Diskursus
pembaharuan hukum pidana nasional dalam konteks rekodifikasi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah dimulai sejak tahun 1963 merupakan
refleksi yang tidak hanya dapat dimaknai sebagai proses terciptanya pembangunan
hukum nasional yang berakar pada misi dekolonialisasi, misi demokratisasi, dan
misi konsolidasi.
Misi tersebut diharapkan selaras dengan ideologi
hukum modern yang berkepastian dan dapat mewujudkan keadilan yang lebih substantif,
akan tetapi juga mesti dimaknai sebagai wujud nyata dalam merespon kebijakan
penanggulangan “tindak pidana berat” yang memiliki karakteristik khusus, diantaranya
adalah Tindak Pidana Korupsi.
Dalam memahami pertautan delik dimaksud,
pada mulanya mesti dipandang dalam perspektif rekonstruksi sistem hukum pidana
nasional. Artinya, upaya kodifikasi “tindak pidana berat” pada umumnya, tidak
dapat dilepaskan dari pandangan yang menilai seolah-olah terjadi dualisme
sistem hukum pidana yang bersumber dari KUHP dengan sistem yang tersebar diluar
KUHP yang bersumber dari peraturan perundang-undang sektoral sehingga dalam
praktek seringkali dijumpai terjadinya duplikasi norma.
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Delphi Method, Bridging
Articles,
dan Pertautan Norma
Pasca diundangkannya KUHP Nasional pada
tanggal 2 Januari 2023, maka secara normatif, substansi yang mengatur terkait
kebijakan pemidanaan dalam konteks “tindak pidana korupsi” tentu mengalami
perubahan.
Hal ini menimbulkan pertautan yang
signifikan baik dalam konteks “unsur” dan “sanksi pidana dengan Modified Delphi Method” maupun yang
secara lebih luas jika mengacu dalam bahasa trias hukum pidana (the three basic concepts) dimaknai
sebagai: perbuatan, pertanggungjawaban/kesalahan, dan pidana.
Penentuan sanksi pidana dengan modifikasi Delphi Method adalah proses yang
dilakukan dalam kelompok untuk mensurvei dan mengumpulkan pendapat dari para
ahli terkait penentuan maksimum pidana pada masing-masing tindak pidana. Metode
ini digunakan untuk merumuskan sanksi pidana yang lebih efektif dan tepat
sasaran dengan tetap mempertahankan esensi konsensus para ahli, tetapi dengan
langkah-langkah yang lebih fleksibel.
Sementara itu, dalam konteks struktur
materi muatan dalam Buku Kedua KUHP Nasional, penempatan tindak pidana korupsi
pada Bab Tindak Pidana Khusus (Bab XXXV Bagian Ketiga). Struktur Bab Tindak
Pidana Khusus merumuskan tindak pidana inti (core crime) dari sejumlah Undang-Undang diluar KUHP (diantaranya
tindak pidana berat terhadap HAM, Korupsi, terorisme, pencucian uang,
narkotika), dimana perumusan core crimes
berfungsi sebagai ketentuan penghubung (bridging
articles) dalam mekanisme transisi antara rezim hukum lama (KUHP Nasional)
dan rezim hukum baru (Undang-Undang diluar KUHP) sehingga Undang-Undang Khusus seperti
UU Tipikor, UU TPPU, UU Narkotika, dll) tetap berlaku tanpa terganggu dengan
kodifikasi hukum pidana baru.
Pertautan
Unsur dan Sanksi Pidana
Selanjutnya irisan norma yang mengatur
mengenai bentuk perbuatan korupsi yang merugikan keuangan Negara sebagaimana
tertuang dalam ketentuan Pasal 603 dan Pasal 604 KUHP Nasional, yang secara substansi
formulasi rumusan delik korupsi masih sama dengan ketentuan Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Yang membedakan hanya pada besaran pidana
minimum khusus, baik untuk pidana penjara maupun pidana denda.
Lebih lanjut, terdapat perbedaan prinsip
Pasal 603, Pasal 604 dan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 UU Tipikor.
Pertama,
konstruksi Pasal 603 dan Pasal 604 adalah delik materiil.
Kedua,
merujuk pada modifikasi sistem Delphy
maka ancaman pidana minimum Pasal 603 lebih ringan bila dibandingkan Pasal 2
ayat (1) UU Tipikor. Sementara itu, ancaman pidana minimum dalam Pasal 604
lebih berat dibandingkan dengan Pasal 3 UU Tipikor. Kendatipun, adressat Pasal 604 adalah delicta commune, namun pelaku harus
memiliki kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatannya. Harus pula
dibuktikan adanya hubungan kausalitas antara penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan atau sarana dengan jabatan tersebut. (Lihat Buku Anotasi KUHP
Nasional, hal.622-623).
Dalam konteks tersebut, menurut H.
Suharto, sebagai pembicara utama (Keynote
Speech) dalam acara Konferensi Hukum Nasional: Efektivitas Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Dalam Melakukan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,
tanggal 25 Oktober 2023, menyatakan bahwa “ancaman pemidanaan kedua pasal
tersebut dapat meminimalisir disparitas pemidanaan dan merubah strategi penuntutan
perkara oleh Penuntut Umum yang tidak lagi mengedepankan dakwaan subsidaritas,
tetapi dapat beralih dengan dakwaan berbentuk alternatif, sehingga dakwaan
alternatif tersebut dapat memberikan keleluasaan dalam teknik pembuktian dan
pembuatan putusan di persidangan nanti, semata mata untuk kelancaran penegakan
hukum”.
Dalam konteks pembuktian kausalitas antara
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana dengan jabatan tersebut dalam
prakteknya telah diadopsi dalam beberapa pertimbangan putusan Mahkamah Agung,
hal ini terlihat dalam putusan Nomor 5849 K/Pid.Sus/2022 tanggal 21 Desember
2022 dan juga putusan Mahkamah Agung Nomor 4863 K/Pid.Sus/2024 tanggal 28
Agustus 2024.
Demikian pula yang terkait dengan unsur
delik yang mengatur mengenai bentuk perbuatan korupsi “Suap/bribery”, diatur dalam ketentuan Pasal
605 KUHP Nasional yang merupakan serapan dari ketentuan Pasal 5 UU Tipikor,
yang substansinya,
formulasi rumusan delik korupsi dalam ketentuan Pasal 605 KUHP Nasional masih
sama dengan ketentuan Pasal 5 UU Tipikor. Yang
membedakan hanya pada besaran pidana denda dan terdapat pemberatan pidana untuk
pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji
(Pasal 605 ayat 2).
Kemudian ketentuan Pasal 606 KUHP Nasional
yang pada prinsipnya merupakan serapan dari ketentuan Pasal 11 dan Pasal 13 UU
Tipikor, yang substansinya, terdapat perbedaan formulasi rumusan delik korupsi dalam
ketentuan Pasal 606 KUHP Nasional dimana pada ketentuan Pasal 606 ayat (1) KUHP
Nasional tidak menganut sistem minimum khusus sebagaimana UU Tipikor yang
menganut pidana minimum khusus.
Demikian pula ketentuan Pasal 606 ayat (2) KUHP Nasional,
dimana maksimum pidana penjara dan pidana denda lebih berat daripada sanksi
pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 UU Tipikor. Ini berarti, ketentuan
Pasal 606 ayat (1) KUHP Nasional merupakan serapan dari ketentuan Pasal 13 UU
Tipikor, sedangkan Pasal 606 ayat (2) KUHP nasional merupakan serapan dari
Pasal 11 UU Tipikor.
Dalam buku anotasi KUHP Nasional karya Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso disebutkan bahwa terdapat perbedaan prinsip antara Pasal 605 dan Pasal 606 KUHP Nasional terletak pada anggapan penyuap aktif bahwa memberikan hadiah atau janji kepada penyuap pasif adalah karena kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Lihat Buku Anotasi KUHP Nasional, hal.625).
Penutup
Dari uraian diatas, secara normatif
pertautan delik tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional hanya
pada bentuk perbuatan korupsi yang terkait dengan perbuatan utama korupsi yaitu
merugikan keuangan Negara dan suap (bribery),
sehingga jika mengacu pada tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Pasal-Pasal
di dalam UU Tipikor yang kemudian diklasifikasikan ke dalam bentuk-bentuk
perbuatan utama korupsi diantaranya merugikan keuangan Negara, suap,
penggelapan dalam jabatan, paksaan mengeluarkan uang (pemerasan), perbuatan
curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi maka berlaku
ketentuan UU Nomor 31/1999 jo. UU Nomor 20/2001.
Hal ini sejalan dengan norma yang diatur
dalam BAB XXXVII Ketentuan Penutup, yang nota bene mengatur mengenai pencabutan
beberapa pasal Undang-Undang di luar KUHP yang diatur dalam KUHP Baru dan
penggantian pengacuan pasal-pasal tersebut dalam Undang Undang asalnya.
Pengaturan ini bertujuan agar tidak ada duplikasi pengaturan tindak pidana
dalam KUHP Baru dan UU di luar KUHP.
Dengan demikian, pertautan makna yuridis yang
terkandung dalam substansi ketentuan mengenai tindak pidana korupsi dalam KUHP
Nasional dan UU Tipikor tidak dimaknai dalam konteks saling menegasikan, sebab
dengan diaturnya tindak pidana korupsi (kerugian keuangan Negara dan bribery) dalam KUHP Nasional tidak
menghilangkan sifat dan karakteristiknya sebagai extra ordinary crime, sehingga diharapkan kedepannya pertautan
instrumen hukum tersebut dapat berjalan secara pararel dan menjadi instrumen
utama untuk menjaga konsistensi dan efektifitas penegakan hukum dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. (aar/ldr)
Referensi:
Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, “Anotasi KUHP Nasional”, RajaGrafindo Persada, Depok, Cetakan ke-3,
Mei 2025.
Harkristuti Harkrisnowo, (slide) Materi “Membangun Pardigma
Baru Pemidanaan Melalui KUHP Baru& UU Pemasyarakatan Baru”.
Materi Penataran KUHP Baru (UU No.1 Tahun 2023) Kerjasama
Masyarakat Hukum Pidana&Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) - FH
Univ.Pancasila, Jakarta, 7-9 Februari 2023.
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Suharto, “Materi Keynote Speech Acara Konferensi Hukum
Nasional: Efektivitas Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Melakukan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi”, tanggal 25 Oktober 2023.
Tim Ahli Pembahasan UU KUHP Kementerian Hukum&HAM RI, (slide) Materi “Kebaruan Hukum Pidana”, Jakarta, 2023.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI