Dewan Perwakilan Rakyat
Indonesia menyetujui untuk meresmikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (dikenal dengan istilah KUHAP 2025) sebagai undang-undang pada 18
November 2025.
Persetujuan yang
diambil pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang
2025-2026 ini mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
final paripurna yang dapat diakses pada berkas.dpr.go.id.
Uniknya rancangan hukum
formil pidana tersebut masih belum dapat menjawab kritik baik dari masyarakat,
akademisi, dan aparatur penegak hukum (hukumonline:2025).
Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law
Pembahasan ini
menyoroti birokrasi prosedural yang harus melalui Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) yang dicakup dalam Pasal 5 sampai Pasal 63 Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Final Paripurna (selanjutnya disebut RKUHAP
Paripurna). Beberapa hal yang disoroti adalah sebagai berikut:
POLRI Mengawasi dan Menerima Koordinasi dari Seluruh Macam
Penyidik
Pasal 5 ayat (3) RKUHAP
Paripurna menyebutkan bahwa “PPNS dan Penyidik tertentu
dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan Penyidik Polri” sedangkan tidak ada penjelasan dalam RKUHAP
Paripurna yang sekadar menyatakan ‘cukup jelas’.
Pengaturan RKUHAP
Paripurna ini menegaskan kedudukannya sebagai kodifikasi hukum acara pidana
yang bertindak sebagai lex generalis daripada hukum acara pidana
kekhususan yang diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH).
Walaupun UU PPLH
memiliki kekhasan atau lex specialis, namun oleh karena kebaruan RKUHAP
Paripurna maka berlaku asas Lex posterior derogat legi priori yang
berarti peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lama. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa ketentuan UU PPLH akan dikesampingkan dan
RKUHAP Paripurna yang akan digunakan sebagai dasar hukum acara pidana dalam
konteks penyidikan.
Penambahan kewenangan
pengawasan dan koordinasi POLRI terhadap seluruh PPNS dan Penyidik Tertentu tersebut
justru menambah jenjang birokrasi prosedur penyidik perkara lingkungan yang
semula menurut Pasal 94 ayat (6) UU PPLH cukup PPNS Lingkungan Hidup (PPNS LH)
dapat langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan pelanggaran
aturan lingkungan hidup yang didasarkan
keahlian dan kompetensi lingkungan hidup dari PPNS LH yang mana selesainya
pemberkasan penyidikan dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum.
Dengan adanya ketentuan
Pasal 5 ayat (3) RKUHAP Paripurna, penyidikan oleh PPNS LH sebelum dilimpahkan
kepada Penuntut Umum maka harus melalui proses pengawasan dan koordinasi dari
Penyidik Polri yang mana dapat menyetujui, memberikan petunjuk untuk
melengkapi, dan menolak berkas penyidikan jika kita merujuk pada Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang
Penyidikan Tindak Pidana.
Permasalahan yang
timbul adalah apa aturan yang mempertegas kekhususannya birokrasi penyidikan
perkara lingkungan hidup dengan pengawasan dan koordinasi PPNS LH kepada
Penyidik Polri?
Walaupun kedepan dapat
saja dibentuk pembaruan aturan teknis misalnya dalam bentuk Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Penyidikan Tindak Pidana, namun
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2022 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan bahwa Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Penyidikan Tindak Pidana
tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berarti tidak
mengikat secara eksternal melainkan sekadar mengikat internal POLRI. Jadi,
peraturan prosedural penyidikan dengan pengawasan POLRI terhadap PPNS LH tidak
akan mengikat PPNS LH.
Konflik norma semakin
ditegaskan melalui ketentuan Pasal 363 RKUHAP Paripurna yang menyebutkan bahwa
“...semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kewenangan PPNS dan Penyidik Tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Artinya, ketentuan
hukum acara kewenangan penyidikan PPNS LH menurut UU PPLH masih berlaku, tetapi
selama tidak diubah dari RKUHAP Paripurna.
Ketika ketentuannya
diubah oleh RKUHAP Paripurna, maka berlaku ketentuan RKUHAP Paripurna dan
ketentuan UU PPLH dikesampingkan. Misalnya Pasal 94 UU PPLH memberikan
kewenangan untuk PPNS LH untuk melakukan penangkapan, sekarang dengan RKUHAP
Paripurna maka PPNS LH tidak dapat melakukan penangkapan tanpa perintah
penyidik POLRI sesuai Pasal 93 ayat (3) RKUHAP Paripurna.
Birokrasi proses hukum
penyidikan menuju penuntutan menjadi terhambat dengan ketidakpastian hukum ini.
Kompetensi Penyidik POLRI terhadap Perkara Lingkungan Hidup
Kekhasan dan kerumitan
perkara lingkungan hidup menuntut pengayaan dan penguasaan ilmu hukum
lingkungan hidup dimana setiap aparatur penegak hukum harus memperdalam bahkan
memiliki pengakuan khusus atas ilmu hukum lingkungan hidup untuk diterapkan
dalam perkara lingkungan hidup.
Misalnya, hanya hakim
lingkungan hidup yang lulus sertifikasi yang dapat mengadili perkara lingkungan
hidup sesuai Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023
tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Ketentuan hukum atas
penguasaan ilmu hukum lingkungan hidup tersebut tidak ada bagi penyidik POLRI.
Lantas bagaimana penyidik POLRI dapat melakukan pengawasan dan koordinasi
terhadap PPNS LH yang memiliki kualifikasi dan keahlian atas perkara lingkungan
hidup? Ketiadaan aturan tersebut jelas menunjukkan kerancuan hukum pada
birokrasi atau prosedur yang hanya memperlambat jalannya proses penegakan hukum
lingkungan.
Perkara lingkungan
hidup membutuhkan penanganan yang cepat dan berbasis pada pro natura.
Pendekatan tersebut mengartikan bahwa kerugian lingkungan itu dapat terjadi dan
akan berdampak pada keberlangsungan lingkungan yang bersinergi dengan
kelangsungan masyarakat juga. Untuk itu, penanganan perkara lingkungan hidup
harus mengutamakan pendekatan keadilan ekologis dan bukan sebatas keadilan
prosedural umum.
Baca Juga: Sistem Pembuktian Terbuka Dalam KUHAP Baru, Era Baru Peradilan Pidana Indonesia
Dalam konteks relevansi
penyidik POLRI dalam rangkaian penyelidikan dan penyidikan, antara sebaiknya
ada unit khusus penyidik POLRI yang menangani perkara lingkungan dengan
sertifikasi lingkungan hidup, atau menghilangkan keberadaan penyidik POLRI
dalam penanganan perkara lingkungan yang hanya memperumit penanganan perkara
lingkungan hidup tanpa alasan hukum yang pro natura.(NP/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI