Cari Berita

Akibat Hukum Pencabutan Pasal 114 UU Narkotika oleh KUHP Nasional

Novi Mikawensi-Hakim PN Sawahlunto - Dandapala Contributor 2025-12-31 10:55:54
Dok. Ist.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang akan efektif berlaku pada tanggal 2 Januari 2026 semakin dekat. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat permasalahan serius khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika. Salah satu persoalan penting adalah dicabutnya Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Undang-Undang Narkotika) tanpa diserta pengaturan pengganti yang eksplisit mengkriminalisasi kembali perbuatan yang sebelumnya diatur dalam ketentuan tersebut.

Pencabutan tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 622 ayat (1) huruf w KUHP Nasional yang menyatakan bahwa Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 Undang-Undang Narkotika dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya, Pasal  622 ayat (15) KUHP Nasional hanya mengkonversi sebagian ketentuan dalam Undang-Undang Narkotika yang telah dicabut tersebut kedalam KUHP Nasional yaitu Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 117 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 122 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Narkotika ke dalam Pasal 609 KUHP Nasional, serta Pasal 113 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 118 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 123 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Narkotika ke dalam Pasal 610 KUHP Nasional.

Dengan demikian, tidak seluruh pasal dalam Undang-Undang Narkotika yang dicabut kemudian dikonversi kedalam KUHP Nasional, termasuk Pasal 114 Undang-Undang Narkotika. Kondisi ini secara normatif menimbulkan potensi kekosongan hukum, yang berdampak langsung pada keberlangsungan proses penuntutan dan pemidanaan dalam perkara Narkotika.

Baca Juga: 2 Upaya Hukum di Pengadilan Pajak: Antara Keadilan Substantif dan Kepastian Hukum Formal

Permasalahan tersebut tercermin dalam praktik peradilan, khususnya pada perkara narkotika dengan tempus delicti tahun 2025 yang baru dilimpahkan ke Pengadilan pada akhir tahun 2025. Dalam beberapa perkara, Terdakwa didakwakan melakukan perbuatan mengedarkan narkotika jenis sabu dalam jumlah besar berdasarkan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika. Namun demikian, karena kompleksitas pembuktian yang meliputi banyaknya saksi-saksi yang diperiksa, kebutuhan keterangan ahli, serta kendala objektif seperti kondisi bencana, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat diselesaikan pada tahun 2025 dan baru diperkirakan rampung pada tahun 2026. Selama proses persidangan, arah pembuktian menunjukkan bahwa unsur-unsur dalam Pasal 114 Undang-Undang Narkotika pada prinsipnya terpenuhi.

Dalam kondisi tersebut, apabila hingga tanggal 2 Januari 2026 belum terdapat Undang-Undang Narkotika baru atau ketentuan lain yang kembali mengatur dan mengkriminalisasi perbuatan sebagaimana dalam Pasal 114 Undang-Undang Narkotika yang telah dicabut, maka timbul pertanyaan mendasar mengenai bagaimana Hakim harus memutus perkara tersebut, serta apa konsekuensi yuridisnya bagi Terdakwa yang secara faktual adalah pengedar narkotika.

Secara teoritis, asas legalitas (nulla poena sine lege) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional, merupakan prinsip fundamental yang harus dijadikan dasar. Asas ini mengandung makna bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa dasar hukum pidana yang sah dan berlaku. Apabila suatu ketentuan pidana telah dicabut dan tidak terdapat aturan penggantinya, maka perbuatan tersebut secara normatif kehilangan sifat melawan hukum pidananya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) KUHP Nasional yang menyebutkan bahwa “dalam hal perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, proses hukum terhadap tersangka atau terdakwa harus dihentikan demi hukum”. Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (3) KUHP Nasional juga menentukan bahwa “dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan bagi tersangka atau terdakwa yang berada dalam tahanan, tersangka atau terdakwa dibebaskan oleh pejabat yang berwenang sesuai tingkat pemeriksaan”

Tidak dikonversinya Pasal 114 Undang-Undang Narkotika dalam KUHP Nasional berarti bahwa perbuatan “menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 114 Undang-Undang Narkotika tidak lagi dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana dalam KUHP Nasional. Meskipun secara moral dan sosiologis perbuatan Terdakwa sangat berbahaya dan merugikan masyarakat, namun Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pidana tanpa dasar norma yang jelas. Hakim juga tidak diperkenankan melakukan analogi atau menciptakan norma pidana baru, karena hal tersebut bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (2) KUHP Nasional.

Lebih lanjut, dalam praktik peradilan pencabutan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda, bergantung pada tahapan pemeriksaan perkara pada saat KUHP Nasional mulai berlaku, khususnya terhadap perkara dakwaan tunggal berdasarkan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika.

Pertama, apabila seluruh pemeriksaan telah selesai dan pada saat KUHP Nasional berlaku Majelis Hakim hanya tinggal menjatuhkan putusan, maka Majelis Hakim tetap berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan menjatuhkan putusan. Dalam kondisi ini, meskipun dalam fakta hukum terbukti bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur dalam Pasal 114 Undang-Undang Narkotika, namun karena ketentuan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika telah dicabut dan tidak berlaku lagi, perbuatan tersebut bukan lagi merupakan tindak pidana pada saat putusan dijatuhkan. Oleh karena itu, Terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan putusan yang tepat secara yuridis adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim dapat menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan Penuntut Umum melanggar Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, namun oleh karena perbuatan tersebut bukan lagi merupakan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka Terdakwa haruslah dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dan memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan dalam tahanan segera sejak putusan diucapkan. Hal ini sejalan dengan Pasal 253 (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2025 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa “pernyataan bahwa Terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan dan perintah supaya Terdakwa yang ditahan dibebaskan sejak putusan diucapkan”;

Kedua, apabila pada saat KUHP Nasional berlaku dan perkara dengan dakwaan tunggal dalam Pasal 114 Undang-Undang Narkotika masih dalam proses pemeriksaan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) KUHP Nasional proses hukum terhadap Terdakwa harus dihentikan demi hukum tanpa memerlukan putusan pemidanaan maupun putusan lepas.

Dengan demikian, setelah dicabutnya Pasal 114 Undang-Undang Narkotika, tidak adanya ketentuan peralihan yang mempertahankan keberlakuannya serta belum ada ketentuan baru yang mengkriminalisasi kembali perbuatan tersebut, maka Hakim tidak memiliki dasar hukum untuk menjatuhkan pidana, meskipun hasilnya dapat dipandang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Kondisi ini merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan dari sistem hukum pidana yang menjunjung tinggi asas legalitas sebagai fundamental negara hukum.

Baca Juga: Pimpinan MA dan Pakar Hukum Berkumpul Susun Kurikulum Pelatihan KUHP Baru

Situasi tersebut sekaligus menjadi peringatan serius bagi pembentuk undang-undang mengenai pentingnya pengaturan ketentuan peralihan dalam setiap perubahan hukum pidana. Tanpa pengaturan peralihan yang memadai, perubahan hukum berpotensi menimbulkan kekosongan hukum, yang pada akhirnya dapat membuka ruang bagi pelaku kejahatan serius untuk terlepas dari pertanggungjawaban pidana, sehingga mengurangi efektivitas hukum pidana sebagai sarana perlindungan kepentingan masyarakat. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…