Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menempati posisi sebagai lex specialis dalam penyelesaian sengketa pajak. Keunikan lembaga peradilan ini salah satunya terwujud dalam dualisme upaya hukum yang tersedia bagi Wajib Pajak, yakni Banding dan Gugatan.
Pada tataran praktik, pembedaan
kedua jalur ini seringkali dipahami sebatas perbedaan objek sengketa. Namun,
analisis yuridis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa dualisme ini bukanlah
sekadar diferensiasi prosedural, melainkan sebuah desain legislatif yang secara
fundamental merefleksikan dialektika antara dua nilai hukum utama: keadilan substantif (substantive justice) dan kepastian hukum
formal (formal legal certainty).
Tulisan ini
memberikan basis argumen bahwa Banding dan Gugatan pada Pengadilan Pajak merupakan
dua instrumen hukum yang dirancang dengan orientasi nilai yang berbeda secara
diametral. Banding didesain sebagai forum untuk pencarian kebenaran materiil (material truth) guna menegakkan keadilan
substantif. Sebaliknya, Gugatan berfungsi sebagai mekanisme kontrol yudisial
terhadap tindakan administrasi fiskus (legality
review) untuk menjamin kepastian hukum formal.
Banding sebagai Instrumen
Penegakan Keadilan Substantif
Upaya hukum Banding
secara pada dasarnya bersifat material.
Fokus pemeriksaannya tidak terbatas pada pengujian keabsahan Surat Keputusan
Keberatan, melainkan mencakup pemeriksaan ulang secara menyeluruh (full review) terhadap substansi sengketa.
Tujuan utamanya adalah untuk menetapkan jumlah pajak yang seharusnya terutang
berdasarkan fakta-fakta ekonomi yang sebenarnya, bukan sekadar formalitas
administratif. Orientasi pada keadilan substantif ini termanifestasi dalam
beberapa aspek penting hukum acaranya.
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
Pertama, penerapan
doktrin substance over form
(substansi mengungguli bentuk). Dalam pemeriksaan Banding, Majelis Hakim tidak
terikat secara kaku pada bentuk yuridis suatu transaksi. Hakim memiliki
kewenangan untuk menelaah realitas ekonomi yang mendasari sebuah transaksi
untuk menentukan implikasi perpajakan yang paling tepat dan adil. Prinsip ini
memberikan ruang bagi hakim untuk menembus formalitas pembukuan atau dokumen
legal demi menemukan kebenaran materiil.
Kedua, kewenangan
hakim yang bersifat ultra petita.
Berbeda dengan hukum acara perdata atau tata usaha negara pada umumnya, Pasal
84 UU Pengadilan Pajak memberikan kewenangan kepada hakim untuk menambah pajak
yang harus dibayar. Kewenangan ini menegaskan bahwa peran hakim bukan sebagai
arbiter pasif, melainkan sebagai pencari kebenaran materiil yang aktif. Tujuan
peradilan Banding bukanlah sekadar mengadili klaim para pihak, tetapi melakukan
penilaian ulang untuk menetapkan kebenaran fiskal, baik yang menguntungkan
Wajib Pajak maupun negara sebagai pemungut pajak.
Ketiga, sistem
pembuktian yang fleksibel. Hukum acara Pengadilan Pajak menganut asas
pembuktian bebas (vrij bewijs) dan
keaktifan hakim (dominus litis).
Hakim berwenang menentukan apa yang harus dibuktikan dan siapa yang menanggung
beban pembuktian. Putusan pada akhirnya tidak hanya didasarkan pada alat bukti
formal, tetapi juga pada keyakinan Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU
Pengadilan Pajak. Seluruh instrumen hukum acara ini secara sistematis dirancang
untuk memfasilitasi pencapaian keadilan substantif.
