Eksekusi terhadap putusan perdata yang tidak dilaksanakan secara sukarela merupakan titik paling akhir dan penting dalam proses penyelesaian perkara perdata. Terdapat indikator keberhasilan dalam pelaksanaan eksekusi. Pertama, adanya kepastian dan prediktabilitas atas prosedur. Kedua, adanya pelaksana eksekusi yang memiliki pemahaman dan kompetensi. Ketiga, adanya akses data bagi petugas eksekusi. Keempat, adanya sistem memonitor dan evaluasi pelaksanaan eksekusi secara transparan. Kelima, adanya kepastian waktu dan biaya. Keenam, adanya informasi yang kredibel dan dapat diakses oleh pencari keadilan dalam proses eksekusi.
Namun demikian, terdapat beberapa kendala dalam proses pelaksanaan eksekusi sebagaimana hasil penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang berjudul Penguatan Sistem Eksekusi Sengketa Perdata di Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa kendala-kendala proses pelaksanaan eksekusi antara lain sebagai berikut:
Mekanisme upaya paksa yang saat ini ada kurang efektif, karena biaya dibebankan ke para pihak;
Otoritas eksekusi terdesentralisasi ke unit kerja pengadilan terkecil yakni pengadilan negeri. Pengadilan harus melaksanakan sendiri putusan dengan sumber daya untuk melakukan eksekusi terbatas dan cenderung tergantung kepada lembaga eksternal;
Tidak ada data terkonsolidasi tentang status pelaksanaan eksekusi, sehingga minim pengawasan tentang kemajuan proses eksekusi;
Rendahnya pemahaman pencari keadilan terhadap hak-haknya;
Pelaksanaan putusan pengadilan belum mampu mengisolasi pihak yang menolak melaksanakan putusan dari akses terhadap sumber daya dan pelayanan publik;
Perspektif bahwa urusan perdata adalah urusan pribadi, sehingga negara tidak perlu terlalu banyak turut campur terhadap urusan individu;
Masih banyak pelanggaran etika profesi dari praktisi yang menghambat efektifnya eksekusi.
Untuk mengatasi kendala tersebut, sebenarnya Mahkamah Agung cq Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) telah melakukan beberapa upaya optimalisasi pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata, yakni dengan mengeluarkan inovasi berupa aplikasi Pengawasan Elektronik Eksekusi (Perkusi). Kelebihan dari aplikasi PERKUSI salah satunya adalah karena aplikasi ini bersifat open to public sehingga dapat diakses secara umum pada laman website Ditjen Badilum. Pada menu Pengawasan Eksekusi (PERKUSI) juga terdapat beberapa informasi dan menu yang dapat diakses oleh umum antara lain yakni:
Statistik permohonan, aanmaning dan pelaksanaan eksekusi;
Persentase jumlah permohonan eksekusi terhadap putusan pengadilan, jumlah permohonan eksekusi hak tanggungan di pengadilan, jumlah pelaksanaan aanmaning, jumlah pelaksanaan eksekusi (pelaksanaan, penyerahan hasil lelang, penetapan non eksekusi dan pencabutan);
Informasi 5 (lima) pengadilan dengan permohonan eksekusi paling banyak;
Informasi 5 (lima) pengadilan dengan pelaksanaan eksekusi paling banyak;
Informasi 5 (lima) jenis perkara terbanyak yang diajukan eksekusi;
Informasi tentang publikasi pelaksanaan eksekusi di lingkungan peradilan umum;
Rekapitulasi sisa permohonan eksekusi pada tahun sebelumnya, jumlah pendaftaran permohonan eksekusi, pelaksanaan eksekusi dan sisa akhir permohonan eksekusi yang belum dilaksanakan pada seluruh pengadilan dilingkungan peradilan umum;
Menu yang dapat digunakan untuk mengetahui tahapan akhir dalam suatu permohonan eksekusi.
Berdasarkan informasi dan menu yang terdapat pada aplikasi PERKUSI tersebut, penulis menilai bentuk pengawasan yang dilakukan tersebut adalah pengawasan preventif, yakni dengan cara membuat suatu sistem yang meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan eksekusi sehingga dapat menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa. Pengawasan preventif tersebut dilakukan dengan cara keterbukaan informasi dan kinerja dari lembaga peradilan dalam hal ini khususnya pengadilan negeri. Pengadilan harus secara tertib dan lengkap dalam pengisian tahapan mulai dari permohonan eksekusi tersebut didaftarkan hingga permohonan eksekusi tersebut dilaksanakan, sehingga masyarakat dapat memantau kinerja dari lembaga peradilan dengan mudah. Di sisi lain secara struktural mulai dari pengadilan tinggi, Ditjen Badilum, dan Mahkamah Agung dapat melaksanakan pengawasan secara real time terhadap perkara permohonan eksekusi di Pengadilan Negeri.
Baca Juga: Sempat Tegang, PN Magelang Berhasil Eksekusi Putusan Perdata Tanah-Rumah
Pengawasan secara elektronik pada aplikasi PERKUSI dimunculkan dalam rangka meningkatkan transparansi lembaga peradilan. Transparansi terhadap permohonan eksekusi akan berhubungan dengan keterbukaan informasi publik mengenai permohonan eksekusi yang disediakan oleh pengadilan. Salah satu prasyarat penting dalam transparansi adalah keterbukaan informasi. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan termasuk dalam tahapan eksekusi dikarenakan minimnya informasi yang bisa diperoleh masyarakat pada saat tahapan eksekusi.
Efektivitas dari pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI dapat dikaji berdasarkan beberapa faktor yakni faktor hukum, faktor sarana prasarana, faktor masyarakat, dan faktor budaya.
Faktor Hukum
Dasar hukum yang digunakan dalam proses pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI saat ini yakni Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Nomor 1230/DJU/SK/HM.02.3/4/2021 tentang Pemberlakuan Aplikasi Layanan Elektronik Terpadu (LENTERA), Aplikasi Survei Pelayanan Elektronik (SISUPER) dan Aplikasi Pengawasan Elektronik Eksekusi (PERKUSI) dilingkungan Peradilan Umum. Menurut hemat penulis dasar hukum yang digunakan masih kurang tepat dan lengkap, perlu adanya aturan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung yang secara khusus mengatur bagaimana sistem atau tata cara pengawasan yang dapat dilakukan melalui aplikasi PERKUSI dalam rangka mendukung transparansi pelaksanaan eksekusi di Pengadilan.
Faktor Sarana dan Prasarana
Dalam pelaksanaan pengawasan eksekusi secara elektronik harus pula didukung oleh sumber daya manusia yang dapat mengoperasikan teknologi informasi, dikarenakan segala kegiatan berkaitan dengan eksekusi harus diinput pada menu yang tersedia di aplikasi PERKUSI, tanpa adanya sumber daya manusia yang paham teknologi informasi serta perangkat yang menunjang hal tersebut, maka pengawasan eksekusi secara elektronik tidak dapat berjalan efektif. Sehingga menurut penulis Mahkamah Agung perlu melakukan pelatihan dan pembinaan untuk aparat peradilan guna menunjang keahlian teknologi.
Faktor Masyarakat
Dikutip dari H. Salim seperti yang diutarakan Antony Allot yang mengatakan bahwa suatu hukum akan menjadi hukum yang efektif jika maksud dibuatnya hukum dan implementasinya dapat mencegah aktivitas yang tidak diinginkan dan bisa menghapus sebuah kekacauan. Apabila dikaitkan dengan pengawasan eksekusi secara elektronik, masyarakat menyikapi munculnya aplikasi PERKUSI adalah sebuah titik terang dalam proses eksekusi. Mulai dari internal pengadilan hingga masyarakat pencari keadilan. Aplikasi PERKUSI merupakan sarana pengawasan bagi masyarakat untuk mengawal proses pelaksanaan eksekusi di pengadilan, sehingga diharapkan keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi yang berbelit-belit dan tidak transparan dapat diatasi.
Faktor Budaya
Pada faktor budaya, Mahkamah Agung perlu melakukan pembinaan terkait proses pengawasan eksekusi secara elektronik melalui aplikasi PERKUSI tersebut, dikarenakan saat ini masih banyak pengadilan yang belum mengetahui urgensi pengawasan eksekusi secara elektronik tersebut, sehingga banyak ditemukan data pengisian yang kurang update pada aplikasi PERKUSI, hal ini sekaligus menjadi suatu kelemahan yang perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan secara berkala kepada pengadilan.
Baca Juga: Ini Penjelasan MA Soal Eksekusi Rumah di Cikarang yang Viral
*Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Magetan
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum