Cari Berita

Mempertanyakan Supervisi Kepolisian dalam Penyidikan Perkara Lingkungan di KUHAP 2025

Novritsar H. Pakpahan-Hakim PN Kotabumi - Dandapala Contributor 2025-12-03 19:00:26
Dok. Penulis.

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia menyetujui untuk meresmikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (dikenal dengan istilah KUHAP 2025) sebagai undang-undang pada 18 November 2025.

Persetujuan yang diambil pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 ini mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana final paripurna yang dapat diakses pada berkas.dpr.go.id.

Uniknya rancangan hukum formil pidana tersebut masih belum dapat menjawab kritik baik dari masyarakat, akademisi, dan aparatur penegak hukum (hukumonline:2025).

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

Pembahasan ini menyoroti birokrasi prosedural yang harus melalui Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang dicakup dalam Pasal 5 sampai Pasal 63 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Final Paripurna (selanjutnya disebut RKUHAP Paripurna). Beberapa hal yang disoroti adalah sebagai berikut:

POLRI Mengawasi dan Menerima Koordinasi dari Seluruh Macam Penyidik

Pasal 5 ayat (3) RKUHAP Paripurna menyebutkan bahwa “PPNS dan Penyidik tertentu dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri” sedangkan tidak ada penjelasan dalam RKUHAP Paripurna yang sekadar menyatakan ‘cukup jelas’.

Pengaturan RKUHAP Paripurna ini menegaskan kedudukannya sebagai kodifikasi hukum acara pidana yang bertindak sebagai lex generalis daripada hukum acara pidana kekhususan yang diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH).

Walaupun UU PPLH memiliki kekhasan atau lex specialis, namun oleh karena kebaruan RKUHAP Paripurna maka berlaku asas Lex posterior derogat legi priori yang berarti peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lama. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ketentuan UU PPLH akan dikesampingkan dan RKUHAP Paripurna yang akan digunakan sebagai dasar hukum acara pidana dalam konteks penyidikan.

Penambahan kewenangan pengawasan dan koordinasi POLRI terhadap seluruh PPNS dan Penyidik Tertentu tersebut justru menambah jenjang birokrasi prosedur penyidik perkara lingkungan yang semula menurut Pasal 94 ayat (6) UU PPLH cukup PPNS Lingkungan Hidup (PPNS LH) dapat langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan pelanggaran aturan lingkungan hidup  yang didasarkan keahlian dan kompetensi lingkungan hidup dari PPNS LH yang mana selesainya pemberkasan penyidikan dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum.

Dengan adanya ketentuan Pasal 5 ayat (3) RKUHAP Paripurna, penyidikan oleh PPNS LH sebelum dilimpahkan kepada Penuntut Umum maka harus melalui proses pengawasan dan koordinasi dari Penyidik Polri yang mana dapat menyetujui, memberikan petunjuk untuk melengkapi, dan menolak berkas penyidikan jika kita merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Permasalahan yang timbul adalah apa aturan yang mempertegas kekhususannya birokrasi penyidikan perkara lingkungan hidup dengan pengawasan dan koordinasi PPNS LH kepada Penyidik Polri?

Walaupun kedepan dapat saja dibentuk pembaruan aturan teknis misalnya dalam bentuk Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Penyidikan Tindak Pidana, namun berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan bahwa Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Penyidikan Tindak Pidana tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berarti tidak mengikat secara eksternal melainkan sekadar mengikat internal POLRI. Jadi, peraturan prosedural penyidikan dengan pengawasan POLRI terhadap PPNS LH tidak akan mengikat PPNS LH.

Konflik norma semakin ditegaskan melalui ketentuan Pasal 363 RKUHAP Paripurna yang menyebutkan bahwa “...semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan PPNS dan Penyidik Tertentu dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Artinya, ketentuan hukum acara kewenangan penyidikan PPNS LH menurut UU PPLH masih berlaku, tetapi selama tidak diubah dari RKUHAP Paripurna.

Ketika ketentuannya diubah oleh RKUHAP Paripurna, maka berlaku ketentuan RKUHAP Paripurna dan ketentuan UU PPLH dikesampingkan. Misalnya Pasal 94 UU PPLH memberikan kewenangan untuk PPNS LH untuk melakukan penangkapan, sekarang dengan RKUHAP Paripurna maka PPNS LH tidak dapat melakukan penangkapan tanpa perintah penyidik POLRI sesuai Pasal 93 ayat (3) RKUHAP Paripurna.

Birokrasi proses hukum penyidikan menuju penuntutan menjadi terhambat dengan ketidakpastian hukum ini.

Kompetensi Penyidik POLRI terhadap Perkara Lingkungan Hidup

Kekhasan dan kerumitan perkara lingkungan hidup menuntut pengayaan dan penguasaan ilmu hukum lingkungan hidup dimana setiap aparatur penegak hukum harus memperdalam bahkan memiliki pengakuan khusus atas ilmu hukum lingkungan hidup untuk diterapkan dalam perkara lingkungan hidup.

Misalnya, hanya hakim lingkungan hidup yang lulus sertifikasi yang dapat mengadili perkara lingkungan hidup sesuai Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Ketentuan hukum atas penguasaan ilmu hukum lingkungan hidup tersebut tidak ada bagi penyidik POLRI. Lantas bagaimana penyidik POLRI dapat melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap PPNS LH yang memiliki kualifikasi dan keahlian atas perkara lingkungan hidup? Ketiadaan aturan tersebut jelas menunjukkan kerancuan hukum pada birokrasi atau prosedur yang hanya memperlambat jalannya proses penegakan hukum lingkungan.

Perkara lingkungan hidup membutuhkan penanganan yang cepat dan berbasis pada pro natura. Pendekatan tersebut mengartikan bahwa kerugian lingkungan itu dapat terjadi dan akan berdampak pada keberlangsungan lingkungan yang bersinergi dengan kelangsungan masyarakat juga. Untuk itu, penanganan perkara lingkungan hidup harus mengutamakan pendekatan keadilan ekologis dan bukan sebatas keadilan prosedural umum.

Baca Juga: Sistem Pembuktian Terbuka Dalam KUHAP Baru, Era Baru Peradilan Pidana Indonesia

Dalam konteks relevansi penyidik POLRI dalam rangkaian penyelidikan dan penyidikan, antara sebaiknya ada unit khusus penyidik POLRI yang menangani perkara lingkungan dengan sertifikasi lingkungan hidup, atau menghilangkan keberadaan penyidik POLRI dalam penanganan perkara lingkungan yang hanya memperumit penanganan perkara lingkungan hidup tanpa alasan hukum yang pro natura.(NP/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…