Gugatan sebagai Penjaga
Kepastian Hukum Formal
Apabila Banding
berorientasi pada hasil akhir yang adil secara materiil, maka Gugatan
berorientasi pada proses yang benar secara yuridis. Upaya hukum Gugatan pada
esensinya bersifat formal. Fokus
pemeriksaannya adalah pengujian keabsahan prosedural (legality review) atas tindakan atau keputusan pejabat yang
berwenang, bukan pada substansi materi pajaknya. Gugatan berfungsi sebagai alat
untuk memastikan tegaknya prinsip kepastian hukum formal.
Konsep kepastian
hukum formal menghendaki agar peraturan perundang-undangan dapat diprediksi,
jelas, dan diterapkan secara konsisten, sehingga subjek hukum dapat mengetahui
secara pasti konsekuensi dari tindakannya. Dalam konteks perpajakan, Gugatan
menjadi instrumen bagi Wajib Pajak untuk memastikan bahwa tindakan fiskus,
terutama yang bersifat memaksa seperti penagihan pajak, telah sesuai dengan due process of law. Objek Gugatan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP, secara spesifik menyasar
tindakan-tindakan prosedural, seperti pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, atau keputusan lain yang tidak menyangkut materi pokok
pajak.
Dalam memeriksa
perkara Gugatan, hakim tidak perlu memasuki ranah sengketa materiil. Misalnya,
dalam gugatan atas Surat Paksa, pengadilan tidak perlu menguji kebenaran jumlah
utang pajak, melainkan hanya akan memeriksa apakah penerbitan Surat Paksa
tersebut telah memenuhi syarat-syarat formal yang diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian, Gugatan berfungsi sebagai mekanisme kontrol yudisial yang efektif
untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dan memastikan bahwa administrasi
perpajakan dijalankan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Dualisme ini secara
efektif menciptakan efisiensi peradilan dengan memisahkan sengketa kualitatif
(tentang keabsahan prosedur) dari sengketa kuantitatif (tentang kebenaran
jumlah pajak). Arsitektur ini merupakan respons historis terhadap kelemahan
lembaga penyelesaian sengketa sebelumnya (MPP dan BPSP) yang gagal memberikan
kepastian hukum. Dengan menyediakan dua jalur yang berbeda namun komplementer,
sistem peradilan pajak Indonesia memberikan perlindungan hukum yang menyeluruh,
mencakup aspek substansi dan prosedur.
Baca Juga: Evolusi Peradilan Fiskal Indonesia dari Raad van Beroep hingga Pengadilan Pajak
Kesimpulan
Dualisme upaya hukum, baik Banding maupun Gugatan di Pengadilan
Pajak pada hakikatnya bukanlah redundansi
prosedural, melainkan sebuah bangunan hukum yang secara sengaja dirancang untuk
menyeimbangkan dua nilai hukum yang paling mendasar. Banding, dengan
karakteristik materialnya, berfungsi sebagai instrumen utama penegakan keadilan substantif. Sementara itu,
Gugatan, dengan sifat formalnya, berperan sebagai garda terdepan untuk menjamin
kepastian hukum formal. Keduanya
bekerja secara sinergis untuk mewujudkan sistem peradilan pajak yang tidak
hanya efektif dalam mengamankan penerimaan negara, tetapi juga adil dan
akuntabel dalam prosesnya, sejalan dengan cita-cita negara hukum (rechtsstaat). (aar/ldr)
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak.
- Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2011). Lembaga Penyelesaian Sengketa Perpajakan.
- Direktorat Jenderal Pajak. "Mengenal
Upaya Hukum Pajak di Indonesia." Laman Resmi Direktorat Jenderal Pajak.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
Sekretariat Pengadilan Pajak. "Banding dan Gugatan." Laman Resmi
Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
- Wahyudi, Tri Hidayat. (2020). "Keberadaan dan Peran Pengadilan Pajak dalam Memberikan Keadilan Substantif kepada Wajib Pajak." Jurnal Selisik, 6(1).
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI