Cari Berita

Rp 10.000 Tak Pernah Dibayar, Meninjau Ulang Biaya Perkara Pidana di Indonesia

Yonatan Iskandar Chandra - Dandapala Contributor 2025-10-08 15:50:55
Dok. Penulis.

Sejak lahirnya KUHAP pada tahun 1981, biaya perkara pidana yang dibebankan kepada Terdakwa ditetapkan paling banyak sejumlah Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).

Lebih dari empat dekade kemudian, angka tersebut bukan saja kehilangan makna ekonomis, akan tetapi pada praktiknya juga jarang dipenuhi oleh Terdakwa sebagaimana termuat dalam amar putusan pidana. Fenomena ini menuntut kajian ulang: apakah biaya perkara pidana masih relevan sebagai salah satu bagian dari hukum acara pidana?

Landasan Hukum Pembebanan Biaya Perkara Pidana

Baca Juga: Kasus Kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Warga Kembali Menang di PT Jakarta

Dalam ketentuan Pasal 222 KUHAP mengatur jika, “siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.”

Lebih lanjut, “Dalam hal Terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dibebankan pada negara.”

Selanjutnya, dalam setiap amar putusan pidana, Hakim wajib memuat tentang ketentuan “kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti” (lihat Pasal 197 ayat (1) huruf i KUHAP).

Selain KUHAP, pada tanggal 8 Desember 1983 telah terbit Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 17 Tahun 1983 yang pada pokoknya meminta kepada setiap Hakim agar dalam membebankan biaya perkara kepada kepada seorang Terdakwa mengikuti ketentuan jumlah maksimum dan minimum sebagaimana termuat dalam Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981, dan tidak boleh melampaui maupun kurang daripada seharusnya.

Dalam SEMA tersebut, Mahkamah Agung mengingatkan agar biaya perkara tersebut benar-benar dibayarkan oleh terpidana atau dengan kata lain hal tersebut dieksekusi oleh Jaksa layaknya amar putusan lainnya.

Lagi, Mahkamah Agung juga menyampaikan kepada Hakim jika dalam menentukan besarnya jumlah biaya perkara, Hakim harus memperhatikan kemampuan Terdakwa, dengan pengertian bahwa apabila Terdakwa tidak mampu ataupun tidak mau membayar, maka Jaksa pada prinsipnya dapat menyita sebagian barang-barang milik Terpidana untuk dijual lelang, lalu kemudian hasilnya akan dipergunakan untuk melunasi biaya perkara tersebut.

Mengenai besaran biaya perkara, para Hakim mengacu pada Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981 juncto angka 27 dari Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983.

Berdasarkan dalam dokumen tersebut diberikan pedoman bahwa biaya perkara paling sedikit Rp500,00 (lima ratus rupiah) dan paling banyak Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah), dengan ketentuan bahwa maksimal Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) tersebut itu terbagi menjadi Rp7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) bagi pengadilan tingkat pertama dan Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) bagi pengadilan tingkat banding.

Mengapa Terdakwa Dibebani Biaya Perkara Pidana: Perspektif Historis, Perbandingan, dan pembahasan dalam RKUHAP

Lantas pertanyaan lanjutannya adalah apa kegunaan dari biaya perkara tersebut? Dalam aturan-aturan sebagaimana telah diuraikan di atas, tidak ada satu pun yang menjelaskan tentang tujuan dari dibebankannya biaya perkara dalam perkara pidana, sehingga perlu untuk kita melihat secara historis tentang pembebanan biaya perkara dalam sidang pidana.

Menurut penulis, tentang pembebanan biaya perkara kepada Terdakwa tidak dapat dilepaskan dari praktik peradilan pidana yang didasarkan pada Herziene Indonesisch Reglement (HIR) di era Hindia Belanda, dimana biaya perkara dipandang sebagai konsekuensi logis dari kalahnya pihak dalam suatu sengketa (lihat Pasal 181 ayat (1) HIR), dan hal tersebut merupakan tradisi hukum di negara Belanda yang mengenal proceskosten (biaya proses)[1], baik dalam perkara perdata maupun pidana.

Hal ini dapat kita lihat dalam penerapannya di Negara Belanda yang memberlakukan Undang-Undang tentang Tarif Kasus Perkara Pidana (Wet Tarieven In Strafzaken).

Dalam undang-undang tersebut diatur secara jelas pembagian pembebanan biaya perkara, bagian mana yang memang ditanggung oleh negara dan bagian lainnya yang ditanggung oleh Terdakwa (lihat Pasal 17 undang-undang tersebut, diatur tentang biaya yang ditanggung oleh Terdakwa antara lain salinan, kutipan, dan pemeriksaan putusan, keputusan, daftar, atau dokumen lain yang boleh dibaca, dan untuk penggantian biaya ketidakhadiran pihak tertentu dalam pekerjaannya karena diharuskan hadir oleh Pengadilan untuk perkara tersebut).[2]

Terhadap ketiadaan penjelasan tentang kegunaan dan tujuan dari dibebankannya biaya perkara kepada Terdakwa, harapan besar ada pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan.

Sayangnya, dalam pembahasan RKUHAP pun hal ini tidak dipandang sebagai materi yang penting untuk dibahas secara mendalam, yang mengakibatkan tidak adanya jawaban yang komprehensif atas pertanyaan kegunaan dan tujuan dari pembebanan biaya perkara pidana.

Menurut penulis, sebenarnya hal ini penting untuk dijadikan pemantik diskusi dalam RKUHAP, yakni apakah pembebanan biaya perkara pidana masih relevan untuk diterapkan?

Karena dalam praktiknya, di samping nilai ekonomis yang sudah tidak lagi sesuai karena relatif sangat kecil pada waktu sekarang ini, dalam pelaksanaannya juga pembebanan biaya perkara kepada Terdakwa masih menghadapi tantangan praktis.

Tidak jarang, biaya tersebut pada akhirnya dipenuhi bukan oleh Terdakwa sendiri, melainkan oleh Penuntut Umum.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ketentuan mengenai biaya perkara cenderung bersifat formalitas belaka, dan menyebabkan biaya perkara “sepuluh ribu” yang dibebankan kepada Terdakwa tersebut menjadi tidak pernah dibayar oleh Terdakwa pada kenyataannya.

Kesimpulan dan Saran

Terlepas dari pembahasan apakah pembebanan biaya perkara kepada Terdakwa masih relevan atau tidak, sikap dari Mahkamah Agung tentang hal ini terlihat jelas dalam SEMA Nomor 17 Tahun 1983 yang menegaskan dengan sangat serius agar biaya perkara tersebut benar-benar dibayarkan oleh Terpidana dengan memperhatikan kemampuan dari Terdakwa.

Hal ini menunjukkan jika biaya perkara pidana merupakan hal penting untuk diterapkan. Akan tetapi, untuk mengimbangi pentingnya penerapan hal tersebut, perancang undang-undang perlu untuk memasukkan rumusan secara eksplisit serta penjelasan jelas tentang kegunaan dan tujuan dari dibebankannya biaya perkara kepada Terdakwa dalam pembahasan RKUHAP sehingga dalam pelaksanaannya dapat dilaksanakan dengan serius dan dapat dipertanggung jawabkan. (ldr)

Referensi:

Baca Juga: Peras Pengusaha Rp 2 M, Eks Kepala BPOM Bandung Dibui 4 Tahun

[1] Diakses pada situs www.rechtspraak.nl (https://www.rechtspraak.nl/Naar-de-rechter/Kosten-rechtszaak/Kostenveroordeling/Paginas/Proceskosten.aspx) pada tanggal 27 September 2025 Pukul 02.00 WITA.

[2] Diakses pada situs wetten.overheid.nl (https://wetten.overheid.nl/BWBR0002406/2025-07-01) pada tanggal 27 September 2025 Pukul 02.30 WITA

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag