Ancaman terhadap hakim bukan lagi isu laten, melainkan kenyataan yang terus
berulang. Kasus penusukan terhadap Hakim Pengadilan Agama Batam pada Maret
2025, teror terhadap hakim perempuan di Grobogan, hingga penyerangan di ruang
sidang menunjukkan bahwa keadilan tengah berjalan di bawah bayang ancaman.
Dalam situasi seperti ini, pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus
Pengadilan) bukan sekadar wacana kelembagaan, melainkan panggilan moral negara
untuk melindungi para penjaga keadilan.
Kemandirian
kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin Pasal 24 UUD 1945 hanya dapat berdiri
tegak bila negara memastikan keselamatan para pelaksananya. Hakim bukan hanya
pelaksana hukum, melainkan simbol keadilan negara.
 Karena itu, ancaman terhadap hakim sama artinya
dengan ancaman terhadap negara hukum itu sendiri. Dalam diskusi publik Kertas
Kerja Kebijakan Keamanan Hakim dan Pengadilan (UPI Bandung, 29 Oktober 2025),
Ketua Komisi Yudisial, Binziad Kadafi, Ph.D., menegaskan:
Baca Juga: KY–MA Perkuat Sinergi Bentuk Polisi Khusus Pengadilan, Ini Fungsinya!
“Jaminan keamanan bagi hakim adalah prasyarat utama
menjaga integritas dan kewibawaan lembaga peradilan. Dengan rasa aman, hakim
dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan dan intervensi.”
Sayangnya,
sistem keamanan pengadilan saat ini masih bergantung pada kepolisian umum yang
tidak selalu memahami konteks etik dan sensitivitas ruang peradilan. Padahal,
ruang sidang bukan sekadar tempat memeriksa perkara, tetapi juga ruang simbolik
tempat hukum menemukan kehormatannya. Di titik inilah gagasan pembentukan
Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan) menjadi relevan dan strategis.
Apa dan Mengapa Polsus
Pengadilan Dibutuhkan
Polsus
Pengadilan adalah satuan pengamanan khusus di bawah Mahkamah Agung yang
bertugas menjaga keamanan dan ketertiban dalam lingkungan peradilan. Ia bukan
aparat pro yustisia, melainkan penjamin keamanan hakim dan proses persidangan. 
Dasar
normatif pembentukannya bersumber pada Pasal 43 dan 44 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang mengatur bahwa
instansi pemerintah dapat membentuk Polisi Khusus dengan fungsi keamanan
terbatas dan pembinaan teknis oleh Polri. 
Selain
itu, Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2017 juga menegaskan mekanisme pembinaan
dan sertifikasi bagi Polisi Khusus Instansi Pemerintah, seperti Polsus
Kehutanan atau Polsus Kereta Api (Polsuska). Relevansi Polsus Pengadilan juga
sejalan dengan Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:
“Hakim
mendapatkan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya agar dapat memutus
perkara tanpa tekanan.”
Kutipan
ini menegaskan mandat konstitusional bahwa negara wajib menjamin perlindungan
hukum dan fisik bagi hakim. Dalam konteks itulah, Polsus Pengadilan hadir bukan
untuk memperluas birokrasi, tetapi untuk memperkuat fondasi konstitusional
kekuasaan kehakiman.
Menurut
Prof. Asep Nana Mulyana, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI, “Perbuatan
Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim (PMKH) menimbulkan rasa takut dan melemahkan wibawa peradilan. Pembentukan
Polsus Pengadilan adalah langkah preventif, bukan represif di mana tugasnya
memastikan hakim dapat bekerja tanpa intimidasi, tanpa gangguan, dan tanpa
ketakutan.”
Pandangan Ahli dan Komparasi
Global
Fenomena PMKH
bukan hanya masalah lokal Indonesia. Azwir Agus dan Montayana Meher dalam
penelitiannya “National Personality in
Maintaining the Honor and Nobility of Judges in Indonesia” menyebut bahwa
PMKH adalah ancaman langsung terhadap kepercayaan publik terhadap hukum. Mereka
menegaskan,
“The phenomena of
Contempt of Court and PMKH are serious challenges in maintaining the integrity
and independence of judicial institutions.”
Sementara
Simon Butt, profesor hukum dari University of Sydney, dalam studinya “Constitutional Court Decisions on the
Judicial Independence of Other Indonesian Courts” menyimpulkan bahwa
independensi hakim seringkali terancam bukan karena hukum yang lemah, tetapi
karena lemahnya perlindungan institusional. Dalam konteks ini, Polsus
Pengadilan dapat menjadi mekanisme pelindung institusional agar hakim tidak
menghadapi risiko profesi secara individu.
Dukungan
juga datang dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang
dalam laporan tahun 2024 menyatakan bahwa “jaminan atas keamanan dan
keselamatan hakim masih lemah meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan.”
Hal ini memperkuat argumentasi bahwa Polsus bukan tambahan struktural,
melainkan kebutuhan fungsional negara hukum.
Secara
internasional, sejumlah negara telah mengembangkan model pengamanan yudisial
serupa. Di Amerika Serikat, United States
Marshals Service bertanggung jawab atas perlindungan hakim federal dan
gedung pengadilan. Di Ukraina, terdapat Court
Security Service yang berfungsi menjaga keamanan ruang sidang dan
melindungi hakim serta keluarganya. Sementara Italia memiliki Judicial Police yang bertugas khusus
mendukung keamanan dan kelancaran peradilan. Model-model ini menunjukkan bahwa
gagasan Polsus Pengadilan bukan hal baru, melainkan praktik global dalam
menjamin kemerdekaan peradilan.
Siapa yang Berperan dan
Bagaimana Mekanismenya
Inisiatif
pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan) merupakan hasil
sinergi tiga lembaga: Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Polri). Secara administratif, Polsus akan berada di
bawah komando MA melalui Sekretariat Jenderal, dengan pembinaan teknis oleh
Polri sesuai Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Polri, yang memberi kewenangan pembinaan terhadap polisi khusus
instansi lain. 
Dalam
konteks perlindungan profesi, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013
menegaskan mandat KY untuk mengadvokasi hakim yang terancam. Melalui Polsus,
advokasi tersebut diperluas dari perlindungan reaktif (post paktum protection)
menjadi langkah preventif yang terukur.
Polsus
Pengadilan memiliki tiga fungsi utama yang saling melengkapi. 
Pertama,
fungsi preventif, yakni mencegah ancaman terhadap keamanan pengadilan melalui
deteksi dini, pemeriksaan barang bawaan, pemantauan pengunjung, dan penerapan
protokol keamanan. Kedua, fungsi responsif, yaitu menangani gangguan keamanan
di ruang sidang secara cepat, profesional, dan proporsional, termasuk melindungi
hakim serta menjaga ketertiban tanpa mengganggu proses peradilan. 
Ketiga,
fungsi protektif, yakni memberikan pengawalan kepada hakim yang menangani
perkara berisiko tinggi seperti korupsi besar, terorisme, atau konflik agraria.
Selain
itu, Polsus akan memiliki kewenangan administratif terbatas: memeriksa barang
bawaan di pintu masuk, mengamankan saksi dan terdakwa, serta melaporkan potensi
ancaman kepada MA dan Polri. Dengan struktur dan fungsi tersebut, Polsus tidak
menggantikan peran kepolisian umum, tetapi menjadi pelengkap sistem
perlindungan yudisial untuk memastikan ruang peradilan tetap aman, tertib, dan
berwibawa.
Di Mana dan Kapan
Implementasinya Dapat Dimulai
Implementasi
awal Polsus dapat dimulai melalui proyek percontohan di lima pengadilan besar
dengan risiko keamanan tinggi, yaitu: PN Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Medan,
PN Pontianak, dan PN Makassar. 
Setiap
unit pilot akan menjadi laboratorium keamanan peradilan dengan sistem pelaporan
cepat, standar operasional prosedur (SOP) keamanan sidang, dan pemantauan
pasca-insiden.
Untuk
memperkuat koordinasi, dapat dibentuk Pusat Komando Keamanan Yudisial (Judicial Security Command Center)
sebagai wadah sinergi MA–KY–Polri. Pusat ini akan menjalankan sistem Judicial Security Information System (JSIS)
dengan basis data nasional untuk memantau ancaman terhadap hakim dan pengadilan
di seluruh Indonesia, serta mengaktifkan tim reaksi cepat (Rapid Response Team) yang bertugas menindak ancaman dalam waktu
maksimal dua jam setelah laporan diterima.
Regulasi Pendukung dan
Kerangka Hukum
Selain
berlandaskan Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,
pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan) juga didukung oleh
berbagai regulasi turunan yang memperkuat legitimasi hukumnya. 
Peraturan
Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 Pasal 8 ayat (1) menegaskan bahwa hakim dan
keluarganya berhak memperoleh fasilitas keamanan selama bertugas. Perma Nomor 5
Tahun 2020 mengatur protokol keamanan persidangan, termasuk larangan membawa
senjata dan tanggung jawab menjaga ketertiban ruang sidang, sedangkan Perma
Nomor 6 Tahun 2020 memperkuat pengawasan terhadap pihak eksternal serta
keamanan dalam perkara berisiko tinggi.
UU Nomor
18 Tahun 2011 memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan
dan keluhuran martabat hakim, sementara UU Nomor 77 Tahun 2019 tentang
Pencegahan Tindak Pidana Terorisme memberikan perlindungan khusus bagi hakim
yang berpotensi menjadi target ancaman.
Berdasarkan
kerangka hukum tersebut, Polsus Pengadilan dapat dibentuk melalui Peraturan
Mahkamah Agung dan diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) MA–KY–Polri.
Tidak ada hambatan yuridis dalam pembentukannya; yang dibutuhkan hanyalah
kemauan politik dan dukungan anggaran yang memadai.
 Polsus bukan sekadar solusi terhadap ancaman
fisik, tetapi simbol kehadiran negara dalam menjaga kemerdekaan kekuasaan
kehakiman. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas rasa aman
dan perlindungan martabat, dan hal itu seharusnya berlaku lebih kuat bagi hakim
sebagai penegak keadilan. 
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Seperti
dikatakan Simon Butt, “Judicial
independence cannot exist without institutional protection.” Maka, Polsus
Pengadilan adalah wujud perlindungan institusional yang meneguhkan independensi
peradilan.
Penutup
Sejarah menunjukkan bahwa hukum tidak akan tegak bila penegaknya berdiri dalam ketakutan. Pembentukan Polisi Khusus Pengadilan adalah langkah reformasi yudisial yang bernilai strategis dan etis sebagai bukti kehadiran negara yang melindungi hakim, bukan membiarkan mereka menghadapi risiko profesi sendirian.
Jika Amerika memiliki Judicial Security Department dan Ukraina memiliki Court Security Service, maka Indonesia layak memiliki Polsus Pengadilan yang bukan sekadar penjaga gedung, tetapi penjaga kehormatan keadilan. Karena sebagaimana adagium yudisial menyatakan, “Menegakkan hukum tanpa melindungi penegaknya adalah bentuk lain dari ketidakadilan.” (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI
 
                                                         
                                         
                                         
                                         
                                         
                                         
                                         
                                                                 
                                                                 
                                                                 
                                                                 
                                                                