Sejak
lahirnya KUHAP pada tahun 1981, biaya perkara
pidana yang dibebankan kepada Terdakwa ditetapkan paling banyak sejumlah
Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Lebih dari empat dekade kemudian, angka tersebut bukan saja kehilangan makna ekonomis, akan tetapi pada praktiknya juga jarang dipenuhi oleh Terdakwa sebagaimana termuat dalam amar putusan pidana. Fenomena ini menuntut kajian ulang: apakah biaya perkara pidana masih relevan sebagai salah satu bagian dari hukum acara pidana?
Landasan Hukum Pembebanan Biaya
Perkara Pidana
Baca Juga: Kasus Kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Warga Kembali Menang di PT Jakarta
Dalam ketentuan Pasal 222 KUHAP
mengatur jika, “siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya
perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
biaya perkara dibebankan pada negara.”
Lebih lanjut, “Dalam hal Terdakwa
sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara
berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara
dibebankan pada negara.”
Selanjutnya, dalam setiap amar putusan pidana, Hakim wajib memuat tentang ketentuan “kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti” (lihat Pasal 197 ayat (1) huruf i KUHAP).
Selain KUHAP, pada tanggal 8
Desember 1983 telah terbit Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 17 Tahun 1983
yang pada pokoknya meminta kepada setiap Hakim agar dalam membebankan biaya
perkara kepada kepada seorang Terdakwa mengikuti ketentuan jumlah maksimum dan
minimum sebagaimana termuat dalam Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor
KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981, dan tidak boleh melampaui maupun kurang
daripada seharusnya.
Dalam SEMA tersebut, Mahkamah Agung
mengingatkan agar biaya perkara tersebut benar-benar dibayarkan oleh terpidana
atau dengan kata lain hal tersebut dieksekusi oleh Jaksa layaknya amar putusan
lainnya.
Lagi, Mahkamah Agung juga menyampaikan kepada Hakim jika dalam menentukan besarnya jumlah biaya perkara, Hakim harus memperhatikan kemampuan Terdakwa, dengan pengertian bahwa apabila Terdakwa tidak mampu ataupun tidak mau membayar, maka Jaksa pada prinsipnya dapat menyita sebagian barang-barang milik Terpidana untuk dijual lelang, lalu kemudian hasilnya akan dipergunakan untuk melunasi biaya perkara tersebut.
Mengenai besaran biaya perkara, para
Hakim mengacu pada Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/155/X/1981 tanggal 19
Oktober 1981 juncto angka 27 dari Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983.
Berdasarkan dalam
dokumen tersebut diberikan pedoman bahwa biaya perkara paling sedikit Rp500,00
(lima ratus rupiah) dan paling banyak Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah), dengan
ketentuan bahwa maksimal Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) tersebut itu terbagi
menjadi Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) bagi pengadilan tingkat
pertama dan Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) bagi pengadilan tingkat
banding.
Mengapa Terdakwa Dibebani Biaya
Perkara Pidana: Perspektif Historis, Perbandingan, dan pembahasan dalam RKUHAP
Lantas pertanyaan lanjutannya
adalah apa kegunaan dari biaya perkara tersebut? Dalam aturan-aturan
sebagaimana telah diuraikan di atas, tidak ada satu pun yang menjelaskan
tentang tujuan dari dibebankannya biaya perkara dalam perkara pidana, sehingga
perlu untuk kita melihat secara historis tentang pembebanan biaya perkara dalam
sidang pidana.
Menurut penulis, tentang pembebanan biaya perkara kepada Terdakwa tidak dapat dilepaskan dari praktik peradilan pidana yang didasarkan pada Herziene Indonesisch Reglement (HIR) di era Hindia Belanda, dimana biaya perkara dipandang sebagai konsekuensi logis dari kalahnya pihak dalam suatu sengketa (lihat Pasal 181 ayat (1) HIR), dan hal tersebut merupakan tradisi hukum di negara Belanda yang mengenal proceskosten (biaya proses)[1], baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Hal ini dapat kita lihat dalam
penerapannya di Negara
Belanda yang memberlakukan Undang-Undang tentang Tarif Kasus Perkara Pidana (Wet
Tarieven In Strafzaken).
Dalam undang-undang tersebut diatur secara jelas pembagian pembebanan biaya perkara, bagian mana yang memang ditanggung oleh negara dan bagian lainnya yang ditanggung oleh Terdakwa (lihat Pasal 17 undang-undang tersebut, diatur tentang biaya yang ditanggung oleh Terdakwa antara lain salinan, kutipan, dan pemeriksaan putusan, keputusan, daftar, atau dokumen lain yang boleh dibaca, dan untuk penggantian biaya ketidakhadiran pihak tertentu dalam pekerjaannya karena diharuskan hadir oleh Pengadilan untuk perkara tersebut).[2]
Terhadap ketiadaan penjelasan
tentang kegunaan dan tujuan dari dibebankannya biaya perkara kepada Terdakwa,
harapan besar ada pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP)
yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan.
Sayangnya, dalam pembahasan RKUHAP
pun hal ini tidak dipandang sebagai materi yang penting untuk dibahas secara
mendalam, yang mengakibatkan tidak adanya jawaban yang komprehensif atas
pertanyaan kegunaan dan tujuan dari pembebanan biaya perkara pidana.
Menurut penulis, sebenarnya hal ini
penting untuk dijadikan pemantik diskusi dalam RKUHAP, yakni apakah pembebanan
biaya perkara pidana masih relevan untuk diterapkan?
Karena dalam praktiknya, di samping
nilai ekonomis yang sudah tidak lagi sesuai karena relatif sangat kecil pada
waktu sekarang ini, dalam pelaksanaannya juga pembebanan biaya perkara kepada Terdakwa
masih menghadapi tantangan praktis.
Tidak jarang, biaya tersebut pada
akhirnya dipenuhi bukan oleh Terdakwa sendiri, melainkan oleh Penuntut Umum.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ketentuan mengenai biaya perkara cenderung bersifat formalitas belaka, dan menyebabkan biaya perkara “sepuluh ribu” yang dibebankan kepada Terdakwa tersebut menjadi tidak pernah dibayar oleh Terdakwa pada kenyataannya.
Kesimpulan
dan Saran
Terlepas
dari pembahasan apakah pembebanan biaya perkara kepada Terdakwa masih relevan
atau tidak, sikap dari Mahkamah Agung tentang hal ini terlihat jelas dalam SEMA
Nomor 17 Tahun 1983 yang menegaskan dengan sangat serius agar biaya perkara
tersebut benar-benar dibayarkan oleh Terpidana dengan memperhatikan kemampuan
dari Terdakwa.
Hal ini menunjukkan jika biaya perkara pidana merupakan hal penting untuk diterapkan. Akan tetapi, untuk mengimbangi pentingnya penerapan hal tersebut, perancang undang-undang perlu untuk memasukkan rumusan secara eksplisit serta penjelasan jelas tentang kegunaan dan tujuan dari dibebankannya biaya perkara kepada Terdakwa dalam pembahasan RKUHAP sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilaksanakan dengan serius dan dapat dipertanggung jawabkan. (ldr)
Referensi:
Baca Juga: Peras Pengusaha Rp 2 M, Eks Kepala BPOM Bandung Dibui 4 Tahun
[1] Diakses pada situs www.rechtspraak.nl (https://www.rechtspraak.nl/Naar-de-rechter/Kosten-rechtszaak/Kostenveroordeling/Paginas/Proceskosten.aspx) pada tanggal
27 September 2025 Pukul 02.00 WITA.
[2] Diakses pada situs wetten.overheid.nl (https://wetten.overheid.nl/BWBR0002406/2025-07-01) pada tanggal 27 September 2025 Pukul 02.30 WITA
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI