Cari Berita

Dilema Antara Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Peradilan Indonesia

Yudhistira Ary Prabowo - Calon Hakim PN Pemalang - Dandapala Contributor 2025-06-11 15:00:17
Dok. Pribadi.

Regulasi peraturan hukum Pidana di Indonesia baik yang masih menganut pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana (disebut KUHP) yang mengesahkan terjemahan dari Kitab Hukum Pidana peninggalan jajahan kolonial Belanda wetboek van strafrecht (Wvs)), maupun regulasi terbaru yakni dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yakni memiliki kesamaan berupa menerapkan Asas Legalitas sebagai acuan agar perlu mengedepankan kepastian hukum terhadap seluruh tindakan penegakan hukum pidana dalam hal terjadinya tindak pidana di Indonesia.

Asas Legalitas yang dalam bahasa latin disebut yakni Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana dan tidak ada hukuman tanpa adanya ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada terlebih dahulu (vide Pasal 1 ayat (1) KUHP maupun dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Terhadap penerapan Asas Legalitas tersebut dalam dunia peradilan di Indonesia sering kali menjadi problematika yang mendasar, bahwasanya dalam hal aparat penegak hukum khususnya Hakim dalam menjalankan tugasnya menemukan benturan antara kepastian hukum dan keadilan, mana yang harus lebih diutamakan? Jika merujuk pada ketentuan dalam KUHP secara eksplisit atau secara tertulis dalam Pasal, tidak mengatur maupun menyebut dengan jelas bahwasanya dalam hal terdapat benturan antara kepastian hukum dan keadilan maka mana yang harus lebih diutamakan, namun menurut pendapat penulis semangat untuk mengedepankan keadilan substansial (substantive justice) ketimbang semata-mata menegakan keadilan prosedural (procedural justice) dapat tercermin dalam beberapa aspek, yakni terdapat pengaturan tentang alasan pemaaf dan alasan pembenar dalam KUHP.

Begitupula dengan peluang Hakim yang mempertimbangkan alasan yang meringankan maupun yang memberatkan dari pelaku tindak pidana yang didapatkan selama proses persidangan di Pengadilan, dimana berangkat dari alasan-alasan tersebut Hakim dapat menjadikan dasar pertimbangan guna tercapainya unsur keadilan substansial (substantive justice) bagi pelaku tindak pidana terhadap suatu peristiwa hukum konkrit yang terjadi dalam KUHP, kemudian dilengkapi pula dengan dimungkinkannya dilakukan penafsiran hukum sebagai bentuk progresifitas hukum yang dikembangkan oleh para ahli hukum pidana yang melengkapi substansi dari KUHP      yang belum sempurna.

Mengutip Bernadus Maria Taverne seorang anggota Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda (1874-1944) yang dikutip kembali oleh Wahyu Iswantoro menyampaikan bahwa: “Geef me een goede Rechter dus zelfs met slechte wet geving kan ik gerechtigheid brengen” artinya adalah “Beri saya Hakim yang baik, sehingga dengan Undang-Undang yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan” yang dimana terhadap pernyataan tersebut menuai kontroversi dikalangan ahli hukum Belanda kala itu, pasalnya Negara Belanda yang tergolong sebagai Negara penganut sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental), Hakimnya dapat memiliki pandangan hukum yang progresif dan tidak semata-mata menjadi corong undang-undang, hal ini kemudian menjadi tonggak sejarah baru bahwa apa yang disampaikan Taverne tersebut adalah motivasi dan dorongan bagi Hakim untuk tidak terjebak dan terbelenggu oleh konsekuensi logis atas diterapkannya sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental) yang mengedepankan kepastian hukum atau Asas Legalitas terhadap keberadaan hukum tertulis peraturan perundang-undangan semata.

Keberadaan Asas Summum Ius, Summa Iniuria, mengutip Wahyu Iswantoro yang mengutip Black’s Law Dictionary 2nd Edition yang dalam padanan Bahasa Inggris disebut “Eat Strict right; extreme right the extremity or rigor of the law. Extreme law (rigor of law) Is’ the greatest Injury; strict law is great punishment” artinya yakni “Hukum yang absolut (kepastian hukum) adalah hukuman terbesar; hukum yang kaku adalah hukuman yang besar” yang dapat disimpulkan bahwa Asas Summum Ius, Summa Iniuria adalah “Kepastian Hukum Yang Absolut Adalah Ketidak Adilan Yang Tertinggi”.

Realitas yang terjadi di berbagai pengadilan di Indonesia, masih ditemui kalangan Hakim yang cenderung mengedepankan keadilan prosedural (procedural justice) dengan semata-mata menerapkan bunyi pasal dalam Undang-Undang sebagai bentuk tercapainya kepastian hukum dalam putusannya. Fenomena tersebut kemudian membuat masyarakat menilai putusan Hakim tersebut belum mampu memberikan keadilan substansial (substantive justice) bagi masyarakat pencari keadilan.

Dr. Lilik Mulyadi, memberikan pandangan dalam sebuah forum sosialisasi melalui aplikasi zoom meeting yang diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri Tais dengan mengangkat topik ”Aspek Krusial, Implementatif dan Kebaruan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Dari Perspektif Hakim” pada hari Rabu, tanggal 12 Maret 2025 bahwasanya seorang Hakim dalam membuat suatu putusan harus bersifat menyelesaikan persengketaan pada suatu perkara (Litis finiri oportet) agar suatu perkara harus ada ujungnya/akhirnya, sehingga putusan yang dibuat tidak hanya menang diatas kertas namun juga harus dapat dieksekusi, dengan tetap mengikut sertakan hati nurani yang secara hakekat tidak terpisahkan dari putusan Hakim itu sendiri, agar tidak hanya semata-mata mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.

Dr. Lilik Mulyadi juga menjelaskan tentang adanya Asas Summum Ius, Summa Iniuria, Summa Lex, Summa Crux yang artinya ”Kepastian hukum tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi, oleh karena itu hukum dapat melukai, namun hanya keadilan yang dapat menolongnya”, sehingga penulis memaknai bahwa khususnya Hakim di Peradilan Indonesia dalam hal menyelesaikan suatu peristiwa hukum konkrit yang menjadi persengketaan oleh masyarakat, harus berupaya untuk diselesaikan dengan tidak semata-mata mendasarkan pada kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan saja, namun juga harus tetap memperhatikan unsur keadilan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang secara hakekatnya melekat seperti hati nurani atau keyakinan Hakim, alasan pembenar atau alasan pemaaf, alasan yang meringankan atau alasan yang memberatkan yang muncul selama mengikuti jalannya pembuktian di persidangan, memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tanpa mengesampingkan alat bukti yang sah yang ditunjukan pada persidangan serta masih banyak lagi pertimbangan lain yang dapat digunakan Hakim sebagai pertimbangannya demi tercapainya keadilan substansial (substantive juctice) bagi masyarakat pencari keadilan.

 Berangkat dari perdebatan tentang mana yang harus diutamakan dalam hal adanya benturan antara kepastian hukum dan keadilan, sejatinya telah diakomodir dengan pengaturan terkini yakni dalam KUHP Nasional yang menyebut bagi Hakim di Indonesia dalam mengadili suatu perkara Pidana, wajib menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 53 ayat (1) KUHP Nasional), apabila dalam jalannya menegakan hukum dan keadilan tersebut Hakim menemui adanya pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka Hakim wajib mengutamakan keadilan (vide Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan memperhatikan berbagai aspek yang mendukung atau yang berkaitan dengan proses Hakim dalam menyusun suatu pertimbangan guna menyelesaikan suatu peristiwa hukum konkrit yang dipersengketakan oleh masyarakat pada dasarnya telah terjawab dengan adanya Asas Summum Ius, Summa Iniuria, Summa Lex, Summa Crux serta didukung dengan kehadiran ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) KUHP Nasional, bahwasanya Hakim dalam menjalankan tugasnya menemui benturan antara kepastian hukum dan keadilan, maka wajib mengutamakan keadilan itu sendiri. (IKAW, LDR)

 

Referensi:

 [1]      Wahyu Iswantoro, Summum Ius Summa Iniuria, diakses pada tanggal 22 Mei

 2025, Pukul 10.16 WIB, https://pn-wamena.go.id/new/content/artikel.

 [2]       Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, 2025, Anotasi KUHP Nasional, Depok, Rajawali

Pers, PT. Raja Grafindo Persada.

 [3]      Eddy O.S Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma

Pustaka.

[4]      Pengadilan Negeri Tais, Aspek Krusial, Implementatif dan Kebaruan UU Nomor 1

 Tahun 2023 Dari Perspektif Hakim Narasumber : Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. (Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu), diakses pada tanggal 12 Maret 2025 pukul 09.00 WIB, https://us02web.zoom.us/j/86536263171?pwd=c9KcXXt9Ovx6YrBGb8toVYRaiB0ex7.1.

Baca Juga: Hakim dan Dilema Terobosan Hukum di Kasus Kehutanan

 


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI