Cari Berita

Sekali Lagi, ‘Tidak Menikmati Keuntungan Pribadi' Juga Bisa Kena Delik Korupsi

Zul Azmi SH MH (Hakim Tipikor PN Banda Aceh) - Dandapala Contributor 2025-12-05 16:25:19
Zul Azmi (dok.ist)

DALAM praktik banyak yang beranggapan seseorang tidak melakukan perbuatan korupsi dikarenakan orang tersebut tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Tapi benarkah pandangan yang demikian?

Di sini penulis ingin menyampaikan pentingnya pemahaman oleh setiap orang, berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Kita berharap adanya edukasi bagi setiap orang mengenai pemahaman sejak awal berkaitan dengan perbuatan korupsi, karena banyak yang salah menafsirkan perbuatan korupsi. 

Sebagai contoh ada Tim Verifikator yang ditugaskan untuk melakukan verifikasi dokumen dengan sebenarnya, Tim tersebut ternyata tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga akibatnya program nya disetujui untuk dilaksanakan dan keluarlah uang negara untuk program tersebut. Jika Tim Verifikasi melaksanakan tugasnya dengan baik, maka program tersebut tidak akan direkomendasikan untuk dikerjakan. Berdasarkan fakta ini maka jelas perbuatan Tim tersebut telah merugikan keuangan negara. Namun banyak yang beranggapan Tim tersebut tidak melakukan korupsi dengan anggapan tidak memperoleh keuntungan sedikitpun. 

Baca Juga: Urgensi Tinjauan Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Perkara Pidana Pada Putusan Pengadilan

Contoh lain, Tim PHO dan FHO yang ditugaskan untuk memeriksa terakhir penyerahan pekerjaan, sebahagian menganggap tidak melakukan Korupsi dikarenakan tidak menerima uang dari penyedia. Pemahaman tersebut keliru dikarenakan dokumen tim tersebut juga digunakan sebagai lampiran untuk pencairan uang negara. 

Kemudian ada juga yang beranggapan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak dapat dipersalahkan dikarenakan tidak menerima uang begitu juga dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tidak dapat dipersalahkan dikarenakan tidak menerima uang negara dari proyek. Anggapan tersebut tentunya harus diluruskan dikarenakan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal (3) UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut di atas, terdapat kata-kata “memperkaya orang lain” atau pada pasal 3 “menguntungkan orang lain” atau “menguntungkan suatu korporasi”, maka dengan demikian jelas meskipun seseorang tidak menerima uang negara atau mendapat untung pribadinya, akan tetapi tetap dapat dipidana jika terbukti menyalahgunakan wewenangnya atau memperkaya orang lain.

Kesalahan pemahaman yang lain juga sebahagian orang menganggap selesai perkara korupsi atau tidak lagi dituntut jika telah ada pengembalian keuangan negara. Pemahaman tersebut keliru dikarenakan pada pasal 4 menyebutkan pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3. Adanya pasal 4 tersebut telah memberikan jawaban atas perdebatan selama ini mengenai telah adanya pengembalian keuangan negara.

Begiitupula dengan pembebanan uang pengganti, sebahagian orang menganggap jika Terdakwa tidak menerima uang atau tidak menikmati uang atau telah dialihkan kepada pihak lain, maka orang tersebut tidak dibebankan uang pengganti. Pemahaman tersebut keliru, dikarenakan berdasrkan ketentuan pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan:

“dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain, uang pengganti tetap dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang terhadap pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana pencucian uang” 

Kesalahan pemahaman lainnya juga sering dijumpai adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberikan tugas untuk menerima uang dan mengelolannya akan tetapi kemudian PNS tersebut menggelapkan uang terrsebut, sebahagian beranggapan perbuatan tersebut bukanlah kewenangan Pengadilan Tindak Pidan Korupsi, akan tetapi kewenangan Pengadilan Negeri yaitu pidana umum. Pemahaman tersebut keliru dikarenakan pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pasal yang diambil alih dari pasal 415 KUHP merupakan wewenang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Bahwa juga pernah dijumpai di kalangan pemerintahan Desa yang aparaturnya masih awam terhadap mekanisme pengelolaan keuangan Desa. Sering dijumpai dalam pengelolaan uang Desa tidak disertai dengan pertanggung jawaban keuangan atau pertanggungjawaban keuangan tidak disertai dengan bukti kwitansi. Bagi kebanyakan aparatur pemerintahan di Desa masih menganggap “sepele” tentang bukti pengeluaran uang (kwitansi), akibatnya ketika dimintakan pertanggungjawaban keuangan tidak disertai dengan bukti pengeluaran uang. Ketidakpahaman inilah kemudian menjadi masalah pidana korupsi di kemudian hari. 

Beranjak dari uraian di atas, maka perlu diberikan edukasi bagi khalayak ramai sedini mungkin tentang pemahaman mengenai perkara korupsi. Masyarakat perlu diajarkan tentang korupsi merupakan extra ordinary crime, juga perlu diajarkan tanggung jawab dalam mengemban amanah dan jabatan. Sehingga ketika diberikan wewenang atau sarana atau kedudukan nantinya tidak disalahgunakan. 

Kita harus komitmen, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Bahkan dunia Internasional sudah pada tahapan mengatur korupsi di sektor swasta. Meskipun Indonesia belum, namun setidak-tidaknya dalam sektor pemerintahan sudah dapat ditekan angka korupsi menjadi kecil bahkan tidak ada lagi korupsi di Indonesia. Semoga! 

Baca Juga: Pendekatan Yurimetri dan Ekonometri dalam Penentuan Pidana Denda Delik Penyertaan

Zul Azmi SH MH

Hakim Tipikor pada PN Banda Aceh 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag
Memuat komentar…