Cari Berita

Pendekatan Yurimetri dan Ekonometri dalam Penentuan Pidana Denda Delik Penyertaan

Bony Daniel - Dandapala Contributor 2025-11-10 07:25:59
Dok. Ilust Penulis. AI.

Penjatuhan pidana oleh hakim merupakan momentum kulminasi dari seluruh proses peradilan pidana, sebuah tindakan sakral di mana negara, melalui representasinya di lembaga yudikatif, menegakkan norma dan memulihkan keseimbangan kosmis yang terganggu oleh tindak pidana.

Dalam diskursus hukum pidana kontemporer, pemidanaan tidak lagi dipandang sekadar sebagai retribusi (punitif) semata, melainkan harus secara simultan merefleksikan tujuan-tujuan yang lebih luas, yakni keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (doelmatigheid), dan kepastian hukum (rechtssicherheit).

Tantangan terbesar dalam merealisasikan trilogi tujuan hukum ini terletak pada penentuan berat ringannya sanksi, khususnya pidana denda dalam kejahatan bermotif ekonomi, terlebih lagi jika kejahatan tersebut dilakukan dalam bentuk penyertaan sebagaimana dinormakan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Secara filosofis, pemidanaan harus berakar pada prinsip proporsionalitas, sebuah postulat keadilan yang menuntut adanya kesepadanan antara bobot kejahatan yang dilakukan dan beratnya sanksi yang dijatuhkan.

Ketika dihadapkan pada delik penyertaan, di mana terdapat pluralitas pelaku dengan peran dan kadar kesalahan (culpa) yang seringkali terdiferensiasi, penerapan proporsionalitas menjadi sangat kompleks.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menyamakan pertanggungjawaban pidana di antara mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger), dan yang turut serta melakukan (medepleger).

Namun, kesamaan kualifikasi yuridis ini tidak serta merta meniscayakan kesamaan kuantitas pemidanaan. Hakim, sebagai bouche de la loi yang bernalar, berkewajiban melakukan individualisasi pidana, memastikan bahwa setiap partisipan menerima sanksi yang ekuivalen dengan kontribusi kausal dan sikap batinnya terhadap delik yang terjadi.

Pendekatan pemidanaan konvensional yang cenderung intuitif dan impresionistik seringkali gagal menangkap nuansa diferensiasi ini secara akurat, berpotensi melahirkan disparitas pemidanaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Di sinilah urgensi penerapan metodologi pemidanaan yang lebih rigid, terukur, dan saintifik menemukan relevansinya.

Yurimetri, sebagai aplikasi metode kuantitatif dalam penalaran hukum, dan Ekonometri, sebagai analisis ekonomi terhadap hukum pidana (Law and Economics), menawarkan instrumen analitis yang kokoh untuk memandu diskresi yudisial menuju putusan yang tidak hanya adil secara substantif, tetapi juga efektif secara teleologis.

Dari perspektif ekonometri, yang berlandaskan pada asumsi bahwa pelaku kejahatan adalah aktor rasional (rational actor) yang merespons insentif, efektivitas pidana denda diukur dari kemampuannya menciptakan disinsentif ekonomi.

Tujuan teleologis utama dari sanksi denda dalam kejahatan ekonomi adalah untuk menegaskan adagium bahwa kejahatan tidak lagi menguntungkan secara ekonomis (crime does not pay). Prinsip fundamental dalam doktrin ini adalah bahwa biaya sanksi (cost of sanction) harus secara signifikan melebihi keuntungan ekonomis yang diharapkan atau telah direalisasikan (ill-gotten gains) dari tindak pidana tersebut.

Dengan demikian, identifikasi akurat terhadap keuntungan ilegal yang dinikmati oleh masing-masing pelaku menjadi prasyarat mutlak dalam penentuan denda yang efektif.

Penerapan analisis ekonometri dalam konteks penyertaan menuntut adanya pemisahan yang cermat terhadap aliran keuntungan ilegal. Dalam banyak kasus kolaborasi kriminal, seringkali terdapat demarkasi yang jelas antara arsitek intelektual (intellectuele dader) yang merancang kejahatan dan menjadi beneficiaris utama, dengan pelaku fasilitator yang perannya esensial namun hanya menerima imbalan atau sebagian kecil dari hasil kejahatan.

Mengabaikan diferensiasi keuntungan ini dan menjatuhkan denda yang seragam (flat sentencing) merupakan kesalahan metodologis yang fatal.

Di sinilah peran yurimetri menjadi krusial dalam mengkuantifikasi keadilan proporsional. Yurimetri memungkinkan hakim untuk melakukan pembobotan terhadap variabel-variabel yang relevan, seperti kadar culpa, peran spesifik dalam penyertaan, dan keuntungan ekonomis yang diperoleh.

Sebagai ilustrasi konseptual, jika Penuntut Umum menuntut denda yang identik kepada dua terdakwa yang turut serta melakukan kejahatan, hakim harus menguji rasionalitas tuntutan tersebut terhadap profil masing-masing terdakwa.

Bagi arsitek intelektual yang mens rea-nya murni bersifat ekonomis dan memperoleh keuntungan substansial, denda yang dijatuhkan harus merepresentasikan rasio deterensi yang memadai. Jika denda yang dituntut menghasilkan rasio 2:1 (denda berbanding keuntungan ilegal), maka secara ekonometri ini dapat dianggap rasional sebagai ambang batas minimal untuk meniadakan insentif ekonomi, dan secara yurimetri sepadan dengan culpa maksimalnya sebagai inisiator dan beneficiaris utama.

Namun, analisis yang sama harus menghasilkan konklusi yang berbeda ketika diterapkan pada pelaku fasilitator. Jika pelaku fasilitator hanya memperoleh keuntungan ekonomis yang jauh lebih kecil dibandingkan arsitek intelektual, penerapan denda yang sama besarnya akan menciptakan disproporsi yurimetri yang mencolok.

Misalnya, jika denda yang sama menghasilkan rasio deterensi 4:1 atau lebih bagi fasilitator, sementara arsitek intelektual hanya menghadapi rasio 2:1, maka telah terjadi ketidakadilan proporsional. Pelaku dengan kadar kesalahan lebih ringan dan keuntungan lebih kecil justru dihukum secara relatif lebih berat dibandingkan pelaku utama. Ini mencederai esensi keadilan distributif yang menjadi jiwa dari hukum pidana.

Oleh karena itu, Hakim yang menerapkan penalaran hukum wajib melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap besaran denda untuk memastikan adanya korelasi positif antara tingkat kesalahan, keuntungan ekonomis, dan beratnya sanksi.

Penentuan denda bagi pelaku fasilitator harus tetap memenuhi fungsi deterensi individual, yakni harus melebihi keuntungan yang diperolehnya, misalnya dengan rasio 2:1 yang serupa dengan pelaku utama, namun jumlah nominal absolutnya harus lebih rendah untuk mencerminkan perannya yang terdiferensiasi.

Pendekatan ini juga memenuhi dimensi sosiologis pemidanaan. Hukum tidak beroperasi di ruang hampa, ia berinteraksi dengan realitas sosio ekonomi masyarakat. Penjatuhan denda harus mempertimbangkan kapasitas ekonomi riil dari terpidana, bukan untuk meringankan sanksi di bawah ambang batas deterensi, tetapi untuk memastikan bahwa proporsionalitas yang diterapkan bersifat realistis dan tidak bersifat destruktif secara tidak perlu.

Bagi pelaku yang berasal dari strata ekonomi marginal, seperti buruh atau pekerja informal, denda yang proporsional namun tetap deterentif akan lebih efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan dibandingkan denda yang sangat tinggi namun tidak mungkin dibayar, yang pada akhirnya hanya akan mengkonversi menjadi pidana kurungan subsider dan membebani sistem pemasyarakatan.

Secara yuridis, pendekatan yurimetri dan ekonometri ini memperkuat legitimasi putusan hakim. Putusan yang didasarkan pada kalkulasi rasional dan argumentasi yang transparan akan meningkatkan akuntabilitas yudisial dan kepastian hukum.

Hal ini menjauhkan proses pemidanaan dari kesan subjektivitas belaka dan mendekatkannya pada idealisme penegakan hukum yang saintifik dan berkeadilan.

Hakim tidak lagi hanya terikat pada batas maksimum legalitas formil yang ditetapkan undang-undang atau pada tuntutan Penuntut Umum, tetapi secara aktif dan mandiri menggunakan diskresinya yang dipandu oleh metodologi yang kokoh untuk menemukan kebenaran materiil dan keadilan substantif.

Sebagai konklusi, integrasi pendekatan yurimetri dan ekonometri dalam penentuan pidana denda, khususnya dalam delik penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, merupakan sebuah keniscayaan evolutif dalam hukum pidana modern.

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

Metodologi ini memungkinkan hakim untuk melakukan diferensiasi pemidanaan secara presisi, memastikan bahwa setiap pelaku menerima sanksi yang proporsional dengan kadar kesalahannya dan keuntungan ekonomis yang dinikmatinya, sekaligus menjamin tercapainya fungsi deterensi yang efektif. Hanya dengan penalaran hukum yang mendalam, logika hukum yang kokoh, dan dukungan instrumen analitis yang saintifik, putusan pengadilan dapat benar-benar mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara holistik dan berdimensi jangka panjang. Ini adalah manifestasi dari supremasi nalar dalam penegakan hukum yang berkeadilan.(ldr)


Penulis Dr. Bony Daniel, S.H., M.H. adalah Hakim PN Serang

Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…