Kerusakan lingkungan hidup
di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Fenomena perubahan
iklim, peningkatan suhu bumi, banjir bandang, hingga hilangnya keanekaragaman
hayati bukan lagi sekadar prediksi ilmiah, melainkan realitas yang dihadapi
masyarakat sehari-hari.
Berdasarkan hasil
laporan Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan peningkatan suhu di
Indonesia rata-rata setiap tahun 0,3 derajat celcius akibatnya meningkatkan
penguapan air laut yang tinggi menimbulkan siklon hujan yang tinggi dan
peningkatan permukaan air laut.
Peristiwa banjir
bandang di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh adalah akibat tingginya
curah hujan ditambah penebangan hutan dan penambangan yang masif tidak
terkendali memperparah kondisi alam, terjadi banjir dan longsor akibatnya
masyarakat menjadi korban baik yang tewas, hilang dibawa banjir bandang.
Baca Juga: Green Court, Pilar Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Permasalahan
lingkungan yang paling menonjol di Indonesia adalah deforestasi dan pembalakan
liar (illegal logging) dan penambangan liar. Hutan tropis yang menjadi
paru-paru dunia terus tergerus oleh aktivitas korporasi yang tidak bertanggung
jawab maupun sindikat kriminal.
Deforestasi bukan
hanya soal hilangnya pohon, melainkan rusaknya ekosistem yang menyebabkan
bencana ekologis berkepanjangan. Kasus-kasus ini sering kali melibatkan
pembuktian yang rumit, di mana dampak kerugian tidak hanya bersifat materiil
saat ini, tetapi juga kerugian imateriil jangka panjang yang sulit dihitung
dengan logika hukum perdata konvensional.
Dalam
sengketa lingkungan yang kompleks seperti ini, peran hakim menjadi sangat
krusial. Hakim pada umumnya yang tidak memiliki wawasan ekologis sering kali
terjebak pada pembuktian formal belaka.
Misalnya,
dalam kasus kebakaran hutan atau illegal logging, sering kali sulit
membuktikan unsur "kesalahan" atau kausalitas secara langsung jika
menggunakan kacamata pidana atau perdata umum. Akibatnya, banyak pelaku yang
lolos dari jeratan hukum atau hanya dijatuhi sanksi ringan yang tidak
memberikan efek jera.
Oleh
karena itu, lahirlah konsep "green judge" atau hakim
bersertifikasi lingkungan hidup. Green judge bukanlah dimaknai seperti hakim
pada umumnya, melainkan hakim yang telah melalui pelatihan khusus dan memiliki
sertifikasi untuk menangani perkara lingkungan.
Konsep
ini muncul sebagai respons Mahkamah Agung (MA) untuk meningkatkan kualitas
putusan dalam sengketa lingkungan hidup, mengingat karakteristik sengketa ini
yang sui generis (unik) dan penuh dengan dalil-dalil ilmiah yang rumit (scientific
evidence).
Keberadaan
green judge di Indonesia diperkuat oleh Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung (SK KMA) Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup. Regulasi ini menjadi landasan bahwa perkara
lingkungan hidup sebaiknya diadili oleh hakim yang memiliki pemahaman mendalam
tentang prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Tujuannya adalah agar putusan
yang dihasilkan tidak hanya adil secara prosedural, tetapi juga adil secara
substansial bagi kelestarian alam.
Salah
satu perbedaan mendasar cara berpikir green judge dengan hakim pada
umumnya adalah penerapan prinsip in dubio pro natura. Asas ini bermakna
bahwa jika hakim mengalami keragu-raguan dalam memutus perkara lingkungan yang
memiliki dampak besar, maka hakim harus berpihak pada perlindungan alam. Pola
pikir ini merupakan terobosan progresif untuk melawan ketimpangan kekuatan
antara masyarakat korban pencemaran dengan pelaku yang memiliki sumber daya
finansial dan hukum yang kuat.
Dalam
kasus illegal logging, green judge mampu melihat melampaui
sekadar kerugian nilai kayu yang dicuri. Mereka akan memperhitungkan biaya
pemulihan lingkungan sebagai bagian dari ganti rugi. Misalnya, ketika sebuah
kawasan hutan ditebang secara ilegal, kerugian yang dihitung mencakup biaya
penanaman kembali, biaya kehilangan fungsi ekologis (seperti tata air dan
penyerapan karbon), hingga biaya pengawasan pemulihan. Pendekatan valuasi
ekonomi lingkungan ini jarang dipahami oleh hakim non-sertifikasi.
Selain
itu, green judge diharapkan dapat memahami penerapan asas strict
liability (tanggung jawab mutlak) sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Dalam kasus pencemaran atau perusakan yang menggunakan bahan berbahaya atau
berisiko tinggi, penggugat tidak perlu membuktikan unsur kesalahan tergugat. Green
judge sesuai kompetensinya akan langsung fokus pada timbulnya kerugian dan
kausalitas, memangkas berbelitnya pembuktian kesalahan yang sering dimanfaatkan
terdakwa untuk lolos.
Tantangan
yang dihadapi green judge di lapangan tidaklah ringan. Sering kali
mereka dihadapkan pada keterbatasan ahli lingkungan yang independen di daerah
terpencil tempat sengketa terjadi. Selain itu, tekanan eksternal dari
pihak-pihak yang berkepentingan dengan eksploitasi sumber daya alam juga
menjadi ujian integritas tersendiri. Namun, keberanian hakim lingkungan dalam
melakukan judicial activism, seperti melakukan pemeriksaan setempat (descente)
ke lokasi hutan yang rusak dapat menjadi kunci objektivitas suatu putusan.
Contoh
nyata efektivitas green judge dapat dilihat dalam beberapa putusan
perdata kebakaran hutan di mana korporasi dihukum membayar ganti rugi triliunan
rupiah. Putusan-putusan monumental ini mustahil terjadi jika hakim hanya
menggunakan kacamata "kepastian hukum" semata tanpa mempertimbangkan
"kemanfaatan" bagi ekosistem. Pentingnya peran green judge juga
terlihat dalam menyikapi dalil "izin" sebagai pelindung.
Pelaku
perusakan lingkungan sering berdalih bahwa mereka telah mengantongi izin sah
dari pemerintah. Bagi hakim pada umumnya, izin administratif sering dianggap
sebagai pembenar. Namun, bagi green judge, pelaksanaan izin tersebut apabila
terbukti merusak lingkungan (penyalahgunaan izin), maka pertanggungjawaban
hukum tetap dapat dimintakan.
Lebih
jauh, Green judge berperan dalam menegakkan keadilan restoratif. Hukuman
penjara bagi pelaku illegal logging sering kali tidak cukup memulihkan
hutan yang gundul. Oleh karena itu, putusan hakim lingkungan kerap kali
disertai dengan perintah tindakan tata tertib, seperti kewajiban memulihkan lahan
yang rusak ke kondisi semula. Hal ini adalah sebagai bentuk pergeseran dari pembalasan
(retributive) menuju pemulihan (restorative) dalam konteks
ekologi.
Pada
akhirnya, keberadaan green judge adalah sebuah harapan bagi penegakan
hukum lingkungan di Indonesia. Di tengah maraknya deforestasi dan ancaman
bencana iklim, kita membutuhkan pengadil yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan nurani ekologis. Mereka adalah
benteng terakhir ketika regulasi dan pengawasan eksekutif gagal melindungi
alam.
Sebagai
penutup, penguatan kapasitas dan penambahan jumlah green judge di
seluruh pengadilan di Indonesia harus terus didorong. Perlindungan lingkungan
hidup tidak bisa ditunda. Dengan adanya hakim yang berperspektif lingkungan,
diharapkan hukum dapat menjadi instrumen yang ampuh untuk mengerem laju
kerusakan alam, memastikan bahwa hutan dan lingkungan yang lestari dapat
diwariskan kepada generasi penerus bangsa.
(ldr)
Daftar
pustaka
1.
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
2.
Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
3.
Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
4.
Khilmi, Muhammad. (2025),
BMKG, Fokus Borneo: Ancaman Nyata Kenaikan Suhu.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI