TULISAN ini mengkritisi pendekatan reward and punishment dalam sistem lembaga peradilan di Indonesia dengan menawarkan integrasi strategi kindness sebagai kerangka etik dan operasional baru. Reward and punishment selama ini dipahami sebagai alat kendali perilaku aparatur pengadilan, namun belum cukup menyentuh ranah kesadaran moral dan integritas spiritual. Melalui pendekatan multidisipliner yang menggabungkan teori hukum, psikologi moral, dan etika kelembagaan, tulisan ini mendorong hibridisasi antara sistem disiplin (reward and punishment) dan pembinaan nilai (kindness) untuk menciptakan lembaga peradilan yang tidak hanya patuh hukum, tetapi juga menjunjung martabat dan keadilan substantif. Kajian ini merujuk pada sejumlah dasar hukum positif (UU Kekuasan Kehakiman, KEPPH, Peraturan MA), serta hasil penelitian dan praktik etik yudisial dari berbagai negara. Tulisan ini merekomendasikan pembentukan unit etik, revisi sistem reward berbasis nilai, dan penguatan pendidikan yudisial yang menyatu dengan nilai-nilai human-centered justice.
Kata Kunci : reward and punishment, kindness, peradilan agung, integritas yudisial, etika kelembagaan
Pendahuluan
Baca Juga: Integrasi Kesekretariatan Pengadilan di Bawah Ditjen Badan Peradilan
Lembaga peradilan merupakan pilar utama dalam menegakkan supremasi hukum dan keadilan. Namun, seiring kompleksitas tantangan sosial, tekanan politik, dan tuntutan publik yang semakin tinggi, integritas dan keagungan lembaga peradilan menghadapi ujian serius. Kasus pelanggaran etik, degradasi moral, serta jarak emosioanal antara aparat peradilan dengan masyarakat menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sistem reward dan punishment yang ada selama ini cukup untuk membentuk peradilan yang agung dan berwibawa?
Sebagai praktisi hukum yang berada dalam sistem, penulis menyaksikan langsung bahwa pendekatan reward and punishment seringkali bersifat teknokratis dan administratif. Ia menekankan kepatuhan, tetapi belum tentu menumbuhkan keikhlasan. Ia menciptakan ketertiban, tetapi belum tentu menghadirkan kesadaran etik. Padahal, keagungan lembaga peradilan bukan hanya soal kepatuhan pada prosedur, tetapi juga tentang kepatuhan nilai, kejernihan hati, dan keberanian moral dalam menghadirkan keadilan sejati.
Di tengah keterbatasan tersebut, pendekatan berbasis kindness atau kebaikan mulai muncul sebagai strategi alternatif yang relevan dan mendesak. Kindness Strategy bukanlah kelembutan yang lemah, melainkan keberanian untuk memanusiakan, mendidik, dan membina aparatur peradilan melalui empati, penghargaan, dan pendekatan yang berbasis hati nurani. Strategi ini membuka ruang bagi pembangunan karakter dan integritas yang tidak hanya berorientasi pada sanksi dan penghargaan, tetapi juga pada kesadaran batin dan tanggung jawab etis.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkritisi pendekatan rewand and punishment dalam sistem peradilan Indonesia, sekaligus mengusulkan integrasi strategi kindness sebagai pendekatan nilai yang melengkapi bahkan memperdalam efektivitas sistem tersebut. Dengan pendekatan interdisipliner (menggabungkan kerangka hukum, psikologi moral, dan etika kelembagaan), tulisan ini mendorong transformasi paradigma dalam pembinaan aparatur peradilan: dari sekedar mekanisme pengendalian, menuju sistem pembinaan yang memuliakan martabat manusia dan memperkuat rasa keadilan substantif.
Dengan merujuk pada dasar hukum positif, prinsip etika yudisial, dan praktik internasional, penulis mengajak para pemangku kepentingan peradilan untuk merefleksikan ulang: bagaimana cara kita membina, menilai, dan mendisiplinkan aparat peradilan, tidak hanya dengan sanksi, tetapi juga dengan nilai-nilai kebaikan yang menginspirasi.
