Cari Berita

Pengaturan Penahanan dalam RUU KUHAP: Perbandingan dengan KUHAP Belanda

Bagus Mizan Albab-Hakim PN Blangpidie - Dandapala Contributor 2025-08-29 10:10:40
Dok. Pribadi.

Pemerintah dan DPR saat ini sedang berfokus pada penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang ditargetkan akan selesai pada akhir tahun 2025. Hal ini dikarenakan keberlakuan dari RUU KUHAP ini akan selaras dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Perjalanan pengesahan RUU KUHAP menjadi undang-undang merupakan suatu perjalanan yang sangat panjang dan unik sebab tujuan atau esensi dari KUHAP yang baru yaitu pada peningkatan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan efisiensi proses peradilan.

Apabila dicermati, banyak persoalan yang dapat dijadikan diskusi mengenai substansi yang terdapat dalam RUU KUHAP. Salah satu materi pokok yang menarik untuk dibahas adalah mengenai pengaturan penahanan. Sebagaimana diketahui, pengaturan mengenai penahanan merupakan sesuatu yang fundamental terutama bagi Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Dalam tulisan ini, Penulis hendak membandingkan pengaturan penahanan dalam RUU KUHAP (Versi Tanggal 20 Maret 2025), yang terdiri atas 20 (dua puluh) BAB dan 334 (tiga ratus tiga puluh tiga) Pasal, dengan Wetboek Van Strafvordering (SV)/Staatsblad 2023 Nomor 242 (KUHAP Belanda).

Ketentuan mengenai penahanan saat ini diatur dalam ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dimana terdapat dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (4) yang merupakan syarat subjektif dan objektif untuk tersangka atau terdakwa dapat dilakukan penahanan.

Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai penahanan ini menimbulkan dinamika, hingga Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara terkait dengan penahanan diantaranya adalah Putusan MK Nomor 69/PUU-X/2012, Putusan MK Nomor 68/PUU-XI/2013, dan Putusan MK Nomor 103/PUU-XIV/2016. Dimana putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bermaksud untuk menyempurnakan dari aturan yang sudah ada demi terlindunginya hak asasi manusia.

Pengaturan mengenai penahanan existing sebagaimana diatur dalam UU 8/1981, perlu ada perubahan yang dituangkan dalam Pasal 92 sampai dengan Pasal 104 RUU KUHAP. Seperti halnya Pasal 21 UU 8/1981, syarat objektif untuk dapat dilakukannya penahanan, yaitu tersangka atau terdakwa dilakukan penahanan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun tetap dapat dilakukan penahanan apabila tindak pidana tersebut memenuhi beberapa ketentuan pasal KUHP sebagaimana termuat dalam Pasal 93 ayat (2) RUU KUHAP. Yang membedakan disini adalah syarat subjektif yang diatur dalam Pasal 93 ayat (5) RUU KUHAP lebih rinci dalam menjelaskan dapat tidaknya tersangka atau terdakwa dilakukan penahanan, dimana disyaratkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah dan tersangka atau terdakwa melakukan perbuatan diantaranya yaitu;

1.    Mengabaikan panggilan penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

2.    Memberikan informasi yang tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan;

3.    Tidak bekerja sama dalam pemeriksaan;

4.    Menghambat proses pemeriksaan;

5.    Berupa melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dsb.

RUU KUHAP dalam Pasal 93 tersebut memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai krtieria dalam syarat subjektif seorang tersangka atau terdakwa dapat dilakukan penahanan, dan tentunya RUU KUHAP ini melengkapi puzzle dalam pengaturan penahanan berdasarkan UU 8/1981.

Selanjutnya, kita akan bandingkan dengan ketentuan penahanan berdasarkan Wetboek Van Strafvordering (SV)/Staatsblad 2023 Nomor 242, dimana dalam ketentuan Pasal 67 dijelaskan mengenai syarat objektif dari suatu penahanan dapat diberikan dalam hal adanya dugaan tindak pidana yang menurut hukum diancam pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan tindak pidana lain dalam KUHP Belanda sebagaimana Pasal 67 ayat (1) huruf b.

WvS belanda juga merinci terhadap tindak pidana yang disebutkan dalam undang-undang listrik, undang-undang gas, undang-undang hewan, dan undang-undang terorisme, serta undang-undang lainnya sebagaimana pasal 67 ayat (1) huruf c. Artinya adalah, pengaturan syarat objektif mengenai tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan penahanan menurut KUHAP Belanda jauh lebih luas karakteristiknya tidak hanya terbatas pada tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP Belanda, tetapi juga tindak pidana khusus yang diatur diluar KUHP Belanda.

Selanjutnya, KUHAP Belanda mengatur mengenai syarat subjektif dalam Pasal 67a yang mana menjelaskan mengenai perintah penahanan hanya dapat diberikan jika perilaku tersangka menunjukan adanya resiko melarikan diri dan adanya alasan penting bagi keamanan yang memerlukan perampasan kemerdekaan (vrijheidsbeneming) yang mana terhadap alasan keamanan masyarakat itu sendiri terdapat kriteria dan kualifikasi seperti; (i) dugaan tindak pidana yang diancam 12 (dua belas) tahun atau lebih; (ii) tersangka akan melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara selama 6 (enam) tahun atau lebih.

Selain syarat penahanan sebagaimana dijelaskan diatas, substansi atau materi menarik lain dalam KUHAP Belanda yang perlu kita lihat yaitu berkaitan dengan kewenangan pengadilan untuk mencabut perintah penahanan (voorlopige hechtenis).

Ketentuan semacam ini yang tidak dimiliki dalam KUHAP saat ini maupun RUU KUHAP. Dijelaskan dalam Pasal 69 KUHAP Belanda, bahwa pengadilan dapat melakukan atas kewenanganya atau permintaan dari tersangka atau atas saran hakim komisaris atau atas permintaan penuntut umum.

Kewenangan pencabutan atas perintah penahanan yang dapat dilakukan oleh pengadilan menurut pandangan penulis merupakan sesuatu yang tepat apabila dapat diimplementasikan dalam RUU KUHAP nantinya. Sebab esensi dari adanya KUHAP yang paling fundamental adalah terwujudnya hak asasi manusia.

Oleh sebab itu, dengan kewenangan yang pengadilan miliki demi menjamin terwujudnya hak asasi manusia atas upaya paksa, pengadilan dapat menilai apakah penahanan tersebut sudah sesuai atau tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terlebih apabila keberadaan dari hakim komisaris untuk menggantikan praperadilan nantinya berhasil diwujudkan, tentu dalam hal penahanan juga akan dilakukan oleh hakim komisaris sebagai bentuk pengawasan langsung atas hak asasi manusia. 

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP

Penutp

Hadirnya RUU KUHAP sebagai bentuk dari sinergitas atas disahkannya KUHP Nasional merupakan wujud syukur dan upaya pembenahan sistem peradilan menjadi lebih baik. Akan tetapi, perlu diperhatikan mengenai substansi dalam KUHAP sebelum disahkan dan diberlakukan. Perlu lebih banyak waktu dan kesempatan untuk membuka ruang diskusi dan tukar pendapat, guna terwujudnya sistem peradilan yang baik, dan perlindungan bagi warga negara. (aar/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI