Cari Berita

Keselarasan KUHP dan KUHAP dalam Mendukung Pemaafan Hakim

Catur Alfath Satriya danĀ  I Kadek Apdila Wirawan - Dandapala Contributor 2025-05-02 17:10:19
Dok. Dandapala

Jakarta. Menyongsong berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP (KUHP baru) awal Januari 2026 nanti membawa paradigma yang baru khususnya mengenai pemidanaan. Hal ini disampaikan oleh Prof. Pujiyono, dalam acara Perisai Badilum Episode 6.

Paradigma baru yang dimaksud adalah hakim didorong untuk tidak hanya mengacu pada aturan-aturan formal saja namun juga harus melihat konteks keseluruhan dalam suatu perkara pidana. Oleh sebab itu, di dalam KUHP baru diatur mengenai pedoman pemidanaan sebagaimana dalam Pasal 54 ayat (1) sekaligus pedoman untuk tidak memidana di Pasal 54 ayat (2) yang disebut dengan Pemaafan Hakim (Judicial Pardon).

Adanya pedoman dan tujuan pemidanaan di dalam KUHP baru bertujuan agar dalam menjatuhkan pidana prinsip individualisasi pidana harus diterapkan secara adil dengan tetap memperhatikan korban dan masyarakat dalam suatu perbuatan pidana tersebut. Dengan adanya ruang yang besar bagi hakim di dalam KUHP baru, hakim diharapkan mampu mengekspresikan keadilan di dalam putusannya sehingga pekerjaan seorang hakim tidak hanya menerapkan norma atau aturan saja namun juga memberikan ruh terhadap norma atau aturan tersebut.    

Baca Juga: Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP

Selanjutnya, narasumber kedua di dalam acara tersebut yaitu Fachrizal Afandi, PhD berpendapat bahwa ia berharap besar terhadap para hakim semoga nilai-nilai baru yang terdapat di dalam KUHP baru dapat terwujud. Hal ini dikarenakan peran hakim di dalam KUHP baru sudah diperluas dan diperkuat walaupun peran ini harus juga diperjelas di dalam KUHAP baru yang sampai saat ini masih berupa rancangan.

Dosen Fakultas Hukum Iniversitas Brawijaya itu juga menegaskan bahwa di dalam membaca atau menerapkan Pasal 54 hakim harus juga membaca Pasal 52 dan 53 KUHP baru. Pasal 52 KUHP baru ditegaskan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia dan Pasal 53 bahwa dalam menegakan hukum dan keadilan hakim harus mengedepankan keadilan dibandingkan dengan kepastian hukum.

Fachrizal Afandi, PhD juga memetakan tantangan yang kemungkinan dihadapi oleh seorang hakim apabila ingin menerapkan Pemaafan Hakim (Judicial Pardon).

Pertama, belum diaturnya putusan Pemaafan Hakim secara rinci dan komperhensif di dalam rancangan KUHAP baru. Hal ini secara tidak langsung bisa membuat hakim tidak berani menjatuhkan putusan Pemaafan Hakim karena aturannya belum ada di KUHAP saat ini.

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Kedua, hakim beresiko di delegitimasi saat menerapkan putusan Pemaafan Hakim. Sebagai sesuatu hal yang baru, putusan Pemaafan Hakim bisa saja menjadi sesuatu yang kontroversial di masyarakat sehingga perlu ada upaya sosialisasi dari stakeholder terkait kepada masyarakat apa itu putusan Pemaafan Hakim.

Ketiga, kurangnya kontrol hakim terhadap upaya paksa khususnya penahanan. Tidak terlibatnya hakim dalam proses pra-ajudikasi membuat putusan Pemaafan Hakim bisa menjadi tidak bermanfaat. Praktik penahanan saat ini yang dikembalikan kepada masing-masing penegak hukum dengan jangka waktu yang panjang membuat penahanan seperti pemidanaan dini apabila tidak dilakukan secara akuntabel. Oleh sebab itu, adanya pengaturan mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan di dalam KUHAP baru menjadi urgen untuk memastikan penahanan dilakukan secara objektif dan akuntabel sehingga putusan Pemaafan Hakim menjadi bermanfaat apabila diterapkan. (CAS/IKAW).

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum