Cari Berita

Pesan Tersirat di Balik Hakim Tolak Salaman dengan Nikita Mirzani

Gilang Pamungkas - Dandapala Contributor 2025-10-30 07:50:20
Majelis hakim menolak bersalaman dengan terdakwa (tangkapan layar)

SIDANG pembacaan putusan perkara pidana yang melibatkan publik figur Nikita Mirzani menyisakan momen yang menarik perhatian publik. Usai amar putusan dibacakan, terdakwa tampak berdiri dan berusaha menyalami majelis hakim. Namun, gestur itu tidak disambut. Adegan singkat tersebut segera menyebar luas di ruang digital dan memunculkan beragam tafsir mengenai sikap majelis hakim.

Majelis Hakim yang memutus perkara itu diketuai oleh Kairul Soleh dengan anggota Radityo Baskoro dan Sulistyo Muhamad Dwi Putro. Dalam berbagai unggahan di media sosial, sebagian masyarakat menilai penolakan salaman tersebut sebagai sikap kaku atau bahkan arogan. Namun pandangan demikian perlu dilihat secara lebih jernih. Tindakan Majelis Hakim sesungguhnya berlandaskan pada norma etik dan ketentuan tata tertib persidangan yang mengatur perilaku hakim maupun para pihak di ruang peradilan.

Sebagai profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), hakim memikul tanggung jawab bukan hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga menjaga martabat peradilan. Dalam menjalankan tugasnya baik di dalam maupun di luar ruang sidang hakim terikat oleh kode etik dan pedoman perilaku yang menjadi kompas moral profesinya.

Baca Juga: Nikita Mirzani Dijatuhi Vonis 4 Tahun Penjara, Ini Pertimbangan Hukumnya!

Ketentuan tersebut diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, serta diperjelas melalui Peraturan Bersama MA dan KY Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Kode etik ini memuat 10 prinsip dasar yaitu berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan bersikap profesional. Seluruh prinsip dalam kode etik hakim saling melengkapi dan tak dapat dipisahkan.

Salah satu prinsip yang diterapkan dalam persidangan yaitu berperilaku adil. Maknanya adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, serta menjamin bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

“Hakim wajib meminta kepada semua pihak untuk tidak menunjukkan rasa suka atau tidak suka, atau keberpihakan, atas dasar kedekatan hubungan baik melalui perkataan maupun Tindakan”, demikian tercantum dalam Panduan Penegakan Kode Etik Hakim Pasal 5 ayat (2).

Dalam konteks ruang sidang, hal sekecil apa pun yang dapat menimbulkan kesan keberpihakan harus dihindari. Karena itu, gestur menolak salaman bukanlah bentuk keangkuhan, melainkan wujud kepatuhan terhadap kode etik yang menuntut hakim menjaga jarak profesional dan marwah pengadilan. Kepatuhan semacam ini menjadi benteng utama martabat hakim, sebab persepsi publik terhadap netralitas pengadilan kerap lahir dari isyarat kecil bukan hanya dari isi putusan.

Selain kode etik, proses persidangan juga diatur secara ketat melalui Surat Edaran Dirjen Badilum Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.

Ketentuan ini mengatur perilaku semua pihak baik jaksa, terdakwa, kuasa hukum, maupun pengunjung sidang sejak hakim memasuki ruang sidang hingga meninggalkannya.

Di dalam ketentuan SE Badilum Nomor 2/2020 Bagian II angka 2, menyebutkan “Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang, pejabat yang bertugas sebagai protocol mempersilakan yang hadir dalam ruang sidang untuk berdiri menghormati hakim”. 

Yang memimpin jalannya persidangan adalah Hakim Ketua. Setiap gerak dan tindak para pihak harus seizin Ketua Majelis, termasuk ketika pengunjung hendak keluar atau masuk ruang sidang. Ketentuan ini merupakan bagian dari upaya menjaga ketertiban dan kehormatan persidangan.

Meskipun pelanggaran terhadap tata tertib persidangan belum termasuk dalam ranah pidana, praktik contempt of court dapat diterapkan apabila perbuatan tersebut mengandung unsur-unsur pidana. Ketentuan ini menjadi penting karena menyangkut penghormatan terhadap lembaga peradilan dan proses penegakan hukum yang sedang berjalan.

“Setiap orang yang menghalangi, mengintimidasi, atau memengaruhi pejabat yang melaksanakan tugas pemeriksaan di sidang pengadilan atau putusan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan.”, demikian tercantum dalam Pasal 281 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku mulai 2 Januari 2026.

Pemaparan tersebut menunjukkan pentingnya tata tertib persidangan. Dalam aturan persidangan, saat hakim meninggalkan ruang sidang, seluruh pihak wajib berdiri sebagai bentuk penghormatan bukan beranjak dari tempat duduk untuk mengajak bersalaman. Dengan demikian, yang terjadi bukanlah sikap dingin dari hakim, melainkan penerapan disiplin persidangan yang menegaskan bahwa ruang sidang adalah tempat yang harus dijaga kehormatannya oleh semua pihak.

Dari pemaparan prinsip dan pedoman yang telah diuraikan, jelas bahwa penolakan salaman oleh Majelis Hakim merupakan cerminan kepatuhan terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim. Tindakan itu menegaskan bahwa integritas dan netralitas adalah harga mati dalam profesi kehakiman karena keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus tampak ditegakkan. Seperti frasa terkenal dari Lord Hewart:

“Justice must not only be done, but must also be seen to be done”.


Baca Juga: Vadel Badjideh, dari Berseteru dengan Nikita Mirzani hingga Vonis 9 Tahun Penjara

Gilang Pamungkas

Hakim PN SIngkawang

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…