1. Konsep Reward and Punishment dalam Hukum dan Administrasi Publik
Dalam manajemen sumber daya manusia di sektor publik, konsep reward and punishment (ganjaran dan hukuman) telah lama digunakan sebagai instrumen untuk menjaga kedisiplinan, meningkatkan kinerja, serta menanamkan kepatuhan terhadap aturan. Pendekatan ini bertumpu pada asumsi bahwa individu akan terdorong untuk berperilaku sesuai harapan organisasi apabila diberi insentif atas perilaku positif (reward) dan dikenai sanksi atas perilaku negatif (punishment).
Secara yuridis, sistem reward and punisment bagi aparatur negara, termasuk aparat peradilan, memiliki dasar hukum yang jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 20 menyebutkan bahwa setiap ASN berhak memperoleh penghargaan atas prestasi kerja yang luar biasa. Sementara itu, Pasal 23 mengatur bahwa ASN yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi administratif sesuai tingkat kesalahannya. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipi mengatur secara rinci jenis-jenis pelanggaran dan sanksinya, mulai dari teguran lisan hingga pemberhentian tidak dengan hormat.
Dalam konteks lembaga peradilan, reward and punishment juga diatur dalam mekanisme kode etik dan pedoman perilaku. Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung melalui Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menetapkan prinsip-prinsip dasar integritas, independensi, dan profesionalitas, serta membuka ruang bagi pemberian sanksi etik apabila terdapat pelanggaran oleh hakim.
Namun demikian, pendekatan reward and punishment memiliki keterbatasan mendasar. Pertama, ia bersifat eksternal dan transaksional, artinya perilaku yang baik dilakukan semata-mata karena adanya imbalan atau takut akan hukuman, bukan karena kesadaran moral internal. Kedua, pendekatan ini tidak cukup untuk menyentuh dimensi batiniah atau motivasi intrinsik para aparat peradilan yang justru menjadi fondasi utama dalam menjaga marwah institusi peradilan.
Dalam praktiknya, sistem reward seringkali bersifat simbolik dan tidak proporsional terhadap tantangan kerja yang dihadapi aparat peradilan. Sementara sistem punishment, apabila diterapkan secara represif dan tanpa pendekatan edukatif, justru melahirkan ketakutan, budaya formalistik, bahkan manipulasi administratif untuk sekedar menghindari sanksi. Dalam konteks ini, reward and punishmentberisiko gagal membangun karakter, karena lebih menekankan kepatuhan daripada kesadaran.
Kerenanya, muncul kebutuhan untuk merefleksikan ulang efektivitas sistem reward and punishment, khususnya dalam membentuk pribadi aparat peradilan yang unggul secara moral dan spiritual. Pendekatan alternatif seperti strategi kindness menjadi penting untuk dipertimbangkan sebagai pelengkap bahkan penyeimbang dari sistem yang ada.
2. Strategy Kindness: Apa dan Mengapa Penting?
Strategi kindness atau pendekatan berbasis kebaikan merupakan paradigma alternatif dalam pengelolaan sumber daya manusia dan budaya organisasi, termasuk di lembaga peradilan. Dalam konteks ini, kindness tidak dimaknai secara sentimental atau permisif, melainkan sebagai pendekatan yang menempatkan penghormatan terhadap martabat manusia, penguatan nilai-nilai batiniah, serta empati dan kepedulian sebagai instrumen pembentukan integritas. Kindness juga mencerminkan cara kerja berbasis emotional intelligence dan ethical leadership.
Kindness strategy mengandaikan bahwa perubahan perilaku yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika individu mengalami transformasi nilai dari dalam. Dalam konteks lembaga peradilan, strategi ini penting karena hakim dan aparat peradilan memikul beban moral yang tidak dapat diukur hanya dengan parameter kinerja formal. Mereka adalah penjaga nilai, bukan sekedar pelaksana prosedur.
Dari sisi teoritik, pendekatan ini sejalan dengan teori motivasi intrinsik (Deci & Ryan, 1985) yang menekankan bahwa dorongan internal seperti rasa bermakna, keterhubungan, dan kompetensi lebih ampuh dalam membentuk perilaku etis jangka panjang dibanding motivasi ekstrinsik seperti hukuman dan imbalan. Penelitian oleh Cameron, Bright & Caza (2004) dalam jurnal The Jounal of Applied Behavioral Science menemukan bahwa organisasi yang mengedepankan praktik-praktik kebaikan (compassion, gratitude, forgiveness) menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi, tingkat stres yang lebih rendah, dan kelekatan emosional karyawan terhadap institusi yang lebih kuat.
Hal ini diperkuat oleh studi dari Lilius et al. (2011) yang menyatakan bahwa compassionate organizations mendorong munculnya positive deviance, yaitu perilaku melebihi ekspektasi norma karena adanya komitmen dan kebanggaan moral, bukan karena tekanan aturan. Dalam konteks peradilan, ini sangat relevan mengingat hakim sering kali dihadapkan pada dilema etis yang tidak selalu bisa diselesaikan dengan peraturan tertulis semata.
Dari sisi regulatif, strategi kindness memiliki landasan dalam Pancasila, terutama sila kedua dan kelima, serta dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28G ayat (1) tentang hak atas rasa aman, dan Pasal 28I ayat (1) tentang perlindungan harkat dan martabat manusia. dalam konteks peradilan, pendekatan ini juga bisa diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan dan pengawasan melalui regulasi internal lembaga peradilan. Misalnya:
· Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No.026/KMA/SK/II/2012 tentang Pedoman Perilaku Hakim.
· Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan di MA dan Badan Peradilan.
Selain itu, nilai-nilai kindness juga sejalan dengan semangat pembinaan hakim yang tercantum dalam Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, khususnya Pilar Integritas dan Akuntabilitas, yang mendorong peradian modern berbasis nilai-nilai moral, spiritualitas, dan pelayanan manusiawi.
Dalam praktiknya, strategi kindness dapat diwujudkan melalui beberapa hal :
· Mentoring etis dan coaching reflektif antara hakim senior dan yunior.
· Forum berbagi pengalaman batin seperti judicial retreat atau refleksi etik berkala.
· Penguatan psikologis dan kesejahteraan emosional, termasuk dukungan bagi hakim yang mengalami tekanan batin akibat menangani perkara berat.
· Penghargaan moral (moral recognition): misalnya publikasi integritas atau teladan, bukan hanya reward material.
Dengan demikian, kindness bukan pendekatan yang lemah, tetapi justru memperkuat jati diri aparat peradilan sebagai manusia bermoral yang bekerja bukan karena iming-iming atau ketakutan, melainkan karena panggilan nurani.
3. Integrasi Strategi Kindness dalam Lembaga Peradilan
Lembaga peradilan merupakan pilar fundamental negara hukum (rechsstaat), yang tidak hanya menegakkan hukum secara prosedural, tetapi juga harus menjamin keadilan substantif, martabat manusia, dan kepercayaan publik. Dalam kerangka ini, integritas personal para aktor peradilan menjadi aspek yang tak terpisahkan dari legitimasi institusional. Oleh karena itu, integrasi strategi kindness ke dalam sistem kerja lembaga peradilan adalah keniscayaan, bukan pelengkap.
Kindness dalam konteks lembaga peradilan harus dimaknai sebagai etika kelembutan yang menguatkan nilai-nilai keadilan substantif, bukan sekedar keramahan administratif. Ini mencakup pendekatan yang menghargai keseimbangan antara ketegasan hukum dan kepedulian terhadap manusia yang menjadi subjek hukum. Dalam konteks ini, hakim, panitera, dan aparatur peradilan lainnya dituntut untuk tidak hanya patuh terhadap aturan, tetapi juga menyadari dan merasakan tanggung jawab moral terhadap nasib para pencari keadilan.
A. Mengapa Strategi Kindness Relevan di Peradilan?
1) Beban Moral Tinggi. Hakim dan aparat peradilan sering dihadapkan pada persoalan yang tidak sekedar legal formal, melainkan dilema etis dan eksistensial, seperti kasus pidana anak, perkara keluarga, atau sengketa yang menyangkut hak hidup. Dalam situasi demikian, pendekatan berbasis empati dan nilai yang merupakan inti dari kindness membantu mereka menjaga kejernihan hati dan keadilan nurani.
2) Kritik terhadap Pendekatan Formalistik. Kritik akademik yang konsisten terhadap sistem hukum Indonesia menunjukkan bahwa penegakan hukum yang terlalu kaku dan prosedural cenderung menghasilkan ketidakadilan substantif. Strategi kindness menyeimbangkan pendekatan hukum formal dengan sensitivitas sosial dan kemanusiaan, sebagaimana dikembangkan oleh Mazlumder & Cavusoglu (2019) yang menekankan bahwa "compassion based justice" merupakan respons terhadap krisis kepercayaan terhadap sistem hukum modern.
3) Memperkuat Profesionalisme Spiritual. Dalam banyak negara dengan sistem hukum yang kuat, seperti Norwegia atau Selandia Baru, nilai-nilai etika personal, mindfulness, dan servant leadershipmenjadi bagian dari pelatihan hakim. Di Indonesia, praktik ini sejalan dengan nilai-nilai lokal seperti "tepo seliro" dan "gotong royong" yang bisa menjadi dasar pembentukan karakter aparat peradilan yang humanis.
B. Contoh Implementasi Strategi Kindness di Lembaga Peradilan
1) Program Refleksi Etik Hakim
· Kegiatan ini dapat berupa ethical retreat tahunan bagi hakim untuk melakukan evaluasi diri, pembelajaran moral, dan penguatan spiritual.
· Dalam Blue Print Pembaharuan Peradilan 2010-2035, kegiatan ini sejalan dengan strategi pembinaan sumber daya manusia yang berintegritas.
2) Mentoring Berbasis Nilai
· Hakim senior membimbing yunior tidak hanya dalam aspek teknis, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan, empati terhadap pihak rentan, dan tanggung jawab moral terhadap putusan.
· Dapat dituangkan dalam SK Ketua MA sebagai bagian dari mekanisme pembinaan terpadu.
3) Penghargaan Moral, Bukan Sekedar Material
· Teladan integritas hakim (misalnya menolak suap, menyelesaikan perkara dengan penuh keadilan meski penuh tekanan) harus dipublikasikan dan dijadikan narasi resmi.
· Ini sejalan dengan prinsip reward berbasis nilai, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim.
4) Manajemen Kesejahteraan Emosional
· Menyediakan ruang psikologis untuk konsultasi batin, terutama bagi hakim yang mengalami tekanan tinggi, seperti dalam perkara yang berdampak besar secara sosial.
· Di banyak yurisdiksi, hal ini dimasukkan dalam sistem judicial well being (lihat: US National Judicial Stress Task Force, 2020).
C. Dasar Hukum dan Kebijakan Pendukung
Beberapa regulasi yang bisa menjadi landasan integrasi kindness strategy:
· Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan di Lingkungan Peradilan: membuka ruang pengawasan berbasis dialog dan pembinaan nilai.
· Peraturan Mahkamah Agung No. 7, 8, dan 9 Tahun 2016: memberikan kerangka pengawasan yang dapat dikembangkan dengan pendekatan edukatif dan humanis.
· Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH): mengandung prinsip-prinsip empati, kesabaran, dan keadilan hati sebagai dasar dari integritas.
4. Hibridisasi Reward and Punishment dengan Strategi Kindness
Pendekatan reward and punishment dan kindness strategy kerap dipandang sebagai dua kutub yang bertentangan: satu bersifat normatif instrumental, yang lain bersifat etis afektif. Namun konteks pembangunan lembaga peradilan yang agung yakni peradilan yang berintegritas, bermartabat, dan dipercaya publik keduanya justru perlu dikombinasikan secara strategis. Bukan sebagai dualisme, melainkan sebagai hibridisasi nilai dan sistem.
A. Mengapa Perlu Dihibridisasi?
Reward and punishment dibutuhkan untuk menciptakan kepastian dan akuntabilitas. Ia bekerja sebagai sistem kendali (control mechanism) agar organisasi tidak menyimpang dari nilai dan tujuan. Sementara strategi kindness bekerja pada tingkat motivasi dan kesadaran. Ia membentuk karakter aparat secara berkelanjutan karena bertumpu pada nilai-nilai intrinsik, seperti keikhlasan, empati, dan tanggung jawab moral.
Hibridisasi ini menegaskan bahwa peradilan tidak hanya membutuhkan sistem yang "keras terhadap pelanggaran", tetapi juga "lembut dalam pembinaan". Di sinilah muncul kebutuhan untuk menyandingkan disciplinary system dengan ethical cultivation.
B. Konsep Integratif: Tegas dalam Aturan, Lembut dalam Nilai
Dalam pendekatan hibrid ini:
· Punishment tetap diberlakukan atas pelanggaran berat yang mencederai integritas lembaga, seperti suap, penyalahgunaan wewenang, atau pelanggaran etik.
· Namun, proses menuju punishment dapat melalui jalur edukatif, seperti konseling etik, peringatan reflektif, atau dialog moral yang melibatkan senior, rohaniawan, atau tokoh etik.
· Reward diberikan bukan hanya atas kinerja kuantitatif, tetapi juga atas teladan integritas, pengabdian sunyi, dan perlakuan humanis terhadap pencari keadilan.
· Praktik "restorative discipline" yang menekankan pemulihan nilai dan relasi antar rekan sejawat bisa menjadi pendekatan alternatif sebelum sanksi formal dijatuhkan.
Model ini sejalan dengan pemikiran Etzioni (1995) tentang responsive communitarianism, yang menekankan bahwa regulasi yang efektif harus dikombinasikan dengan penumbuhan moralitas sosial. Dalam konteks peradilan, ini berarti memperkuat aturan disiplin dengan pembinaan integritas melalui kindness based mentoring.
C. Contoh Implementasi dalam Peradilan
1. Pusat Etika Yudisial: Sebuah unit internal yang tidak hanya menangani pelanggaran, tetapi juga membina nilai, mendampingi psikologis, dan mengadakan pelatihan reflektif.
2. Skema Reward Integratif: Pemberian penghargaan moral (misal : Satya Bhakti Yudisial) tidak hanya didasarkan pada masa kerja atau jumlah perkara, tetapi juga kualitas pertimbangan putusan, empati kepada pencari keadilan, dan kontribusi sosial hakim.
3. Forum Restoratif Internal: Dalam kasus pelanggaran ringan hingga sedang, pelanggar diberi kesempatan menyampaikan permintaan maaf dan mengikuti pelatihan nilai sebelum penjatuhan sanksi administratif.
4. Inklusi Nilai Kindness dalam Diklat Yudisial: Pelatihan calon hakim dan promosi jabatan menyertakan modul kesadaran etis, psikologi spiritual, serta komunikasi empatik.
D. LANDASAN HUKUM DAN ETIKA
Walau tidak secara eksplisit disebutkan, prinsip hibridisasi ini konsisten dengan berbagai instrumen hukum:
· UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya pasal 3 ayat (1): Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
· KEPPH, yang menyatakan bahwa "hakim hendaknya memiliki kesabaran dan kepekaan sosial."
· SK KMA No.109/KMA/SK/IV/2022 tentang Kurikulum dan Silabus Diklat Calon Hakim: membuka ruang integrasi nilai etika dan psikologi peradilan.
· Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) juga mendorong performance berbasis outcome, yang bisa mencakup integritas dan etika pelayanan.
Dengan demikian, hibridisasi reward and punishment dan kindness bukan hanya memungkinkan, tetapi menjadi kebutuhan strategis untuk menciptakan sistem peradilan yang bukan hanya taat aturan, tetapi juga tumbuh secara etis dan spiritual. Strategi ini akan menghasilkan aparat peradilan yang tidak hanya patuh karena takut dihukum, tetapi bertindak benar karena merasa terpanggil untuk berlaku adil.
5. Rekomendasi dan Refleksi Kritis
Gagasan tentang hibridisasi reward and punishment dengan strategi kindness dalam pembangunan lembaga peradilan yang agung tidak semata ideal normatif, melainkan kebutuhan strategis dalam menjawab krisis kepercayaan publik dan tantangan integritas aparat peradilan. Untuk itu, beberapa rekomendasi dan refleksi kritis berikut perlu dipertimbangkan:
A. Rekomendasi strategis
1. Revisi dan Pelembagaan Sistem Reward yang Berbasis Nilai
· Lembaga peradilan perlu mengembangkan skema penghargaan yang tidak hanya bersifat administratif (jumlah perkara diselesaikan, masa kerja), tetapi juga moral (integritas, sikap empatik, dan kontribusi etis dalam pengambilan keputusan).
· Bisa dikembangkan sistem Narrative Integrity Awards, di mana kisah-kisah nyata integritas hakim menjadi bagian dari rekam jejak institusi.
2. Pembentukan Unit Etika dan Refleksi dalam Setiap Pengadilan Tinggi
· Unit ini dapat menjadi garda depan pelaksanaan strategi kindness melalui kegiatan dialog etik, konsultasi moral, hingga psychological first aid bagi hakim yang mengalami tekanan.
· Ini dapat menjadi bagian dari optimalisasi Unit Pengawasan internal yang selama ini lebih dominan pada aspek teknis dan pelaporan.
3. Integrasi Kindness dalam Kurikulum Pendidikan Yudisial
· Mahkamah Agung dan Badan Litbang Diklat Kumdil MA perlu menyempurnakan kurikulum dengan pendekatan human centered justice, termasuk pelatihan tentang empati, kesadaran diri, dan pengelolaan stres dalam membuat putusan.
· Modul pelatihan dapat merujuk pada standar internasional seperti The Bangalore Principles of Judicial Conduct dan The UNODC Judicial Ethics Training Tools.
4. Implementasi Sistem Disiplin yang Restoratif
· Untuk pelanggaran ringan hingga sedang, sebelum dijatuhkan sanksi, pelanggar dapat diberi kesempatan untuk mengikuti dialog etik, permintaan maaf terbuka, dan rencana perbaikan pribadi.
· Ini memberikan ruang bagi pertobatan moral, bukan hanya penghukuman formal.
5. Penelitian dan Indikator Baru untuk Menilai Keagungan Peradilan
· Lembaga peradilan perlu membangun instrumen evaluasi internal yang menilai tidak hanya output kerja, tetapi juga integritas spiritual, kualitas moral pelayanan, dan kematangan etis para aparat peradilan.
B. Refleksi Kritis
Meski strategi kindness menawarkan pendekatan yang lebih humanis dan jangka panjang, penerapannya tidak bebas dari tantangan:
· Risiko Penerapan yang Salah Kaprah. Bila tidak dikawal dengan baik, kindness bisa disalahartikan sebagai kelunakan terhadap pelanggaran. Padahal esensi kindness adalah keberanian untuk menegakkan nilai dengan kasih, bukan kelemahan dalam disiplin.
· Perlu Perubahan Paradigma Pimpinan. Pimpinan lembaga peradilan harus menjadi teladan dan motor dari transformasi ini. Tanpa komitmen kuat dari atas, strategi ini akan berakhir sebagai jargon tanpa dampak.
· Keterbatasan Budaya Institusional. Budaya birokrasi peradilan yang masih sarat formalitas dan hirarki bisa menjadi penghalang masuknya pendekatan-pendekatan nilai. Diperlukan cultural shift yang progresif dan konsisten.
· Pengukuran Kualitatif yang Belum Terbangun. Kindness dan integritas adalah nilai yang sulit diukur dengan angka. Oleh karena itu, lembaga peradilan perlu mengembangkan alat ukur kualitatif (misalnya melalui studi naratif, wawancara mendalam, dan asesmen etika) sebagai bagian dari akuntabilitas yang bermakna.
Penutup
Sebuah lembaga peradilan yang agung tidak hanya dibangun dengan undang-undang dan bangunan megah, tetapi melalui jiwa-jiwa besar yang mengabdi dalam diam, memutuskan dengan nurani, dan melayani dengan cinta. Reward and Punishment penting untuk mengatur perilaku, tetapi kindness adalah fondasi untuk membentuk karakter. Ketika keduanya diintegrasikan dalam satu sistem nilai dan manajemen kelembagaan, maka peradilan tidak hanya menjadi institusi hukum, tetapi rumah keadilan bagi rakyat dan cermin kebaikan dari negara.
Daftar Pustaka
Etzioni, A. (1995), The Spirit of Community : The Reinvention of American Society, Simon and Schuster.
Mazlumder, M. & Cavusoglu, D. (2016), Compassion-Bassed Justice : A Theoritical Model and Ethical Foundation, Journal of Human Values, 25 (3), 204-217.
Mahkamah Agung RI (2010), Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, MA-RI.
Mahkamah Agung RI (2016), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7,8, dan 9 Tahun 2016.
Mahkamah Agung RI (2017), Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017.
Mahkamah Agung RI (2022), SK KMA No. 109/KMA/SK/IV/2022 tentang Kurikulum dan Silabus Diklat Calon Hakim.
Republik Indonesia, (2009), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), (2019), Judicial Ethics Training Manual.
Baca Juga: Akuntansi Forensik, Jurus Baru Pemberantasan Korupsi
National Judicial Stress Task Force, (2020), Judicial Wellnest Report, National Center for State Courts.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI