Cari Berita

Jika Hakim Menjaga Hukum, Siapa yang Menjaga Hakim tanpa POLSUS Pengadilan?

Urif Syarifudin - Dandapala Contributor 2025-10-31 15:00:46
Dok. Penulis.

Ancaman terhadap hakim bukan lagi isu laten, melainkan kenyataan yang terus berulang. Kasus penusukan terhadap Hakim Pengadilan Agama Batam pada Maret 2025, teror terhadap hakim perempuan di Grobogan, hingga penyerangan di ruang sidang menunjukkan bahwa keadilan tengah berjalan di bawah bayang ancaman. Dalam situasi seperti ini, pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan) bukan sekadar wacana kelembagaan, melainkan panggilan moral negara untuk melindungi para penjaga keadilan.

Kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin Pasal 24 UUD 1945 hanya dapat berdiri tegak bila negara memastikan keselamatan para pelaksananya. Hakim bukan hanya pelaksana hukum, melainkan simbol keadilan negara.

 Karena itu, ancaman terhadap hakim sama artinya dengan ancaman terhadap negara hukum itu sendiri. Dalam diskusi publik Kertas Kerja Kebijakan Keamanan Hakim dan Pengadilan (UPI Bandung, 29 Oktober 2025), Ketua Komisi Yudisial, Binziad Kadafi, Ph.D., menegaskan:

Baca Juga: KY–MA Perkuat Sinergi Bentuk Polisi Khusus Pengadilan, Ini Fungsinya!

“Jaminan keamanan bagi hakim adalah prasyarat utama menjaga integritas dan kewibawaan lembaga peradilan. Dengan rasa aman, hakim dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan dan intervensi.”

Sayangnya, sistem keamanan pengadilan saat ini masih bergantung pada kepolisian umum yang tidak selalu memahami konteks etik dan sensitivitas ruang peradilan. Padahal, ruang sidang bukan sekadar tempat memeriksa perkara, tetapi juga ruang simbolik tempat hukum menemukan kehormatannya. Di titik inilah gagasan pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan) menjadi relevan dan strategis.

Apa dan Mengapa Polsus Pengadilan Dibutuhkan

Polsus Pengadilan adalah satuan pengamanan khusus di bawah Mahkamah Agung yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban dalam lingkungan peradilan. Ia bukan aparat pro yustisia, melainkan penjamin keamanan hakim dan proses persidangan.

Dasar normatif pembentukannya bersumber pada Pasal 43 dan 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mengatur bahwa instansi pemerintah dapat membentuk Polisi Khusus dengan fungsi keamanan terbatas dan pembinaan teknis oleh Polri.

Selain itu, Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 juga menegaskan mekanisme pembinaan dan sertifikasi bagi Polisi Khusus Instansi Pemerintah, seperti Polsus Kehutanan atau Polsus Kereta Api (Polsuska). Relevansi Polsus Pengadilan juga sejalan dengan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:

“Hakim mendapatkan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya agar dapat memutus perkara tanpa tekanan.”

Kutipan ini menegaskan mandat konstitusional bahwa negara wajib menjamin perlindungan hukum dan fisik bagi hakim. Dalam konteks itulah, Polsus Pengadilan hadir bukan untuk memperluas birokrasi, tetapi untuk memperkuat fondasi konstitusional kekuasaan kehakiman.

Menurut Prof. Asep Nana Mulyana, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI, “Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim (PMKH) menimbulkan rasa takut dan melemahkan wibawa peradilan. Pembentukan Polsus Pengadilan adalah langkah preventif, bukan represif di mana tugasnya memastikan hakim dapat bekerja tanpa intimidasi, tanpa gangguan, dan tanpa ketakutan.”

 

Pandangan Ahli dan Komparasi Global

Fenomena PMKH bukan hanya masalah lokal Indonesia. Azwir Agus dan Montayana Meher dalam penelitiannya “National Personality in Maintaining the Honor and Nobility of Judges in Indonesia” menyebut bahwa PMKH adalah ancaman langsung terhadap kepercayaan publik terhadap hukum. Mereka menegaskan,

The phenomena of Contempt of Court and PMKH are serious challenges in maintaining the integrity and independence of judicial institutions.”

Sementara Simon Butt, profesor hukum dari University of Sydney, dalam studinya “Constitutional Court Decisions on the Judicial Independence of Other Indonesian Courts” menyimpulkan bahwa independensi hakim seringkali terancam bukan karena hukum yang lemah, tetapi karena lemahnya perlindungan institusional. Dalam konteks ini, Polsus Pengadilan dapat menjadi mekanisme pelindung institusional agar hakim tidak menghadapi risiko profesi secara individu.

Dukungan juga datang dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang dalam laporan tahun 2024 menyatakan bahwa “jaminan atas keamanan dan keselamatan hakim masih lemah meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan.” Hal ini memperkuat argumentasi bahwa Polsus bukan tambahan struktural, melainkan kebutuhan fungsional negara hukum.

Secara internasional, sejumlah negara telah mengembangkan model pengamanan yudisial serupa. Di Amerika Serikat, United States Marshals Service bertanggung jawab atas perlindungan hakim federal dan gedung pengadilan. Di Ukraina, terdapat Court Security Service yang berfungsi menjaga keamanan ruang sidang dan melindungi hakim serta keluarganya. Sementara Italia memiliki Judicial Police yang bertugas khusus mendukung keamanan dan kelancaran peradilan. Model-model ini menunjukkan bahwa gagasan Polsus Pengadilan bukan hal baru, melainkan praktik global dalam menjamin kemerdekaan peradilan.

Siapa yang Berperan dan Bagaimana Mekanismenya

Inisiatif pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan) merupakan hasil sinergi tiga lembaga: Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Secara administratif, Polsus akan berada di bawah komando MA melalui Sekretariat Jenderal, dengan pembinaan teknis oleh Polri sesuai Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri, yang memberi kewenangan pembinaan terhadap polisi khusus instansi lain.

Dalam konteks perlindungan profesi, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013 menegaskan mandat KY untuk mengadvokasi hakim yang terancam. Melalui Polsus, advokasi tersebut diperluas dari perlindungan reaktif (post paktum protection) menjadi langkah preventif yang terukur.

Polsus Pengadilan memiliki tiga fungsi utama yang saling melengkapi.

Pertama, fungsi preventif, yakni mencegah ancaman terhadap keamanan pengadilan melalui deteksi dini, pemeriksaan barang bawaan, pemantauan pengunjung, dan penerapan protokol keamanan. Kedua, fungsi responsif, yaitu menangani gangguan keamanan di ruang sidang secara cepat, profesional, dan proporsional, termasuk melindungi hakim serta menjaga ketertiban tanpa mengganggu proses peradilan.

Ketiga, fungsi protektif, yakni memberikan pengawalan kepada hakim yang menangani perkara berisiko tinggi seperti korupsi besar, terorisme, atau konflik agraria.

Selain itu, Polsus akan memiliki kewenangan administratif terbatas: memeriksa barang bawaan di pintu masuk, mengamankan saksi dan terdakwa, serta melaporkan potensi ancaman kepada MA dan Polri. Dengan struktur dan fungsi tersebut, Polsus tidak menggantikan peran kepolisian umum, tetapi menjadi pelengkap sistem perlindungan yudisial untuk memastikan ruang peradilan tetap aman, tertib, dan berwibawa.

Di Mana dan Kapan Implementasinya Dapat Dimulai

Implementasi awal Polsus dapat dimulai melalui proyek percontohan di lima pengadilan besar dengan risiko keamanan tinggi, yaitu: PN Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Medan, PN Pontianak, dan PN Makassar.

Setiap unit pilot akan menjadi laboratorium keamanan peradilan dengan sistem pelaporan cepat, standar operasional prosedur (SOP) keamanan sidang, dan pemantauan pasca-insiden.

Untuk memperkuat koordinasi, dapat dibentuk Pusat Komando Keamanan Yudisial (Judicial Security Command Center) sebagai wadah sinergi MA–KY–Polri. Pusat ini akan menjalankan sistem Judicial Security Information System (JSIS) dengan basis data nasional untuk memantau ancaman terhadap hakim dan pengadilan di seluruh Indonesia, serta mengaktifkan tim reaksi cepat (Rapid Response Team) yang bertugas menindak ancaman dalam waktu maksimal dua jam setelah laporan diterima.

Regulasi Pendukung dan Kerangka Hukum

Selain berlandaskan Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan) juga didukung oleh berbagai regulasi turunan yang memperkuat legitimasi hukumnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) menegaskan bahwa hakim dan keluarganya berhak memperoleh fasilitas keamanan selama bertugas. Perma Nomor 5 Tahun 2020 mengatur protokol keamanan persidangan, termasuk larangan membawa senjata dan tanggung jawab menjaga ketertiban ruang sidang, sedangkan Perma Nomor 6 Tahun 2020 memperkuat pengawasan terhadap pihak eksternal serta keamanan dalam perkara berisiko tinggi.

UU Nomor 18 Tahun 2011 memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim, sementara UU Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme memberikan perlindungan khusus bagi hakim yang berpotensi menjadi target ancaman.

Berdasarkan kerangka hukum tersebut, Polsus Pengadilan dapat dibentuk melalui Peraturan Mahkamah Agung dan diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) MA–KY–Polri. Tidak ada hambatan yuridis dalam pembentukannya; yang dibutuhkan hanyalah kemauan politik dan dukungan anggaran yang memadai.

 Polsus bukan sekadar solusi terhadap ancaman fisik, tetapi simbol kehadiran negara dalam menjaga kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas rasa aman dan perlindungan martabat, dan hal itu seharusnya berlaku lebih kuat bagi hakim sebagai penegak keadilan.

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Seperti dikatakan Simon Butt, “Judicial independence cannot exist without institutional protection.” Maka, Polsus Pengadilan adalah wujud perlindungan institusional yang meneguhkan independensi peradilan.

Penutup

Sejarah menunjukkan bahwa hukum tidak akan tegak bila penegaknya berdiri dalam ketakutan. Pembentukan Polisi Khusus Pengadilan adalah langkah reformasi yudisial yang bernilai strategis dan etis sebagai bukti kehadiran negara yang melindungi hakim, bukan membiarkan mereka menghadapi risiko profesi sendirian.

Jika Amerika memiliki Judicial Security Department dan Ukraina memiliki Court Security Service, maka Indonesia layak memiliki Polsus Pengadilan yang bukan sekadar penjaga gedung, tetapi penjaga kehormatan keadilan. Karena sebagaimana adagium yudisial menyatakan, “Menegakkan hukum tanpa melindungi penegaknya adalah bentuk lain dari ketidakadilan.” (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI