepemilikan yang berdurasi panjang, hak untuk
mengajukan keberatan atas nilai ini dibatasi oleh kerangka waktu yang sangat
singkat dan bersifat imperatif, yakni empat belas hari kerja terhitung sejak
musyawarah penetapan ganti kerugian dilaksanakan. Tenggat waktu yang ketat
ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi kelancaran proyek
pembangunan.
Di
sinilah letak titik persinggungan prosedural yang menarik untuk dikaji lebih
dalam. Pasal 32 secara eksplisit menyatakan bahwa ganti kerugian baru dapat
diambil oleh "pihak yang berhak" setelah adanya putusan kepemilikan
yang final dan mengikat. Konstruksi norma ini, jika dihadapkan pada
realitas sengketa kepemilikan yang berlarut-larut, berpotensi menciptakan
sebuah dilema hukum.
Selama
proses litigasi kepemilikan berlangsung, para pihak yang bersengketa secara
yuridis belum memiliki status definitif sebagai "pihak yang berhak".
Status hukum mereka masih bersifat inchoate atau belum sempurna.
Akibatnya,
timbul pertanyaan fundamental mengenai efektivitas dan bahkan legalitas mereka
dalam menggunakan hak untuk mengajukan keberatan atas nilai ganti kerugian
dalam jendela waktu empat belas hari yang sangat terbatas tersebut. Secara
logika hukum, bagaimana seseorang dapat secara optimal mengajukan keberatan
atas nilai kompensasi sebuah hak, sementara status kepemilikan hak itu sendiri
masih berada dalam proses pengujian di hadapan pengadilan?
Ketika
salah satu pihak pada akhirnya dinyatakan menang dalam sengketa kepemilikan dan
statusnya sebagai "pihak yang berhak" telah dikukuhkan oleh putusan
pengadilan, ia dapat menghadapi sebuah tantangan prosedural yang signifikan.
Pada saat itu, tenggat waktu empat belas hari untuk mengajukan keberatan nilai
secara teknis telah terlampaui, bahkan mungkin bertahun-tahun sebelumnya.
Kondisi
ini berpotensi menyebabkan hak untuk mengambil dana ganti kerugian yang telah
dikonsinyasi tidak diiringi dengan kesempatan yang riil dan efektif untuk
menguji kelayakan nilainya di muka hukum. Hak substantif atas ganti kerugian
yang "layak dan adil" menjadi kurang optimal, bukan karena substansi
perkaranya, melainkan karena terhalang oleh kerangka waktu prosedural yang
belum tersinkronisasi dengan jalur penyelesaian sengketa kepemilikan.
Fokus
Pasal 32 pada pencapaian kepastian hukum formil, yakni memastikan dana diterima
oleh orang yang tepat, adalah sebuah tujuan yang esensial dan tidak dapat
diperdebatkan. Namun, jika tidak diimbangi dengan sinkronisasi prosedur,
hal ini dapat menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan terhadap pencapaian
keadilan substantif.
Keadilan
dalam konteks pengadaan tanah tidak hanya berhenti pada ketepatan identitas
penerima, tetapi juga, dan yang tidak kalah penting, pada kelayakan nilai kompensasi
sebagai pengganti penuh atas hak yang telah dicabut secara paksa. Dengan
belum diaturnya secara eksplisit titik temu antara dua jalur prosedur yang
berbeda ini, Perma Nomor 2 Tahun 2024 sejatinya membuka ruang untuk
pengembangan dan penafsiran hukum lebih lanjut demi mencapai
harmonisasi.
Untuk
menjembatani potensi kesenjangan prosedural ini, beberapa pendekatan
konstruktif dapat dipertimbangkan. Dari perspektif praktik peradilan, para
hakim yang memeriksa sengketa kepemilikan dapat didorong untuk menerapkan
penafsiran hukum yang progresif.
Misalnya,
dengan mengeluarkan sebuah penetapan atau putusan sela (interlocutory
decision) yang secara spesifik menangguhkan atau "membekukan"
berlakunya tenggat waktu pengajuan keberatan nilai bagi semua pihak yang
bersengketa, hingga putusan kepemilikan akhir dijatuhkan. Pendekatan ini akan
menjaga agar hak prosedural para pihak tetap hidup (dormant) dan baru
dapat dieksekusi ketika status "pihak yang berhak" telah menjadi
final dan definitif.
Namun,
solusi yang lebih permanen dan memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi
tentu saja adalah melalui penyempurnaan regulasi di masa depan. Mahkamah Agung
dapat mempertimbangkan untuk menyempurnakan Pasal 32 atau menambahkan pasal
baru yang secara eksplisit mengatur sinkronisasi kedua prosedur tersebut.
Sebuah
klausul, misalnya, dapat ditambahkan yang berbunyi: "Bagi pihak yang
terlibat dalam sengketa kepemilikan atas objek pengadaan tanah, tenggat waktu
empat belas hari untuk mengajukan keberatan atas bentuk dan/atau besaran ganti
kerugian sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, dihitung sejak
tanggal putusan pengadilan mengenai sengketa kepemilikan tersebut diberitahukan
dan telah berkekuatan hukum tetap."
Formulasi
semacam ini akan secara efektif mengharmoniskan kesenjangan prosedural yang ada
dan memastikan bahwa hak konstitusional warga negara terlindungi secara utuh.
Sebagai
kesimpulan, di balik tujuan mulia untuk menjaga ketertiban administratif dan
kepastian hukum, Pasal 32 Perma Nomor 2 Tahun 2024 membuka sebuah ruang diskusi
akademis yang penting mengenai harmonisasi hukum acara. Aturan ini menyoroti
perlunya sinkronisasi yang lebih erat antara prosedur penyelesaian sengketa
kepemilikan dengan prosedur pengajuan keberatan atas nilai ganti kerugian.
Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah
Dengan
demikian, hak warga negara untuk memperoleh kompensasi yang "layak dan
adil" tidak hanya terjamin secara nominal, tetapi juga terjamin secara
substantif melalui akses terhadap mekanisme hukum yang efektif. Tinjauan ini
diharapkan dapat menjadi masukan positif bagi pengembangan hukum acara di masa
depan, untuk memastikan bahwa proses hukum tidak hanya menghasilkan kepastian
formil, tetapi juga senantiasa mewujudkan keadilan substantif yang menjadi ruh
dari setiap peraturan. (asn/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI