Pendahuluan
Sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), bantuan hukum merupakan hak fundamental bagi setiap warga negara. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan jaminan akses terhadap keadilan, termasuk melalui bantuan hukum guna memastikan prinsip persamaan di hadapan hukum dapat terwujud dengan baik. Di Indonesia mengenai bantuan hukum itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang menegaskan bahwa masyarakat miskin berhak memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma dari lembaga bantuan hukum yang telah terverifikasi dan terakreditasi oleh pemerintah.
Dalam konteks perkara yang melibatkan anak, kewajiban pemberian bantuan hukum tidak kalah penting, karena anak sebagai subjek hukum yang rentan sangat memerlukan perlindungan khusus dari negara. Tentang kewajiban pendampingan hukum bagi anak dalam perkara pidana telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pemenuhan kewajiban pemberian bantuan hukum bagi anak itu sendiri bertujuan untuk menjamin proses hukum yang adil dan berpihak pada kepentingan terbaik anak, sebagaimana prinsip-prinsip dasar yang juga tercantum dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Lantas bagaimana UU SPPA mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak? Dan bagaimana konsekuensinya apabila kewajiban bantuan hukum bagi Anak pada tiap tingkat pemeriksaan diabaikan atau tidak dipenuhi?
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum Bagi Anak Berdasarkan UU SPPA;
Dalam praktik, Anak yang menjadi tersangka atau terdakwa sering kali tidak memahami proses hukum yang dihadapi. Sehingga, tanpa bantuan hukum Anak sangat rentan mengalami pelanggaran hak, seperti penyiksaan, intimidasi, pengakuan paksa, atau ketidakadilan dalam proses peradilan. Oleh karena itu, pemberian bantuan hukum bagi Anak sejak tahap penyidikan sampai dengan persidangan merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi untuk memastikan hak-hak Anak selama proses peradilan benar-benar diberikan.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), bahwa tentang bantuan hukum bagi Anak disebutkan dalam beberapa pasal. Pertama, Pasal 3 huruf c UU SPPA yang mengatur bahwa “setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif”. Kedua, Pasal 23 ayat (1) UU SPPA yang menyebutkan bahwa “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dari bunyi kedua pasal dalam UU SPPA tersebut, dapat dipahami bahwa bantuan hukum adalah Hak bagi Anak yang sedang menjalani proses peradilan, dan negara melalui aparat penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim wajib memenuhi hak tersebut kepada Anak dengan memberikan bantuan hukum kepada Anak yang sedang menjalani proses hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
Perlu diketahui, bahwa kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA adalah berbeda dengan ketentuan pemberian bantuan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 56 KUHAP. Dalam Pasal 56 KUHAP, bantuan hukum wajib diberikan apabila tersangka atau terdakwa diancam pidana lima tahun atau lebih dan tidak mampu secara ekonomi. Artinya, pemberian bantuan hukum dalam KUHAP bersifat terbatas dan bergantung pada berat ringannya ancaman pidana serta kemampuan tersangka atau terdakwa. Sementara, dalam Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, kewajiban pemberian bantuan hukum bagi Anak adalah diberikan tanpa melihat jenis atau ancaman pidana yang dikenakan kepada Anak. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pemberian bantuan hukum bagi Anak adalah kewajiban mutlak, yang harus dilaksanakan sejak Anak mulai berhadapan dengan proses hukum.
Konsekuensi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Bantuan Hukum Bagi Anak Dilihat Dari Praktik Putusan Perkara Pidana Khusus Anak;
Merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, pemberian bantuan hukum kepada Anak pada setiap tingkat pemeriksaan adalah bersifat imperatif. Namun, dalam UU SPPA tidak mengatur bagaimana konsekuensi apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum dalam setiap pemeriksaan. Maka dalam hal ini penulis akan merujuk pada praktik beberapa putusan pengadilan dalam perkara pidana khusus Anak, yaitu sebagai berikut:
- Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 5/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll Jo. Putusan Nomor 33/ Pid.Sus-Anak /2018/PT Mks;
- Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll Jo. Putusan Nomor 33/ Pid.Sus-Anak /2018/PT Mks;
- Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 3/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll;
- Putusan Pengadilan Negeri Malili Nomor 9/Pid.Sus-Anak/2018/PN Mll;
- Putusan Pengadilan Negeri Oelamasi Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Olm; dan,
- Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2024/PN Pts Jo. 6/PID.Sus-Anak/2024/PT Ptk;
Beberapa putusan tersebut di atas merupakan putusan sela yang pada pokonya terdapat kesamaan substansi karena adanya eksepsi terkait dengan tidak terpenuhinya hak konstitusional Anak atas bantuan hukum pada tingkat penyidikan. Dalam perkara-perkara tersebut, diketahui Anak selama proses penyidikan tidak diberikan bantuan hukum, dan penyidik hanya melampirkan surat pernyataan penolakan pendampingan hukum yang ditandatangani oleh Anak. Namun demikian, pendekatan hukum yang digunakan oleh hakim dalam pertimbangannya adalah merujuk pada asas perlindungan anak dan kepentingan terbaik bagi Anak. Sehingga merujuk pula pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) yang memberikan pengaturan bahwa pemberian bantuan hukum terhadap Anak dalam setiap pemeriksaan adalah wajib dan berbeda penerapannya dengan Pasal 56 KUHAP. Maka, meskipun terdapat surat pernyataan penolakan dari Anak, hal tersebut tidak dapat mengesampingkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU SPPA, mengingat Anak secara hukum belum memiliki kapasitas penuh untuk membuat keputusan yang berdampak pada hak konstitusionalnya dalam proses peradilan pidana. Dengan mempertimbangkan juga beberapa putusan pada tingkat judex juris, dan berpegang pada asas Presumption Of Innocence akhirnya dalam putusan-putusan tersebut hakim menyatakan bahwa penuntutan oleh Penuntut Umum menjadi tidak dapat diterima karena cacat hukum yang mendasar pada tahap penyidikan.
Baca Juga: PN Teluk Kuantan Berhasil Diversi Kasus Percobaan Pencurian Pelaku Anak
Penutup
Pemberian bantuan hukum bagi Anak dalam proses peradilan pidana merupakan hak mutlak yang dijamin UU SPPA dan wajib dipenuhi tanpa syarat oleh aparat penegak hukum. Ketidakpenuhan bantuan hukum terhadap Anak dalam praktik peradilan menyebabkan proses hukum cacat secara substantif, dan menjadikan celah diajukannya eksepsi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan. Merujuk pada praktik putusan pengadilan baik itu putusan pada tingkat pertama dan tingkat banding, apabila terjadi pelanggaran terhadap hak Anak khususnya adalah terkait dengan pemberian bantuan hukum, maka dapat berkonsekuensi terhadap penuntutan dari Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. fac
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI