Cari Berita

Hipnoterapi sebagai Model Pembinaan Bagi Anak Pelaku Kekerasan Seksual

Ratna Widianing Putri SH, MH (Hakim PN Sukadana) - Dandapala Contributor 2025-05-14 18:30:42
Dok. Penulis

Materi hukum pidana nasional harus mengatur keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023) yang akan berlaku beberapa bulan ke depan mengakomodir dalam konsideran huruf c. Ruh yang sama juga telah lebih dulu berakar pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang itu adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi. Dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena kesamaan materi itu, macam pidana bagi Anak yang ada dalam UU SPPA, telah diakomodir pula dalam KUHP 2023.

Pada beberapa tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh Anak di daerah Lampung Timur memiliki modus yang rata-rata hampir serupa. Melalui dunia maya, Anak saling kenal lalu memutuskan bertemu dengan dituntun nafsu belaka. Video porno yang dapat diakses secara bebas di berbagai kanal menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak pidana kekerasan seksual sebagai suatu gejala perubahan sosial.

Perubahan sosial pada masa kecanggihan teknologi itu dapat menggerogoti pikiran bawah sadar anak yang sedang dalam masa belajar mengamati lingkungan (teori pembelajaran sosial melalui meniru atau modelling) sehingga tertanam sebagai value serta pola pikir dan akhirnya memicu Anak untuk melakukan tindak pidana seksual.

Baca Juga: Victim Impact Statement? Menelisik Peranannya dalam UU TPKS dan PERMA 1 Tahun 2022

Latar Belakang Perlunya Penambahan Program Hipnoterapi.

Berdasarkan keinginan undang-undang agar pemidanaan bersifat tuntas atau mengembalikan pada keadaan semula, maka tidak cukup hanya dengan pembinaan kepribadian sebagai perbaikan diri di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) bagi Anak pelaku kekerasan seksual melainkan diperlukan suatu model pembinaan yang lebih komprehensif untuk mengubah perilaku dan pola pikirnya.

Usulan penambahan program hipnoterapi pada model pembinaan di LPKA terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual dilatarbelakangi oleh adanya beberapa kendala yang sifatnya krusial dan mendasar. Celah untuk perlunya perbaikan model pembinaan yang telah ada tersebut disampaikan dalam Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Model Pembinaan Anak Berbasis Pendidikan Layak Anak Dalam Sistem Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Tim Pokja Pengkajian Hukum BPHN.

Salah satunya adalah kualitas sumber daya manusia yang belum mencukupi kebutuhan Anak seperti pegawai LPKA diharapkan untuk bertindak menjadi apapun termasuk guru dan konselor. Selain itu juga tidak semua LPKA memiliki tenaga psikolog sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak diasumsikan lebih kepada kenakalan dan penyimpangan psikologis Anak (faktor lingkungan, sosiologis, ekonomis) sehingga penyembuhan mereka tidak hanya benar atau salah saja, namun lebih kepada pendekatan jiwa mereka sebagai Anak yang melakukan kenakalan.

Berkaca pada kondisi tersebut, sejalan dengan kasus yang terjadi pada beberapa Anak Pelaku Kekerasan Seksual yang telah dibina di LPKA Bandar Lampung bahwa Anak melakukan tindak pidana kekerasan seksual karena sering menonton tayangan porno dari handphone dan website lebih dari sekali. Dengan demikian maka diketahui jika akar permasalahannya adalah berada di pikiran bawah sadar Anak.

Oleh karena itu, Anak Pelaku Kekerasan Seksual di LPKA jika hanya dibina kepribadiannya dengan kegiatan kerohanian, kesadaran hukum, jasmani, kesadaran berbangsa dan bernegara maka tidak cukup.  Dengan demikian cara terbaik membina Anak Pelaku Kekerasan Seksual adalah dengan memperbaiki dan mencabut akar utama permasalahan yang terletak pada pikiran bawah sadar Anak Pelaku Kekerasan Seksual yaitu dengan menanamkan nilai-nilai baru ke pikiran bawah sadar Anak untuk menggantikan nilai-nilai buruk yang sudah terlanjur tersimpan dalam pikiran bawah sadar Anak sebagai akibat dari pembelajaran sosial (imitating dan modelling) ketika anak berada dalam tahap pembelajaran meniru.

Model Pembinaan Di LPKA Terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual Melalui Penambahan Program Hipnoterapi

Hipnoterapi memiliki mekanisme kerja mengakses pikiran bawah sadar yang mana untuk menjangkaunya aktivitas otak manusia harus berada pada gelombang Alpha hingga Theta.  Secara spesifik, mekanisme pemberian sugesti pada pikiran bawah sadar seseorang dengan membuka Critical Factor Anak Pelaku Kekerasan Seksual dan langsung berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar. Ketika berada di pikiran bawah sadar maka informasi/pesan yang dibutuhkan akan tersimpan rapi di pikiran bawah sadar.

Hipnoterapi banyak digunakan dalam memudahkan aktivitas kehidupan manusia seperti pengurangan kecemasan, perubahan kebiasaan dan di lini penegakan hukum hipnosis diterapkan sebagai hypnoforensic di Amerika Serikat.

Berdasarkan UU SPPA, Pembinaan Anak di LPKA diantaranya adalah Pembinaan Kepribadian, Keterampilan dan Pendidikan. Pembinaan kepribadian menitikberatkan untuk mental dan watak Anak agar menjadi manusia seutuhnya, bertakwa pada Tuhan, serta dapat bertanggung jawab pada diri sendiri, sedangkan pembinaan keterampilan bertujuan agar Anak berbekal keterampilan.

Secara prinsip, model dalam membina Anak saat ini didasarkan pada sistem pemasyarakatan dengan proses perlakuan terintegrasi, berkesinambungan dan terus menerus sejak masa pra-ajudikasi (sebelum persidangan), ajudikasi (saat persidangan) dan post adjudikasi (setelah persidangan) bahkan hingga tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Dengan demikian, dalam model pembinaan bagi Anak Pelaku Kekerasan Seksual di LPKA saat ini belum cukup menyentuh pada terapi pikiran bawah sadar Anak. Pada kondisi saat ini, pembinaan di LPKA masih terdapat celah untuk mendapat suatu pembaharuan karena sumber daya manusia yang terbatas dan juga model pembinaan yang kurang tepat menyasar pada akar permasalahan seperti pada kasus tindak pidana yang justru dapat merugikan Anak di masa yang akan datang karena mendapat stigma.

Tambahan program hipnoterapi sebagai model pembinaan di LPKA terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual dilakukan pada masa post adjudikasi khususnya pada tahap pelaksanaan pembinaan kepribadian untuk memperbaiki sikap dan perilaku dengan cara mengakses pikiran bawah sadar. Program hipnoterapi yang akan diterapkan tentang berapa kali sesi pelaksanaannya tergantung dari tingkat kecanduan maupun sikap mendasar melekat dan dapat diketahui melalui tahap profiling assessment.

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Dengan demikian LPKA dapat bekerjasama dengan hipnoterapis untuk pelaksanaan tambahan program ini. Diharapkan dengan model pembinaan dengan penambahan program hipnoterapi terhadap Anak Pelaku Kekerasan Seksual dapat mengatasi masalah perilaku sampai ke akarnya dan menjadikan Anak tidak melakukan hal serupa lagi sehingga Anak dapat kembali ke masyarakat dengan jiwa dan perilaku yang baru dan lebih baik. (FAC)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum