Cari Berita

Kearifan Lokal Suku Kajang, Wujud Membumikan Green Constitutionalism

Syailendra Anantya Prawira-Hakim PN Bantaeng - Dandapala Contributor 2025-11-24 12:05:05
Dok. Penulis.

Di tengah geliat modernitas dan deru pembangunanisme, terdapat salah satu suku tertua yang bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Suku Kajang, yang oleh “The Washington Post” dinobatkan sebagai penjaga hutan tropis terbaik di dunia, dikenal teguh memegang prinsip hidup yang sangat sederhana, yang termanifestasi dalam falsafah “Pasang ri Kajang”.

Lebih dari sekedar aturan sosial, Pasang ri Kajang berisi nilai-nilai, prinsip-prinsip, hukum dan aturan dalam merajut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta yang diwariskan secara turun-temurun dari leluhur (Ammatoa).

Dalam konteks isu lingkungan global dan nasional yang semakin pelik, kearifan lokal Suku Kajang menawarkan perspektif yang sangat berharga untuk memperkuat implementasi hukum lingkungan di Indonesia, sejalan dengan semangat Green Constitutionalism (Konstitusi Hijau).

Baca Juga: Green Court, Pilar Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Suku Kajang dan Hukum Lingkungan Adat

Suku Kajang memandang alam, terutama hutan, sebagai entitas sakral. Filosofi utama mereka adalah "Tallasak Kamase-masea" yang berarti hidup sederhana dan keyakinan bahwa bumi adalah "Anrongta" (ibu kita). Konsep ini menempatkan manusia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan, bukan sebagai penguasa yang mempunyai kekuasaan untuk dapat mengeksploitasi (Badewi, M. H., 2018).

Hukum adat Kajang mewujudkan keadilan lingkungan (environmental justice) secara nyata, memastikan keseimbangan kosmis dan keberlanjutan sumber daya bagi generasi yang akan datang.

Prinsip utama dalam Pasang ri Kajang adalah Tallasak Kamase-masea atau hidup sederhana dan secukupnya, serta menghindari ketamakan (memali). Prinsip ini secara langsung berkontribusi pada pelestarian lingkungan dengan membatasi eksploitasi sumber daya alam. Dalam pandangan hukum lingkungan, prinsip ini adalah bentuk pencegahan kerusakan lingkungan yang berbasis pada moralitas dan etika, dimana kebutuhan hidup tidak boleh melebihi daya dukung alam.

Kekuatan hukum adat Kajang terlihat jelas dalam pengelolaan wilayah hutan mereka yang dibagi menjadi tiga zona dengan aturan pemanfaatan yang berbeda, lengkap dengan sanksi adat (Nur, 2024):

Zona pertama adalah Hutan Keramat (Borong Karamaka), dengan aturan pemanfaatan di zona ini adalah terlarang mutlak untuk segala kegiatan selain ritual adat (larangan menebang pohon, berburu satwa, bahkan mencabut rumput). Dianggap tempat tinggal leluhur. Sanksi Pelanggaran pada zona ini misalnya Poko' Ba'bala, seperti denda uang sejumlah 12 (dua belas real, yang setara dengan Rp1.200.000,00 (Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah) ditambah dengan sehelai kain putih, dan kayu yang diambil dari hutan keramat tersebut harus dikembalikan, bahkan dapat berupa kutukan atau penyakit dari leluhur.

Zona kedua adalah Hutan Perbatasan (Borong Batasayya), dengan aturan pemanfaatan di zona ini adalah diperbolehkan untuk diambil kayunya dengan izin Ammatoa dan harus disertai dengan penanaman pohon pengganti. Sanksi Pelanggaran pada zona ini misalnya Tangnga ba’bala’, denda uang sejumlah 8 (delapan) real, yang setara dengan Rp800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah) ditambah dengan satu gulung kain putih.

Zona ketiga adalah Hutan Rakyat (Borong Luara’), dengan aturan pemanfaatan di zona ini adalah kebolehan untuk dikelola oleh masyarakat sesuai dengan aturan adat. Sanksi Pelanggaran pada zona ini misalnya Cappa’ ba’bala’, Denda uang sejumlah appa’ real atau 4 (empat) real, setara dengan Rp. 400.000,00 (Empat Ratus Ribu Rupiah) ditambah satu gulung kain putih.

Aturan ini mewujudkan konsep hukum lingkungan modern tentang kawasan lindung dan kawasan budidaya dengan tingkat perlindungan yang berlapis dan sanksi yang bersifat pencegahan (deterrent).

Pasang ri Kajang menegaskan: "Anjo boronga anre nakulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanrakki kalennu", yang berarti "Hutan tidak boleh dirusak. Bila engkau merusaknya, sama halnya engkau merusak dirimu sendiri." Ini adalah manifestasi nyata dari keterhubungan ekologis antara manusia dan alam, yang merupakan inti dari etika lingkungan (Bertens, K., 2007).

Implementasi Green Constitutionalism di Indonesia

Green Constitutionalism adalah konsep yang menuntut konstitusionalisasi norma-norma perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ke dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi. Di Indonesia, semangat ini termanifestasi dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945: Menjamin hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, maupun Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945: Menentukan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Meskipun UUD NRI 1945 telah mengakomodasi hak atas lingkungan yang baik, implementasi di tingkat undang-undang dan kebijakan acapkali masih berparadigma antroposentris—mengutamakan kepentingan ekonomi dan pembangunan tanpa menempatkan lingkungan pada nilai esensial yang setara. Sering terjadi benturan antara izin eksploitasi sumber daya dengan hak-hak masyarakat adat dan prinsip lingkungan.

Jimly Asshiddiqie (2009), menyerukan pergeseran paradigma dari antroposentrisme ke ekosentrisme, dimana ekosistem dipandang memiliki jiwa, terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Untuk mewujudkan Green Constitutionalism secara optimal, hukum positif Indonesia harus mampu menjamin pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Mengingat peran penting hukum adat dalam pelestarian lingkungan, pengesahan RUU Masyarakat Hukum  Adat dan pengakuan wilayah adat menjadi penting dan terbangunnya ekosistem hukum yang ekosentris melalui penegakan hukum, terutama Hakim harus memastikan putusannya berlandaskan pada prinsip keberlanjutan lingkungan dan berpedoman pada etika Anti-SLAPP yang telah dituangkan di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Revitalisasi Hukum Adat dalam Kerangka Konstitusi Hijau

Kearifan lokal Suku Kajang, yang telah terbukti menjaga kelestarian hutan mereka hingga kini, adalah wujud nyata integrasi hukum yang hidup di dalam masyarakat ke dalam semangat Green Constitutionalism. Revitalisasi hukum adat bukan hanya tentang melestarikan budaya, tetapi juga tentang menciptakan Kepastian Hukum: Mengintegrasikan living law yang mengatur lingkungan ke dalam sistem hukum nasional, sehingga wilayah adat dan aturan konservasinya memiliki kekuatan hukum yang diakui Negara dan mendorong Etika Ekosentris: Nilai-nilai Pasang ri Kajang tentang kesederhanaan dan menempatkan bumi sebagai seorang “Ibu” dapat menjadi pilar etika lingkungan dalam kebijakan pembangunan nasional, melawan budaya konsumtif yang merusak lingkungan.

Penutup

Integrasi hukum adat Kajang ke dalam kerangka Green Constitutionalism bukan hanya demi kepentingan lokal, namun merupakan ikhtiar kolektif bangsa untuk menyelaraskan diri dengan alam. Keberhasilan integrasi ini akan menjadi bukti bahwa Green Constitutionalism di Indonesia dapat diwujudkan dengan membumikan norma-norma konstitusi melalui kearifan lokal yang telah hidup ribuan tahun. Dengan demikian, hukum tidak hanya menjadi alat regulasi, tetapi juga cerminan dari kesadaran ekologis kolektif bangsa. (aar/ldr)

Daftar Referensi

Asshiddiqie, J. (2009). Konstitusi Hijau. Jakarta: Konstitusi Press. (Konsep dasar Green Constitutionalism Indonesia).

Badewi, M. H. (2018). Etika lingkungan dalam pasang ri kajang pada masyarakat adat Kajang. Jurnal Citizenship: Media Publikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1 (2), 66-75.

Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: PT. Gramedia Indonesia.

Nur. (2024). Revitalisasi Hukum: Integrasi Kearifan Adat Ammatoa Suku Kajang dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Pikukuh : Jurnal Hukum dan Kearifan Lokal, 1 (2), 3047-4571.

Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.

Baca Juga: Ketua Adat Kajang Digugat, Hakim PN Bulukumba Sulsel Cek Objek Sengketa

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…