Cari Berita

Green Judge: Garda Terdepan Keadilan Ekologis dalam Penanganan Perkara Lingkungan Hidup

Jon Effreddi-Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Padang - Dandapala Contributor 2025-12-17 10:05:28
Dok. Penulis.

Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Fenomena perubahan iklim, peningkatan suhu bumi, banjir bandang, hingga hilangnya keanekaragaman hayati bukan lagi sekadar prediksi ilmiah, melainkan realitas yang dihadapi masyarakat sehari-hari. 

Berdasarkan hasil laporan Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan peningkatan suhu di Indonesia rata-rata setiap tahun 0,3 derajat celcius akibatnya meningkatkan penguapan air laut yang tinggi menimbulkan siklon hujan yang tinggi dan peningkatan permukaan air laut.

Peristiwa banjir bandang di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh adalah akibat tingginya curah hujan ditambah penebangan hutan dan penambangan yang masif tidak terkendali memperparah kondisi alam, terjadi banjir dan longsor akibatnya masyarakat menjadi korban baik yang tewas, hilang dibawa banjir bandang.    

Baca Juga: Green Court, Pilar Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Permasalahan lingkungan yang paling menonjol di Indonesia adalah deforestasi dan pembalakan liar (illegal logging) dan penambangan liar. Hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia terus tergerus oleh aktivitas korporasi yang tidak bertanggung jawab maupun sindikat kriminal.

Deforestasi bukan hanya soal hilangnya pohon, melainkan rusaknya ekosistem yang menyebabkan bencana ekologis berkepanjangan. Kasus-kasus ini sering kali melibatkan pembuktian yang rumit, di mana dampak kerugian tidak hanya bersifat materiil saat ini, tetapi juga kerugian imateriil jangka panjang yang sulit dihitung dengan logika hukum perdata konvensional.

Dalam sengketa lingkungan yang kompleks seperti ini, peran hakim menjadi sangat krusial. Hakim pada umumnya yang tidak memiliki wawasan ekologis sering kali terjebak pada pembuktian formal belaka.

Misalnya, dalam kasus kebakaran hutan atau illegal logging, sering kali sulit membuktikan unsur "kesalahan" atau kausalitas secara langsung jika menggunakan kacamata pidana atau perdata umum. Akibatnya, banyak pelaku yang lolos dari jeratan hukum atau hanya dijatuhi sanksi ringan yang tidak memberikan efek jera.

Oleh karena itu, lahirlah konsep "green judge" atau hakim bersertifikasi lingkungan hidup. Green judge bukanlah dimaknai seperti hakim pada umumnya, melainkan hakim yang telah melalui pelatihan khusus dan memiliki sertifikasi untuk menangani perkara lingkungan.

Konsep ini muncul sebagai respons Mahkamah Agung (MA) untuk meningkatkan kualitas putusan dalam sengketa lingkungan hidup, mengingat karakteristik sengketa ini yang sui generis (unik) dan penuh dengan dalil-dalil ilmiah yang rumit (scientific evidence).

Keberadaan green judge di Indonesia diperkuat oleh Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Regulasi ini menjadi landasan bahwa perkara lingkungan hidup sebaiknya diadili oleh hakim yang memiliki pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Tujuannya adalah agar putusan yang dihasilkan tidak hanya adil secara prosedural, tetapi juga adil secara substansial bagi kelestarian alam.

Salah satu perbedaan mendasar cara berpikir green judge dengan hakim pada umumnya adalah penerapan prinsip in dubio pro natura. Asas ini bermakna bahwa jika hakim mengalami keragu-raguan dalam memutus perkara lingkungan yang memiliki dampak besar, maka hakim harus berpihak pada perlindungan alam. Pola pikir ini merupakan terobosan progresif untuk melawan ketimpangan kekuatan antara masyarakat korban pencemaran dengan pelaku yang memiliki sumber daya finansial dan hukum yang kuat.

Dalam kasus illegal logging, green judge mampu melihat melampaui sekadar kerugian nilai kayu yang dicuri. Mereka akan memperhitungkan biaya pemulihan lingkungan sebagai bagian dari ganti rugi. Misalnya, ketika sebuah kawasan hutan ditebang secara ilegal, kerugian yang dihitung mencakup biaya penanaman kembali, biaya kehilangan fungsi ekologis (seperti tata air dan penyerapan karbon), hingga biaya pengawasan pemulihan. Pendekatan valuasi ekonomi lingkungan ini jarang dipahami oleh hakim non-sertifikasi.

Selain itu, green judge diharapkan dapat memahami penerapan asas strict liability (tanggung jawab mutlak) sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam kasus pencemaran atau perusakan yang menggunakan bahan berbahaya atau berisiko tinggi, penggugat tidak perlu membuktikan unsur kesalahan tergugat. Green judge sesuai kompetensinya akan langsung fokus pada timbulnya kerugian dan kausalitas, memangkas berbelitnya pembuktian kesalahan yang sering dimanfaatkan terdakwa untuk lolos.

Tantangan yang dihadapi green judge di lapangan tidaklah ringan. Sering kali mereka dihadapkan pada keterbatasan ahli lingkungan yang independen di daerah terpencil tempat sengketa terjadi. Selain itu, tekanan eksternal dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan eksploitasi sumber daya alam juga menjadi ujian integritas tersendiri. Namun, keberanian hakim lingkungan dalam melakukan judicial activism, seperti melakukan pemeriksaan setempat (descente) ke lokasi hutan yang rusak dapat menjadi kunci objektivitas suatu putusan.

Contoh nyata efektivitas green judge dapat dilihat dalam beberapa putusan perdata kebakaran hutan di mana korporasi dihukum membayar ganti rugi triliunan rupiah. Putusan-putusan monumental ini mustahil terjadi jika hakim hanya menggunakan kacamata "kepastian hukum" semata tanpa mempertimbangkan "kemanfaatan" bagi ekosistem. Pentingnya peran green judge juga terlihat dalam menyikapi dalil "izin" sebagai pelindung.

Pelaku perusakan lingkungan sering berdalih bahwa mereka telah mengantongi izin sah dari pemerintah. Bagi hakim pada umumnya, izin administratif sering dianggap sebagai pembenar. Namun, bagi green judge, pelaksanaan izin tersebut apabila terbukti merusak lingkungan (penyalahgunaan izin), maka pertanggungjawaban hukum tetap dapat dimintakan.

Lebih jauh, Green judge berperan dalam menegakkan keadilan restoratif. Hukuman penjara bagi pelaku illegal logging sering kali tidak cukup memulihkan hutan yang gundul. Oleh karena itu, putusan hakim lingkungan kerap kali disertai dengan perintah tindakan tata tertib, seperti kewajiban memulihkan lahan yang rusak ke kondisi semula. Hal ini adalah sebagai bentuk pergeseran dari pembalasan (retributive) menuju pemulihan (restorative) dalam konteks ekologi.

Pada akhirnya, keberadaan green judge adalah sebuah harapan bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Di tengah maraknya deforestasi dan ancaman bencana iklim, kita membutuhkan pengadil yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan nurani ekologis. Mereka adalah benteng terakhir ketika regulasi dan pengawasan eksekutif gagal melindungi alam.

Sebagai penutup, penguatan kapasitas dan penambahan jumlah green judge di seluruh pengadilan di Indonesia harus terus didorong. Perlindungan lingkungan hidup tidak bisa ditunda. Dengan adanya hakim yang berperspektif lingkungan, diharapkan hukum dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk mengerem laju kerusakan alam, memastikan bahwa hutan dan lingkungan yang lestari dapat diwariskan kepada generasi penerus bangsa. (ldr)

Daftar pustaka

1.     Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

2.     Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

3.     Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

4.     Khilmi, Muhammad. (2025), BMKG, Fokus Borneo: Ancaman Nyata Kenaikan Suhu.       

Baca Juga: Ecocide dan Tanggung Jawab Moral Peradilan: Menimbang Ulang Peran Hakim di Tengah Krisis Ekologis Global

 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…