Cari Berita

Akses Keadilan Bagi Masyarakat di Daerah Terpencil: Antara Harapan Digital dan Realita Sosial

Eri Murwati- Hakim PN Paringin - Dandapala Contributor 2025-05-30 17:00:59
Dok. Penulis.

Modernisasi sistem peradilan Indonesia memasuki era baru ketika Mahkamah Agung Republik Indonesia memperkenalkan The Electronics Justice System atau lebih familiar dikenal dengan E-Court, sebuah sistem digital yang digadang sebagai solusi mewujudkan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Diresmikan melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 3 Tahun 2018, kemudian diperbarui melalui Perma Nomor 1 Tahun 2019, dan disempurnakan melalui Perma Nomor 7 Tahun 2022, E – Court terus dikembangkan yang pada mulanya hanya mencakup administrasi perkara dari e-filing (pendaftaran perkara daring), e-payment (pembayaran biaya perkara), dan e-summons (pemanggilan elektronik) menjadi e-litigation (persidangan elektronik) yang meliputi pertukaran dokumen jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, putusan, pemberitahuan putusan, hingga pengajuan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi untuk perkara perdata.

Namun, setelah diterapkan kurang lebih selama 7 (tujuh) tahun, satu pertanyaan penting perlu diajukan: sejauh mana sistem E-Court hingga e-litigation tersebut efektif di daerah - daerah terpencil, tempat di mana gawai (gadget), listrik, dan jaringan internet pun kadang menjadi barang mewah?

Baca Juga: Antara Sarinah, Hakim Perempuan dan Istri Hakim

E–Court merupakan sistem yang diharapkan dapat mewujudkan mimpi besar perkembangan sistem peradilan di Indonesia melalui sebuah layar kecil. Secara garis besar, E-Court memuat empat fitur utama: e-Filing (pendaftaran perkara online), e-Payment (pembayaran biaya perkara secara daring), e-Summons (pemanggilan secara elektronik), dan e-Litigation (persidangan secara daring). Keempat fitur ini diharapkan mampu memangkas birokrasi, menekan biaya transportasi, dan mempermudah akses peradilan dari mana saja. Secara teori, maksud, dan tujuannya sistem ini sangat cocok diterapkan di wilayah dengan hambatan geografis. Bayangkan warga desa yang biasanya harus menempuh perjalanan berjam - jam ke pengadilan, kini bisa mendaftarkan gugatan hanya lewat ponsel. Praktis, bukan?

Namun realitas di lapangan ternyata “tak semudah klik upload dan selesai” karena kenyataannya tidak sedikit masyarakat di daerah menunjukkan bahwa akses terhadap keadilan digital belum merata. Tantangan datang dari akses internet yang terbatas, minimnya fasilitas digital, belum lagi kendala sosial seperti keterbatasan perangkat karena tidak punya handphone, laptop, printer, atau scanner, dan yang paling utama adalah rendahnya literasi hukum dan teknologi sehingga timbul ketergantungan pada jasa kuasa hukum bahkan aparatur internal pengadilan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman peran atau bahkan disalahgunakan apabila tidak diawasi dengan baik karena masyarakat tak paham cara kerja sistem tersebut.

Bahkan dalam perkara besar dan sensitif sekalipun, seperti gugatan terhadap Mantan Presiden Republik Indonesia di Pengadilan Negeri Surakarta, sempat terjadi perdebatan karena kuasa hukum penggugat tidak memahami bahwa sistem E-Court termasuk e–Litigation berlaku untuk mempermudah semua pihak secara berimbang, bukan hanya salah satu pihak saja. Ketidaktahuan ini menunjukkan bahwa literasi hukum dan pemahaman terhadap mekanisme digital peradilan masih menjadi tantangan serius, bahkan di kalangan profesi hukum sekalipun.

Hal serupa juga terjadi di Pengadilan Negeri Paringin yang mencerminkan realita bahwa mayoritas pengguna E-Court yang secara benar–benar mandiri hanya berasal dari kalangan sebagian advokat, sedangkan sebagian advokat masih ada yang belum memahami dan beberapa dari mereka dan juga beberapa masyarakat dari kecamatan-kecamatan di pelosok Kabupaten Balangan tetap datang langsung ke kantor pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sistem telah tersedia, pemanfaatannya belum merata. E-Court masih menjadi solusi yang bersifat mudah bagi yang paham, tetapi jauh dari jangkauan yang benar-benar membutuhkan.

Dalam instrumen ceklis sertifikAsi Mutu Peradilan Unggul dan TangguH (AMPUH) dari Badilum, terdapat kewajiban bagi setiap pengadilan negeri untuk melakukan sosialisasi sistem E– Court dan e – litigation menurut ketentuan Perma Nomor 7 Tahun 2022 baik secara internal kepada aparatur pengadilan maupun eksternal kepada masyarakat dan stakeholder. Namun di lapangan, pelaksanaan sosialisasi ini kerap tidak berjalan maksimal. Salah satu kendala utamanya adalah keterbatasan anggaran yang mengakibatkan kegiatan sosialisasi dilakukan secara terbatas, tidak berkelanjutan, bahkan sekadar untuk memenuhi eviden dalam proses akreditasi semata tanpa benar-benar menyasar peningkatan pemahaman masyarakat pengguna layanan.

Baca Juga: Sebuah Harapan kepada Ketua PN Jakpus yang Baru

Situasi ini menunjukkan bahwa efektivitas sistem tidak cukup hanya dengan tersedianya perangkat dan regulasi, tetapi juga sangat bergantung pada kualitas implementasi di lapangan, termasuk komitmen nyata dalam edukasi masyarakat.

Menuju keadilan digital yang inklusif agar E-Court benar-benar efektif di daerah terpencil, maka transformasi digital harus disertai dengan pendekatan sosial dan afirmatif. Beberapa langkah yang dapat diambil, yang tentunya untuk mewujudkannya Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak dapat berjalan sendiri karena agar suatu sistem dapat dirasakan hingga ke lapisan bawah masyarakat di daerah tetap memerlukan adanya kerjasama dan dukungan dari pihak lain dan instansi pemerintah terutama di daerah, langkah–langkah tersebut antara lain:

  1. Membangun pusat bantuan hukum digital di kecamatan melalui ”E-Court corner” yang dilengkapi perangkat komputer, akses internet, dan pendampingan dari para paralegal.
  2. Melatih perangkat desa dan tokoh lokal sebagai duta literasi digital hukum agar mereka mampu mendampingi masyarakat dalam mengakses layanan peradilan secara online.
  3. Memperkuat sinergi lintas sektor yaitu Mahkamah Agung perlu menggandeng Kementerian Kominfo, Pemda, lembaga bantuan hukum, dan media lokal untuk menutup kesenjangan digital dan memperluas jangkauan sosialisasi sistem peradilan elektronik sehingga kegiatan sosialisasi tidak hanya menjadi kegiatan simbolik semata.
  4. Optimalisasi mobile court atau sidang keliling yang digabung dengan layanan E-Court mobile juga dapat menjadi solusi transisi yang menjangkau wilayah- wilayah yang belum tersentuh internet, terlebih saat ini sudah banyak pengadilan di Indonesia yang mempunyai inovasi berupa sidang keliling ke desa–desa terpencil seperti salah satunya di Pengadilan Negeri Paringin.
  5. Diperlukan pengawasan yang konsisten terhadap aparatur pengadilan untuk memastikan bahwa peran mereka dalam membantu masyarakat dan mensosialisasikan sistem ini semata-mata didasarkan pada kewajiban pelayanan publik, bukan karena dorongan imbalan atau kepentingan pribadi.
Teknologi adalah alat, bukan tujuan. E-Court adalah langkah besar menuju modernisasi hukum di Indonesia. Tetapi dalam konteks masyarakat di daerah, teknologi bukan segalanya. Ia harus bersanding dengan empati sosial, pendekatan kultural, dan pemahaman bahwa keadilan sejati tidak hanya soal sistem yang canggih tetapi juga soal siapa yang mampu mengaksesnya. Pada akhirnya, keadilan digital harus menjadi pintu masuk yang terbuka lebar, bukan tembok baru yang membatasi. Karena sesungguhnya, sistem peradilan yang hebat bukan hanya yang berbasis teknologi, tetapi yang mampu menjangkau mereka yang paling membutuhkannya. (LDR/YPY)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI